Home / Romansa / Menikahi Pewaris Dingin / Bab 7: Alat & Sekutu

Share

Bab 7: Alat & Sekutu

Author: SolaceReina
last update Last Updated: 2025-10-20 14:32:58

Clara duduk di sudut kafe yang redup, jauh dari jendela. Pukul 13:50. Sepuluh menit lagi Dania Rahman akan tiba. Di hadapannya, tiga folder cokelat berisi fotokopi dokumen: laporan keuangan Arta, email dari iPad Alex, dan daftar perusahaan cangkang. Semuanya disalin dengan hati-hati tanpa meninggalkan jejak digital.

Ponselnya bergetar. Pesan dari Alex:

Saya ada rapat sampai sore. Jangan lupa—acara makan malam pukul delapan. Jangan terlambat.

Singkat, dingin, seperti biasa. Tapi Clara merasakan ada yang berbeda sejak percakapan tadi malam. Alex tidak menghentikannya—tapi juga tidak membantu. Ia hanya membiarkan Clara berjalan di tepi jurang, mengawasi dari kejauhan.

Dania masuk tepat pukul 14:00. Wanita berusia tiga puluh tahunan itu mengenakan jaket kulit hitam dan kacamata hitam besar. Rambutnya dipotong pendek, tatapannya tajam seperti pisau bedah. Ia pernah mengungkap skandal korupsi besar yang melibatkan pejabat tinggi—dan selamat dari berbagai ancaman.

"Clara," sapa Dania, suaranya rendah. Ia duduk tanpa basa-basi. "Kau terlihat seperti orang yang baru saja menemukan hantu."

Clara tersenyum tipis. "Mungkin memang begitu." Ia mendorong folder pertama. "Ini dokumen pembayaran Arta ke konsultan palsu. Nomor rekeningnya mengarah ke perusahaan cangkang yang alamatnya sama dengan kantor cabang A&A."

Dania membuka folder, matanya bergerak cepat menyapu setiap halaman. Ia mengambil ponsel, memotret beberapa halaman penting. "Ini kuat. Tapi belum cukup. Kita butuh saksi—orang dalam yang bersedia bicara."

"Pak Budi, manajer keuangan Arta. Dia setia pada ayahku," jawab Clara. "Tapi dia takut. Paman Robert punya kontrol penuh di kantor sekarang."

Dania mengangguk. "Kita butuh leverage untuk membuat Pak Budi bicara. Atau setidaknya memberinya perlindungan." Ia menutup folder, menatap Clara. "Kau tahu risiko ini, kan? A&A bukan perusahaan sembarangan. Mereka punya pengacara terbaik, koneksi di mana-mana. Kalau kita salah langkah, kau bisa kehilangan lebih dari sekadar Arta."

Clara menelan ludah. "Aku sudah kehilangan ayahku, perusahaannya hancur, dan sekarang aku terjebak dalam pernikahan kontrak dengan pewaris keluarga yang menghancurkan semuanya. Aku tidak punya apa-apa lagi untuk hilang."

Dania tersenyum—senyum pahit yang penuh pengertian. "Baiklah. Aku akan cari tahu lebih dalam tentang perusahaan cangkang ini. Tapi kau harus memberiku akses ke Pak Budi. Atur pertemuan, tempat aman, tanpa jejak digital. Gunakan telepon umum atau pesan tertulis."

Clara mengangguk. "Aku akan atur."

Dania berdiri, menyembunyikan folder di dalam tas ranselnya. "Satu hal lagi, Clara. Kalau kau menemukan sesuatu yang lebih besar—bukti langsung dari keluarga Anggara—jangan simpan sendiri. Kirim ke email tersembunyi yang akan aku berikan. Jangan sampai kau menjadi satu-satunya orang yang tahu."

Clara menerima secarik kertas kecil bertuliskan alamat email anonim. Ia melipatnya dan menyimpannya di saku dalam tasnya. "Terima kasih, Dania."

"Jangan berterima kasih dulu," jawab Dania, suaranya serius. "Kita belum menang. Kita baru saja mulai."

---

Malam itu, Clara kembali ke apartemen Alex pukul tujuh. Ia masih punya waktu satu jam sebelum makan malam. Ia naik ke kamarnya, menyalakan laptop, dan mulai menulis email ke Pak Budi—bukan dari akun pribadinya, tapi dari akun baru yang ia buat khusus untuk komunikasi rahasia.

Subject: Pertemuan Penting

Pak Budi,

*Saya butuh bantuan Bapak untuk berbicara dengan seseorang yang bisa membantu kita menyelamatkan Arta. Tempat dan waktu akan saya beritahu lewat surat. Tolong jangan balas email ini. Saya akan kirim surat ke alamat rumah Bapak besok pagi.*

*—C*

Ia mengirim email itu, lalu segera menghapus jejak dari history browser. Clara tahu Alex punya akses ke semua perangkat di apartemen ini—mungkin juga ke jaringan Wi-Fi. Ia harus lebih hati-hati.

Tepat pukul delapan, Alex mengetuk pintu kamarnya. "Clara, waktunya."

Mereka berangkat ke restoran mewah di pusat kota. Makan malam itu adalah bagian dari sandiwara mereka: memperlihatkan kepada publik bahwa pertunangan mereka "bahagia". Clara mengenakan gaun biru laut, rambutnya disanggul rapi. Alex, seperti biasa, mengenakan setelan gelap yang sempurna.

Di meja, mereka duduk berhadapan. Percakapan mereka terdengar natural—cuaca, pekerjaan, rencana liburan palsu. Tapi di bawah meja, tangan Clara mencengkeram serbet dengan erat. Ia merasa seperti aktor di atas panggung yang bisa runtuh kapan saja.

"Kau terlihat tegang," bisik Alex, suaranya rendah agar tidak terdengar oleh pelayan yang berdiri di dekat mereka.

"Aku baik-baik saja," jawab Clara, memaksakan senyum.

Alex menatapnya—tatapan yang tajam, menilai. "Jangan lakukan sesuatu yang bodoh, Clara. Aku serius."

Clara menahan napas. Apakah dia tahu? Apakah dia memantau email-ku?

Sebelum ia sempat menjawab, ponsel Alex bergetar. Ia mengangkatnya, membaca pesan singkat. Ekspresinya berubah—tidak banyak, tapi cukup untuk Clara perhatikan. Ada kekhawatiran di matanya.

"Ada masalah?" tanya Clara.

Alex meletakkan ponsel. "Tidak. Hanya urusan kantor." Tapi nada suaranya tidak meyakinkan.

Mereka menyelesaikan makan malam dalam keheningan yang canggung. Di perjalanan pulang, Alex tidak bicara sama sekali. Clara melirik ke arahnya—wajahnya tegang, rahangnya mengeras. Sesuatu mengganggu pikirannya.

Ketika mereka tiba di apartemen, Alex berhenti di ambang pintu. "Clara, aku harus keluar sebentar. Ada sesuatu yang harus aku urus."

"Sekarang? Sudah hampir tengah malam," kata Clara.

Alex menatapnya, tatapan yang sulit dibaca. "Ini penting." Ia berbalik dan pergi, meninggalkan Clara sendirian di apartemen yang luas dan dingin.

---

Clara tidak bisa tidur. Ia berbaring di tempat tidur, menatap langit-langit. Pikirannya dipenuhi pertanyaan: apa yang mengganggu Alex? Apakah itu ada hubungannya dengan penyelidikannya?

Pukul dua pagi, ponselnya bergetar. Pesan dari nomor tidak dikenal:

Hentikan apa yang kau lakukan. Ini peringatan terakhir.

Jantung Clara berhenti sejenak. Ia duduk tegak, tangannya gemetar. Siapa yang mengirim ini? Bagaimana mereka tahu?

Ia segera mengirim pesan ke Dania:

Aku dapat ancaman. Nomor tidak dikenal. Apa yang harus aku lakukan?

Balasan Dania datang lima menit kemudian:

Jangan panik. Simpan pesan itu sebagai bukti. Jangan balas. Kita akan bicara besok. Hati-hati.

Clara meletakkan ponsel, napasnya berat. Ia menatap pintu kamarnya yang tertutup rapat. Di luar sana, apartemen Alex terasa seperti kuburan—sunyi, gelap, dan penuh dengan rahasia yang ia belum ketahui.

Ia bangkit dari tempat tidur, berjalan ke jendela. Kota di bawah sana berkilauan dengan lampu-lampu yang tak berujung. Di suatu tempat di luar sana, seseorang mengawasi geraknya. Seseorang yang cukup kuat untuk mengancam—dan cukup dekat untuk tahu apa yang ia lakukan.

Clara menutup tirai, kembali ke tempat tidur. Tapi tidur tidak datang. Yang ada hanya ketakutan yang perlahan merayap, memenuhi setiap sudut kamarnya.

---

Keesokan paginya, Clara bangun lebih awal. Ia turun ke dapur, berharap bisa menemukan Alex. Tapi apartemen itu kosong. Tidak ada jejak bahwa Alex pernah pulang tadi malam.

Di meja dapur, ada sebuah amplop putih. Nama Clara tertulis di atasnya dengan tinta hitam. Ia membukanya dengan tangan gemetar.

Di dalamnya, hanya ada satu kalimat:

Kau bermain dengan api. Jangan kaget kalau terbakar.

Dan di bawahnya, sebuah foto—foto Pak Budi keluar dari kantor Arta, tanggal dan waktu tercetak jelas di sudut bawah. Foto itu diambil kemarin, tepat setelah Clara bertemu dengannya.

Clara merasakan dunia berputar. Seseorang mengawasi mereka. Seseorang yang sangat dekat.

Ponselnya bergetar lagi. Kali ini, pesan dari Dania:

Pak Budi tidak datang ke kantor hari ini. Istrinya bilang dia pergi pagi-pagi sekali. Dia tidak bilang ke mana.

Clara meremas amplop itu, amarah dan ketakutan bercampur menjadi satu. Pak Budi dalam bahaya. Dan ia yang membawanya ke dalam ini.

Ia harus bertindak cepat—sebelum terlambat.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Menikahi Pewaris Dingin   Bab 10: Sorotan Publik

    Tiga hari setelah penangkapan kakek Adam dan Paman Robert, dunia Clara berubah total. Namanya ada di mana-mana—bukan sebagai pewaris Arta Group yang malang, tapi sebagai "wanita yang menjatuhkan kerajaan bisnis Anggara." Media massa berbondong-bondong. Kamera menunggu di depan apartemen lamanya, di depan kantor Arta, bahkan di rumah sakit tempat Pak Budi dirawat. Clara tidak bisa ke mana-mana tanpa diikuti wartawan yang berteriak pertanyaan. "Nona Clara! Apa benar Anda sengaja mendekati Alex Anggara untuk balas dendam?" "Apakah pertunangan Anda hanya rekayasa untuk mendapatkan akses ke dokumen rahasia A&A?" "Berapa banyak uang yang Anda terima dari kompetitor A&A untuk membocorkan informasi ini?" Clara mengabaikan semuanya, berlindung di kantor Arta yang sepi. Dania duduk di seberangnya, laptop terbuka, wajahnya serius. "Ini sudah tidak terkendali," kata Dania. "Narasi mulai bergeser. Awalnya mereka memuji keberanianmu, tapi sekarang... ada yang mulai mempertanyakan moti

  • Menikahi Pewaris Dingin   Bab 9: Pengkhianatan di Dalam

    Clara tidak tidur semalaman. Video di USB drive itu berputar terus di kepalanya—wajah Alex yang dingin, anggukan tanpa keraguan, rencana metodis untuk menghancurkan Arta. Tapi ada juga pesan terakhirnya: Aku akan menyelesaikan ini. Pukul enam pagi, Clara turun ke dapur. Alex sudah ada di sana, berdiri di depan jendela besar dengan secangkir kopi di tangan. Punggungnya tegap, tapi ada ketegangan di bahunya—sesuatu yang jarang Clara lihat. "Kau tidak tidur," kata Alex tanpa berbalik. "Kau juga," balas Clara. Keheningan melingkupi mereka. Alex akhirnya berbalik, menatap Clara dengan tatapan yang sulit dibaca. Ada lingkaran hitam di bawah matanya, tanda bahwa ia juga bergumul dengan sesuatu. "Aku sudah menonton videonya," kata Clara, suaranya datar. "Aku tahu kau terlibat penuh sejak awal." Alex mengangguk perlahan. "Ya." "Lalu kenapa sekarang kau berpura-pura membantu?" tanya Clara, amarahnya mulai meluap. "Kenapa kau memberi USB itu kalau kau tahu itu bisa menghancurkanmu?"

  • Menikahi Pewaris Dingin   Bab 8: Masuk Zona Terlarang

    Clara tidak membuang waktu. Ia meraih kunci mobilnya—sedan tua warisan ayahnya yang masih ia simpan di parkiran basement apartemen—dan melaju ke rumah Pak Budi di pinggiran kota. Jalan masih sepi, pukul enam pagi, kabut tipis menyelimuti jalanan. Rumah Pak Budi adalah rumah sederhana di kompleks perumahan lama. Ketika Clara mengetuk pintu, istri Pak Budi membukanya dengan wajah pucat dan mata sembab. "Nona Clara..." suaranya bergetar. "Pak Budi... dia pergi sejak subuh. Ada telepon, lalu dia langsung keluar. Dia bilang ada urusan penting. Tapi dia tidak pernah pergi sepagi ini." Clara merasakan cengkeraman dingin di dadanya. "Bu, apa Ibu dengar siapa yang menelepon?" Ibu Budi menggeleng. "Suaranya pelan. Tapi saya dengar Pak Budi bilang 'Baik, saya akan ke sana.' Dia terdengar... takut." Clara menahan napas. Ia harus menemukan Pak Budi sebelum terlambat. "Bu, kalau Pak Budi hubungi, tolong beritahu saya segera." Ia menulis nomor ponselnya di secarik kertas. Ibu Budi menerim

  • Menikahi Pewaris Dingin    Bab 7: Alat & Sekutu

    Clara duduk di sudut kafe yang redup, jauh dari jendela. Pukul 13:50. Sepuluh menit lagi Dania Rahman akan tiba. Di hadapannya, tiga folder cokelat berisi fotokopi dokumen: laporan keuangan Arta, email dari iPad Alex, dan daftar perusahaan cangkang. Semuanya disalin dengan hati-hati tanpa meninggalkan jejak digital. Ponselnya bergetar. Pesan dari Alex: Saya ada rapat sampai sore. Jangan lupa—acara makan malam pukul delapan. Jangan terlambat. Singkat, dingin, seperti biasa. Tapi Clara merasakan ada yang berbeda sejak percakapan tadi malam. Alex tidak menghentikannya—tapi juga tidak membantu. Ia hanya membiarkan Clara berjalan di tepi jurang, mengawasi dari kejauhan. Dania masuk tepat pukul 14:00. Wanita berusia tiga puluh tahunan itu mengenakan jaket kulit hitam dan kacamata hitam besar. Rambutnya dipotong pendek, tatapannya tajam seperti pisau bedah. Ia pernah mengungkap skandal korupsi besar yang melibatkan pejabat tinggi—dan selamat dari berbagai ancaman. "Clara," sapa D

  • Menikahi Pewaris Dingin   Bab 6 (Bagian 2) — Jejak Lama (Konsekuensi)

    Keesokan harinya Clara memutuskan tak menunggu. Email—meski kuat—bukan bukti transaksi. Ia perlu aliran uang, nomor rekening, nama perantara. Ia pergi ke kantor Arta yang sepi, menyusuri lorong-lorong yang dulu riuh. Hanya tersisa beberapa staf senior, salah satunya: Pak Budi, manajer keuangan yang setia pada mendiang ayahnya. Di ruang kecil itu, Clara langsung membuka inti permintaannya. "Pak Budi, saya butuh semua catatan transaksi tiga tahun terakhir. Terutama pembayaran ke konsultan eksternal." Pak Budi menunduk, lalu menarik napas. "Sebagian besar arsip memang ada pada Paman Robert. Tapi… ayahmu memang terkenal menyimpan salinan cadangan. Saya punya hard drive pribadi." Sepuluh menit kemudian sebuah hard drive kecil terhubung ke laptop Clara. Folder demi folder dibuka—Excel, P*F, buku besar pembayaran. Angka-angka melompat di layar: termin pembayaran ke PT Arista Konsultan, jumlah miliaran, bertahap selama dua tahun terakhir. Nomor rekening penerima yang tercatat membuat Clara

  • Menikahi Pewaris Dingin   Bab 6(Bagian 1): Jejak Lama

    Clara menghabiskan tiga hari berikutnya dengan mata nyaris tak pernah tutup. Apartemen mewah Alex tiba-tiba terasa seperti kurungan: dingin, rapi, dan menilai setiap geraknya. Setelah Alex mundur ke kamar lantai bawah dan mengunci diri dengan rutinitasnya yang kaku, Clara menyelinap ke lantai dua membawa tumpukan dokumen Arta Group—dokumen yang ia minta dikirim oleh asisten pribadinya. Lantai kamar jadi medan kerja: laporan keuangan, surat ancaman dari kreditur, notulen rapat direksi. Yang paling menggerogoti adalah barisan surat peringatan bank tentang penyitaan aset. Ia menyortirnya kronologis, mencari pola. Keruntuhan Arta terasa terlalu cepat, terlalu terencana. Nama-nama konsultan di notulen menarik perhatiannya: PT Arista Konsultan, CV Mitra Bisnis Sejahtera, beberapa firma yang terdengar generik. Dia cek satu per satu. Hasilnya seperti tamparan — kebanyakan hanya perusahaan cangkang: alamat di gedung kosong, tidak ada jejak operasional. Yang aneh, semua itu terdaftar dalam jan

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status