Share

Bab 5

What would I do without your smart mouth

Drawing me in, and you kicking me out

Got my head spinning, no kidding, I can't pin you down

What's going on in that beautiful mind

I'm on your magical mystery ride

And I'm so dizzy, don't know what hit me, but I'll be alright

My head's underwater

But I'm breathing fine

You're crazy and I'm out of my mind

Cause all of me

Loves all of you

Love your curves and all your edges

All your perfect imperfections

Give your all to me

I'll give my all to you

You're my end and my beginning

Even when I lose I'm winning

How many times do I have to tell you

Even when you're crying you're beautiful too

The world is beating you down, I'm around through every mood

You're my downfall, you're my muse

My worst distraction, my rhythm and blues…

Aku menunggu Lukman dengan memutar lagu itu berulang-ulang. Akan tetapi, yang ditunggu tak lekas datang. Tidak seperti biasanya dia begitu.

"Lukman ke mana, sih? Aku ini lagi kerja." Kesal, aku mencuri waktu hanya untuk makan siang dengannya, tetapi ternyata dia bahkan belum ada tanda-tanda datang. Entah harus berapa kali lagi aku memutar lagu yang sama. Benar-benar menjengkelkan. Andai saja bisa akan kumaki dia nanti. Namun, biasanya, kekecewaan sebesar apa pun yang muncul, akan hilang begitu saja saat senyumnya terkembang.

Belum lagi, dia pintar sekali mengambil hatiku dengan hadiah-hadiah kecil. Dia tahu aku suka cokelat. Dia juga paham sekali bahwa menggilai bunga-bunga. Dia akan melemahkanku di sana.

Akan tetapi, kali ini sepertinya aku sudah terlalu kehabisan alasan untuk menunggu.

"Sayang, maaf banget aku telat, ya, rame."

"Ya, anggaplah aku memaafkanmu, Bang."

"Benar, aku mohon maaf banget, ya, Sayang."

Dia mulai mendekatiku dan merentangkan tangan. Akan tetapi, kali ini aku enggan. Entah apa yang membuatku masih bertahan dengannya.

"Aku udah sejam, Bang nungguin kamu."

"Iya, aku minta maaf banget. Aku salah." Dia masih terus mencoba untuk merayu. Tangannya meraih tanganku, meski berkali-kali kutepis.

"Bang, aku mau kerja. Aku nggak bisa begini." Aku dibayar tidak untuk mencuri waktu seperti koruptor.

"Aku udah bawa makanan. Masa tega?" Dia memohon sambil menunjukkan bungkusan plastik.

"Sayangnya aku keburu kenyang, Bang."

"Ya, Tuhan! May! Tolong jangan kekanakan-kanakan!"

"Siapa yang kekanakan-kanakan? Aku atau Abang? Aku ini kerja digaji orang."

Aku benar-benar tidak peduli lagi sekarang.

Pintu kututup paksa. Ia terpaksa ikut keluar di belakangku. Tangannya masih menenteng plastik berisi makanan. Dari kemasannya, aku tahu isinya nasi padang. Aku sangat yakin.

"Kamu kenapa jadi begini? Aku cuma terlambat, tapi kamu marah. Apa itu kalau bukan kekanakan-kanakan?"

"Kekanakan-kanakan itu kalau udah tua tapi nggak paham mana yang benar dan mana yang salah. Paham?" Aku benar-benar sudah muak.

Aku berjalan cepat ke arah mobil di garasi.

"Mau apa maksudmu ngomong begitu?"

Ya, Tuhan, Lukman benar-benar ingin memperpanjang masalah. Masa kalimat sejelas itu minta dijelaskan lagi? Salah apa aku, Tuhan?

***

Amarahku dari rumah terbawa ke toko.

"Heh, kalian enak sekali ngobrol-ngobrol!"

"Sepi, Bu." Salah satu anak marketing cowok menyahut. Diikuti anggukan dari yang lain. Akan tetapi, aku yang masih kesal karena kejadian di rumah,tidak terima alasan tersebut.

"Sepi itu bukan alasan! Kalau tau sepi, sebar brosur! Jangan malah ngobrol-ngobrol!"

"Iya, Bu." Berberapa di antara mereka bergegas pergi. Keluar toko, menurut jalan raya yang memang berada persis di depan gedung ini.

Aku meneruskan langkah ke ruangan di mana Sasti terlihat sedang memainkan ponsel pintarnya. Aku menarik napas dan menahannya sejenak. Kemudian, mengeluarkannya perlahan sambil berharap rasa kesal di dada ini memudar. Sasti sepertinya mendengar napasku yang sedikit kencang, terbukti dia menoleh ke arahku.

Dia mengangguk sambil tersenyum.

"Profit berapa, Sas? Sepi banget kayaknya." Aku mencoba membaca situasi.

"Belum ada sejuta, Bu. Sepi banget. Rata."

"Dari tadi anak-anak begitu aja di luar?"

"Iya karena memang nggak ada pengunjung."

"Iya, juga, sih." Aku mengakui juga akhirnya. Memang, dalam keadaan seperti ini, mana bisa aku memaksakan profit tembus target?

"Bu, saya mau makan dulu, ya. Titip." Sasti terlihat mengunci laci dna bangkit.

"Mau makan apa kamu? Saya nitip, deh." Aku yang memang lapar segera mengeluarkan uang dan bermaksud meminta tolong untuk dibelikan makanan.

Akan tetapi, baru saja Sasti akan menerima uang, Aldi datang mengetuk dinding kaca penyekat ruangan itu. Aku terkejut dibuatnya. Apalagi saat dia mengangsurkan sekotak piza.

Dia tersenyum simpul. Matanya menatapku seolah-olah meminta makanan yang dibawanya agar segera kuterima. Melihat Sasti yang terlihat menginginkan makanan itu, aku menerimanya juga.

"Piza mozarella kesukaan kamu, May."

Demi apa dia bahkan paham apa yang kusukai?

Lukman juga paham, tetapi dia tidak pernah sekali pun memberikannya. Baginya, makan hanyalah seputar nasi padang. Menu selain itu, haram.

Setelah aku menerima kotak piza berukuran besar itu, Aldi pamit. Langkahnya mantap. Pandangannya lurus ke depan.

Aku kadang melihat laki-laki itu sangat menarik. Cukup perhatian kepadaku. Akan tetapi, tentu saja itu hanya sebatas teman.

"Bu, saya permisi mau makan dulu, ya."

Aku memang masih mematung, segera tersadar. Segera kucegah Sasti untuk pergi. Malah kusuruh dia untuk memanggil beberapa anak agar bisa makan piza ini bersama-sama. Tentu rasanya akan lebih nikmat.

Aku tahu dari ekor mata, Aldi sedang menatapku.

Entah apa yang sedang dipikirkannya.

"Sering-sering aja begini, Bu, bilang ke Pak Aldi." Salah satu karyawanku menyeletuk. Kami tertawa kompak.

"Suruh Sasti jadian dulu sama dia!"

"Cieee!"

Mereka kompak berseru. Sasti memerah. Sepertinya dia benar-benar menyukai temanku itu. Apa memang harus kucomblangi mereka?

"Aldi, ada salam dari Sasti!" seruku dari ruangan itu. Aku tahu, Aldi tidak akan dengar. Bagaimana pun jarak dari ruangan itu, meski tidak terlalu jauh, tetapi tersekat dinding kaca. Aku pun hanya meledek gadis berkerudung itu. 

"Bu Mayaaa, malu tau, Sasti, Bu!"

Aku jadi tidak tega melihat dia jadi bahan perundungan gara-gara naksir Aldi. Maka, aku mengusir para karyawan yang sudah selesai makan untuk kembali ke habitatnya. Kusuruh mereka kembali untuk mengais profit. Agar apa? Tak lain supaya pundi-pundi rupiahku bertambah. Matrelistis banget, ya! 

"Sas, emang beneran kalau kamu naksir Aldi?" 

"Emang kalau saya naksir bakal diterima, Bu?" 

"Ya kita coba dulu. Saya lumayan dekat sama dia. Nanti saya salamin, ya," janjiku pelan. 

"Bu Maya baik banget, sih," kata Sasti tertipu. 

Kaugnay na kabanata

Pinakabagong kabanata

DMCA.com Protection Status