Share

Bab 11

Setelah insiden makan barusan, Lukman jadi berbeda. Dia banyak diam. Biasanya, waktu makan siang bersamaku dihabiskan untuk menuntaskan hasrat. Hasrat lapar dan yang lain.

"Aku pulang dulu, ya. Jaga diri baik-baik!" Dia bukan tipe yang suka berpesan hal semacam itu. Ini aku merasa, dia seperti hendak pergi dan tidak akan kembali atau setidaknya untuk waktu yang lama.

Aku menatapnya penuh tanya, tetapi mulut ini rasanya enggan berucap. Biarlah, mungkin saja dia sedikit baper karena diam-diam ada yang tidak menyukai hubungannya denganku. Ya, itu sangat mungkin.

Dia melangkah gontai. Aku mengekor. Tanpa kata. Kami sama-sama diam menuju mobilnya yang terparkir di tempat biasa.

Tidak ada kata yang diucapkannya sampai pintu mobil berwarna hitam itu terbuka. Dia juga tidak menatapku seperti biasanya. Boro-boro kasih ciuman.

Dia menyalakan mesin dan bersiap pergi.

Ada sesak yang diam-diam merayapi dada.

"Bang, ati-ati! Nanti malam aku pengen keluar, mau nemenin nggak?" tanyaku untuk mengulur waktu. Aku memang ingin sekali pergi berdua dengannya.

"Aku nggak bisa. Kamu tahu aku sibuk." Ya, dia sibuk. Mungkin di dunia ini, cuma dia yang sibuk. Yang lain santai semua.

"Oke. Mungkin aku pergi sama Aldi aja." Dia seketika mematikan kembali mesin itu. Tangannya mengepal. Ditekannya klakson kuat-kuat hingga beberapa orang yang melintas terkejut. Wajahnya berubah merah.

"Kamu boleh pergi sama laki-laki mana pun, asal jangan sama dia, May!"

What? Aku boleh pergi dengan laki-laki mana pun? Apa dia waras? Terus kenapa tidak boleh dengan Aldi? Dia baik, dia perhatian, dan yang penting tidak macam-macam. Apa jika jalan dengan laki-laki lain, sudah pasti tidak macam-macam? Kurasa Lukman sedang dalam kondisi memiliki dendam kesumat kepada Aldi.

Setelah sedikit reda, dia kembali menyalakan mesin mobil dan perlahan pergi meninggalkan tanda tanda di benakku. Ada apa sebenarnya antara dia dan Aldi? Haruskah kutanya langsung kepada Aldi?

Untuk nanti malam, sebenarnya aku hanya memancing Lukman. Aku tidak serius dengan rencana keluar itu. Lagi pula badan ini rasanya masih entah-berentah.

Aku akhirnya memutuskan untuk masuk dan kembali beristirahat. Oh, iya, tentang makan siangku tadi, akhirnya aku memakan nasi padang juga. Ya, mau bagaimana pun, aku ingin menyenangkan hati Lukman.

"Uhuy, sekarang aku mau makan bubur!"

***

"Hari ini rame banget, Bu. Anak-anak marketing sampai keteteran. Mana Bu Maya nggak ada, toko seberang juga Pak Aldi nggak masuk."

"Tapi gimana akhirnya? Sekarang masih rame nggak? Kalau masih rame saya ke situ, deh." Aku senang mendengar toko ramai. 

Rasa lemasku hilang seketika.

Apa mungkin aku sakit begini gara-gara toko sepi? Ah, korelasi macam apa itu? Sama sekali tidak ada. Aku murni masuk angin.

Sasti tadinya mencegahku dan mengatakan untuk meneruskan istirahat minimal sehari ini. Akan tetapi, aku yang mendengar suasana toko ramai, rasanya tidak tega membiarkan mereka berjuang tanpa aku.

"Ya sudah, kalau Bu Maya mau datang."

Aku mematikan sambungan telepon itu.

"Mandi dululah biar segar. Dari pagi belum mandi," gumamku. Entah mengapa semangatku meledak-ledak.

"May, kamu mau ke toko nggak?"

"Astaga, itu, kok, kayak suara Aldi?"

"Kalau mau ke toko bareng aja sama aku!"

"Tunggu sebentar, Al, aku belum mandi!"

"Mandi dulu aja nggak apa-apa, aku tunggu."

"Oke, bentar, ya! Nggak lama, kok, Al." Aku bergegas menurut kamar mandi.

"Kalau lama nanti kuintip, ati-ati aja!"

Sialan.

"Berisik, ah, bentaran. Udah diem dulu!" teriakku. Aku dan Aldi sedari tadi melakukan percakapan jarak jauh. Memang indekosku ini sempit.

"Pokoknya GPL, May! Nggak usah berendam!" Astaga, dia bawelnya mirip emak-emak yang anaknya disuruh bangun pagi malas-malasan.

Aku mandi dengan kilat. Tidak sampai 5 menit aku sudah keluar dengan handuk melilit badan. Sempat terpikir untuk mengintip Aldi lewat gorden, tetapi urung. Kuyakin dia sabar menunggu.

Setelah mengenakan pakaian, aku segera menyisir rambut pendekku yang basah. Sengaja aku tidak memakai pengering rambut agar sensai segarnya terbawa hingga ke toko. Dengan begitu, aroma dan semangatnya akan menguar sempurna. Hal itu akan menebarkan energi positif. Kuharap semua karyawan bisa tertular semangat ini.

Setelah beres masalah rambut, aku mengoles pelembab wajah dan bibir. Sengaja sore ini aku absen memakai bedak. Yang penting bibir tidak terlalu terlihat pucat. Wajahku yang bersih cukup bersinar, meski tanpa bedak.

Kusemprotkan parfum beraroma lavendel ke beberapa titik tubuh ini. Berharap aromanya dapat membuat siapa saja yang menghirup dapat menjadi rileks. Dengan begitu, otak dapat dengan mudah diajak kerja sama.

Setelah siap semuanya, aku bergegas menyambar tas berisi laptop yang ada di meja kerja pojok kamar. Menyandangnya di luar jaket yang kukenakan. Ya, aku akan naik motor dengan Aldi, jadi mau tak mau harus mengenakan jaket, jika tidak ingin masuk angin ini semakin menjadi.

Aku keluar dari kamar dan menuju ruang depan. Sejenak mengintip, memastikan keberadaan Aldi. Ternyata dia memang masih di sana.

"Sorry, lama, Al. Yuk, berangkat!" ajakku. Akan tetapi, Aldi malah melongo.

"Eh, ayo, sorry kirain ada bidadari nyasar."

Aku menyemburkan tawa. Dia apa-apaan berkata seperti itu. Aku takut jika tiba-tiba tubuh ini melayang ke luar angkas, bisa repot.

"Gombalnya tolong disiapin buat keset!"

"Eh, ini serius. Maya itu cantik bagai bidadari." Aku tidak tahan untuk diam.

Kutoyor bahu Aldi dengan sekuat tenaga.

Dia hanya terus tertawa. Bahkan, wajah asamnya tadi siang sama sekali tidak terlihat. Ah, dia memang baik.

"Udah, yuk, berangkat! Lama-lama di sini sama bidadari nanti malah lupa kerjaan." Dia bangun dari duduknya di teras, kemudian langsung mendahuluiku keluar area indekos ini. Langkahnya menuju motor besarnya yang bertengger di tempat biasa. Aku mengekorinya tanpa kata.

"Ngomong-ngomong kenapa kamu tau aku mau ke toko? Lama-lama aku curiga kamu ink cenayang, Al." Aku terkekeh sambil mengenakan helm.

Dia hanya tertawa sambil menyalakan mesin motornya yang menimbulkan deru lumayan kencang.

Dia memberiku isyarat supaya lekas naik.

"Pegangan biar nggak jatuh, May!"

"Ih, modus banget, sih, kamu, Al!"

"Eh, ini serius. Mau ngebut ini," katanya lagi. Tanpa pikir panjang, kucubit pinggang kanannya dengan kencang. Dia mengaduh dan meminta ampun.

Enak saja mau membawaku ngebut.

"Coba ngebut kalau mau pinggangmu luka!"

"Ampun, May, ampun! Jangan cubit, peluk aja!" katanya. Astaga demi apa dia bilang seperti itu? Ah, apa kata-katanya tadi siang itu serius?

Mungkinkah Aldi sebenarnya suka kepadaku?

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status