Share

Bab 3

“Ssssa-saya ... saya hanya ... hanya pengusaha perkebunan teh,” jawab Jake Abraham alias Jaka, suaranya terdengar sangat gugup. Helena menoleh, menggelengkan kepala.

“Perkebunan teh?” tanya Abimanyu mengerutkan kening. Merasa tak percaya akan yang diucapkan Jake.

“Iya, Pa. Perkebunan teh. Jadi, Jake ini punya perkebunan teh yang luasnya puluhan bahkan ratusan hektar, Pa. Perkebunan tehnya itu ada di kota ... di kota Bogor. Pokoknya Jake ini orang yang kaya raya, Pa. Keluarganya keluarga yang terhormat di sana!” seloroh Helena, berusaha meyakinkan Abimanyu tentang latar belakang Jake. Masalah itu benar atau tidak, urusan belakangan! Terpenting sekarang, Abimanyu mau memberi restu untuk pernikahannya. Meskipun Helena menikahi supir pribadi. Jake hanya terdiam, tersenyum simpul.

Abimanyu manggut-manggut, lalu mempersilakan Jake Abraham duduk di sofa ruang tamu. Abimanyu memberi isyarat pada istri keduanya agar jangan ikut bersama mereka. Helena tersenyum mengejek, berhasil membuat Saraswati sangat jengkel.

“Jadi, sejak kapan kalian menjalin hubungan?”

Abimanyu menyambut baik kedatangan Jake Abraham alias Jaka. Lelaki itu tahu kalau pengusaha perkebunan teh menghasilkan banyak uang. Apalagi jika perkebunannya sangat luas.

“Sejak dua tahun lalu, Pa,” jawab Helena cepat, sebelum Jake menjawab tidak sesuai keinginannya.

Mereka kini telah duduk di sofa ruang tamu. Helena duduk di samping lelaki yang dianggap kekasihnya. Sejujurnya Jake sangat risih dengan sikap Helena dan juga kebohongannya. Terutama masalah nama. Nama lengkap Jaka sebenarnya Jaka Ibrahim, tetapi Helena seenaknya mengganti nama lelaki itu menjadi Jake Abraham.

“Sudah lama juga, ya? Kenapa baru mengenalkannya pada Papa?”

“Belum waktunya, Pa. Aku ... aku yakin dulu sama dia ... barulah aku kenalkan pada Papa,” jawab Helena, tanpa tahu malu bergelayut manja pada lengan Jake di hadapan Abimanyu. Tidak mungkin Jake menyingkirkan tangan Helena dari lengannya.

“Sekarang kau sudah yakin?”

“Sangat yakin!” Helena menjawab penuh semangat. Ia sampai mengubah posisi duduknya.

“Aku dan Jake berencana ingin menikah bulan depan. Bagaimana menurut Papa?”

“Apa? Bulan depan?”

Tiba-tiba suara Saraswati terdengar. Senyum yang sebelumnya terlihat dari raut wajah Abimanyu mendadak redup. Lelaki itu tidak suka jika obrolannya diganggu.

“Apa kau tidak mengerti isyarat yang aku tunjukkan padamu, heuh?” tanya Abimanyu penuh penekanan. Sorot mata lelaki itu terlihat penuh amarah.

“Maaf, Mas. Ta-tapi ... apa Mas tidak curiga dengan rencana mendadak yang disampaikan Helena?” Suara Saraswati setengah berbisik, namun Helena masih mendengar dengan jelas.

Gadis itu memutar bola mata malas. Mulai muak dengan sikap ibu sambungnya.

“Maksudmu apa? Curiga apa? Sudahlah, sebaiknya kau tinggalkan kami dulu. Nanti kita bicarakan di kamar,” titah Abimanyu pada istrinya. Saraswati tentu tidak terima akan sikap Abimanyu yang lebih memihak ada anak kandungnya dari pada dirinya.

"Baiklah."

Hanya kata itu yang dilontarkan Saraswati. Senyum Helena kembali merekah.

‘Sebentar lagi, kau akan angkat kaki dari rumahku! Sudah cukup kau usir Kak Bella. Suatu saat nanti, kau yang akan terusir dari rumah ini. Ah, ternyata kehamilanku ada hikmahnya juga,' bathin Helena menggurutu.

“Maaf atas kelancangannya, Jake."

"Tidak apa-apa, Om.”

Selanjutnya obrolan tentang pernikahan Helena dengan supir pribadinya berlanjut. Helena ternyata memiliki konsep pernikahan yang cukup matang. Sebenarnya konsep pernikahan itu untuk pernikahannya dengan si brengsek Samuel.

Dulu, Helena sempat berpikir kalau Samuel akan lebih memilih dirinya dari pada istrinya. Helena terlalu terbuai akan ungkapan cinta dan rayuan seorang Samuel. Helena tidak tahu saja kalau kekasih simpanan Samuel tidak hanya dirinya, tetapi masih banyak wanita lain di luaran sana. Helena terlalu bodoh, terlalu terpedaya. Tetapi, itu dulu! Sebelum melihat sikap kasar Samuel tadi siang. Hatinya benar-benar kecewa dan hancur. Hebatnya seorang Helena, dia begitu mudah melupakan kesedihan dan kekecewaan dalam sekejap waktu.

“Pa, menjelang hari pernikahan kami ... aku boleh tidak tinggal di rumah ini lagi?”

Abimanyu mengulas senyum, menganggukkan kepala.

“Tentu saja boleh. Rumah ini milikmu, Nak. Kelak, kau yang akan mendapatkan lebih banyak warisan dari Papa. Yang penting ... Papa ingin kau dan Jake, segera memberikan cucu untuk Papa. Dengan syarat, kalian harus resmi telah menjadi sepasang suami istri. Kau tahu kan, Helena ... kalau Papa tidak suka hamil di luar pernikahan. Memalukan!”

Helena menelan liur mendengar ucapan Abimanyu. Jake menoleh pada wanita yang sebentar lagi akan menjadi istrinya. Dia menggenggam telapak tangan Helena, menganggukkan kepala, seolah meyakinkan Helena kalau semuanya akan baik-baik saja.

Helena tidak marah meski Jaka, si supir pribadi menggenggam telapak tangan tanpa izin terlebih dahulu. Justru ia merasa senang sebab Jaka dapat membantu dirinya mengatasi masalah yang tengah dihadapi.

“Tentu aku sudah tahu, Pa. Jake ... selama ini sangat menjagaku,” ungkap Helena tersenyum manis. Abimanyu bahagia, anak keduanya mendapatkan pasangan hidup sesuai dengan kriterianya.

“Baiklah, kalau begitu Papa mau istirahat dulu.”

Jake melepaskan genggaman tangan, berdiri, menghadap Abimanyu.

“Om, saya juga mau pamit. Mungkin besok saya akan kembali ke sini lagi untuk menjemput ... hmm ... Helena memesan gaun pengantin seperti yang tadi kita bicarakan.”

Abimanyu menoleh pada anak gadisnya, kemudian beralih pada Jake yang baru saja berpamitan.

“Kau tidak ngobrol-ngobrol dulu dengannya?”

“Tidak, Pa! Jake harus pulang sekarang karena sebelum menjemputku, dia harus kembali ke Bogor untuk melihat perkebunan teh-nya.”

Helena menyela. Sebenarnya dia ingin segera menenangkan hati dan pikiran. Helena harus mengatur rencana pernikahanya dengan baik agar tidak ada yang tahu kalau semua itu hanya pura-pura saja. Pernikahan yang menutupi kehamilannya dikarenakan Samuel tidak mau bertanggung jawab. Helena masih bersyukur karena Jake mau menikahinya padahal sudah tahu kalau Helena sedang mengandung anak dari lelaki lain.

“Oh, begitu, baiklah. Papa istirahat dulu.”

Helena dan Jake menganggukkan kepala. Supir pribadi Helena itu menghela napas panjang. Dia merasa lega karena Abimanyu sudah meninggalkannya.

“Nona, saya pamit pulang dulu.”

“Eh, tunggu sebentar!” cegah Helena menggamit lengan Jake Abraham. Sifat Helena yang demikian tidak membuat Jake besar kepala atau bahagia sebab ia tahu kalau Helena sedang berpura-pura menjadikannya lelaki yang dicintai.

“Ada apa, Nona?”

“Eh, kau jangan panggil aku Nona! Enak saja!” Helena protes, mendelik tak suka.

“Memangnya saya harus memanggil apa? Lagi pula di ruangan ini hanya ada saya dan Nona.”

Kedua mata Helena melotot dan berkacak pinggang.

“Astaga, kau ini ... sudah kubilang, jangan panggil aku nona! Panggil aku ... hmmm ....”

Helena tampak berpikir sejenak, kemudian bibirnya melengkungkan senyum.

“Panggil aku ... Ayang!” sambung Helena tersenyum lebar.

“Ayang? Kenapa harus memanggil Ayang?”

“Jangan tanya kenapa! Pokoknya kau harus panggil aku Ayang! Coba sekarang kau panggil aku Ayang! Ayok, panggil!”

Helena menggoyangkan lengan kekar Jaka. Lelaki itu merunduk sebentar, lalu ... “Iya, Ayang.”

“Baguuss ....!”

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status