Share

Chapter 03 | Menjadi Rekan

Pagi hari.

Azriya sudah siap dengan setelan baju kerjanya, ia memang belum bekerja penuh waktu, dan akan datang saat Kakaknya membutuhkan bantuan. Kebetulan pagi ini wanita cantik itu sendiri yang berniat datang untuk melihat jenis infeksi yang ditemukan oleh Kakaknya.

Saat ini semua anggota keluarga tengah berkumpul di meja makan. Semuanya diam penuh keheningan, bahkan Austin dan Adolf pun turut mengunci rapat mulutnya.

"Sebagai pengantin baru kalian perlu didoakan, dan ini sudah adatnya. Terlepas bagaimana terjadinya pernikahan kalian, tapi kau sudah membawa wanita masuk ke dalam rumah ini, Gavriel. Apalagi statusnya adalah istrimu."

"Aku rasa ini tidak perlu, Mom. Aku menikahinya juga karena paksaan dari Kartika, jadi aku tidak menganggapnya sebagai istri," sahut Gavriel.

"Mommy juga tidak menganggapnya sebagai menantu, tapi ini adalah adat yang harus ditaati!"

Azriya hanya menyimak perdebatan itu, bahkan sampai sekarang ia masih belum mengetahui siapa nama Ibu Mertuanya tersebut. Namun, semua itu bukan masalah, toh tujuannya di sini adalah memecah misteri. Lalu setelahnya, ia akan segera keluar dari neraka berkedok mansion mewah ini.

"Satu minggu lagi pernikahan kalian akan di umumkan, ini kita lakukan untuk mencegah adanya kabar miring. Jadi, kamu jangan merasa di atas angin, Azriya! Kami melakukan hal ini bukan untukmu, melainkan untuk nama baik kami sendiri."

Hening! Azriya masih mengatupkan bibirnya rapat-rapat. Bukannya tidak bisa menjawab cemoohan barusan, tetapi ia malas membuang tenaganya.

Setelah acara sarapan selesai, Gavriel langsung beranjak mengantarkan Azriya ke rumah sakit. Semua orang memandang kepergian keduanya biasa saja, tetapi tanpa ada yang tahu, Gavriel sudah menyiapkan sebuah rencana. Hingga sampailah saat masih di tengah jalan, lelaki itu tiba-tiba menghentikan laju kendaraannya.

"Apa maksudmu kemarin?" tanyanya.

"Maksud apa?"

"Wasiat Kartika."

Azriya menghela napas lirih. Kemudian ia meminta Gavriel melajukan lagi mobil dengan alasan enggan terlambat ke rumah sakit.

"Cepat katakan!" ucapnya lagi seraya kakinya kembali menekan pedal gas.

"Kau sungguh tidak mengetahuinya?"

Bukannya menjawab, Gavriel malah melemparkan tatapan tajamnya kepada Azriya. Namun, wnaita cantik itu sama sekali tidak merasa ketakutan.

"Aku bukannya tidak ingin mengatakan, tapi apa aku bisa mempercayaimu?" tanya Azriya dengan tanpa melihat sedikitpun ke arah Gavriel.

"Apa maksudmu?"

Azriya kembali terkekeh.

"Jawab saja, apa aku bisa mempercayaimu?" tanya Azriya dengan pertanyaan yang sama.

"Tentu saja bisa. Kartika itu istriku, dan apa kau lupa bagaimana aku terluka karena kehilangan dia?"

Wanita cantik itu mengangguk, setelah beberapa menit ia memikirkan semuanya, akhirnya ia menceritakan semua yang disampaikan Kartika tempo hari. Azriya berharap Gavriel bisa membantunya mengusut semua ini.

Ciiiit!

Lelaki itu sontak menginjak rem mendadak saat Azriya berbicara permintaan terakhir mendiang Kartika. Raut muka Gavriel langsung memerah bersamaan dengan deru napasnya yang naik turun, tangannya mencengkram erat setir mobil hingga urat-uratnya nampak menonjol.

"Kartika bicara seperti itu?"

Azriya hanya menganggukkan kepala tanpa mengeluarkan sepatah katapun.

"Pantas saja beberapa Minggu lalu tingkahnya berubah. Dia seperti ketakutan dan gelisah, beberapa kali juga melarang ku pergi, dan selalu minta ditemani. Tapi, saat itu aku tidak terlalu memusingkannya," ujar Gavriel dengan suara lirih.

Azriya masih tidak bergeming. Namun, tangannya turut mengepal seperti tengah menahan kekesalan.

"Tapi Kartika tidak pernah menyinggung siapapun di rumah itu. Dan puncaknya saat tiga hari sebelum dia masuk rumah sakit."

"Ada apa?" tanya Azriya.

"Kartika bilang dia ingin pergi dari rumah itu dengan membawa Austin dan Adolf, tapi sayangnya Adolf nggak mau. Dan itu semakin membuatnya menjadi pendiam."

'Adolf ...?' batin Azriya.

Azriya menatap dalam sosok laki-laki yang baru pertama kali berbicara panjang lebar dengannya tersebut. Ataukah Gavriel mulai merasakan ada keganjilan dari kematian istrinya? Pikir Azriya.

"Ada hal aneh lainnya?"

"Besoknya Kartika sudah nggak nafsu makan, bahkan ia enggan bertemu dengan orang lain, termasuk aku dan anaknya. Kartika lebih senang menyendiri di dalam kamar, dia tidak pernah keluar. Sekalinya dia keluar adalah saat acara makan malam dengan keluarga besar, dan di acara itu juga dia keracunan makanan," ujar Gavriel, panjang lebar.

Azriya melepas gelak tawanya. Ia sungguh tidak habis pikir dengan kepolososan lelaki di sebelahnya ini. Bagiamana bisa saat kematian istrinya ia lah yang paling menangis histeris, tetapi saat istrinya sedang dalam bahaya ia malah tidak tahu apa-apa.

"Kenapa?! Kau ingin menghina ku?"

"Aku tidak seburuk yang kau pikirkan, Gav. Lagi pula, bagaimana bisa kau berbicara banyak hal, sedangkan di meja makan tadi kau terang-terangan menolak ku."

"Aku memang menolakmu sebagai istriku, ini pun aku lakukan agar misteri kematian Kartika segera terungkap. Jadi, kau jangan salah paham," jawabnya.

Meskipun sebenarnya lelaki itu tidak mengerti kenapa ia bisa berbicara banyak hal. Seakan ada dorongan untuk membagi semua bebannya kepada Azriya, juga perasaan nyaman saat bertukar pikiran dengan wanita di sebelahnya ini.

Gavriel sekuat mungkin mengelak perasaan nyaman yang tiba-tiba timbul. Ia masih tidak ingin mengkhianati mendiang Kartika.

'Tidak! Ini semua aku lakukan demi Kartika, dan aku sama sekali tidak ada perasaan dengan Azriya,' batinnya.

Mobil mewah tersebut kembali melaju meninggalkan jalanan itu. Sekitar tiga puluh menit kemudian, mobil tersebut sudah berhenti di parkiran rumah sakit. Azriya hendak membuka pintu, tetapi gerakan tangannya terhenti saat Gavriel kembali membuka suara.

"Kita akan menjadi rekan demi mengusut tuntas kasus ini, Riya."

"Kau yakin?"

"Yeah. Aku yakin Kartika tidak akan memintaku menikahi mu tanpa suatu alasan yang jelas. Meskipun dia tidak mengatakan apa-apa, tapi pasti ada sebuah hal besar di balik semua ini."

Azriya lantas mengangguk. Hatinya sedikit lega saat Gavriel tersadar bahwa keduanya sengaja disatukan oleh Kartika untuk suatu misi.

"Baiklah. Tapi sepertinya ini akan sulit, mengingat sama sekali tidak ada petunjuk yang ditinggalkan oleh Kartika," ucap Azriya.

"Iya, aku tahu."

Azriya kembali mengangguk dan ia lantas turun dari mobil. Tanpa disadari, Gavriel masih belum mengalihkan pandangannya dari Azriya, bahkan saat wanita cantik itu sudah hilang di balik pintu masuk.

Seutas senyum tipis tersemat di bibir lelaki tampan itu, "dia mirip sekali denganmu, Ka," gumam Gavriel.

***

Di sisi lain, Azriya yang baru saja masuk ke ruangan Andreas langsung menagih hasil laporan yang didapatkan oleh Kakaknya tersebut.

"Bacalah baik-baik!" ucap Andreas seraya mengulurkan sebuah amplop putih.

Azriya lantas tersenyum manis dan meraih amplop tersebut. Gerakan tangannya dengan cepat membuka segelnya, hingga beberapa saat kemudian keningnya tampak mengerut.

"Ini bukannya cairan yang digunakan untuk melemahkan sistem saraf?"

"Benar. Di dalamnya ditambahkan beberapa zat sehingga bisa semakin mempersempit pembuluh darah, sampai akhirnya menyebabkan gagal jantung."

Deg!

Azriya sontak memegang dengan air mata yang hendak merembes keluar. Ia sudah biasa bertemu dengan kasus kematian, tapi ini adalah sahabatnya. Tentu saja rasanya berbeda.

"Pantas saja Kartika bisa meninggal secepat itu, Kak. Aku pun sudah curiga kalau penyebabnya bukan hanya keracunan," ucap Azriya dengan suara yang sangat pelan.

Azriya kembali memandang kertas yang berada di tangannya tersebut dengan pandangan berkabut. Sungguh! Hatinya begitu sakit mendapat kenyataan sahabatnya benar-benar dibunuh.

'Apa jangan-jangan dalangnya juga ada di mansion itu?' batinnya.

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Evi Romayanti
sabar kakak
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status