"Pasti kau mau menikah denganku karena uangku, 'kan?"
"Bahkan jika iya, seharusnya kau tidak keberatan, karena bagaimana pun tidak ada lagi perempuan yang mau denganmu ... kecuali aku. Kecuali aku." Ini mungkin terdengar kasar dan tega. Tapi aku ingin mengajarkan pada lelaki ini, bahwa kenyataannya dunia memang sekejam itu. "Malam ini kau mau makan apa, nasi goreng?" Aku bertanya padanya, tapi lelaki itu malah diam dan pergi begitu saja dengan kursi roda canggihnya. Aku tahu, aku tahu dia mungkin kesal atau bahkan tersinggung atas ucapanku. Tapi ia harus belajar 'kan? Harus mulai menerima keadaan, harus berdamai dengan hidupnya yang seketika jungkir balik akibat peristiwa kebakaran sebulan lalu. "Aku mengerti bagaimana perasaanmu, tapi haruskah kau menyerah atas hidupmu?" Kursi rodanya berhenti, tetapi ia tak menoleh. Hanya diam di depan pintu kamar. "Kau harus tahu, tidak peduli bagaimana kondisimu, kau tetap berharga, kau tetap manusia yang ...." "Berhenti mengoceh ini dan itu, mencoba membuatku berbesar hati, berhenti! Itu sama sekali tidak berguna. Aku tidak akan mendadak bisa berlari hanya karena ocehanmu itu, dan wajahku? Kau lihat?" Ia membentakku, kursi rodanya berbalik menghadapku. Tangannya terkepal, ia menunjukku. "Kau lihat betapa buruknya wajah ini ha? Menurutmu ocehanmu itu bisa membuat wajahku kembali mulus? Jawab aku, sialan!" Suaranya semakin meninggi, dan aku menyadari ucapanku sepertinya sudah berlebihan terhadapnya. Jadi, kuputuskan untuk diam saja. Membiarkan lelaki cacat ini untuk melampiaskan amarah, yang mungkin sudah ia pendam sejak lama. "Kau tidak akan pernah tahu bagaimana rasanya harus selalu menggunakan kursi roda, dipandang aneh karena wajah yang buruk rupa! Kau tidak akan pernah tahu sampai kau merasakannya sendiri! Jangan mengangguku sampai pagi, aku tidak ingin melihatmu!" Ucapnya lalu berbalik, dan kursi roda canggih itu memasuki kamar dengan mulus, setelahnya pintu kamar menutup otomatis. Aku menghela napas, tiba-tiba teringat hari pertama saat aku bertemu dengannya di ruang tamu rumahku. Hari di mana perjodohan aneh kami dimulai. "Dijodohkan? Tapi kenapa?" Aku bertanya sambil menatap Ibuku heran, dan tak habis pikir. Ini sudah modern dan haruskah perjodohan paksa masih dilestarikan? Tidak bisakah aku memilih hidupku sendiri? Ya, aku baru ingat, keluargaku ini menganut sistem patriarki, di mana lelaki selalu lebih tinggi kedudukannya dibanding perempuan. Kedua Kakak lelakiku bebas memilih dengan siapa hendak menikah, sementara aku? Ya, harus dipilihkan. Aku tak bisa melawan, karena itu jelas melawan prinsipku. Prinsip bahwa orangtua harus selalu dihormati, bahwa aku harus selalu menuruti apa pun yang mereka katakan. "Umurmu sudah 24 tahun, dan kau masih bertanya kenapa?" Ibu menyahut dengan kesal. Tangannya masih sibuk melipat baju adik lelakiku, si bungsu. Aku mengerutkan dahi, lalu membenarkan anak rambut yang keluar dari jilbabku. "Aku belum setua itu untuk dijodohkan, Ibu," ungkapku membela diri. Lagi pula aku memang belum setua itu. Di beberapa negara luar malah ada yang baru menikah ketika usia mencapai kepala tiga, bahkan ada yang baru menikah ketika kepala empat. Menurutku menikah bukan untuk ajang buru-buru, menikah perlu mental, finansial, dan kesiapan yang harus dimiliki oleh kedua pasangan. Dan, visi misi juga harus sejalan. Tapi, tentu saja Ibuku tak peduli perkara itu, yang ia pedulikan hanya bagaimana caranya agar putrinya bisa segera menikah, sehingga ia tak perlu mendengar gunjingan tetangga kanan-kiri, yang kerap mengataiku perawan tua. "Aku tak peduli! Yang terpenting kau menikah, dan kau harus mau! Aku tak mau mendengar alasan apa pun, Laiba!" Ibuku berkata lagi, dan jika sudah demikian aku tak bisa apa-apa kecuali mengiyakan. Akhirnya aku menganggukkan kepala, setuju saja atas rencana perjodohan yang tentu saja tak berasal dari hatiku sendiri. Tadi malam Ibu bahkan sudah mengancamku, apa pun yang terjadi, bagaimana pun bentuk calon suamiku nanti, cacat atau tidak, jelek atau tampan, aku harus tetap setuju, tak boleh menolak apalagi sampai nekat kabur ketika ijab kabul dilaksanakan. Aku bahkan belum tahu bagaimana rupa calon suamiku itu, tapi Ibu sudah mengancamku sedemikian rupa. Sungguh tak habis pikir aku dibuatnya. Siang itu sekitar pukul satu, serombongan datang ke rumahku, sebuah mobil mewah yang kuketahui bukan sembarang mobil terparkir di bawah pohon mangga. Mobil itu hitam mengilat, mungkin kalau nyamuk tak sengaja hinggap ia akan jatuh terpeleset, saking mengilatnya mobil itu. Kupikir hanya satu, rupanya ada tiga lagi dengan merk yang tak jauh berbeda, warnanya juga senada. Dan, aku makin tak mengerti setelah satu mobil menyusul di belakang, warnanya merah menyala, jelas sekali pemiliknya seseorang yang senang jadi pusat perhatian. Apa lagi memang? Kau punya mobil warna merah? Tentu saja merah adalah warna yang sangat mudah mencuri mata untuk menatapnya. Jadi, sudah pasti pemiliknya adalah seorang narsis. Ya, kupikir begitu. Mereka siapa? Aku bertanya-tanya sendiri, sembari mengintip melalui celah gorden jendela. Tentu saja, aku tak mungkin mengintipnya melalui balkon, aku tak sekaya itu untuk punya rumah dengan balkon. Setelahnya bisa kudengar Ibu berseru heboh, ia langsung menyuruhku untuk masuk kamar dan berdandan. Awalnya aku menolak, tetapi ia langsung melotot, dan membuatku mau tak mau segera melakukan perintahnya. Sambil merias diri seadanya, aku mulai mengerti siapa yang datang. Ya, pasti lelaki yang akan dijodohkan denganku. Kuharap ia bukan lelaki yang sudah punya istri tiga atau lima, jangan sampai. Jika benar begitu, maka aku akan langsung menolak perjodohan ini di depan wajahnya, atau aku akan kabur di hari pernikahan, biar saja Ibu dan Ayah menanggung malunya. Aku berlama-lama di kamar, bukan karena malu. Tapi, Ibu mencegahku keluar kamar sebelum dipanggil. Aku tertawa mengejek diriku sendiri, aku siapa? Seolah jadi manusia spesial saja. "Laiba!" Akhirnya namaku disebut, dan aku diizinkan untuk keluar kamar menemui calon suamiku. Ibu dan Ayahku sudah menceritakan sedikit gambaran tentang rupa suamiku. Katanya, dulu ia adalah lelaki dengan sejuta pesona. Katanya, dulu ia adalah lelaki yang langkahnya begitu tegap, sorot matanya setajam elang, wajahnya rupawan membuat siapapun, yang memandang tak mau beralih. Katanya juga, dulu ia adalah lelaki yang senyumnya sehangat mentari pagi. Tapi hari ini, tidak. Aku hanya menemukan lelaki yang wajahnya pucat, rusak, dan sinar matanya begitu redup tengah duduk di kursi roda. Dua lelaki berpakaian jas formal berdiri di belakangnya, sementara di sampingnya seorang perempuan baya mengenakan gamis putih, dengan kerudung warna senada tersenyum menatapku. Ya, aku melupakan kata "dulu" yang diucapkan oleh Ayah dan Ibuku. Entah apa yang terjadi pada "mentari pagi" ini sampai sangat berbeda dengan apa, yang digambarkan oleh kedua orangtuaku. Jujur saja aku sedikit terkejut, tapi aku ingat pesan Ibuku, jadi kuputuskan untuk bersikap biasa saja. Aku mengulurkan tangan untuk bersalaman dengan perempuan baya itu, kubalas senyumnya, dan ia langsung memelukku erat, membuatku sedikit terkejut, tetapi aku dengan mudah mampu menguasi diri. Pelukkan itu terlepas, ia masih tersenyum padaku, dan setelahnya mengenalkan lelaki yang berada di kursi roda. "Namanya Naqib, dan ia adalah calon suamimu, Nak. Kami kemari ingin melamarmu untuknya," ucap perempuan baya itu yang membuat mataku tak sengaja bersibobrok dengan sorot mata redup lelaki itu. Sangat redup, aku nyaris tak menemukan adanya harapan di dalamnya. Ia putus asa tampaknya. "Laiba!!" Sebuah seruan menghentikan lamunanku tentang beberapa minggu lalu. Aku mengerjap, dan seketika memasang wajah tanpa ekspresi melihat siapa yang datang ke rumah. "Waalaikumsalam!" Bersambung.Aku sudah selesai mengobati lukanya, dengan menempelkan plester di telapak tangan lelaki ini."Assalamualaikum!" Kami berdua menoleh bersamaan, dan menemukan Paman Qasim tengah tersenyum lebar di dekat pot bunga besar, yang dihuni oleh bunga kamboja."Waalaikumsalam!" Aku dan Naqib menyahut bersamaan. Ku kira aku bisa sedikit melihat senyuman di wajah lelaki ini karena Paman Qasim sudah pulang, tetapi aku salah. Karena ekspresi di wajahnya tak berubah. Hanya saja sorot matanya, sedikit tampak ada nyala hidup di sana.Lelaki paruh baya yang mengenakan setelan jas formal warna biru gelap, segera melangkah kan kakinya yang bersepatu pantofel mengkilat hitam, mendekat pada kami, atau mungkin lebih tepatnya pada Naqib.Paman Qasim berjongkok di hadapan Naqib, keponakan yang ku tahu amat ia sayangi."Bagaimana kondisimu, Nak? Sudah lebih baik?" Aku mengamati ekspresi di wajah Naqib, dan bisa ku temukan nyala hidup di matanya perlahan-lahan mulai penuh, di sana aku menemukan Naqib yang masih
Sudah dua hari lamanya aku dan Naqib tinggal di kediaman Keluarga Kamandhana. Ku pikir, aku mulai menyadari adanya semacam sekat di antara mereka dengan Naqib. Seperti hanya Paman Qasim lah yang peduli pada lelaki itu di rumah ini.Nenek? Sudahlah jangan menanyakannya. Perempuan baya itu, tak pernah ku sangka, bahwa ia tampak tak menyukai Naqib. Sangat berbeda dari sikapnya saat kali pertama datang ke rumahku, untuk mengajukan lamaran Naqib padaku.Sekarang sudah pukul sembilan pagi. Kami sudah sarapan walau hanya di kamar, karena Naqib menolak untuk makan bersama di ruang makan. Aku mencoba menanyakan alasannya, dan tentu saja ia tak akan mau repot-repot menjawab, lelaki itu justru pergi dengan kursi roda canggihnya, meninggalkanku di kamar seorang diri.Sudah satu jam lamanya Naqib keluar, apa lelaki itu baik-baik saja? Atau di mana kah ia sekarang? Sepertinya aku harus segera mencarinya, takut sesuatu terjadi padanya. Bagaimana kalau nanti ia kejang lagi?Aku keluar kamar, mengenak
Kami berdua tiba di kediaman Keluarga Kamandhana sekitar pukul setengah sebelas siang, dan tak ada yang menyambut, ya apa yang ku harapkan memangnya? Mereka mungkin akan datang menyambut kalau ada Paman Qasim, tapi karena paman belum kembali dari luar kota, jadi lah kami seperti orang asing di kediaman ini. Maksudku, mereka seperti tak menganggap Naqib ada. Setidaknya jika mereka menganggapku asing tak apa, karena jika aku tak menikah dengan Naqib, aku memang hanya orang asing bagi mereka. Tapi, Naqib? Mengapa mereka melakukan ini? Bukankah Naqib bagian dari keluarga ini? Sungguh aku tak nengerti.Kali ini kami sudah di kamar Naqib yang dulu, kamar yang dicat biru muda, dengan langit-langit di cat biru gelap, dihiasi bintang-bintang juga bulan. Kemarin aku tak mengamati dengan benar, dan kali ini aku benar-benar terpukau, kamar lelaki ini sangat indah, se-indah matanya yang ber-iris cokelat itu.Sejak kembali, Naqib sudah terbaring di single bednya, aku menyelimutinya tadi, dan ia sud
Tiga puluh menit lamanya kami berdua menunggu, tetapi taksi yang ku pesan tak kunjung datang. Aku bahkan sudah berulang kali jongkok, berdiri lalu jongkok lagi, atau terkadang menengok ke arah kanan-kiri, menanti taksi itu datang menjemput kami.Bunyi notifikasi di ponsel membuatku segera mengeceknya, dan aku menatap Naqib. Ingin mengatakan padanya kalau si pengemudi rupanya menolak kami, tapi melihat wajahnya yang sudah lelah dan tampak pucat, membuatku jadi tak tega.Sekarang kami harus bagaimana? Tak mungkin aku jalan kaki, mendorong Naqib di kursi rodanya, dengan barang bawaan sebanyak ini.Aku berjongkok lagi, menghadap lelaki ini. "Kenapa?" Aku tersenyum padanya. Ku pikir ia sudah tidur."Kau bisa tidur dulu," Kataku masih dengan tersenyum.Helaan napas terdengar dari mulutnya. "Pengemudinya menolak datang?" Aku menganggukkan kepala, dan setelahnya ia menghela napas lagi, lalu memejamkan mata.Ku harap ia betulan tertidur, dan aku akan mengusahakan bagaimana pun caranya agar ka
"Rumah itu sudah ku jual! Jadi, kalian harus tinggal di Rumah Besar Kamandhana mulai sekarang!" Panggilan itu seketika diputuskan secara sepihak. Dan, aku sungguh terkejut mendapati sikap Nenek yang sangat berbeda. Rupanya segala hal tentang Naqib, dan Keluarga Kamandhana memang menyimpan banyak keanehan juga rahasia. Aku segera memasukkan kembali ponsel ke saku.Aku menghela napas, menatap Naqib yang duduk dengan tenang di kursi roda canggihnya. Kami berdua pulang ke rumah, dan sayangnya ketika mencoba mengetuk pagar, seseorang keluar dari sana, menjelaskan bahwa ia adalah pemilik baru rumah kami.Aku berjongkok di samping lelaki ini, mengamati rumah yang cukup besar yang beberapa minggu telah kami tempati. Rumahnya nyaman, asri, dan menyenangkan tinggal di sini. Sayangnya Nenek malah menjualnya, maka mau tak mau seperti yang Nenek katakan di panggilan tadi, kami harus tinggal di kediaman Kamandhana, lebih tepatnya rumah besar."Aku tidak mau kembali ke sana!" Ucapan Naqib sungguh me
Melihatnya sudah membuka mata, dan sedikit berbicara membuatku semakin lega. Aku senang ia bangun lagi, dan senang setelah Dokter Kahil datang mengatakan, kalau Naqib memiliki kemungkinan untuk berjalan lagi, tapi ia harus rajin meminum obatnya juga mulai mengikuti terapi.Aku mulai bertanya-tanya, apakah selama ini Naqib tak meminum obatnya dengan rajin? Maksudku sebelum kami menikah? Dan, terapi? Benarkah tak ada yang mampu memaksanya untuk ikut terapi? Aku yakin Paman Qasim pasti sudah membujuk lelaki ini, dan lelaki ini tentu menolaknya, sehingga membuat terapi tak kunjung dilakukan padanya.Setelah Dokter Kahil pergi, aku duduk di samping kanan brankar Naqib lagi, lantaran saat Dokter Kahil datang tadi aku duduk di sofa. Mendengarkan penjelasannya mengenai keadaan kaki Naqib, dan kemungkinan lelaki itu untuk bisa kembali berjalan."Kau sudah tahu kau masih bisa berjalan lagi kalau ikut terapi?" Ku harap ia tidak mengiyakan, karena aku sangat kesal jika sampai ia mengiyakan.Tapi