Home / Romansa / Menikahi Pewaris Dingin / Bab 8: Masuk Zona Terlarang

Share

Bab 8: Masuk Zona Terlarang

Author: SolaceReina
last update Last Updated: 2025-10-20 14:43:26

Clara tidak membuang waktu. Ia meraih kunci mobilnya—sedan tua warisan ayahnya yang masih ia simpan di parkiran basement apartemen—dan melaju ke rumah Pak Budi di pinggiran kota. Jalan masih sepi, pukul enam pagi, kabut tipis menyelimuti jalanan.

Rumah Pak Budi adalah rumah sederhana di kompleks perumahan lama. Ketika Clara mengetuk pintu, istri Pak Budi membukanya dengan wajah pucat dan mata sembab.

"Nona Clara..." suaranya bergetar. "Pak Budi... dia pergi sejak subuh. Ada telepon, lalu dia langsung keluar. Dia bilang ada urusan penting. Tapi dia tidak pernah pergi sepagi ini."

Clara merasakan cengkeraman dingin di dadanya. "Bu, apa Ibu dengar siapa yang menelepon?"

Ibu Budi menggeleng. "Suaranya pelan. Tapi saya dengar Pak Budi bilang 'Baik, saya akan ke sana.' Dia terdengar... takut."

Clara menahan napas. Ia harus menemukan Pak Budi sebelum terlambat. "Bu, kalau Pak Budi hubungi, tolong beritahu saya segera." Ia menulis nomor ponselnya di secarik kertas.

Ibu Budi menerima kertas itu dengan tangan gemetar. "Nona, apa Pak Budi dalam bahaya?"

Clara tidak menjawab. Ia hanya tersenyum tipis—senyum yang tidak meyakinkan siapa pun—dan kembali ke mobilnya.

---

Di dalam mobil, Clara mencoba berpikir jernih. Siapa yang punya kepentingan untuk menyingkirkan Pak Budi? Paman Robert? Mungkin. Tapi ancaman semalam terasa lebih... profesional. Lebih terorganisir.

Ponselnya berdering. Dania.

"Clara, kau harus dengar ini," suara Dania terdengar serius. "Aku dapat info dari kontak di kepolisian. Tadi pagi ada laporan kecelakaan mobil di jalan tol lingkar luar. Korbannya... seorang pria paruh baya. Belum diidentifikasi, tapi mobilnya cocok dengan deskripsi mobil Pak Budi."

Dunia Clara berhenti berputar. "Apa... dia...?"

"Belum tahu. Dia dibawa ke RS Cipto. Kondisi kritis. Clara, ini bukan kecelakaan biasa. Saksi bilang ada mobil hitam yang menabraknya dari belakang, lalu kabur."

Clara tidak mendengar sisanya. Ia sudah menyalakan mesin, melaju ke rumah sakit.

---

Di rumah sakit, Clara berlari ke unit gawat darurat. Pak Budi terbaring di ranjang ICU, wajahnya penuh luka, tangan kanannya dibalut perban tebal. Dokter mengatakan ia kehilangan banyak darah, tulang rusuknya patah, tapi ia akan selamat.

Clara berdiri di luar ruang ICU, tangannya menempel di kaca. Ini salahku. Aku yang membawanya ke dalam ini.

Ponselnya bergetar. Pesan dari nomor tidak dikenal lagi:

Ini hanya peringatan. Selanjutnya, bukan hanya tulang yang patah.

Clara mengepalkan tangannya. Amarahnya meledak—bukan lagi ketakutan, tapi kemarahan murni yang membakar. Siapa pun yang melakukan ini, mereka akan membayarnya.

Ia mengirim pesan ke Dania: Kita harus bergerak cepat. Aku akan masuk ke A&A hari ini.

Balasan Dania singkat: Gila. Tapi aku akan bantu. Jam berapa?

Clara melihat jam. Pukul 08:15. Rapat direksi A&A biasanya dimulai pukul 09:00 setiap Senin. Hari ini Senin. Alex akan ada di sana—dan kakek Adam juga.

09:30. Aku akan masuk saat rapat direksi dimulai. Gedung akan lebih sepi.

---

Clara kembali ke apartemen Alex untuk berganti pakaian. Ia mengenakan setelan bisnis abu-abu gelap, kacamata besar, dan mengikat rambutnya ketat. Ia harus terlihat seperti karyawan biasa—bukan seperti tunangan pewaris.

Sebelum berangkat, ia mengambil flash drive kosong dan memasukkannya ke dalam tas kecil yang bisa disembunyikan di balik blazer-nya. Rencananya sederhana tapi berisiko: masuk ke lantai eksekutif, cari ruang arsip atau komputer yang tidak terkunci, salin dokumen apa pun yang berhubungan dengan Arta Group.

Pukul 09:20, Clara tiba di lobi A&A Group. Gedung pencakar langit itu ramai dengan karyawan yang sibuk. Ia melewati pemeriksaan keamanan pertama dengan menunjukkan kartu identitas tamu—kartu yang Alex berikan padanya minggu lalu untuk keperluan "keluarga".

Petugas keamanan menatapnya sekilas. "Nona Clara, tunangan Tuan Alex?"

Clara tersenyum ramah. "Ya, saya mau ke lantai eksekutif. Ada dokumen yang harus saya ambil untuk Tuan Alex."

Petugas itu mengangguk, mengizinkannya masuk. Clara menaiki lift, jantungnya berdegup kencang. Lantai eksekutif—lantai 28—adalah zona paling terlarang di gedung ini. Hanya direksi dan beberapa staf senior yang punya akses.

Lift terbuka. Koridor panjang dengan lantai marmer hitam mengilap membentang di hadapannya. Sepi. Sebagian besar eksekutif sedang rapat di ruang konferensi utama.

Clara melangkah perlahan, mencoba tampak tenang meskipun setiap sel tubuhnya berteriak untuk lari. Ia melewati beberapa ruang kerja—semuanya kosong. Di ujung koridor, ia melihat pintu bertuliskan Arsip Strategis – Akses Terbatas.

Ia mencoba gagang pintunya. Terkunci.

Clara mengeluarkan jepit rambut dari tasnya—teknik yang ia pelajari dari video YouTube semalam. Tangannya gemetar saat ia mencoba membuka kunci. Satu menit. Dua menit.

Klik.

Pintu terbuka.

Clara masuk, menutup pintu perlahan di belakangnya. Ruangan itu kecil, penuh dengan lemari arsip berlabel. Ia menyalakan senter ponselnya, menerangi barisan lemari. Matanya mencari kata kunci: Arta, Akuisisi, Proyek.

Di lemari ketiga, ia menemukannya. Folder tebal berlabel Proyek Akuisisi Terselubung – Arta Group – 2022-2024.

Clara menarik folder itu keluar, membukanya dengan tangan gemetar. Di dalamnya: rencana detail—timeline kehancuran Arta, nama perusahaan cangkang, transfer dana, bahkan foto-foto pertemuan antara perwakilan A&A dan Paman Robert.

Paman Robert. Dia berkolusi dengan A&A sejak awal.

Clara memotret setiap halaman dengan ponselnya, tangannya bergerak cepat. Satu halaman. Dua halaman. Sepuluh halaman.

Suara langkah kaki.

Clara membeku. Langkah itu semakin dekat, menuju ruang arsip.

Ia segera mengembalikan folder ke tempatnya, mematikan senter, dan bersembunyi di balik lemari arsip yang paling belakang. Jantungnya berdegup sangat keras, ia yakin siapa pun di koridor bisa mendengarnya.

Pintu terbuka.

Alex masuk.

Clara menahan napas. Alex berdiri di tengah ruangan, menatap lemari arsip yang terbuka—lemari yang baru saja Clara sentuh. Ia tahu. Ia tahu ada yang masuk ke sini.

"Clara," suara Alex memecah keheningan. Tidak ada kemarahan, hanya kelelahan. "Aku tahu kau di sini."

Clara tidak bergerak.

Alex melangkah lebih dekat. "Aku melihat rekaman kamera di lift. Kau naik ke lantai ini sepuluh menit lalu." Ia berhenti tepat di depan lemari tempat Clara bersembunyi. "Keluar. Sekarang."

Clara perlahan keluar dari persembunyiannya, menghadap Alex. Mereka berdiri berhadapan, hanya berjarak satu meter.

"Apa yang kau lakukan di sini?" tanya Alex, suaranya rendah.

"Mencari kebenaran," jawab Clara, suaranya gemetar tapi tegas. "Kebenaran yang kau dan keluargamu sembunyikan."

Alex menatapnya, tatapan yang kompleks—bukan kemarahan, tapi sesuatu yang lebih dalam. "Kau pikir kau bisa masuk ke sini dan mencuri dokumen tanpa konsekuensi? Kau pikir aku tidak tahu apa yang kau rencanakan dengan jurnalis itu?"

Clara terkejut. Dia tahu tentang Dania?

Alex melangkah lebih dekat, suaranya turun menjadi bisikan. "Aku sudah bilang, Clara. Jangan lakukan sesuatu yang bodoh. Tapi kau tidak dengar."

"Pak Budi nyaris mati karena ini!" Clara membalas, suaranya meninggi. "Dia ditabrak, Alex! Ditabrak karena dia tahu terlalu banyak! Dan kau mau aku diam saja?"

Alex terdiam. Untuk pertama kalinya, Clara melihat sesuatu di matanya—penyesalan? Atau hanya kelelahan?

"Aku tidak tahu tentang Pak Budi," kata Alex pelan. "Aku tidak memerintahkan itu."

"Tapi keluargamu yang melakukannya," balas Clara. "Dan kau bagian dari mereka."

Keheningan berat melingkupi ruangan. Alex menatap Clara, lalu menghela napas panjang. Ia meraih ponselnya, mengetik sesuatu.

"Apa yang kau lakukan?" tanya Clara waspada.

"Menghapus rekaman kamera di koridor ini," jawab Alex. "Kau punya lima menit untuk keluar dari gedung ini sebelum keamanan menyadari ada yang tidak beres."

Clara menatapnya, tidak percaya. "Kenapa kau... kenapa kau membantuku?"

Alex tidak menjawab. Ia hanya menatap Clara dengan tatapan yang sulit dibaca. "Karena aku sudah terlalu lelah untuk terus berbohong. Pergi, Clara. Sekarang."

Clara tidak membuang waktu. Ia berlari keluar dari ruang arsip, melewati koridor, masuk ke lift. Saat pintu lift tertutup, ia melihat Alex masih berdiri di koridor, menatapnya dengan ekspresi yang... hancur.

---

Clara keluar dari gedung A&A dengan napas terengah-engah. Ia masuk ke mobilnya, tangannya gemetar saat ia menyalakan mesin. Ia segera mengirim semua foto dokumen ke email anonim yang Dania berikan.

Ponselnya berdering. Dania.

"Aku dapat file-nya," kata Dania. "Clara, ini besar. Ini lebih besar dari yang kita kira. Ada nama-nama pejabat, transfer dana ke luar negeri, bahkan rencana akuisisi perusahaan lain selain Arta."

Clara menyandarkan kepalanya ke setir. "Apa yang harus kita lakukan sekarang?"

"Kita publikasikan," jawab Dania tegas. "Tapi kita butuh perlindungan. Aku akan hubungi kontak di Komisi Pemberantasan Korupsi. Kita butuh mereka untuk melindungi kita dan Pak Budi."

Clara menutup matanya. Ini sudah tidak bisa mundur lagi. Perang sudah dimulai.

"Lakukan," katanya pelan.

---

Malam itu, Clara kembali ke apartemen Alex. Apartemen itu gelap dan sepi. Alex belum pulang.

Clara naik ke kamarnya, menyalakan lampu. Di atas tempat tidurnya, ada sebuah amplop cokelat.

Ia membukanya dengan tangan gemetar.

Di dalamnya, sebuah USB drive dan secarik kertas bertuliskan tulisan tangan Alex:

ini rekaman rapat keluarga dua tahun lalu. Gunakan dengan bijak. Setelah ini, aku tidak bisa melindungimu lagi.

Clara menatap USB drive itu, tangannya gemetar. Alex memberinya senjata terakhir—bukti langsung dari mulut keluarga Anggara sendiri.

Tapi apa artinya ini? Apakah Alex benar-benar berpihak padanya? Atau ini jebakan?

Sebelum ia sempat memikirkannya lebih jauh, ponselnya berdering. Nomor tidak dikenal.

Clara mengangkatnya. "Halo?"

Suara di seberang terdengar dingin, mekanis—bukan suara manusia, tapi suara yang dimodifikasi. "Nona Clara, kau sudah melangkah terlalu jauh. Besok malam, pukul delapan, datang ke gudang pelabuhan lama. Sendirian. Atau Pak Budi akan mati—kali ini benar-benar mati."

Sambungan terputus.

Clara menatap ponselnya, tubuhnya membeku. Jebakan. Ini jelas jebakan.

Tapi ia tidak punya pilihan.

Ia menatap USB drive di tangannya. Apa pun yang ada di dalamnya, ia harus menontonnya sekarang—sebelum terlambat.

Ia memasukkan USB drive ke laptop, membuka file video di dalamnya.

Layar menampilkan ruang rapat mewah. Kakek Adam duduk di ujung meja, Alex di sampingnya, dan beberapa eksekutif senior lainnya.

Kakek Adam berbicara dengan suara tegas: "Proyek Arta harus selesai dalam dua tahun. Gunakan Paman Robert sebagai boneka. Hancurkan mereka dari dalam. Alex, kau yang akan memimpin akuisisi terakhir."

Alex mengangguk. Tidak ada penolakan. Tidak ada keraguan.

Clara merasakan dadanya sesak. Alex terlibat penuh. Sejak awal.

Tapi kemudian, di akhir video, Alex berkata pelan—nyaris berbisik: "Bagaimana dengan putri Arta? Clara?"

Kakek Adam tertawa dingin. "Dia bukan masalah. Gadis itu akan kita urus belakangan."

Video berakhir.

Clara menatap layar yang gelap, air matanya jatuh tanpa bisa ditahan. Semua ini... semuanya adalah rencana mereka sejak awal.

Dan Alex... Alex adalah bagian dari rencana itu.

Ponselnya berdering lagi. Kali ini, pesan dari Alex:

Maafkan aku, Clara. Aku tidak punya pilihan saat itu. Tapi sekarang aku punya. Jangan datang ke gudang besok. Ini jebakan. Aku akan menyelesaikan ini.

Clara menatap pesan itu, amarah dan kebingungan bercampur menjadi satu.

Apakah ia bisa mempercayai Alex? Atau ini hanya permainan lain?

Malam itu, Clara tidak tidur. Ia hanya duduk di tepi tempat tidur, menatap USB drive di tangannya—bukti yang bisa menghancurkan keluarga Anggara.

Dan keputusan yang harus ia buat: percaya pada Alex, atau menyelamatkan dirinya sendiri.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Menikahi Pewaris Dingin   Bab 10: Sorotan Publik

    Tiga hari setelah penangkapan kakek Adam dan Paman Robert, dunia Clara berubah total. Namanya ada di mana-mana—bukan sebagai pewaris Arta Group yang malang, tapi sebagai "wanita yang menjatuhkan kerajaan bisnis Anggara." Media massa berbondong-bondong. Kamera menunggu di depan apartemen lamanya, di depan kantor Arta, bahkan di rumah sakit tempat Pak Budi dirawat. Clara tidak bisa ke mana-mana tanpa diikuti wartawan yang berteriak pertanyaan. "Nona Clara! Apa benar Anda sengaja mendekati Alex Anggara untuk balas dendam?" "Apakah pertunangan Anda hanya rekayasa untuk mendapatkan akses ke dokumen rahasia A&A?" "Berapa banyak uang yang Anda terima dari kompetitor A&A untuk membocorkan informasi ini?" Clara mengabaikan semuanya, berlindung di kantor Arta yang sepi. Dania duduk di seberangnya, laptop terbuka, wajahnya serius. "Ini sudah tidak terkendali," kata Dania. "Narasi mulai bergeser. Awalnya mereka memuji keberanianmu, tapi sekarang... ada yang mulai mempertanyakan moti

  • Menikahi Pewaris Dingin   Bab 9: Pengkhianatan di Dalam

    Clara tidak tidur semalaman. Video di USB drive itu berputar terus di kepalanya—wajah Alex yang dingin, anggukan tanpa keraguan, rencana metodis untuk menghancurkan Arta. Tapi ada juga pesan terakhirnya: Aku akan menyelesaikan ini. Pukul enam pagi, Clara turun ke dapur. Alex sudah ada di sana, berdiri di depan jendela besar dengan secangkir kopi di tangan. Punggungnya tegap, tapi ada ketegangan di bahunya—sesuatu yang jarang Clara lihat. "Kau tidak tidur," kata Alex tanpa berbalik. "Kau juga," balas Clara. Keheningan melingkupi mereka. Alex akhirnya berbalik, menatap Clara dengan tatapan yang sulit dibaca. Ada lingkaran hitam di bawah matanya, tanda bahwa ia juga bergumul dengan sesuatu. "Aku sudah menonton videonya," kata Clara, suaranya datar. "Aku tahu kau terlibat penuh sejak awal." Alex mengangguk perlahan. "Ya." "Lalu kenapa sekarang kau berpura-pura membantu?" tanya Clara, amarahnya mulai meluap. "Kenapa kau memberi USB itu kalau kau tahu itu bisa menghancurkanmu?"

  • Menikahi Pewaris Dingin   Bab 8: Masuk Zona Terlarang

    Clara tidak membuang waktu. Ia meraih kunci mobilnya—sedan tua warisan ayahnya yang masih ia simpan di parkiran basement apartemen—dan melaju ke rumah Pak Budi di pinggiran kota. Jalan masih sepi, pukul enam pagi, kabut tipis menyelimuti jalanan. Rumah Pak Budi adalah rumah sederhana di kompleks perumahan lama. Ketika Clara mengetuk pintu, istri Pak Budi membukanya dengan wajah pucat dan mata sembab. "Nona Clara..." suaranya bergetar. "Pak Budi... dia pergi sejak subuh. Ada telepon, lalu dia langsung keluar. Dia bilang ada urusan penting. Tapi dia tidak pernah pergi sepagi ini." Clara merasakan cengkeraman dingin di dadanya. "Bu, apa Ibu dengar siapa yang menelepon?" Ibu Budi menggeleng. "Suaranya pelan. Tapi saya dengar Pak Budi bilang 'Baik, saya akan ke sana.' Dia terdengar... takut." Clara menahan napas. Ia harus menemukan Pak Budi sebelum terlambat. "Bu, kalau Pak Budi hubungi, tolong beritahu saya segera." Ia menulis nomor ponselnya di secarik kertas. Ibu Budi menerim

  • Menikahi Pewaris Dingin    Bab 7: Alat & Sekutu

    Clara duduk di sudut kafe yang redup, jauh dari jendela. Pukul 13:50. Sepuluh menit lagi Dania Rahman akan tiba. Di hadapannya, tiga folder cokelat berisi fotokopi dokumen: laporan keuangan Arta, email dari iPad Alex, dan daftar perusahaan cangkang. Semuanya disalin dengan hati-hati tanpa meninggalkan jejak digital. Ponselnya bergetar. Pesan dari Alex: Saya ada rapat sampai sore. Jangan lupa—acara makan malam pukul delapan. Jangan terlambat. Singkat, dingin, seperti biasa. Tapi Clara merasakan ada yang berbeda sejak percakapan tadi malam. Alex tidak menghentikannya—tapi juga tidak membantu. Ia hanya membiarkan Clara berjalan di tepi jurang, mengawasi dari kejauhan. Dania masuk tepat pukul 14:00. Wanita berusia tiga puluh tahunan itu mengenakan jaket kulit hitam dan kacamata hitam besar. Rambutnya dipotong pendek, tatapannya tajam seperti pisau bedah. Ia pernah mengungkap skandal korupsi besar yang melibatkan pejabat tinggi—dan selamat dari berbagai ancaman. "Clara," sapa D

  • Menikahi Pewaris Dingin   Bab 6 (Bagian 2) — Jejak Lama (Konsekuensi)

    Keesokan harinya Clara memutuskan tak menunggu. Email—meski kuat—bukan bukti transaksi. Ia perlu aliran uang, nomor rekening, nama perantara. Ia pergi ke kantor Arta yang sepi, menyusuri lorong-lorong yang dulu riuh. Hanya tersisa beberapa staf senior, salah satunya: Pak Budi, manajer keuangan yang setia pada mendiang ayahnya. Di ruang kecil itu, Clara langsung membuka inti permintaannya. "Pak Budi, saya butuh semua catatan transaksi tiga tahun terakhir. Terutama pembayaran ke konsultan eksternal." Pak Budi menunduk, lalu menarik napas. "Sebagian besar arsip memang ada pada Paman Robert. Tapi… ayahmu memang terkenal menyimpan salinan cadangan. Saya punya hard drive pribadi." Sepuluh menit kemudian sebuah hard drive kecil terhubung ke laptop Clara. Folder demi folder dibuka—Excel, P*F, buku besar pembayaran. Angka-angka melompat di layar: termin pembayaran ke PT Arista Konsultan, jumlah miliaran, bertahap selama dua tahun terakhir. Nomor rekening penerima yang tercatat membuat Clara

  • Menikahi Pewaris Dingin   Bab 6(Bagian 1): Jejak Lama

    Clara menghabiskan tiga hari berikutnya dengan mata nyaris tak pernah tutup. Apartemen mewah Alex tiba-tiba terasa seperti kurungan: dingin, rapi, dan menilai setiap geraknya. Setelah Alex mundur ke kamar lantai bawah dan mengunci diri dengan rutinitasnya yang kaku, Clara menyelinap ke lantai dua membawa tumpukan dokumen Arta Group—dokumen yang ia minta dikirim oleh asisten pribadinya. Lantai kamar jadi medan kerja: laporan keuangan, surat ancaman dari kreditur, notulen rapat direksi. Yang paling menggerogoti adalah barisan surat peringatan bank tentang penyitaan aset. Ia menyortirnya kronologis, mencari pola. Keruntuhan Arta terasa terlalu cepat, terlalu terencana. Nama-nama konsultan di notulen menarik perhatiannya: PT Arista Konsultan, CV Mitra Bisnis Sejahtera, beberapa firma yang terdengar generik. Dia cek satu per satu. Hasilnya seperti tamparan — kebanyakan hanya perusahaan cangkang: alamat di gedung kosong, tidak ada jejak operasional. Yang aneh, semua itu terdaftar dalam jan

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status