“Ssssa-saya ... saya hanya ... hanya pengusaha perkebunan teh,” jawab Jake Abraham alias Jaka, suaranya terdengar sangat gugup. Helena menoleh, menggelengkan kepala.
“Perkebunan teh?” tanya Abimanyu mengerutkan kening. Merasa tak percaya akan yang diucapkan Jake.“Iya, Pa. Perkebunan teh. Jadi, Jake ini punya perkebunan teh yang luasnya puluhan bahkan ratusan hektar, Pa. Perkebunan tehnya itu ada di kota ... di kota Bogor. Pokoknya Jake ini orang yang kaya raya, Pa. Keluarganya keluarga yang terhormat di sana!” seloroh Helena, berusaha meyakinkan Abimanyu tentang latar belakang Jake. Masalah itu benar atau tidak, urusan belakangan! Terpenting sekarang, Abimanyu mau memberi restu untuk pernikahannya. Meskipun Helena menikahi supir pribadi. Jake hanya terdiam, tersenyum simpul. Abimanyu manggut-manggut, lalu mempersilakan Jake Abraham duduk di sofa ruang tamu. Abimanyu memberi isyarat pada istri keduanya agar jangan ikut bersama mereka. Helena tersenyum mengejek, berhasil membuat Saraswati sangat jengkel.“Jadi, sejak kapan kalian menjalin hubungan?”Abimanyu menyambut baik kedatangan Jake Abraham alias Jaka. Lelaki itu tahu kalau pengusaha perkebunan teh menghasilkan banyak uang. Apalagi jika perkebunannya sangat luas.“Sejak dua tahun lalu, Pa,” jawab Helena cepat, sebelum Jake menjawab tidak sesuai keinginannya.Mereka kini telah duduk di sofa ruang tamu. Helena duduk di samping lelaki yang dianggap kekasihnya. Sejujurnya Jake sangat risih dengan sikap Helena dan juga kebohongannya. Terutama masalah nama. Nama lengkap Jaka sebenarnya Jaka Ibrahim, tetapi Helena seenaknya mengganti nama lelaki itu menjadi Jake Abraham.“Sudah lama juga, ya? Kenapa baru mengenalkannya pada Papa?”“Belum waktunya, Pa. Aku ... aku yakin dulu sama dia ... barulah aku kenalkan pada Papa,” jawab Helena, tanpa tahu malu bergelayut manja pada lengan Jake di hadapan Abimanyu. Tidak mungkin Jake menyingkirkan tangan Helena dari lengannya.“Sekarang kau sudah yakin?”“Sangat yakin!” Helena menjawab penuh semangat. Ia sampai mengubah posisi duduknya.“Aku dan Jake berencana ingin menikah bulan depan. Bagaimana menurut Papa?”“Apa? Bulan depan?”Tiba-tiba suara Saraswati terdengar. Senyum yang sebelumnya terlihat dari raut wajah Abimanyu mendadak redup. Lelaki itu tidak suka jika obrolannya diganggu.“Apa kau tidak mengerti isyarat yang aku tunjukkan padamu, heuh?” tanya Abimanyu penuh penekanan. Sorot mata lelaki itu terlihat penuh amarah.“Maaf, Mas. Ta-tapi ... apa Mas tidak curiga dengan rencana mendadak yang disampaikan Helena?” Suara Saraswati setengah berbisik, namun Helena masih mendengar dengan jelas.Gadis itu memutar bola mata malas. Mulai muak dengan sikap ibu sambungnya.“Maksudmu apa? Curiga apa? Sudahlah, sebaiknya kau tinggalkan kami dulu. Nanti kita bicarakan di kamar,” titah Abimanyu pada istrinya. Saraswati tentu tidak terima akan sikap Abimanyu yang lebih memihak ada anak kandungnya dari pada dirinya."Baiklah."Hanya kata itu yang dilontarkan Saraswati. Senyum Helena kembali merekah.‘Sebentar lagi, kau akan angkat kaki dari rumahku! Sudah cukup kau usir Kak Bella. Suatu saat nanti, kau yang akan terusir dari rumah ini. Ah, ternyata kehamilanku ada hikmahnya juga,' bathin Helena menggurutu.“Maaf atas kelancangannya, Jake.""Tidak apa-apa, Om.”Selanjutnya obrolan tentang pernikahan Helena dengan supir pribadinya berlanjut. Helena ternyata memiliki konsep pernikahan yang cukup matang. Sebenarnya konsep pernikahan itu untuk pernikahannya dengan si brengsek Samuel.Dulu, Helena sempat berpikir kalau Samuel akan lebih memilih dirinya dari pada istrinya. Helena terlalu terbuai akan ungkapan cinta dan rayuan seorang Samuel. Helena tidak tahu saja kalau kekasih simpanan Samuel tidak hanya dirinya, tetapi masih banyak wanita lain di luaran sana. Helena terlalu bodoh, terlalu terpedaya. Tetapi, itu dulu! Sebelum melihat sikap kasar Samuel tadi siang. Hatinya benar-benar kecewa dan hancur. Hebatnya seorang Helena, dia begitu mudah melupakan kesedihan dan kekecewaan dalam sekejap waktu.“Pa, menjelang hari pernikahan kami ... aku boleh tidak tinggal di rumah ini lagi?”Abimanyu mengulas senyum, menganggukkan kepala.“Tentu saja boleh. Rumah ini milikmu, Nak. Kelak, kau yang akan mendapatkan lebih banyak warisan dari Papa. Yang penting ... Papa ingin kau dan Jake, segera memberikan cucu untuk Papa. Dengan syarat, kalian harus resmi telah menjadi sepasang suami istri. Kau tahu kan, Helena ... kalau Papa tidak suka hamil di luar pernikahan. Memalukan!”Helena menelan liur mendengar ucapan Abimanyu. Jake menoleh pada wanita yang sebentar lagi akan menjadi istrinya. Dia menggenggam telapak tangan Helena, menganggukkan kepala, seolah meyakinkan Helena kalau semuanya akan baik-baik saja.Helena tidak marah meski Jaka, si supir pribadi menggenggam telapak tangan tanpa izin terlebih dahulu. Justru ia merasa senang sebab Jaka dapat membantu dirinya mengatasi masalah yang tengah dihadapi.“Tentu aku sudah tahu, Pa. Jake ... selama ini sangat menjagaku,” ungkap Helena tersenyum manis. Abimanyu bahagia, anak keduanya mendapatkan pasangan hidup sesuai dengan kriterianya.“Baiklah, kalau begitu Papa mau istirahat dulu.”Jake melepaskan genggaman tangan, berdiri, menghadap Abimanyu.“Om, saya juga mau pamit. Mungkin besok saya akan kembali ke sini lagi untuk menjemput ... hmm ... Helena memesan gaun pengantin seperti yang tadi kita bicarakan.”Abimanyu menoleh pada anak gadisnya, kemudian beralih pada Jake yang baru saja berpamitan.“Kau tidak ngobrol-ngobrol dulu dengannya?”“Tidak, Pa! Jake harus pulang sekarang karena sebelum menjemputku, dia harus kembali ke Bogor untuk melihat perkebunan teh-nya.”Helena menyela. Sebenarnya dia ingin segera menenangkan hati dan pikiran. Helena harus mengatur rencana pernikahanya dengan baik agar tidak ada yang tahu kalau semua itu hanya pura-pura saja. Pernikahan yang menutupi kehamilannya dikarenakan Samuel tidak mau bertanggung jawab. Helena masih bersyukur karena Jake mau menikahinya padahal sudah tahu kalau Helena sedang mengandung anak dari lelaki lain.“Oh, begitu, baiklah. Papa istirahat dulu.”Helena dan Jake menganggukkan kepala. Supir pribadi Helena itu menghela napas panjang. Dia merasa lega karena Abimanyu sudah meninggalkannya.“Nona, saya pamit pulang dulu.”“Eh, tunggu sebentar!” cegah Helena menggamit lengan Jake Abraham. Sifat Helena yang demikian tidak membuat Jake besar kepala atau bahagia sebab ia tahu kalau Helena sedang berpura-pura menjadikannya lelaki yang dicintai.“Ada apa, Nona?”“Eh, kau jangan panggil aku Nona! Enak saja!” Helena protes, mendelik tak suka.“Memangnya saya harus memanggil apa? Lagi pula di ruangan ini hanya ada saya dan Nona.”Kedua mata Helena melotot dan berkacak pinggang.“Astaga, kau ini ... sudah kubilang, jangan panggil aku nona! Panggil aku ... hmmm ....”Helena tampak berpikir sejenak, kemudian bibirnya melengkungkan senyum.“Panggil aku ... Ayang!” sambung Helena tersenyum lebar.“Ayang? Kenapa harus memanggil Ayang?”“Jangan tanya kenapa! Pokoknya kau harus panggil aku Ayang! Coba sekarang kau panggil aku Ayang! Ayok, panggil!”Helena menggoyangkan lengan kekar Jaka. Lelaki itu merunduk sebentar, lalu ... “Iya, Ayang.”“Baguuss ....!”Raut wajah Jake sangat sumringah mendengar kalimat yang diucapkan kakak iparnya. Kali ini Jake sangat bahagia karena benih yang ada di dalam rahim Helena adalah benih darinya. Jake menaiki anak tangga dengan senyum lebar. Membuka pintu kamar, terlihat Helena tengah tergolek lemah. Jake langsung mendekati, menggenggam telapak tangan istrinya. "Ada apa, Jake?" tanya Helena lemah, pandangannya sangat sendu, wajah putihnya semakin memucat. "Kata Kak Bella dan Mama Saraswati, kamu sedang hamil." Ucapan yang disampaikan Jake membuat kening Helena mengkerut. Ia berpikir sejenak, bagaimana mungkin dirinya hamil padahal belum lama mengalami keguguran?"Tapi, aku kan Jake---"Kalimat Helena terpotong. Ia tak boleh merusak kebahagiaan yang terlihat dari raut wajah suaminya. Lebih baik, ia ke dokter kandungan saja, memeriksakan kondisinya. "Baiklah. Kita ke dokter aja, ya? Supaya lebih pasti.""Iya, Sayang. Aku siap-siap dulu. Kamu mau ganti pakaian gak?" Jake bertanya tergesa-gesa. Helena meng
Roger mencaci maki istrinya. Dia tentu terkejut mendengar Cella menyerahkan sertifkat apartemen pada Toni Sanjaya yang tak lain papa kandung Cella sendiri. Sebenarnya Roger tak pantas bicara demikian. Terserah Cella mau memberikan sertifikat apartemen ke siapapun. "Kamu kenapa marahin aku? Memangnya kenapa dengan papaku? selama ini ke aku baik kok." Cella tidak terima Roger membentak, mencaci maki dirinya. Toni dulunya memang pernah jahat, tetapi belakangan lelaki itu sering membantu Cella dan juga menunjukkan perhatian dan kasih sayangnya terhadap Cella. Kasih sayang yang selama ini tidak pernah Cella dapatkan. "Kenapa marahin kamu? Ya karena kamu bodoh. Papamu baik ke kamu karena ada maunya. Kalau kamu gak percaya padaku, buktikan saja nanti sendiri. Aku yakin seratus persen, papamu itu akan menjual apartemenmu," tandas Roger tanpa keraguan. Sedikit banyak Roger sudah tahu sifat Toni. Lelaki itu selalu saja memanfaatkan kesempatan. Sekarang Cella telah menyerahkan surat berharga p
"Cella, kalau boleh, Papa ingin lihat sertifikat apartemen ini. Ya takutnya ada yang salah," ucap Toni beralasan. Padahal dalam hati, ia menyimpan rencana busuk. Tak peduli dia adalah istrinya, anaknya, atau pun temannya. "Takut ada yang salah gimana, Pah?" Cella tak mengerti. Dia sudah lama membeli apartemen ini. Sampai sekarang tidak ada masalah apa-apa."Ya kamu gak tau aja, di luar sana ada banyak orang yang tertipu membeli apartemen gara-gara sertifikatnya palsu." Cella menyimak penuturan yang disampaikan Toni. "Masa sih, Pah? Aku selama ini gak pernah bermasalah.""Ya coba bawa ke sini dulu. Papah ingin lihat." Toni mengeluarkan sebungkus rokok, mengambil sebatang dan memantiknya. "Baiklah." Cella beranjak, masuk ke dalam kamar, mengambil sertifikat apartemen yang disimpan rapi di laci bawah meja rias. Kemudian, menunjukkan pada Toni yang tak lain ayah kandungnya. "Ini, Pah. Aku bikin ini langsung ke notaris. Kayaknya gak mungkin kalau palsu."Toni mengabaikan ucapan Cella.
"Kamu kenapa terlihat murung, Saras?" tanya abimanyu saat mereka berada di dalam kamar."Aku teringat Cella," jawab Saraswati, wajahnya terlihat sendu. Bertemu kembali dengan Cella membuatnya murung. Kesedihan yang dialami Saraswati jauh dari Cella begitu dalam. Sebagai seorang ibu, Saraswati pun merindukan wanita yang dulu terlahir dari rahimnya."Kenapa Cella? apa dia meneleponmu? menyakiti hatimu lagi?" Abimanyu tampak mengkhawatirkan istrinya. Ia merangkul pundak Saraswati, membelai pelan dan berusaha menenangkan.Saraswati menatap Abimanyu dengan wajah kebingungan. Dia tidak tahu harus menjawab apa. "Enggak, Mas. Cella gak telepon aku. Aku hanya merindukannya. Kamu tentu tau, kalau aku selama ini selalu membelanya. Apapun yang dia lakukan, aku selalu berada di dekatnya. Aku hanya tidak membelanya saat ia lebih memilih menikah dengan lelaki yang telah memiliki istri. Itu seperti mengorek lukaku di masa lalu, Mas. Aku merasa kalau Cella gak ubahnya dengan wanita yang telah mengha
Setelah hidup bersama selama beberapa waktu, Cella mulai merasa bahwa Roger telah berubah menjadi seorang yang berbeda dari saat pertama mereka bertemu. Roger semakin sering merendahkan Cella, memarahinya dan mengabaikan kebutuhan dan perasaannya. Cella merasa sangat kesal pada awalnya, tetapi dia bersikeras untuk tetap bersama Roger dan tetap berharap bahwa akan ada perubahan di masa depan.Namun, semakin lama, sifat Roger yang buruk semakin jelas, terutama setelah dia mulai membandingkan Cella dengan istri pertamanya. Roger sering menyebutkan istri pertamanya dengan nama yang buruk dan menyatakan bahwa ia lebih memilih Cella daripada istri pertamanya. Cella merasa sangat terhina dan keberatan dengan perlakuan Roger tersebut.Suatu hari, Cella tidak tahan lagi dan menghadap Roger, marah dan bertanya mengapa dia begitu berubah dan tidak mencintai dia seperti saat dia memilihnya untuk menjadi istrinya."Kenapa kamu begitu berubah, Roger? Aku tahu bahwa kamu lebih memilih aku daripada i
Bella dan Helena berdiri di depan butik mereka yang baru saja dibuka pada hari pertama bisnis mereka. Wajah mereka dipenuhi dengan antusiasme dan harapan untuk menjadi sukses dalam bisnis mereka. Keduanya saling berpandangan selama beberapa menit, kemudian Bella mulai membuka pintu toko dan para pelanggan mulai berdatangan untuk memeriksa produk-produk yang mereka tawarkan."Sudahkah kamu siap untuk menjadi pengusaha hebat?" tanya Bella kepada Helena dengan antusiasme."Sudah siap di hari pertama yang indah ini!" jawab Helena sambil tersenyum.Bella dan Helena saling menatap dan tersenyum, kemudian Bella menunjukkan produk-produk terbaru mereka, termasuk pakaian dan aksesoris terbaru yang menyenangkan."Produk-produk itu sangat indah, Kak Bella. Aku yakin kita akan sukses dalam waktu singkat!" kata Helena dengan senyum lebar.Namun, tidak lama setelah butik dibuka, Bella dan Helena mendapati bahwa persaingan di bisnis fashion cukup ketat. Orang-orang yang menjual produk yang sama deng