Share

Bab 10

Aldi tersenyum dengan riang. Di tangannya tergantung satu plastik bening yang sepertinya berisi bubur seperti katanya tadi. Dia mengulurkan plastik itu kepadaku.

Sebenarnya enggan, tetapi aku butuh.

"Aku tau dari semalam kamu belum makan."

Dia benar-benar mirip cenayang, ya.

"Mau masuk dulu? Atau mau langsung ke toko?" Aku sebenarnya tidak suka mengajak laki-laki lain masuk, tetapi Aldi sudah begitu baik masa iya aku bersikap buruk kepadanya? Jadi, sekadar basa-basi kutawarilah dia masuk. Untung saja dia tidak mau.

"Aku cuma ambil pakaian ganti si Yudi."

"Oh, ya, dia apa kabar? Parahkah?" tanyaku ingin tahu. Namun, belum lagi Aldi menyahut, mual di perutku kembali mengganggu.

Mau kutahan, tetapi rasanya sangat tidak mungkin. Rasa mualnya luar biasa. Jadi dengan kilat, aku berlari ke dalam, menuju kamar mandi.

"Kamu masuk masuk angin kayaknya."

"Kayaknya begitu," sahutku saat sudah kembali dari kamar mandi. Wajahku basah karena air yang sekalian kubasuhkan saat menyeka mulut. "Malam nggak makan dan kena angin laut, lengkap sudah."

"Lagian kamu malam-malam minta ke sana. Bukan aku yang ngajak, tapi kamu yang mau sendiri." Aldi rupanya tidak ingin disalahkan dengan keadaanku saat ini. Ya, memang aku yang salah.

Aldi menatapku. Ah, rupanya wajahku begitu mengenaskan di matanya, terlihat dari sorot yang menyiratkan perasaan iba itu. Atau jangan-jangan hanya perasaanku saja? Entahlah.

"Aku makan dulu, ya, laper banget perutku."

Kutenteng mangkuk untuk memindahkan bubur dari plastik. Sepertinya aku sudah tidak sabar menyantap nasi hancur yang gurih itu. Apalagi aromanya begitu menggelitik hidung.

Aldi masih di sana, menyaksikanku menuang bubur ke mangkuk. Melihatku menghirup uap bubur yang mengepul tepat di hidung membuat senyumnya terbit. Ah, betapa aku selalu mengagumi ciptaan-Mu.

"Aku mau istirahat dulu hari ini, Al."

Dia mengangguk, kemudian pamit untuk pergi ke rumah sakit setelah memberiku pesan untuk menghubunginya jika aku butuh sesuatu.

"Kalau misalnya siang belum bisa beli makan, telepon aja, ya, nanti kuaterin makanan."

Mata itu terlihat sangat tulus. Senyumnya simpul, tetapi terlihat manis. Sepertinya memang Tuhan menciptakan laki-laki itu dengan kesempurnaan hampir mutlak. Aku mengakui itu secara sadar.

Dia melambaikan tangan, meninggalkanku yang sedang menghadapi mangkuk berisi bubur.

"Terima kasih, Tuhan sudah mengirimiku malaikat sebaik dia," gumamku.

Bubur sudah memanggil tangan ini untuk menyentuhnya. Kuaduk sedikit bagian pinggir yang akan kusuap. Aroma bertambah kuat.

Benar saja, gurihnya santan berpadu dengan wanginya beras yang digunakan.

Rasanya seperti belum pernah aku merasakan makanan ini. Padahal, bisa dibilang aku termasuk yang sering membeli bubur untuk sarapan. Akan tetapi, entah mengapa rasanya sangat berbeda.

Ah, apa karena gratis kali, ya, makanya terasa begitu enak? Pokoknya sepanjang aku menikmati makanan itu, kepalaku tidak henti-hentinya mengangguk-angguk. Saking enaknya. Menggeleng-geleng, saking tidak percaya dengan kelezatannya yang luar biasa.

Aku jadi ingin makan ini lagi nanti siang.

Apa iya aku harus meminta Aldi membawakannya lagi untukku nanti siang?

***

Siang harinya saat aku terlelap, dering ponselku mengagetkan. Padahal sedang asyik bermimpi. Ternyata Aldi yang menelepon.

"Udah enakan belum, May? Aku lagi makan siang, kamu mau dibawain makan?" tanyanya penuh perhatian. Suara lembutnya sungguh membuatku bergetar. Sikapnya kepadaku melebihi seorang kekasih.

Aku ingin memintanya membawakna bubur yang tadi pagi. Akan tetapi, aku takut merepotkan. Apalagi dia sedang menunggu Yudi di rumah sakit.

"Nggak usah, Al. Nanti aku cari makan sendiri, deh. Di mana kamu beli bubur yang tadi pagi?" Ya, aku merasa kuat untuk pergi membeli bubur itu sendiri. Ya karena aku hanya masuk angin.

Mendengar jawabanku, akhirnya Aldi menutup telepon. Baru saja aku ingin turun dari ranjang, ponsel kembali bersering. Akan tetapi, kali ini aku mengenali nada deringnya. All of Me.

"Sayang, aku ke situ, ya. Kangen banget." Aku menarik napas berat. Dia bahkan tidak tertarik menanyakan keadaanku. Dia hanya memikirkan perasaan sendiri. Kangen, kangen, dan kangen.

Hanya kata itu yang selalu diucapkannya.

"Datanglah kalau nggak sibuk, Bang."

"Oke, aku ke sana sekarang. See you there!" Suaranya terdengar sangat riang.

Aku sedang memikirkan apa yang akan dilakukannya saat melihatku seperti ini. Lemas. Pucat. Itu yang terlihat dari cermin besar di sisi tempat tidurku. Namun, tetap saja aku merasa tidak tega membiarkan Lukman disuguhi wajah wajah mengenaskan ini.

Akhirnya aku memutuskan untuk turun.

Mencuci muka. Menyisir rambut. Memoles wajah yang kuyu. Tidak lupa mengoles pelembab bibir.

Wanita sejatinya tidak pernah ingin mengecewakan pasangan dalam kondisi seperti apa pun. Termasuk aku. Selemas apa pun, aku ingin tetap terlihat menyenangkan di matanya.

***

"Loh, Aldi? Bukannya aku udah bilang nggak usah bawain makanan?" tanyaku terkejut saat melihat Aldi tiba-tiba muncul di depan pintu kamar indekosku yang terbuka dengan membawa plastik berisi sesuatu. Aku yakin itu bubur. Lalu, sosok itu muncul.

"Sayang, aku bawain makan siang, nih!"

Lukman langsung masuk indekosku.

"Makasih, Bang." Aku yakin Aldi membawakan bubur, sedangkan Lukman membawa nasi padang. Aku ingin sekali mengambil bubur di tangan Aldi dan memakannya dengan lahap. Akan tetapi, apa sopan?

"Al, maaf, ya, makanannya buat kamu aja."

Aku melihat raut kecewa jelas di wajah Aldi. Matanya menyipit. Mulutnya mengerucut. Akan tetapi, tidak menjawab.

"Ayo makan dulu, Sayang! Nih, udah aku bukain." Suara di belakangku menginterupsi.

Aku menoleh dan mendapati Lukman sudah menghidangkan makanan yang dibawanya.

Benar saja, seperangkat nasi padang tampak di sana. Lambaian sambal hijau yang biasanya menggoda, kini seperti tidak ada apa-apanya di mataku. Begitu juga dengan rendang yang bahkan aromanya tercium hingga ke tempatku berdiri. Mereka sama sekali tidak menarik perhatianku.

Saat aku menoleh lagi ke arah Aldi, dia terlihat sedang mengintip ke dalam.

"Dia lagi sakit begini masih aja dibawain nasi padang, Bung! Terlalu sekali." Aku mendengar dan merasakan kalimat itu semacam sarkasme.

"Al!"

Aku menatapnya tajam. Menurutku dia keterlaluan. Lukman memang terlalu, tetapi dia tidak tahu jika aku sakit. Jadi tidak bisa mutlak disalahkan.

"Kamu sakit apa, Sayang?" Lukman bergegas menjangkau kepalaku. Didekapnya aku dalam dadanya.

Dari ekor mata, kulihat Aldi melengos.

"Bang, nggak begini caranya!" kataku pelan.

"May, makan bubur ini! Tadi kamu bilang mau makan bubur juga siang ini." Aldi menaruh plastik itu di hendel pintu.

"Eh, situ benar-benar kurang ajar, ya!"

Lukman yang biasanya tidak mudah menaggapi provokasi dari orang lain, tiba-tiba terlihat begitu marah. Aku juga tidak paham, ada apa sebenarnya dengan mereka. Apa mereka saling kenal?

Lukman terlihat mengekor Aldi yang menjauh.

Aku jadi takut akan terjadi sesuatu yang mengerikan. Untuk itu kususul mereka. Berlari kecil aku mengikuti ke mana mereka pergi.

Dari jarak sekitar 5 meter, aku dapat menjangkau mereka lewat mata. Terlihat mereka seperti beradu tatap. Lalu, tangan Lukman mengepal.

Tidak menunggu lama, aku berlari kencang.

Tidak ada yang perlu terluka hanya demi aku. Untuk apa? Bahkan aku hanya wanita biasa yang begitu mudah merajuk.

"Satu tonjokan, duniamu runtuh seketika."

Aku mendengar Aldi mengatakan itu.

"Stop!"

Aku benar-benar tidak ingin terjadi keributan.

"May, aku tunggu kabar kalian putus!"

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status