Share

Bab 4

Helena bernapas lega karena masalah yang dihadapinya telah menemukan jalan keluar. Beruntung, ia memiliki supir pribadi yang lumayan tampan dan cukup cerdas. Abimanyu, Saraswati maupun Cella pasti tidak akan menyangka kalau Jaka adalah supir pribadi Helena.

Setelah kepergian Jaka dari rumah, Helena masuk ke dalam rumah. Melenggang santai menuju kamarnya yang telah lama ia tinggalkan.

“Kau mau kemana?” Langkah kaki Helena terhenti mendengar pertanyaan dari ibu sambungnya. Helena membalikkan badan, bersidekap.

“Mau ke kamar,” jawab Helena santai, mengulas senyum tipis.

“Kau mau tinggal di sini lagi?” tanya Saraswati sinis. Wanita itu jelas saja tidak suka Helena kembali tinggal di rumah megah nan mewah ini. Jika ada Helena di rumah, sudah dapat dipastikan, gerak-gerik Saraswati dan Cella tidak sebebas saat tidak ada Helena di sini.

“Tentu saja, ini kan rumahku! Dan kau dan anakmu itu ... di sini hanya me-num-pang!”

Kata terakhir, ditekankan Helena. Sontak, Saraswati geram, mendengar anak sambungnya berkata kurang ajar.

“Lancang sekali bicaramu, Helena!” sentak Saraswati tidak terima dengan ucapan anak kedua Abimanyu.

Kening Helena mengkerut, menuruni satu anak tangga agar dirinya lebih dekat dengan Saraswati.

“Lancang bagaimana? Memang benar kan ... kalau kau dan Cella hanya menumpang. Ingat ya, kau dan anakmu itu sudah berani mengusir kakakku, maka sebentar lagi ... aku akan membuatmu dan anakmu terusir dari rumahku! Camkan itu baik-baik!”

Saraswati tersentak, mendengar ancaman yang dilayangkan Helena. Selama ini Helena terkesan tidak peduli dengan kepergian Kakak kandungnya. Bahkan ia terlalu asyik tinggal di luaran sana. Dirinya sangat kecewa pada Abimanyu ketika mengusir Bella yang tiada lain kakak satu-satunya Helena. Diamnya Helena dulu, karena dia terlalu sibuk dengan cintanya pada Samuel Christian. Lelaki yang telah menghamilinya.

“Berani sekali kau bicara seperti itu padaku! Memangnya kau siapa?” Saraswati balas membentak Helena.

“Aku siapa? Hahahahah ... Rupanya kau lupa. Hei, aku adalah ... anak bungsu Tuan Abimanyu Adiwilaga. Sini, biar aku ingatkan dirimu. Kamu ... kamu hanya wanit yang dinikahi sirri oleh Papaku. Dan anakmu yang tukang cari muka itu, dia hanya anak tiri! Bukan anak kandung Papa! Lupa?” Sorot mata Helena mengejek keberadaan Saraswati yang wajahnya sudah memerah akibat menahan amarah yang ingin meluap. Melihat ekspresi Saraswati, Helena tersenyum sinis.

“Oh iya, kau kan sudah tua. Pantas saja jika sudah banyak lupa!” ejek Helena sambil menyilang kan kedua tangan di depan dada.

“Kurang ajar kamu!” Sebelah tangan Saraswati terangkat keudara, hendak menampar Helena, namun segera ia turunkan kembali.

“Apa? Kau mau menamparku?” Helena menantang Saraswati ketika wanita itu mengepalkan kedua tangannya.

“Kau mau memukulku? Silakan saja! Satu ujung kukumu menempel pada wajahku, maka ... aku akan melaporkanmu ke kantor polisi atas laporan penganiayaan. Sudahlah, aku malas meladenimu! Satu lagi aku ingatkan, kalau menumpang hidup di rumah orang

... harus tahu diri! Gak usah banyak tingkah!”

Puas sekali Helena membalas prilaku buruk Saraswati. Sekarang Helena tidak akan berdiam diri lagi. Dia tidak akan membiarkan Saraswati dan Cella menguasai rumah serta perusahaan Papanya. Kelak, jika Jaka telah resmi menjadi suaminya, Helena akan menyuruh supir pribadinya itu bekerja di perusahaan sang Papa.

Di dalam kamar, Helena menghempaskan tubuh di atas ranjang berukuran king size. Pandangannya menatap langit-langit kamar, lalu mengitari sekeliling.

Sudah lama sekali ia tidak tidur di kamar ini. Sekarang, sudah saatnya Helena kembali ke rumah Abimanyu. Rumah masa kecilnya dulu. Dalam hati, Helena pun bertekad bahwa suatu saat ia akan mengajak kakaknya kembali ke rumah masa kecilnya.

***

Pukul satu malam, Cella anak kandung Saraswati pulang ke rumah. Kedua matanya memerah, tubuhnya berjalan agak sempoyongan.

“Cella!” panggil Saraswati tergopoh-gopoh menghampiri Cella. Wanita yang tengah mabuk itu bersandar pada pintu kamar.

“Ada apa, Ma ....” Meskipun mabuk, namun Cella masih setengah sadar. Dia masih bisa diajak komunikasi.

“Astaga, Cella! Kau mabuk? Ayok, cepat masuk sebelum anak kurang ajar itu melihat perilakumu!” Saraswati membuka pintu kamar anaknya, memapah Cella agar masuk ke dalam kamar.

“Anak kurang ajar? Anak kurang ajar siapa, Ma?”

Setengah sadar, Cella bertanya. Saraswati mendudukan Cella di sisi ranjang. Gadis yang usianya dua tahun lebih muda dari Helena tidak mengerti dengan sikap Mamanya.

“Helena sudah kembali lagi. Dia akan tinggal di rumah ini lagi, Cellaa ....” ujar Saraswati cemas jika mengingat keberadaan Helena di rumah Abimanyu. Cella mencebik, merebahkan tubuhnya ke atas ranjang.

"Paling satu malam, Ma. Dia ... dia tidak mungkin mau lama tinggal satu rumah sama kita.” Cella menanggapi santai kecemasan yang dialami Mamanya. Saraswati tidak bisa setenang Cella. Dia justru merasa keberadaannya di rumah ini terancam. Mungkin, cepat atau lambat, dirinya dan Cella akan didepak Helena. Sungguh, sesuatu yang sangat mengerikan. Saraswati tidak dapat membayangkan jika harus keluar dari rumah Abimanyu.

“Tapi, Cella ... Masalahnya tidak semudah yang kau bayangkan ....”

“Ma, Mama gak perlu khawatir. Ma, kalau pun kita keluar dari rumah ini, aku sudah mempunyai apartemen. Kita bisa tinggal di sana! Sudahlah, aku mau tidur dulu! Aku capek! Kepalaku pusing!” Cella tidak menghiraukan kekhwatiran yang dialami Mamanya. Bagi Cella, kedatangan saudara tirinya itu bukanlah masalah besar. Dulu saja, dia dan Mamanya berhasil mengusir Bella dari rumah dan membuat Abimanyu membenci anak sulung sendiri.

“Kau bilang Mama tidak perlu khawatir? Hei, bangunlah! Ada kabar lain yang membuat keberadaan kita di rumah ini terancam, Cella ....” Saraswati menarik lengan anak kandungnya agar kembali duduk dan mendengarkan ucapannya.

“Apalagi sih, Ma?” sentak Cella tidak terima dengan perlakuan sang Mama. Kedua matanya melotot tajam. Saraswati tidak menyangka kalau anaknya bersikap demikian. Baru kali ini, Cella membentak wanita yang telah melahirkannya itu.

“Kau ... kau berani membentakku? Membentak Ma-Mamamu?” Suara Saraswati bergetar. Ada rasa takut menyelinap dalam hatinya. Rasa takut jika pada akhirnya Cella yang tak lain anak kandungnya sendiri suatu saat akan pergi meninggalkannya.

“Aku capek, Ma ... kepalaku pusing. Tadi aku sudah katakan, aku capek! Kepalaku pusing! Apa Mama mulai tuli, heuh?” Hati Saraswati semakin sakit mendengar anaknya mengatakan ia tuli hanya karena menyuruh Cella mendengarkan kecemasannya. Sejenak, tenggorokan Saraswati tercekat. Tidak menyangka kalau darah dagingnya sendiri berani menghina.

“Sekarang Mama keluar dari kamarku! Besok kita bicarakan lagi! Keluarlah! Cepat, keluar!” Belum hilang sakit hati karena dibentak, kini Saraswati mendapat pengusiran yang membuat tubuhnya bergetar hebat.

Wanita tua itu berdiri, berjalan menuju pintu kamar dan keluar.

Tanpa disadari, air mata membasahi pipi Saraswati. Ia terkejut merasakan air mata membasahi salah satu matanya. Sebab, setelah sekian lama, baru kali ini ia meneteskan air mata lagi. Menyadari hal itu, cepat-cepat Saraswati menyeka, menarik napas panjang dan berjalan ke kamarnya.

Di dalam kamar, Saraswati melihat sang suami mendengkur halus. Lelaki yang telah berhasil ia taklukkan hatinya, lelaki yang lebih memilih dirinya ketimbang Bella, lelaki yang selalu saja mengabulkan yang dia inginkan. Akan tetapi, itu dulu ... pada saat Helena tidak ada di rumah ini. Bertahun-tahun sudah ia menjadi ratu di istana Abimanyu Adiwilaga. Kepergian kedua anak kandung Abimanyu dari istana ini, membuat Saraswati merasa menang. Namun ia lupa, Saraswati belum membuat Abimanyu menandatangani satu pun aset kekayaan Abimanyu atas nama Saraswati atau pun Cella. Apartemen yang dibeli Cella bukanlah apartemen mewah. Hanya apartemen dengan harga yang biasa saja.

Saraswati kini mendekati Abimanyu, beringsut naik ke atas ranjang, berbaring di samping Abimanyu. Sebelah tangan, membelai rambut suaminya.

Abimanyu tersadar, mengerjapkan kedua mata beberapa kali lalu, memerhatikan Saraswati yang terseyum padanya.

“Kau ... kau belum tidur?” tanya Abimanyu, suaranya terdengar serak. Lelaki yang berperawakan tinggi tegap itu berusaha menyandarkan tubuh ke sandaran kepala ranjang. Saraswati melakukan hal serupa, menyelipkan tangan pada lengan Abimanyu.

“Belum. Aku ... aku gak bisa tidur ....” ucap Saraswati menyandarkan kepala pada pundak suaminya. Abimanyu menarik napas panjang.

“Kenapa? Apakah ada yang mengganggu pikiranmu?”

Perhatian seorang Abimanyu langsung dimanfaatkan Saraswati. Wanita licik itu tersenyum sinis, berharap kalau masalah yang mengganggu pikirannya dapat dihilangkan Abimanyu. Saraswati menunjukkan raut wajah sedih.

“Sepertinya begitu, Mas ....” Suara Saraswati terdengar lemah. Semakin mengeratkan rengkuhan pada lengan Abimanyu.

“Memangnya apa yang mengganggu pikiranmu, heum?” dengan lembut, Abimanyu kembali bertanya.

“Hmmm ... Pikiranku ... Pikiranku terganggu karena ada ... euu ... ada Helena di rumah kita, Mas.”

Sontak, Abimanyu terkejut, tangan Saraswati sampai terlepas dari lengan lelaki berusia lebih dari setengah abad. Abimanyu menarik napas panjang. Dia tahu, kalau istri keduanya memang sangat tidak menyukai Helena. Menurut cerita yang disampaikan Saraswati, Helena kerap kali berbuat kasar dan kurang ajar kepadanya. Meskipun Abimanyu belum pernah melihat dengan mata dan kepala sendiri.

“Kau tidak perlu merasa terganggu dengan kehadiran Helena di rumah ini. Helena adalah anak kandungku. Hanya dia, hanya dia yang kuharapkan. Hanya dari rahim dia, aku mengharapkan keturunan yang sah! Hanya dari Helena, aku menginginkan lahirnya seorang anak yang nantinya ---“ Abimanyu menjeda kalimat, menatap lekat wajah wanita yang telah bertahun-tahun dinikahi.

“---nantinya akan menjadi penerus tahta perusahaanku dan menjadi pemilik semua harta kekayaanku, Saras!”

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status