แชร์

Bab 9:Sandiwara untuk Kamera

ผู้เขียน: SolaceReina
last update ปรับปรุงล่าสุด: 2025-10-20 14:43:26

Pukul 13:45, Clara kembali ke penthouse—berganti pakaian sesuai instruksi Alex: casual tapi rapi. Ia memilih dress putih selutut dengan cardigan krem, rambut digerai natural, makeup minimal.

Saat turun ke lantai satu, fotografer sudah setting peralatan pria muda berusia akhir dua puluhan dengan rambut panjang diikat man bun dan kamera profesional besar.

"Hai! Saya Dimas, fotografer untuk sesi hari ini." Ia mengulurkan tangan dengan senyum lebar—sangat kontras dengan suasana dingin penthouse.

"Clara." Ia menjabat tangan Dimas.

"Tuan Alex sudah briefing saya. Kita akan buat foto-foto yang terlihat natural—couple goals tapi tidak terlalu cheesy. Santai, candid, seperti kalian sedang menghabiskan waktu bersama di rumah."

Clara mengangguk meskipun dalam hati tertawa pahit. Natural. Dengan pria yang bahkan tidak bisa sarapan bersama dengan nyaman.

Lift terbuka—Alex keluar, sudah berganti dari setelan formal menjadi kemeja putih lengan panjang yang tidak dikancing sampai atas dan celana chinos abu-abu. Rambut sedikit lebih berantakan dari biasanya—mungkin disengaja untuk kesan casual.

"Kita mulai?" tanyanya langsung pada Dimas—tidak ada salam untuk Clara.

"Yap! Oke, untuk foto pertama, mungkin di sofa? Tuan Alex duduk santai, Clara di sampingnya—bisa baca buku atau lihat ponsel. Seperti sedang quality time biasa."

Mereka bergerak ke sofa putih besar menghadap jendela kaca. Alex duduk di ujung—postur santai tapi tetap terlihat tegang. Clara duduk di sampingnya—jarak sekitar tiga puluh sentimeter.

"Lebih dekat sedikit," instruksi Dimas sambil melihat melalui lensa kamera. "Kalian tunangan, bukan teman kantor."

Clara geser lebih dekat sekarang bahu mereka hampir bersentuhan. Alex mengambil tablet dari meja kopi pura-pura membaca sesuatu. Clara mengambil majalah juga pura-pura.

Click. Click. Click.

"Bagus! Sekarang Tuan Alex, coba lihat Clara sejenak seperti mau bilang sesuatu."

Alex menoleh mata bertemu dengan Clara. Tatapan dingin seperti biasa, tapi ada sedikit... perjuangan? Untuk terlihat lembut?

Clara balas menatap—mencoba tersenyum natural meskipun jantungnya berdegup tidak nyaman.

Click. Click.

"Oke, sekarang Clara, sandarkan kepala di bahu Tuan Alex. Santai aja—seperti kalian sering lakukan."

Clara menatap Alex—meminta izin tanpa kata. Alex mengangguk hampir tidak terlihat.

Dengan hati-hati, Clara sandarkan kepalanya ke bahu Alex—bahu yang keras, berotot, terasa kaku di bawah kain kemeja. Ia bisa mencium aroma cologne Alex—kayu cendana dan sesuatu yang segar, mahal.

Alex tidak bergerak—seperti patung. Tapi lalu, perlahan, tangannya bergerak—melingkari bahu Clara, menariknya sedikit lebih dekat.

Sentuhan yang kaku, tapi dari luar... mungkin terlihat mesra.

Click. Click. Click.

"Perfect! Kalian berdua natural banget!" Dimas terdengar puas.

Natural. Kata yang salah untuk mendeskripsikan dua orang yang bermain peran.

Sesi berikutnya di dapur—Alex pura-pura membuat kopi (yang sebenarnya sudah ia buat sendiri setiap pagi), Clara berdiri di sampingnya dengan cangkir di tangan, tertawa pada sesuatu yang Alex "katakan" (meskipun Alex tidak mengatakan apa-apa).

Lalu di balkon pemandangan kota sebagai background, Alex berdiri di belakang Clara, tangan di pinggangnya (sentuhan yang membuat Clara tegang tapi harus ia terima), keduanya menatap horison dengan ekspresi "bahagia dan penuh harapan."

"Oke, foto terakhir!" Dimas tampak bersemangat. "Di tangga Tuan Alex di bawah, Clara beberapa anak tangga di atas jadi tingginya hampir sama. Face to face, kayak mau... well, you know."

Kayak mau berciuman.

Clara menatap Alex—panik mulai merayap. Alex menatap balik—wajahnya tidak berubah, tapi ada kilatan... jengkel? Di matanya.

Mereka berposisi Alex di anak tangga ketiga, Clara di anak tangga kelima. Sekarang wajah mereka sejajar hanya berjarak dua puluh sentimeter.

"Lebih dekat... lebih dekat" Dimas mengatur dari balik kamera.

Sepuluh sentimeter. Lima sentimeter.

Clara bisa merasakan napas Alex hangat, teratur, terkontrol. Alex menatapnya langsung ke mata tidak ada emosi yang bisa Clara baca, hanya fokus.

"Tuan Alex, tangan kanan di pipi Clara. Clara, tangan di dada Tuan Alex..."

Tangan Alex terangkat jemarinya menyentuh pipi Clara dengan sangat hati-hati, seolah menyentuh porselen yang mudah pecah. Hangat. Kasar di ujung jari tapi sentuhan yang... lembut?

Clara letakkan tangannya di dada Alex merasakan detak jantung di bawah kemeja. Berdegup cepat. Lebih cepat dari yang ia kira.

Tunggu. Kenapa jantung Alex berdegup cepat?

"Perfect! Hold hold" Dimas mengambil beberapa shot cepat.

Mereka berdiri seperti itu wajah sangat dekat, napas bercampur, dunia luar menghilang selama apa yang terasa seperti menit panjang tapi mungkin hanya sepuluh detik.

Click. Click. Click.

"Done! Itu sempurna! Kalian berdua. chemistry nya kuat banget!" Dimas menurunkan kameranya dengan senyum lebar.

Alex mundur pertama melepas tangannya dari pipi Clara, melangkah turun tangga dengan cepat. Clara berdiri di sana sejenak masih merasakan sisa kehangatan sentuhan Alex di pipinya.

"Foto-fotonya akan saya edit hari ini. Besok pagi sudah bisa dikirim untuk review," kata Dimas sambil membereskan peralatan.

"Kirim ke Sari, asisten saya," instruksi Alex suaranya kembali datar, profesional. "Dia yang akan handle posting ke media sosial."

"Siap!"

Setelah Dimas pergi, Clara dan Alex berdiri di ruang tamu keheningan canggung kembali.

"Kau... lakukan dengan baik," kata Alex akhirnya masih tidak menatap Clara.

"Terima kasih. Anda juga."

Alex mengangguk, lalu berjalan ke tangga akan naik ke lantai tiga, ke dunianya sendiri yang tidak bisa Clara sentuh.

"Alex." Clara memanggilnya tanpa sadar baru pertama kali ia memanggil namanya tanpa embel-embel "Tuan."

Alex berhenti tidak berbalik, tapi berhenti.

"Kenapa... kenapa jantung Anda berdegup cepat tadi? Saat kita foto di tangga?"

Keheningan. Lama.

Lalu Alex menjawab tanpa berbalik, "Karena aku tidak terbiasa dengan sentuhan fisik. Itu membuat tidak nyaman. Bukan karena alasan lain."

Ia naik tangga cepat, seperti lari dari sesuatu.

Clara berdiri sendirian tangan masih merasakan kehangatan dada Alex di bawah telapaknya, pipi masih mengingat sentuhan jari-jarinya.

Tidak terbiasa dengan sentuhan fisik.

Tapi kenapa Clara merasa itu bukan satu-satunya alasan?

อ่านหนังสือเล่มนี้ต่อได้ฟรี
สแกนรหัสเพื่อดาวน์โหลดแอป

บทล่าสุด

  • Menikahi Pewaris Dingin   BAB 125: Wajah yang Sama dan Rahasia Abu

    Pesan dari kepala keamanan itu menghantam Alex dan Clara seperti kejutan listrik (Bab 124). Ny. Marissa di Yayasan. Bersama seseorang yang sangat mirip Alex. "Siapa lagi?" desis Alex, amarahnya kembali memuncak. Dia sudah mengira dia menang total. Clara segera meraih lengan Alex. "Kita tidak boleh menembus. Itu panti asuhan. Anak-anak ada di sana. Kita pergi sekarang. Kita hadapi dia di tempat yang paling dia benci: tempat kau membangun moral." Mereka bergerak cepat. Alex, Clara, dan tim keamanan kecil mereka menuju Yayasan Anggara-Clara (YAC). Yayasan itu sunyi. Mereka menemukan Ny. Marissa berdiri di tengah halaman, tepat di samping patung Jangkar yang dibuat anak-anak. Di sampingnya berdiri seorang pria. Pria itu mengenakan pakaian sederhana. Wajahnya memang memiliki garis rahang yang sama tajamnya dengan Alex, tetapi matanya lebih tua, lebih lelah. Dia bukan Elang. Dia bukan Alex. Dia adalah... "Ayah," bisik Alex, suaranya benar-benar hancur. Pria di samping Ny. Marissa a

  • Menikahi Pewaris Dingin   BAB 124: Jejak Abu

    Kepanikan menyebar di penthouse Alex di Berlin . Berita kaburnya Ny. Marissa sudah sampai ke media, dan ancaman pembongkaran Warisan membuat Alex dan Clara tegang. "Dia kabur?" desis Alex, matanya memancarkan kemarahan dingin. "Dia tidak punya apa-apa lagi. Pengakuan Elang sudah direkam. Dokumen Warisan sudah ditandatangani Clara. Apa lagi yang dia miliki?" Ben, yang masih pucat setelah mengurus pelarian di Kroasia, menggeleng. "Dia mengancam akan membakar semuanya, Tuan. Dia bilang dia akan membongkar rahasia abu Warisan." Clara langsung teringat kata-kata Ben. "Abu? Alex, waktu kita di gudang, dia menyebut Warisan Anggara yang busuk. Dia tidak hanya mengancam dokumen. Dia mengancam bukti fisik yang disembunyikan Ayahmu." Alex berjalan mondar-mandir. Wajahnya keras. "Ayahku menyimpan rahasia kotor tentang bagaimana dia membangun Warisan. Jika itu terungkap, bukan hanya reputasi yang hancur, tapi semua aset Warisan yang sah bisa dibatalkan." Alex berhenti, menatap Clara. "Kau pu

  • Menikahi Pewaris Dingin   BAB 123: Hukuman yang Tertunda dan Pembongkaran Warisan

    Di kabin jet pribadi Alex yang mewah, udara terasa tebal oleh pengakuan gila yang baru saja mereka dengar di Amsterdam .Clara duduk di seberang Alex. Elang, saudara kembar Alex, tertidur pulas karena kelelahan, bersandar di bahu Ben.Clara menatap Alex, mengabaikan kemewahan jet itu. Dia memproses kata-kata Elang: Alex sengaja ingin ditembak."Kau gila," bisik Clara, suaranya tercekat. "Kau mempertaruhkan nyawamu hanya untuk membuktikan aku mencintaimu?"Alex bersandar, matanya dingin. Dia tidak menyangkal."Aku perlu tahu," ujar Alex, lugas. "Kau melanggar semua aturanku, bekerja dengan Vega, menembakiku. Aku butuh kepastian. Aku butuh tahu apakah kau akan melindungiku, bahkan jika itu berarti kau harus melanggar hukum. Rompi anti peluru itu adalah taruhan terakhirku.""Itu bukan cinta," balas Clara, suaranya sedikit meninggi. "Itu kontrol yang keji. Itu keposesifan yang sakit.""Itulah caraku mencintai, Nyonya Anggara," potong Alex, tidak ada penyesalan. "Kau tahu itu. Sekarang, pe

  • Menikahi Pewaris Dingin   BAB 122: Pengakuan dan Kekalahan

    Jeritan Elang mengguncang koridor laboratorium yang gelap. Pengakuan yang dibaca Elang dari pikiran Ny. Marissa: Pembunuhan Ayah Alex. Ny. Marissa terdiam, wajahnya pucat pasi, matanya membelalak ketakutan. Senjatanya jatuh ke lantai logam, menimbulkan suara denting yang nyaring. Pengawalnya terkejut, tidak mengerti apa yang terjadi. Alex, yang baru saja bangkit dari lantai setelah melindungi Clara, menatap ibunya. Ekspresinya bukan lagi amarah posesif, melainkan keterhancuran dan kepastian yang dingin. "Kau membunuhnya," desis Alex, suaranya nyaris tak terdengar, tetapi mengandung kekuatan yang mematikan. "Tidak! Elang bohong! Anak itu gila!" teriak Ny. Marissa, mencoba menyangkal sambil menutupi telinganya. Elang menjerit lagi, memegang kepalanya sendiri. "Dia berbohong! Dia takut! Dia melihat racun di gelas Ayah... dia senang... dia ingin Warisan Anggara sendiri!" Clara segera berlari ke sisi Elang, meraih Elang dan menariknya mundur dari jangkauan Ny. Marissa. "Tar

  • Menikahi Pewaris Dingin   BAB 121: Perangkap Elang

    Keheningan yang mencekam meliputi laboratorium di Amsterdam. Alex masih menodongkan pistol ke kaki Elang, Saudara Kembar yang baru saja dia temukan. Elang, meskipun ketakutan, terlihat lebih syok karena Alex bisa merasakan apa yang dibacanya. Clara tidak gentar. Dia tahu, Alex tidak akan menembak adiknya, karena Elang adalah satu-satunya senjata mereka melawan Ny. Marissa. "Anda tidak akan menembaknya," kata Clara, suaranya mantap. "Anda membutuhkannya hidup dan utuh. Saya tahu itu." Alex menyeringai, senyum dingin dan posesif. "Kau benar. Tapi aku akan menembak kakinya jika kau mencoba kabur atau bernegosiasi tanpa seizinku. Sekarang, kita bekerja sebagai tim. The Anchor and The Dark Queen. Dan aku yang memegang kendali." Alex menurunkan pistolnya sedikit, tetapi matanya tidak lepas dari Clara. "Elang, dengarkan aku," ujar Alex, beralih ke adiknya. "Aku Alex. Aku saudaramu. Aku di sini untuk melindungimu dari Ibu kita. Kau tidak perlu takut padaku. Tapi jika kau ingin tet

  • Menikahi Pewaris Dingin   BAB 120: Gerbang Amsterdam

    Jet tempur Alex mendarat mulus di hanggar rahasia dekat Amsterdam. Udara Belanda terasa sejuk dan lembap. Clara dan Alex melangkah keluar, dikelilingi oleh tim keamanan Alex yang sigap. Mereka berdua sama-sama berbahaya, tetapi kendali kini sepenuhnya di tangan Alex. Clara mengenakan setelan gelap baru yang disediakan oleh Alex. Dia terlihat elegan, tetapi mata Alex terus mengawasinya, membaca setiap gerak-gerik dan niat pemberontakan. "Kita akan menyusup melalui terowongan bawah tanah," ujar Alex, nadanya datar. "Laboratorium tempat Elang berada adalah fasilitas lama, dan aku punya cetak biru rahasianya. Kau akan tetap berada di sisiku. Setiap langkah, setiap detik." "Mengapa tidak memberitahu polisi tentang rencana Ny. Marissa?" tanya Clara, suaranya pelan. Alex menatap Clara dengan tatapan membekukan. "Hukum tidak bisa menangkap Ny. Marissa. Dia terlalu licin. Kita butuh pengakuan darinya, dan hanya Elang yang bisa memaksanya bicara. Aku akan mendapatkan pengakuan itu, lalu ak

บทอื่นๆ
สำรวจและอ่านนวนิยายดีๆ ได้ฟรี
เข้าถึงนวนิยายดีๆ จำนวนมากได้ฟรีบนแอป GoodNovel ดาวน์โหลดหนังสือที่คุณชอบและอ่านได้ทุกที่ทุกเวลา
อ่านหนังสือฟรีบนแอป
สแกนรหัสเพื่ออ่านบนแอป
DMCA.com Protection Status