Malam saat Casandra mencoba mengejar Steve.
Cassandra menekan tombol lift berikutnya untuk menyusul Steve, namun saat pintu akan tertutup, tiba-tiba seorang pria menahan pintu liftnya.
"Kenapa tidak menungguku Cassandra?" ucap pria tersebut sambil memencet nomor lantai yang berbeda dengan Cassandra.
Bukan main kehadiran pria itu membuat Casandra sangat kaget, "L--leo? bagaimana kamu bisa ada di sini?" ucap Cassandra dengan bibirnya yang gemetar.
Pria itu menyeringai, "Karena kamu juga ada di sini sayang," ucap Leo. Ia memegang dagu Cassandra hendak mencium bibirnya, namun Casandra langsung memalingkan wajahnya menghindari ciuman leo.
Leo pun mengelus lengan mulus Cassandra. "Kenapa? apa kamu lupa ucapanku sayang, atau kamu ingin publik melihat tubuhmu yang mulus dan sexi ini dengan gayamu yang liar di ranjang itu."
Seketika Casandra terperanjat mendengar ucapan Leo dan langsung menatapnya. "Hentikan Leo! apa kamu akan selalu mengancamku seperti ini."
Leo menarik pinggang Casandra ke dekapannya. "Aku tidak akan mengancammu jika kamu menuruti keinginanku sayang, kamu tau kan? jika aku hanya ingin kamu seperti dulu yang tak berpaling dariku dan selalu setia bersamaku, jadi..., jangan coba-coba melawanku atau kamu akan tau akibatnya," ucapan Leo seketika membuat Casandra diam dan hanya menggigit bibirnya yang kelu.
"Sial bajingan ini selalu mengancamku," batin Cassandra.
Leo mantan kekasih Cassandra yang telah menjebak Cassandra saat tahu kekasihnya mulai menghindarinya karena telah pindah ke lain hati pada seorang CEO, malam dimana Cassandra mabuk ia sengaja membawa Casandra ke hotel dan merekam setiap adegan ranjang yang mereka berdua nikmati. Leo yang tidak rela untuk kehilangan Cassandra menjadikan rekaman itu sebagai alat untuk selalu mengancam Cassandra jika menghindarinya dan menolak keinginannya, entah itu sekedar makan dan jalan bahkan sampai melayaninya pun membuat Casandra tak bisa menolak.
Leo menggiring Casandra ke kamar hotel yang sudah ia pesan, tangan Cassandra yang di genggam kuat membuatnya harus menuruti kemana pria itu membawanya.
Leo mendorong tubuh Casandra ke atas ranjang dan segera menindihnya, menciumi tengkuk leher Cassandra dengan lembut.
"Leo hentikan, aku harus menemui seseorang," ucapan.
Seketika Leo menghentikan ciumannya dan duduk mengunci kaki mulus Cassandra dengan pahanya, ia menatap Cassandra dengan tajam. "Apa kamu akan meninggalkanku untuk menemui Steve?"
"Leo aku janji akan segera kembali dan memuaskanmu, tapi biarkan aku menemui Steve, dia membutuhkanku saat ini dan ini adalah rencanaku untuk mendapat kelemahannya, jika aku berhasil menemaninya malam ini maka kita akan dengan mudah menikmati hartanya" jelas Cassandra.
"Apa kamu akan menggunakannya dengan tubuhmu?"
"Ini adalah jalan satu-satunya."
Plaaaaaakkkk!
Tamparan mendarat di pipi Cassandra hingga mengeluarkan cairan merah di ujung bibirnya. "Kamu pikir aku akan mengijinkan pria lain menikmati tubuhmu Cassandra."
Leo langsung mengulum bibir Cassandra dengan ganasnya, melucuti kain demi kain yang membalut tubuh Cassandra hingga tak tertinggal sehelai benangpun. Tak ada perlawanan dari Casandra karena ini sudah sering terjadi, jika ia melawan maka Leo akan semakin menyakitinya jadi ia lebih memilih untuk sama-sama menikmati.
Namun kali ini Casandra tak menolak juga tak memberi respon, ia hanya diam menerima sentuhan Leo yang selalu penuh gairah dan tak pernah puas dengan tubuhnya.
Leo terus menikmati tubuh Cassandra tanpa melewati setiap incinya, tanpa perduli Cassandra yang tak merespon bagaikan mayat hidup. Hentakan cepat terus ia lakukan hingga akhirnya ia tumbang di samping tubuh Cassandra.
Tak seberapa lama Leo pun terlelap, namun Cassandra masih menatap langit-langit ruangan dengan pikiran yang hanya tertuju pada Steve. Ia melirik pria yang ada di sampingnya, seorang pria dengan tubuh yang sama polos dengannya, ia melihat sekeliling kamar hingga akhirnya matanya seketika tertuju pada pisau buah yang berada di meja, seketika pikirannya merencanakan sesuatu.
Cassandra bangun dari tidurnya dengan tubuhnya yang polos ia melangkah mendekati meja , diambilnya pisau buah tersebut lalu ia terdiam sejenak menatap ke arah ranjang. "Apa mungkin aku harus menghabisi nyawanya agar tak lagi menggangguku?" batin
Zira menggelengkan kepalanya, dan air matanya mengalir semakin deras, ia kemudian menghamburkan tubuhnya ke Steve. "Terimakasih, aku sangat senang dengan ini semua," ucap Zira dalam pelukan Steve. Mia ikut meneteskan air mata bahagianya. Zira menatap Steve sambil bertanya. "Tapi bagaimana kamu tau jika ini adalah kering aku dan kedua orangtuaku?" Steve hanya tersenyum dan mengarahkannya matanya ke Mia. Zira pun menoleh ke arah mia, ia melepaskannya pelukanku pada Steve dan mendekati Mia. "Maafkan aku sempat marah padamu," ucap Zira. "Kamu memang pantas marah padaku Zira," ucap Mia. Mereka pun akhirnya saling berpelukan. "Sebaiknya kita segera masuk, kasian anak-anak yang sudah menunggumu," ucap Steve. Zira dan Mia pun mengangguk, mereka melangkah masuk kedalam ru
"Sudah sampai," ucap Han datar."Terimakasih. Bolehkah aku bertanya sesuatu padamu?" ucap Mia dengan tatapan matanya yang mengarah ke depan tanpa menoleh kearah Han."Hemm.""Sepertinya adik bosmu sangat menyukaimu, tapi kenapa kamu terlihat sangat acuh padanya?"Han menoleh ke arah Mia. "Darimana kamu tau dia menyukaiku?"Mia pun menoleh ke arah Han yang menjawab pertanyaannya. "Aku selalu melihat ekspresi wajahnya yang akan langsung berubah masam ketika kamu bersamaku. Aku yakin dia sedang cemburu.""Aku tidak tahu."
"Kenapa kalian semua diam, aku ingin pulang dan bertemu ibu, kenapa dia tidak ada di sini?" ucap Zira kembali."Zira kamu masih sakit, dan harus banyak istirahat. Setelah sembuh kamu pasti akan bertemu dengan ibumu," ucap Roselly."Aku ingin bertemu ibuku.""Sayang, bersabarlah. Percayalah pada kami," ucap Steve. Ia memegang tangan Zira sambil menatapnya."Tuan, aku …," Zira merasa canggung. Dia memang mengenal Steve dan tau persis siapa Steve, namun dia lupa dan belum bisa menerima jika saat ini Steve adalah suaminya."Aku mengerti, tapi aku yakin perlahan kamu akan mengingat tentang hubungan kita."
"Kenapa kalian menatapku seperti itu?" tanya Cherry. Ia tidak sadar jika ucapannya telah salah."Apa itu benar?" tanya Zira. "Tapi bagaimana itu bisa terjadi. Aku, ahh." Zira kembali meringis kesakitan dan memegangi kepalanya."Sayang," ucap Steve. Ia langsung menggenggam tangan Zira. "Kita sudah menikah dan kita baru kehilangan calon anak pertama kita." Ucapan yang begitu saja lolos dari bibir Steve membuat Zira menatap kearah pria yang saat ini tengah menatapnya dengan mata berkaca-kaca."Kita, menikah?" Seakan tidak percaya, Zira menoleh kearah Mia dan mengharapkan jawaban darinya. Mia satu-satunya orang yang bisa ia percayai saat ini. Mia menganggukkan kepalanya dan Zira pun kembali menoleh kearah Steve, ia menarik tangannya dari genggaman Steve d
Mata Cherry penuh kekesalan menatap Mia dan Han. Cemburu itulah yang sebenarnya sedang ia rasakan. 'Han, kamu sungguh keterlaluan. Aku lebih lama mengenalmu tapi sekali pun kamu tidak pernah mengukir senyum untukku. Sedangkan dia? Huh, menyebalkan sekali,' batin Cherry."Cherry," panggil Roselly membubarkan lamunannya."Eh, iya mah?""Apa yang sedang kamu pikirkan, mamah memanggil kamu dari tadi malah nggak nyaut.""Maaf mah. Memangnya ada apa mah?""Pergilah membeli makanan, kita semua belum makan. Jangan sampai kita juga ikut sakit saat Zira sadar nanti."
"Apa kakak baik-baik saja?" tanya Mia membuyarkan lamunan Rian."Aku baik-baik saja.""Nak Rian, aku yakin kamu tahu yang terbaik buat Zira," ucap Roselly."Mungkin aku memang sangat menyayangi Zira, tapi aku juga tidak akan pernah mengambil apa yang sudah menjadi milik orang lain. Hanya saja, aku selalu ingin dia bahagia tanpa ada penderitaan lagi yang ia rasakan. Dan sekarang apa yang harus aku lakukan dengan keadaannya yang seperti ini?"Semuanya terdiam, Roselly pun tidak bisa berkata apa-apa. Ia tahu anaknya sangat mencintai Zira, namun saat ini Zira belum bisa mengingat apa yang terjadi selama ini bersama Steve. Sedangkan orang yang bisa membantunya perlahan mengingat semua kejadian dua