Share

Menikahi Tuan Muda Buruk Rupa
Menikahi Tuan Muda Buruk Rupa
Author: Maulana Hani

Prolog

Author: Maulana Hani
last update Last Updated: 2025-05-11 09:29:47

"Pasti kau mau menikah denganku karena uangku, 'kan?"

"Bahkan jika iya, seharusnya kau tidak keberatan, karena bagaimana pun tidak ada lagi perempuan yang mau denganmu ... kecuali aku. Kecuali aku."

Ini mungkin terdengar kasar dan tega. Tapi aku ingin mengajarkan pada lelaki ini, bahwa kenyataannya dunia memang sekejam itu.

"Malam ini kau mau makan apa, nasi goreng?" Aku bertanya padanya, tapi lelaki itu malah diam dan pergi begitu saja dengan kursi roda canggihnya.

Aku tahu, aku tahu dia mungkin kesal atau bahkan tersinggung atas ucapanku. Tapi ia harus belajar 'kan? Harus mulai menerima keadaan, harus berdamai dengan hidupnya yang seketika jungkir balik akibat peristiwa kebakaran sebulan lalu.

"Aku mengerti bagaimana perasaanmu, tapi haruskah kau menyerah atas hidupmu?"

Kursi rodanya berhenti, tetapi ia tak menoleh. Hanya diam di depan pintu kamar.

"Kau harus tahu, tidak peduli bagaimana kondisimu, kau tetap berharga, kau tetap manusia yang ...."

"Berhenti mengoceh ini dan itu, mencoba membuatku berbesar hati, berhenti! Itu sama sekali tidak berguna. Aku tidak akan mendadak bisa berlari hanya karena ocehanmu itu, dan wajahku? Kau lihat?" Ia membentakku, kursi rodanya berbalik menghadapku. Tangannya terkepal, ia menunjukku.

"Kau lihat betapa buruknya wajah ini ha? Menurutmu ocehanmu itu bisa membuat wajahku kembali mulus? Jawab aku, sialan!" Suaranya semakin meninggi, dan aku menyadari ucapanku sepertinya sudah berlebihan terhadapnya. Jadi, kuputuskan untuk diam saja. Membiarkan lelaki cacat ini untuk melampiaskan amarah, yang mungkin sudah ia pendam sejak lama.

"Kau tidak akan pernah tahu bagaimana rasanya harus selalu menggunakan kursi roda, dipandang aneh karena wajah yang buruk rupa! Kau tidak akan pernah tahu sampai kau merasakannya sendiri! Jangan mengangguku sampai pagi, aku tidak ingin melihatmu!" Ucapnya lalu berbalik, dan kursi roda canggih itu memasuki kamar dengan mulus, setelahnya pintu kamar menutup otomatis.

Aku menghela napas, tiba-tiba teringat hari pertama saat aku bertemu dengannya di ruang tamu rumahku. Hari di mana perjodohan aneh kami dimulai.

"Dijodohkan? Tapi kenapa?" Aku bertanya sambil menatap Ibuku heran, dan tak habis pikir.

Ini sudah modern dan haruskah perjodohan paksa masih dilestarikan? Tidak bisakah aku memilih hidupku sendiri? Ya, aku baru ingat, keluargaku ini menganut sistem patriarki, di mana lelaki selalu lebih tinggi kedudukannya dibanding perempuan. Kedua Kakak lelakiku bebas memilih dengan siapa hendak menikah, sementara aku? Ya, harus dipilihkan. Aku tak bisa melawan, karena itu jelas melawan prinsipku. Prinsip bahwa orangtua harus selalu dihormati, bahwa aku harus selalu menuruti apa pun yang mereka katakan.

"Umurmu sudah 24 tahun, dan kau masih bertanya kenapa?" Ibu menyahut dengan kesal. Tangannya masih sibuk melipat baju adik lelakiku, si bungsu.

Aku mengerutkan dahi, lalu membenarkan anak rambut yang keluar dari jilbabku. "Aku belum setua itu untuk dijodohkan, Ibu," ungkapku membela diri. Lagi pula aku memang belum setua itu.

Di beberapa negara luar malah ada yang baru menikah ketika usia mencapai kepala tiga, bahkan ada yang baru menikah ketika kepala empat. Menurutku menikah bukan untuk ajang buru-buru, menikah perlu mental, finansial, dan kesiapan yang harus dimiliki oleh kedua pasangan. Dan, visi misi juga harus sejalan. Tapi, tentu saja Ibuku tak peduli perkara itu, yang ia pedulikan hanya bagaimana caranya agar putrinya bisa segera menikah, sehingga ia tak perlu mendengar gunjingan tetangga kanan-kiri, yang kerap mengataiku perawan tua.

"Aku tak peduli! Yang terpenting kau menikah, dan kau harus mau! Aku tak mau mendengar alasan apa pun, Laiba!" Ibuku berkata lagi, dan jika sudah demikian aku tak bisa apa-apa kecuali mengiyakan.

Akhirnya aku menganggukkan kepala, setuju saja atas rencana perjodohan yang tentu saja tak berasal dari hatiku sendiri. Tadi malam Ibu bahkan sudah mengancamku, apa pun yang terjadi, bagaimana pun bentuk calon suamiku nanti, cacat atau tidak, jelek atau tampan, aku harus tetap setuju, tak boleh menolak apalagi sampai nekat kabur ketika ijab kabul dilaksanakan. Aku bahkan belum tahu bagaimana rupa calon suamiku itu, tapi Ibu sudah mengancamku sedemikian rupa. Sungguh tak habis pikir aku dibuatnya.

Siang itu sekitar pukul satu, serombongan datang ke rumahku, sebuah mobil mewah yang kuketahui bukan sembarang mobil terparkir di bawah pohon mangga. Mobil itu hitam mengilat, mungkin kalau nyamuk tak sengaja hinggap ia akan jatuh terpeleset, saking mengilatnya mobil itu.

Kupikir hanya satu, rupanya ada tiga lagi dengan merk yang tak jauh berbeda, warnanya juga senada. Dan, aku makin tak mengerti setelah satu mobil menyusul di belakang, warnanya merah menyala, jelas sekali pemiliknya seseorang yang senang jadi pusat perhatian. Apa lagi memang? Kau punya mobil warna merah? Tentu saja merah adalah warna yang sangat mudah mencuri mata untuk menatapnya. Jadi, sudah pasti pemiliknya adalah seorang narsis. Ya, kupikir begitu.

Mereka siapa? Aku bertanya-tanya sendiri, sembari mengintip melalui celah gorden jendela. Tentu saja, aku tak mungkin mengintipnya melalui balkon, aku tak sekaya itu untuk punya rumah dengan balkon.

Setelahnya bisa kudengar Ibu berseru heboh, ia langsung menyuruhku untuk masuk kamar dan berdandan. Awalnya aku menolak, tetapi ia langsung melotot, dan membuatku mau tak mau segera melakukan perintahnya.

Sambil merias diri seadanya, aku mulai mengerti siapa yang datang. Ya, pasti lelaki yang akan dijodohkan denganku. Kuharap ia bukan lelaki yang sudah punya istri tiga atau lima, jangan sampai. Jika benar begitu, maka aku akan langsung menolak perjodohan ini di depan wajahnya, atau aku akan kabur di hari pernikahan, biar saja Ibu dan Ayah menanggung malunya.

Aku berlama-lama di kamar, bukan karena malu. Tapi, Ibu mencegahku keluar kamar sebelum dipanggil. Aku tertawa mengejek diriku sendiri, aku siapa? Seolah jadi manusia spesial saja.

"Laiba!" Akhirnya namaku disebut, dan aku diizinkan untuk keluar kamar menemui calon suamiku.

Ibu dan Ayahku sudah menceritakan sedikit gambaran tentang rupa suamiku.

Katanya, dulu ia adalah lelaki dengan sejuta pesona.

Katanya, dulu ia adalah lelaki yang langkahnya begitu tegap, sorot matanya setajam elang, wajahnya rupawan membuat siapapun, yang memandang tak mau beralih.

Katanya juga, dulu ia adalah lelaki yang senyumnya sehangat mentari pagi.

Tapi hari ini, tidak. Aku hanya menemukan lelaki yang wajahnya pucat, rusak, dan sinar matanya begitu redup tengah duduk di kursi roda. Dua lelaki berpakaian jas formal berdiri di belakangnya, sementara di sampingnya seorang perempuan baya mengenakan gamis putih, dengan kerudung warna senada tersenyum menatapku.

Ya, aku melupakan kata "dulu" yang diucapkan oleh Ayah dan Ibuku. Entah apa yang terjadi pada "mentari pagi" ini sampai sangat berbeda dengan apa, yang digambarkan oleh kedua orangtuaku. Jujur saja aku sedikit terkejut, tapi aku ingat pesan Ibuku, jadi kuputuskan untuk bersikap biasa saja.

Aku mengulurkan tangan untuk bersalaman dengan perempuan baya itu, kubalas senyumnya, dan ia langsung memelukku erat, membuatku sedikit terkejut, tetapi aku dengan mudah mampu menguasi diri.

Pelukkan itu terlepas, ia masih tersenyum padaku, dan setelahnya mengenalkan lelaki yang berada di kursi roda.

"Namanya Naqib, dan ia adalah calon suamimu, Nak. Kami kemari ingin melamarmu untuknya," ucap perempuan baya itu yang membuat mataku tak sengaja bersibobrok dengan sorot mata redup lelaki itu.

Sangat redup, aku nyaris tak menemukan adanya harapan di dalamnya. Ia putus asa tampaknya.

"Laiba!!"

Sebuah seruan menghentikan lamunanku tentang beberapa minggu lalu. Aku mengerjap, dan seketika memasang wajah tanpa ekspresi melihat siapa yang datang ke rumah.

"Waalaikumsalam!"

Bersambung.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Menikahi Tuan Muda Buruk Rupa   40. Pada Kematian yang Dinanti

    Apa yang dokter katakan rupanya meleset, mengenai Naqib yang kemungkinan akan sadar dalam dua hari lagi, karena kenyataannya sore ini, mata lelaki itu telah terbuka, ia menatapku lama sekali tanpa berkedip, dan aku segera menekan tombol di ujung brankar, memanggil dokter agar segera datang memeriksa lelaki ini.Setelah dokter datang dan memeriksa kondisinya, aku merasa sangat lega, gemuruh badai di hatiku benar-benar telah lenyap. Dan kini Naqib telah dipindahkan ke ruang rawat, serta apabila kondisinya semakin membaik dalam dua hari, ia bisa pulang. Ku harap kondisinya segera baik, agar kami bisa segera pulang, tak perlu terlalu lama di rumah sakit."Kau perlu sesuatu?" Di ruangan ini hanya ada aku dan Naqib. Paman Qasim sudah datang tadi sore, dan malam ini ia mengatakan tak bisa datang, ia harus pergi ke luar kota untuk mengurus bisnisnya.Lelaki itu masih belum mengatakan apa-apa, sejak baru sadar hingga kini malam telah datang.Aku menghela napas, membiarkan saja ia untuk menyesu

  • Menikahi Tuan Muda Buruk Rupa   39. Mawar Berdarah di Taman Belakang

    Seorang perempuan bernama Aleisha bangun cukup pagi, merasa kesal luar biasa setelah sang Ayah—Qasim menghubungi agar ia segera ke rumah sakit. Perempuan itu turun dari ranjang besarnya, rambut cokelat gelap panjangnya acak-acakkan, sejenak perempuan itu menatap kaca datar di pojok kamar, menatap diri sendiri yang penampilannya begitu kusut."Naqib, Naqib dan selalu Naqib! Entah apa yang membuat Ayah begitu menyayanginya," Ia menggerutu lalu memutuskan masuk ke kamar mandi, menyalakan keran di bak dan segera menenggelamkan diri di sana, memejamkan mata menikmati air hangat, dan membiarkan piyama bunga-bunga kuningnya basah."Aleisha!" Perempuan itu tahu siapa yang memanggil, membuatnya berdecak sebal. Ia segera menyelesaikan mandinya, dan keluar dengan pakaian baru yang rapi."Ada apa?" Aleisha memandang kesal lelaki yang berdiri di depan rak bukunya, yang dibalas dengan tatapan malas oleh lelaki itu."Kita harus pergi ke rumah sakit, bukankah Ayah sudah bilang padamu?" Lelaki itu, Ba

  • Menikahi Tuan Muda Buruk Rupa   38. Mesin yang Membuat Lelucon

    Pagi itu, ketika langit terlalu erat dipeluk oleh sang awan, yang kelabu karena terlalu banyak menyimpan kesedihan anak-anak manusia, hingga mencegah sang surya untuk memunculkan diri. Laiba, perempuan yang mengenakan jilbab panjang putih, dengan gamis warna senada, dan sandal itu, melintasi lorong demi lorong rumah sakit dengan tergesa.Seseorang mungkin akan pergi hari ini, dan ia tak akan pernah kembali lagi. Setiap harinya memang begitu, bahwa jika ada yang lahir, maka akan ada yang mati, dan itu terjadi di belahan dunia mana pun. Tapi Laiba tidak siap, ia tidak siap jika itu untuk lelaki itu. Ia tak ingin kehilangan lelaki itu. Perempuan itu berhenti tepat di depan ruang ICU, dan seorang lelaki paruh baya tengah berdiri tepat di depan pintu ruangan, menatap ke arah dalam dengan ekspresi wajah gelisah, dahinya berkerut-kerut, lingkaran di bawah matanya tampak jelas, bibirnya bergerak-gerak, terus mengucapkan kalimat demi kalimat, sebuah doa agar seseorang yang berada dalam ruang

  • Menikahi Tuan Muda Buruk Rupa   37. Pintu Gudang dan Lelaki Itu

    Setelah berbincang cukup lama dengan Azizeh, dan perempuan berusia 59 tahun itu pamit hendak melakukan pekerjaannya yang lain, jadi ku pikir aku bisa kembali ke kamar segera.Langkahku justru tiba-tiba berhenti di depan gudang, karena aku kembali mengingat kejadian saat Naqib kejang-kejang di depan pintu ini, dan Jon saat itu baru saja bersamanya. Entah apa yang sebenarnya pernah terjadi di gudang ini, Naqib seperti memiliki memori kelam, sehingga membuatnya mengalami kejang.Aku mendekati pintu itu, dan mencoba membukanya. Tak ku sangka pintunya tak dikunci, perlahan aku masuk ke gudang yang cukup gelap itu, tetapi sedikit cahaya masih tampak, membuatku dengan mudan menemukan saklar lampu.Seketika semua benda yang ada di gudang mulai terlihat, dan aku terkejut ketika menyadari bahwa gudang ini tampak tak seperti gudang pada umumnya, maksudku, tempat ini cukup bersih untuk disebut gudang, hanya saja memang beberapa benda ada yang tak tertumpuk rapi, juga sebuah ranjang yang ditutupi

  • Menikahi Tuan Muda Buruk Rupa   36. Kaset Pita

    Sudah dua minggu lamanya, Naqib terbaring koma di brankar rumah sakit, matanya masih betah memejam, dan ventilator masih ada di mulutnya, begitupun selang infus di tangan kirinya, bahkan tiga hari lalu, dokter memasang kabel-kabel kecil di kedua pelipis Naqib, aku tak tahu apa fungsinya, tapi aku tahu alat itu telah menggambarkan bahwa Naqib dalam kondisi yang semakin buruk.Pagi ini sekitar pukul sembilan pagi, aku mendatangi mushola di rumah sakit, mengambil wudhu lalu melaksanakan sholat dhuha, berdoa pada-Nya agar melindungi lelaki itu, menjaga Naqib, membuat kondisinya membaik, dan segera sadarkan diri.Ini kali pertama aku merasakan gelisah yang tiada akhirnya, menunggu lelaki itu membuka mata, dan kembali mengucapkan sepatah kata walau ucapan pedas sekalipun.Aku tak ingat kapan Yazan sampai di rumah sakit ini, duduk di sampingku, entahlah mungkin karena ia bahkan tak mengatakan sepatah kata pun sejak tadi, dan hanya ada keheningan di antara kami."Bagaimana keadaan Kakak ipar?

  • Menikahi Tuan Muda Buruk Rupa   35. Pemberani Sepertinya, Seperti Angin

    Hari semakin siang, dan kali ini waktu telah menunjukkan pukul 10. Paman Qasim memintaku untuk berkeliling rumah sakit saja, atau pergi ke taman depan rumah sakit untuk menenangkan diri, sementara ia akan menunggui Naqib di depan ruang ICU. Aku segera menganggukkan kepala, dan setuju atas pinta lelaki paruh baya itu.Di sepanjang koridor, aroma menyengat obat lah yang memenuhi rongga hidungku, kadang aku juga berpapasan dengan seorang pasien yang hendak dipindahkan ruangannya, atau dengan para perawat yang mendorong brankar, di atasnya terbaring seorang pasien berlumuran darah, kadang pula brankar didorong dengan perempuan, yang perutnya membuncit, peluh mengiringinya, ia hendak melahirkan, dan terakhir aku menyaksikan, seorang anak lelaki mungkin berusia sekitar 5 tahunan, yang mulutnya dipasangi ventilator, matanya terpejam damai, tangannya dililit selang infus, kepalanya diperban, dan sepanjang brankar itu melaju ke arah ruang operasi, suara tangisan perempuan yang ku pikir Ibunya

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status