Pagi hari.
Azriya sudah siap dengan setelan baju kerjanya, ia memang belum bekerja penuh waktu, dan akan datang saat Kakaknya membutuhkan bantuan. Kebetulan pagi ini wanita cantik itu sendiri yang berniat datang untuk melihat jenis infeksi yang ditemukan oleh Kakaknya.Saat ini semua anggota keluarga tengah berkumpul di meja makan. Semuanya diam penuh keheningan, bahkan Austin dan Adolf pun turut mengunci rapat mulutnya."Sebagai pengantin baru kalian perlu didoakan, dan ini sudah adatnya. Terlepas bagaimana terjadinya pernikahan kalian, tapi kau sudah membawa wanita masuk ke dalam rumah ini, Gavriel. Apalagi statusnya adalah istrimu.""Aku rasa ini tidak perlu, Mom. Aku menikahinya juga karena paksaan dari Kartika, jadi aku tidak menganggapnya sebagai istri," sahut Gavriel."Mommy juga tidak menganggapnya sebagai menantu, tapi ini adalah adat yang harus ditaati!"Azriya hanya menyimak perdebatan itu, bahkan sampai sekarang ia masih belum mengetahui siapa nama Ibu Mertuanya tersebut. Namun, semua itu bukan masalah, toh tujuannya di sini adalah memecah misteri. Lalu setelahnya, ia akan segera keluar dari neraka berkedok mansion mewah ini."Satu minggu lagi pernikahan kalian akan di umumkan, ini kita lakukan untuk mencegah adanya kabar miring. Jadi, kamu jangan merasa di atas angin, Azriya! Kami melakukan hal ini bukan untukmu, melainkan untuk nama baik kami sendiri."Hening! Azriya masih mengatupkan bibirnya rapat-rapat. Bukannya tidak bisa menjawab cemoohan barusan, tetapi ia malas membuang tenaganya.Setelah acara sarapan selesai, Gavriel langsung beranjak mengantarkan Azriya ke rumah sakit. Semua orang memandang kepergian keduanya biasa saja, tetapi tanpa ada yang tahu, Gavriel sudah menyiapkan sebuah rencana. Hingga sampailah saat masih di tengah jalan, lelaki itu tiba-tiba menghentikan laju kendaraannya."Apa maksudmu kemarin?" tanyanya."Maksud apa?""Wasiat Kartika."Azriya menghela napas lirih. Kemudian ia meminta Gavriel melajukan lagi mobil dengan alasan enggan terlambat ke rumah sakit."Cepat katakan!" ucapnya lagi seraya kakinya kembali menekan pedal gas."Kau sungguh tidak mengetahuinya?"Bukannya menjawab, Gavriel malah melemparkan tatapan tajamnya kepada Azriya. Namun, wnaita cantik itu sama sekali tidak merasa ketakutan."Aku bukannya tidak ingin mengatakan, tapi apa aku bisa mempercayaimu?" tanya Azriya dengan tanpa melihat sedikitpun ke arah Gavriel."Apa maksudmu?"Azriya kembali terkekeh."Jawab saja, apa aku bisa mempercayaimu?" tanya Azriya dengan pertanyaan yang sama."Tentu saja bisa. Kartika itu istriku, dan apa kau lupa bagaimana aku terluka karena kehilangan dia?"Wanita cantik itu mengangguk, setelah beberapa menit ia memikirkan semuanya, akhirnya ia menceritakan semua yang disampaikan Kartika tempo hari. Azriya berharap Gavriel bisa membantunya mengusut semua ini.Ciiiit!Lelaki itu sontak menginjak rem mendadak saat Azriya berbicara permintaan terakhir mendiang Kartika. Raut muka Gavriel langsung memerah bersamaan dengan deru napasnya yang naik turun, tangannya mencengkram erat setir mobil hingga urat-uratnya nampak menonjol."Kartika bicara seperti itu?"Azriya hanya menganggukkan kepala tanpa mengeluarkan sepatah katapun."Pantas saja beberapa Minggu lalu tingkahnya berubah. Dia seperti ketakutan dan gelisah, beberapa kali juga melarang ku pergi, dan selalu minta ditemani. Tapi, saat itu aku tidak terlalu memusingkannya," ujar Gavriel dengan suara lirih.Azriya masih tidak bergeming. Namun, tangannya turut mengepal seperti tengah menahan kekesalan."Tapi Kartika tidak pernah menyinggung siapapun di rumah itu. Dan puncaknya saat tiga hari sebelum dia masuk rumah sakit.""Ada apa?" tanya Azriya."Kartika bilang dia ingin pergi dari rumah itu dengan membawa Austin dan Adolf, tapi sayangnya Adolf nggak mau. Dan itu semakin membuatnya menjadi pendiam."'Adolf ...?' batin Azriya.Azriya menatap dalam sosok laki-laki yang baru pertama kali berbicara panjang lebar dengannya tersebut. Ataukah Gavriel mulai merasakan ada keganjilan dari kematian istrinya? Pikir Azriya."Ada hal aneh lainnya?""Besoknya Kartika sudah nggak nafsu makan, bahkan ia enggan bertemu dengan orang lain, termasuk aku dan anaknya. Kartika lebih senang menyendiri di dalam kamar, dia tidak pernah keluar. Sekalinya dia keluar adalah saat acara makan malam dengan keluarga besar, dan di acara itu juga dia keracunan makanan," ujar Gavriel, panjang lebar.Azriya melepas gelak tawanya. Ia sungguh tidak habis pikir dengan kepolososan lelaki di sebelahnya ini. Bagiamana bisa saat kematian istrinya ia lah yang paling menangis histeris, tetapi saat istrinya sedang dalam bahaya ia malah tidak tahu apa-apa."Kenapa?! Kau ingin menghina ku?""Aku tidak seburuk yang kau pikirkan, Gav. Lagi pula, bagaimana bisa kau berbicara banyak hal, sedangkan di meja makan tadi kau terang-terangan menolak ku.""Aku memang menolakmu sebagai istriku, ini pun aku lakukan agar misteri kematian Kartika segera terungkap. Jadi, kau jangan salah paham," jawabnya.Meskipun sebenarnya lelaki itu tidak mengerti kenapa ia bisa berbicara banyak hal. Seakan ada dorongan untuk membagi semua bebannya kepada Azriya, juga perasaan nyaman saat bertukar pikiran dengan wanita di sebelahnya ini.Gavriel sekuat mungkin mengelak perasaan nyaman yang tiba-tiba timbul. Ia masih tidak ingin mengkhianati mendiang Kartika.'Tidak! Ini semua aku lakukan demi Kartika, dan aku sama sekali tidak ada perasaan dengan Azriya,' batinnya.Mobil mewah tersebut kembali melaju meninggalkan jalanan itu. Sekitar tiga puluh menit kemudian, mobil tersebut sudah berhenti di parkiran rumah sakit. Azriya hendak membuka pintu, tetapi gerakan tangannya terhenti saat Gavriel kembali membuka suara."Kita akan menjadi rekan demi mengusut tuntas kasus ini, Riya.""Kau yakin?""Yeah. Aku yakin Kartika tidak akan memintaku menikahi mu tanpa suatu alasan yang jelas. Meskipun dia tidak mengatakan apa-apa, tapi pasti ada sebuah hal besar di balik semua ini."Azriya lantas mengangguk. Hatinya sedikit lega saat Gavriel tersadar bahwa keduanya sengaja disatukan oleh Kartika untuk suatu misi."Baiklah. Tapi sepertinya ini akan sulit, mengingat sama sekali tidak ada petunjuk yang ditinggalkan oleh Kartika," ucap Azriya."Iya, aku tahu."Azriya kembali mengangguk dan ia lantas turun dari mobil. Tanpa disadari, Gavriel masih belum mengalihkan pandangannya dari Azriya, bahkan saat wanita cantik itu sudah hilang di balik pintu masuk.Seutas senyum tipis tersemat di bibir lelaki tampan itu, "dia mirip sekali denganmu, Ka," gumam Gavriel.***Di sisi lain, Azriya yang baru saja masuk ke ruangan Andreas langsung menagih hasil laporan yang didapatkan oleh Kakaknya tersebut."Bacalah baik-baik!" ucap Andreas seraya mengulurkan sebuah amplop putih.Azriya lantas tersenyum manis dan meraih amplop tersebut. Gerakan tangannya dengan cepat membuka segelnya, hingga beberapa saat kemudian keningnya tampak mengerut."Ini bukannya cairan yang digunakan untuk melemahkan sistem saraf?""Benar. Di dalamnya ditambahkan beberapa zat sehingga bisa semakin mempersempit pembuluh darah, sampai akhirnya menyebabkan gagal jantung."Deg!Azriya sontak memegang dengan air mata yang hendak merembes keluar. Ia sudah biasa bertemu dengan kasus kematian, tapi ini adalah sahabatnya. Tentu saja rasanya berbeda."Pantas saja Kartika bisa meninggal secepat itu, Kak. Aku pun sudah curiga kalau penyebabnya bukan hanya keracunan," ucap Azriya dengan suara yang sangat pelan.Azriya kembali memandang kertas yang berada di tangannya tersebut dengan pandangan berkabut. Sungguh! Hatinya begitu sakit mendapat kenyataan sahabatnya benar-benar dibunuh.'Apa jangan-jangan dalangnya juga ada di mansion itu?' batinnya.Azriya membawa tubuh Aurell masuk ke dalam pelukannya, wanita cantik itu mengusap lembut rambut hitam putri kecilnya. Pedih.Yeah! Aurell hanya gadis kecil yang sudah kehilangan orang tuanya dan sekarang harus kehilangan sang Grandma, ditambah ia baru tahu fakta ini."Kenapa Grandma menyiapkan ini semua untukku, Mom? Aku tidak mau. Apa itu semua bisa ditukar agar Grandma bisa kembali lagi?" tanyanya di sela-sela isak tangis."Grandma menyerahkan itu kepada kamu, karena Grandma percaya kamu bisa menjaganya, Nak. Jangan berpikir seperti itu, ya. Nanti Grandma sedih. Aurell tidak mau 'kan Grandma sedih di sana?" Gadis cantik itu menggelengkan kepala, meskipun hatinya masih perih dengan kejadian ini, tetapi ia harus kuat demi Grandma nya. Azriya menyugar pelukan, menghapus titik air mata yang masih mengalir deras dari pelupuk netra Aurell. Sementara Gavriel sudah memalingkan pandangan, tidak kuasa melihat pemandangan haru ini."Sekarang kamu buka kotak ini. Setelah ini kotak dan isinya
"Tuan, Nyonya," sapa Ghina seraya membungkukkan badan.Wanita paruh baya dengan setelah serba hitam itu mengulas senyum tipis, di tangannya memegangi goodie bag berwarna hitam yang entah berisi apa."Kamu ... datang sendirian?" tanya Azriya."Iya, Nyonya. Tadi saya naik taksi ke sini," sahut Ghina dengan kepala yang masih menunduk."Ayo masuk saja." Ajak Gavriel yang melangkah lebih dulu ke dalam Mansion.Pria itu mendudukkan dirinya di atas sofa diikuti oleh Azriya, sementara ketiga anak itu langsung menuju kamar masing-masing tanpa harus diperintah lagi."Silakan duduk Ghina, tidak usah sungkan. Kamu di sini adalah tamu," ucap Azriya yang lantas diangguki oleh Ghina.Wanita itu duduk dengan kikuk, goodie bag ia letakkan di atas sofa kemudian kedua tangannya ditumpuk di atas paha."Kedatangan saya malam ini karena mendengar kabar Nyonya Lauren meninggal, saya mengucapkan berduka cita yang sedalam-dalamnya." Ghina menjeda ucapannya barang sesaat. "Saya juga ingin mengembalikan barang
"Baby, kamu masih lama?" suara bariton itu sontak membuat Azriya tersentak."Gav, aku menemukan ini," ucapnya tanpa menjawab pertanyaan Gavriel barusan."Apa itu?" Pria itu melangkah masuk ke dalam kamar, meraih sebuah buku kecil yang ditunjukkan istrinya."Apa ini, Baby?" Gavriel kembali melontarkan pertanyaan."Aku tidak tahu, sepertinya itu buku diary Mom. Yeah, meskipun awalnya aku tidak percaya Mom masih menulis di diary, tetapi setelah aku membaca lembar pertama, aku yakin kalau buku itu memang buku diary," jelas Azriya yang membuat Gavriel mengernyit bingung.Selama hidup ia tidak pernah tahu kalau Mommy-nya menyimpan buku ini, ia semakin terkejut saat melihat sekilas isi lembar buku itu yang kebanyakan berisi isi hati Mommy-nya untuk mendiang sang Kakak — Silvana."Aku menemukannya di tumpukan kain batik, Gav," ucap Azriya yang langsung diangguki oleh Gavriel."Baiklah, kita akan melihat nanti saja. Sekarang kita ke depan, pemuka agama sudah menunggu kainnya." Gavriel memasukka
Gavriel luruh ke lantai saat Azriya melipat kembali surat tersebut. Dadanya sakit, seperti ada tangan tak kasat mata yang meremas jantungnya.Gavriel adalah seorang pria, ia sudah membunuh banyak musuh dengan tangannya. Menghadapi segala rintangan dan tantangan dalam hidup. Pahit manis kehidupan dan tipu daya musuh sudah pernah ia rasakan.Namun, kenapa sekarang ia menangis? Kenapa menjadi lemah?Oh, sungguh! Mau sejahat apapun Mommy-nya, Gavriel tetap tidak sanggup kalau harus kehilangan. Lauren adalah seluruh cintanya, baginya posisi wanita paruh baya itu setara dengan posisi Azriya di hatinya."Sayang?" Azriya mengambil posisi jongkok, mensejajarkan tubuhnya dengan sang suami. "Jangan seperti ini, Mom pasti sedih melihat kamu begini," ucapnya lagi."Memangnya apa yang lebih sedih dari ini? Mom sudah mendapatkan ingatannya tiga bulan lalu, tapi Mom berlagak tidak ingat dan tidak mau bicara denganku. Hanya momen saat di taman tadi yang menjadi kebersamaan manis kita, Baby. Bagaimana
Gavriel ingin tidak percaya, tetapi Dokter sendiri yang mengatakannya. Pria itu akhirnya menuju rumah sakit dengan memacu mobilnya secepat mungkin, hingga tidak seberapa lama kemudian mobil mewah itu sudah berhenti di parkiran gedung rumah sakit.Ia turun dan lantas berlari memasuki rumah sakit dengan Azriya yang mengekor dari belakang, langkahnya menuju ke kamar rawat Lauren. Sampai di sana ia melihat kamar itu sudah penuh dikerubungi tim medis."Dokter!" pekiknya yang sontak membuat semua orang menoleh. "Kenapa bisa seperti ini? Saya tadi meninggalkan Mom, Mom masih baik-baik saja. Bahkan hari ini Mom mau keluar ke taman, bukankah itu suatu perkembangan bagus? Lalu kenapa sekarang bisa seperti ini?" tanyanya lagi."Pak, tolong dengarkan saya dulu." Dokter paruh baya itu menarik napas dalam, kemudian ia mulai berkata," saat suster mengantarkan makan siang untuk pasien, suster mendapati kalau pasien sedang tidur, Pak. Suster berusaha membangunkan, tetapi pasien sama sekali tidak meres
Hari-hari berlalu, setiap ada kesempatan selalu digunakkan Gavriel untuk mengunjungi Lauren. Pria itu mengajak sang Mommy berbincang, ia juga menceritakan banyak hal. Meskipun tidak ada jawaban dari wanita paruh baya itu, tetapi Gavriel tidak menyerah.Sampai akhirnya hari ini Lauren meminta ditemani berjemur di taman. Gavriel sangat bahagia, ia dengan semangat membantu Mommy-nya untuk turun dari ranjang dan naik kursi roda.Yeah! Terlalu banyak mendapatkan suntikan berefek pada kondisi Lauren yang semakin lemas, bahkan terkadang kakinya mati rasa. "Matahari pagi ini bagus banget, Mom. Udaranya juga segar," ucap Gavriel. "Mommy suka?" Pria itu kembali melontarkan pertanyaan.Lauren hanya mengangguk, bibirnya mengulas senyum memandang langit biru. Meskipun ia hanya menyebut nama Silvana dan Kartika, tetapi Lauren sama sekali tidak membenci Gavriel. Wanita paruh baya itu juga menurut saat beberapa kali Azriya menyuapinya.Ah, entahlah. Lauren tidak membenci, atau ingatannya belum puli