Share

Chapter 2 - Pengkhianatan

Amanda keluar dari ruang pertemuan para pengacara di S&M Law Firm, hasil rapat hari ini mengharuskannya pergi mengikuti seminar yang ada di Los Angeles. Sungguh, ini benar-benar seperti dirinya terusir dari negaranya sendiri. Setelah dicampakkan oleh kekasih yang dipacarinya selama tiga tahun, sekarang dia harus pergi ke Los Angeles. Huh.

Diikuti dengan Katie, gadis itu melingkarkan tangannya di tangan Amanda sembari memindai setiap jemari pengacaranya ini. Lalu, Amanda menghentakkan tangannya lantas melirik sinis Katie.

“Dimana cincinmu? Kau tidak memakainya?” Tanya Katie.

Amanda menghela napas kasarnya. “Cincin? Lamaran? Itu semua omong kosong! Tidak ada yang namanya dia melamarku, Katie. Berhentilah mengkhayal.” Serunya.

Ia melangkah mendahului Katie menuju ruangannya. Katie tentunya masih penasaran, ia ikut memasuki ruangan dengan plat nama Pengacara Junior – Simon Amanda.

“Jadi, Dave tidak melamarmu?” Katie memutar bola matanya. “Lalu, kenapa dia mengajakmu romantic dinner sampai ke Vins?”

Amanda menyandarkan kepalanya di sandaran kursi miliknya. Desahan napasnya pun terdengar bergemuruh. “Dia mencampakkanku, Katie.”

Katie membelalak tak percaya. “What?! Setelah tiga tahun kalian berkencan? Yang benar saja! Tidak kan, Amanda?”

Tak ingin depresinya meningkat, Amanda melipat tangannya didepan dada sembari memejamkan matanya. Mungkin, jika ini di apartemennya ia pasti sudah menyalah musik Michael Learns To Rock dengan kencang. Dan, Los Angeles sudah menantinya.

**

Lima hari Amanda menghabiskan waktu di Los Angeles untuk menghadiri seminar sebagai perwakilan dari kantornya. Ia tak terlalu suka kota ini, baginya Singapura masih yang terbaik.

Sudah lima hari berlalu, namun bayangan tentang David masih setia menjamah pikirannya. Di saat yang sama ketika ia menunggu jadwal penerbangannya, ada pesan masuk dari pria itu. Nomornya masih sama dan belum dihapus oleh Amanda. Salahkah jika saat ini ia tersenyum? Mungkinkah David menyesal memutuskannya lima hari yang lalu?

[Hei, it’s Dave. How are you? Kudengar hari ini kau kembali dari LA, have a safe flight, Amanda.]

Senyumannya mengembang sempurna, seakan langit mendung di Los Angeles menjadi mendadak cerah. Tak lama kemudian, Amanda memasuki pesawatnya setelah memberikan boarding pass kepada petugas bandara. Ia akan melewati perjalanan panjang, tak lupa sebelumnya Amanda meminum salah satu obat penenangnya sebelum pesawat lepas landas.

Setelah beberapa jam perjalanan, pramugari mulai berkeliling dengan beberapa produk makanan dan minuman yang mereka jual. Entah mengapa, saat itu Amanda ingin menikmati semacam wine atau champagne. Tapi, wine sepertinya lebih menggiurkan.

“I want a glass of wine,” ucap Amanda kepada seorang pramugari.

Pramugari itu tersenyum. “White wine or red wine, Miss?” tanyanya sembari memberi penawaran kepada Amanda.

“Red wine, Please.” Ia memutuskan untuk memilih anggur merah.

Selanjutnya, sang pramugari memberikan segelas anggur merah kepada Amanda yang langsung ia sesap. Terlihat awan yang masih mendung di bawah jendela pesawat, mungkin seperti hatinya. Tapi, Amanda ingin segera sampai ke Singapura agar dia bisa menemui David. Setidaknya ia membutuhkan tentang pesan yang dikirim David untuknya.

Amanda memejamkan matanya ketika anggurnya sudah habis. Sejak semalam, ia memang kurang tidur karena insomnianya dan akhirnya di dalam pesawat ia bisa terlelap. Namun, tak lama setelah dirinya memejamkan mata, dadanya terasa sesak bahkan terlalu sesak hingga ia tak bisa bernapas.

“Hei, are you okay?” seseorang di sebelah Amanda melihatnya agak panik. Ia tak mendapat jawaban dari Amanda, pria paruh baya itu menekan tombol untuk memanggil pramugari.

Dadanya semakin terasa sesak hingga Amanda mencengkeram kursinya dengan kencang. Seorang pramugari datang dan menanyakan kondisi Amanda. Ia juga panik dan meminta awak kabin lainnya untuk memberi informasi kepada penumpang yang memiliki lisensi dokter untuk membantu.

Amanda akhirnya terjatuh dari kursinya. Beberapa pramugari datang dengan membawa defibrilator. Lalu, seseorang dari business class mendatangi kursi economy class.

“I’m a doctor.” Ucap pria itu. Ia memeriksa tanda vital Amanda dan mencium aroma alkohol.

Lalu, pria itu meraih tas Amanda dan membongkarnya begitu saja. Ia menemukan obat penenang didalam sana. Pria itu menggeleng tak habis pikir. “Alkohol dan antidepresan. Sungguh, kombinasi yang bagus!” gumamnya.

“Lalu, apa yang harus dilakukan?” tanya seorang pramugari.

“Apa kalian mempunyai cairan infus, selang infus dan jarum suntik?” mendengar perkataan pria itu, si pramugari mengangguk cepat.

Pria itu meminta pramugari untuk membawakan tas Amanda sementara, dirinya menggendong Amanda menuju kursinya yang berada di business class.

Beberapa jam setelahnya, Amanda akhirnya sadarkan diri. Namun, dimana dirinya? Apakah ini surga atau neraka?

Dia sungguh berpikir bahwa dirinya sudah meninggal. Tapi, bukankah ini kursi business class? Dan apa ini yang ada ditangannya? Cairan infus kah? Kebingungannya mencuat ketika seorang pria mendekatinya dan menempelkan tangannya di kening Amanda.

“Siapa kau? Apa yang kau lakukan padaku? Kenapa kemejaku terkoyak begini?!” Amanda berteriak sambil memundurkan duduknya menghindari pria itu. Ia sangat terkejut saat ini.

Pria itu berkacak pinggang dan mendesah tak percaya. “Aku yang menyelamatkan nyawamu! Bisa-bisanya kau berteriak padaku.”

Apa katanya? Dia menyelamatkan nyawaku? Apa pula maksudnya ini. Amanda mengerutkan keningnya. “Apa maksudmu?” tanyanya.

Pria itu mendekat, menatap Amanda sambil menggeleng. “Apa kau sengaja mau bunuh diri didalam pesawat ini? Alkohol dan antidepresan sungguh kombinasi yang sempurna untuk membunuh dirimu sendiri!”

Amanda tengah berpikir mencerna perkataan pria ini. Ia menggigit bibir bawahnya begitu menyadari bahwa ia mengingat semua itu. Apakah ia harus berterima kasih kepada pria ini? Batinnya.

“Saat ini, aku bahkan membiarkanmu duduk dikursiku dengan menggunakan mantel mahalku, kau tahu? Tapi, aku tak mendengar satupun kalimat terima kasih darimu.” Pria itu melanjutkan. Ia berbalik dan ingin meninggalkan Amanda yang tampaknya sudah baik-baik saja.

Namun, Amanda menggenggam tangan pria itu dengan wajah memelasnya. “Terima kasih karena sudah menyelamatkanku.” Kalimat yang menjadi bahan pertimbangannya tadi, akhirnya lolos dari bibirnya. “Apa aku bisa meminjam mantelmu dulu untuk sementara?”

“Ya. Nanti, sesampainya di bandara, kau akan dikirim ke rumah sakit untuk diperiksa lebih lanjut. Dan, aku harus menemanimu.” Ucap pria itu.

Amanda lagi-lagi berpikir keras tentang ucapan pria ini. “Kenapa kau harus menemaniku?”

“Karena aku yang melakukan pertolongan pertama padamu. Jangan berpikir bahwa aku ingin bersamamu! Sungguh, tidak mungkin.”

Pria itu melepaskan genggaman tangan Amanda dan duduk dikursi dibelakangnya. Sementara, tatapan Amanda kosong. Apa-apaan semua ini? Sungguh tragis sekali hidupnya. Setelah dicampakkan, kini ia harus menerima kemejanya dikoyak begitu saja oleh pria asing dan ditambah lagi infus melekat di punggung tangannya. Ah, sial!

**

“Bagaimana keadaannya, Dok?” pria itu bertanya kepada seorang dokter dirumah sakit. Amanda bisa mendengarnya dari dalam IGD.

“Sudah baik-baik saja. Untungnya, anda cepat melakukan pertolongan pertama. Mungkin, jika tidak dia akan kritis saat ini.” Dokter itu menjelaskan.

Setelah dokter itu berlalu, Pria itu membuka tirai penutup ranjang Amanda berbaring. Sepasang mata mereka bertemu. “Pihak bandara mengatakan akan mengirim kopermj langsung ke rumahmu. Kau juga sudah baik-baik saja, jadi kau bisa pulang.” Ia menjelaskan kepada Amanda.

Gadis ini hanya mengangguk seraya mengucapkan terima kasih. Mereka berpisah disini. Amanda mencari taksi didepan lobi sementara pria itu mengambil mobilnya di parkiran. Karena tidak nampak ada taksi kosong, Amanda memutuskan untuk berjalan menuju pintu keluar rumah sakit. Namun, sialnya hujan turun disaat seperti ini. “Ah, kenapa bisa pas begini? Makin menyedihkan hidupku sekarang, Sialan.” Rutuknya.

Tidak ada satupun taksi kosong yang menghampirinya. Mungkin sudah sepuluh menit ia berdiri dengan keadaan basah kuyup. Lalu, sebuah sedan membunyikan klaksonnya. Amanda berbalik, si pemilik mobil itu membuka kaca. “Naiklah!” serunya.

Tunggu dulu, itu pria yang tadi menyelamatkannya. Bukankah memalukan sekali jika sekarang ia malah naik kedalam mobilnya? Apa-apaan kau ini, Amanda? Sampai kapan kau mau menjatuhkan harga dirimu? Peduli apa soal harga diri, sekarang ia hanya harus memikirkan cara untuk menemui David segera.

Amanda menaiki mobil itu dan melirihkan terima kasih untuk kesekian kalinya. Pria itu memberikannya handuk kecil kepada Amanda. “Maaf karena aku merepotkanmu lagi.” Ucap Amanda.

“Kemana tujuanmu?” pria itu menoleh dan menunggu jawaban Amanda.

“Serangoon road.” Jawab Amanda. Itu adalah apartemen David. Kali ini, mungkin Amanda akan memohon agar David menarik ucapannya tentang putus.

**

Pria itu menghentikan kemudinya di ujung jalan Serangoon road persis seperti yang disebutkan oleh Amanda tadi. Ia membuka kunci mobilnya, tapi mendadak menahan Amanda yang hendak turun.

“Tunggu sebentar,” ucapnya. Ia memberikan sebuah payung untuk Amanda karena diluar masih hujan.

Namun, Amanda menggeleng. “Tidak perlu. Aku hanya perlu sedikit berlari. Terima kasih banyak atas bantuanmu.” Tukasnya. Ia meraih dompet di dalam tasnya dan memberikan kartu namanya pada pria itu. “Aku akan membayarmu nanti. Kau bisa hubungi aku di nomor ini.”

Pria itu masih menatap kartu nama yang beri Amanda. Namun, gadis itu sudah berlarian. “Jadi, dia seorang pengacara.” Gumam pria itu.

Amanda masih menyusuri trotoar dijalan serangoon road sembari berusaha menghubungi David. Tapi, panggilannya tidak dijawab. Apakah David sudah tidur? Tapi, ini belum terlalu larut. Masih berada di jam sepuluh tepat. Akhirnya, ia memutuskan untuk mempercepat langkahnya menuju rumah David.

Tepat disaat yang sama, Amanda kembali dikejutkan. Seolah sesak di dadanya tadi terasa kembali. Tapi, kali ini jauh lebih sesak. Apa yang dilihatnya ini? Apakah ini alasan David mencampakkannya?

Air matanya berderai membasahi wajahnya yang memang sudah lebih dulu terbasahi oleh air hujan. Langkahnya membeku, tak sanggup lagi untuk mendekat. Kenapa ia harus datang kemari bahkan dengan keadaan seperti ini? Sementara, lihat apa yang dilakukan David padanya? Ia tengah berciuman dengan seorang wanita di balkon rumahnya.

“Kau tidak mencintaiku lagi karena dia, Dave? Semudah itukah kau berpaling disaat aku sepenuhnya menyerahkan diriku padamu?” batin Amanda. Ia ingin sekali mencabik-cabik wajah perempuan itu. Tapi, apa gunanya? Lagipula, David tetap mengkhianatinya.

Amanda berbalik dan melangkah dengan lesu. Air matanya masih mengalir deras. Penderitaannya hari ini sangat lengkap, bertubi-tubi rasanya ia harus merasakan pedihnya dipermalukan. Bahkan, saat ini ia harus mempermalukan perasaannya sendiri. Apa harapannya? Memohon agar David kembali padanya? Sudahlah. Bahkan, dengan melihatnya saja, Amanda rasanya sangat marah.

Hujan kembali turun bahkan dengan begitu deras seolah tahu apa yang dirasakannya saat ini. Ia duduk berjongkok di jalan aspal sambil menundukkan kepalanya.

“Kenapa kau tidak pulang?”

Mendadak, suara itu mengejutkannya. Ia menengadahkan kepalanya keatas. Pria itu datang lagi, kini dengan sebuah payung hitam besar memayungi Amanda agar tidak terguyur hujan. Kenapa pria ini masih mengikutinya? Sepasang netra mereka bertemu dan bertatapan untuk beberapa saat sampai pria itu mengulurkan tangannya agar Amanda bisa memiliki kekuatan untuk berdiri.

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status