Share

Bab 4

Pak Agus memanggilku ke kantor pusat.

Demi nama baik toko, karyawan, dan juga namaku, akhirnya kuputuskan untuk mengganti uang kekurangan setoran. Hanya 200 ribu rupiah memang. Semoga ke depannya tidak ada lagi kejadian semacam ini.

"May, itu kenapa bisa ada kehilangan uang?"

Pak Agus mulai menginterogasiku.

Jujur saja aku bingung menjawabnya.

"Adminku itu biasanya nggak gini, Pak."

Jangan kaget kalau kugunakan sebutan 'aku' saat berbicara dengan kepala bagian keuangan ini. Ya, hubunganku dan dia sangat baik. Saking baik dan dekatnya, jarang terdengar 'saya', alih-alih 'aku' di hampir seluruh pembicaraanku dengannya. Kecuali, di rapat resmi.

"Ya, terus ini salah siapa? Uang setoran kurang. Nggak mungkin kebetulan."

Aku memikirkan hal yang sama. Akan tetapi, mungkin berbeda tersangka. Jujur saja aku justru curiga kepada petugas yang mengambil setoran.

Pak Eko adalah karyawan baru. Aku bahkan tidak mengenalnya sebelum ini. Sudah barang tentu, aku tidak bisa begitu saja percaya kepadanya.

Berbeda dengan Sasti, Adminku itu sudah bertahun-tahun menjadi andalan Computer Shop. Mana mungkin dia melakukan hal ceroboh? Tidak mungkin juga dia mencuri.

Sasti gadis jujur. Dia juga lembut. Rajin ibadah. Mana mungkin jadi pencuri.

Lalu, selain Sasti, apa ada tersangka cadangan?

"Pak Agus nggak curiga sama Pak Eko?"

Pak Agus terkejut. Matanya menyipit. Bibirnya berkomat-kamit, dahinya berkerut.

Suasana ruang kerja Pak Agus mendadak sangat lengang. Hanya detak jam di dinding yang memenuhi ruangan. Juga mesin pendingin ruangan yang menderu. Menyelimuti kebisuan yang tercipta.

Pikiranku terus mengayuh dalam prasangka.

Pak Agus tampak sedang manggut-manggut.

"Aku nggak berani nyimpulin begitu, May."

"Sama. Aku pun menjaga untuk nggak menyimpulkan. Untuk itu, aku yang ganti."

"Ya, okelah. Semoga ke depan nggak ada begini-begini lagi. Bakal nggak sehat."

Benar. Akan terjadi hubungan tidak sehat apabila di kemudian hari terjadi hal serupa. Akan ada saling sangka.

"Ya, semoga, Pak. Techno bisa hancur digerogoti." Jangan mengira aku berlebihan!

Kujelaskan, apabila ada karyawan yang diam-diam sengaja jadi pencuri, maka sesama teman akan jadi curiga.

"Harus ada sanksi, May. Nggak bisa dibiarkan." Benar, harus ada sanksi. Lalu, bagaimana cara mengungkap pelaku? Menggunakan rekaman CCTV?

"Besok biar kucek rekaman CCTV, Pak."

"Kutunggu hasilnya, May. Tetap bersikap biasa! Jangan sampai mencurigakan!"

Aku mengangguk. Lagi pula, apa tidak salah aku yang dikasih pesan seperti itu? Dasar Pak Agus aneh. Yang mencurigakan itu pelaku, kenapa jadi aku?

Aku meninggalkan kantor pusat, kemudian menuju Computer Shop. Mengendarai mobil dinas kantor, membelah teriknya lautan kendaraan. Deru klakson kendaraan lain memekakkan telinga.

Aku iseng memutar lagu di mobil demi meredam lelah. Sebuah lagu A Thousand Years menamani setiap putaran roda yang membawaku semakin dekat dengan tujuan. Membuaiku sesaat.

Heart beats fast

Colors and promises

How to be brave

How can I love when I'm afraid to fall

But watching you stand alone

All of my doubt, suddenly goes away somehow

One step closer

I have died everyday, waiting for you

Darling, don't be afraid, I have loved you for a thousand years

I'll love you for a thousand more

Time stands still

Beauty in all she is

I will be brave

I will not let anything, take away

What's standing in front of me

Every breath, every hour has come to this

One step closer

I have died everyday, waiting for you

Darling, don't be afraid, I have loved you for a thousand years

I'll love you for a thousand more

And all along I believed, I would find you

Time has brought your heart to me, I have loved you for a thousand years

I'll love you for a thousand more....

Pikiranku melayang. Membayangkan wajah tampan Lukman. Senyum manisnya yang selalu berhasil membuatku meleleh.

"Aku lama-lama bisa gila kalau begini terus."

Ya, siapa yang tidak gila saat tergila-gila dengan lawan jenis, tetapi tidak lekas berujung? Mungkin, di mata orang-orang yang mengetahui hubunganku dengannya akan berpikir lain. Pasti akan iri.

Mereka melihat dari luar. Bahwa aku yang memiliki pekerjaan bagus, gaji besar, memiliki calon suami—walau belum bertunangan—yang mapan. Toko fesyennya ada di beberapa kota.

"Kita pasti menikah. Segera. Aku janji."

***

"May, dari mana? Dari tadi nggak kelihatan?" tanya Aldi saat aku melintas di depan toko tempatnya bekerja. Aku hanya tersenyum seperti biasa.

Bukan, sekali lagi aku tidak bermaksud sombong. Kali ini aku hanya tidak ingin menarik perhatian siapa pun dengan cara mengobrol dengan kepala toko kompetitorku. Tentu saja, hal itu bisa ditanyakan nanti setelah jam kerja berakhir. Aku yakin Aldi paham.

Dia bukan baru beberapa hari mengenalku.

Dia juga paham sifatku yang tidak suka perhatian dari khalayak. Sangat kontras dengannya yang begitu terlihat bahagia saat mendapatkan perhatian banyak orang. Ya, aku memang sekontras itu dengannya.

Sesampainya di ruanganku, tidak ada seorang pun di sana. Biasanya Sasti tidak pernah meninggalkan ruangan saat sepi. Ya, suasana toko benar-benar sepi. Bahkan, anak-anak marketing sibuk bercengkerama.

"Eh, Bu Maya udah datang ternyata."

"Kamu dari mana, Sas? Pergi-pergi laci dikunci nggak? Jangan sampai kayak kemarin lagi!" Aku memperingatkannya dengan keras.

Dia bilang baru saja ke toilet, kemudian meyakinkanku bahwa laci terkunci.

"Aman, 'kan, Bu? Tenang. Nggak akan lagi."

"Oke."

Aku bergegas menuju kursi di sudut ruangan.

"Bu, tadi Pak Aldi nanyain Bu Maya."

Sasti memberiku informasi, seperti biasa.

"Ya, biarin aja. Dia emang kerajinan." Aku tidak habis pikir, untuk apa dia menanyakanku.

"Pak Aldi itu ganteng banget, ya, Bu?"

Sasti memuji rekan baikku itu.

"Kamu naksir? Nanti saya sampaiin. Gimana?"

Bisa-bisa Aldi kerjanya pacaran. Dia mungkin sekali tidak terlalu mengurusi profit toko. Itu sebuah keuntungan buatku.

Mempunyai pikiran picik macam itu membuatku terkikik sendiri. Sepertinya bagus apabila hal itu benar-benar terjadi. Pelanggannya bisa-bisa lari ke Computer Shop.

Di seberang kursiku, Sasti sedang senyum.

"Naksir, tapi... mana mau Pak Aldinya?"

"Dicoba aja belum. Coba dulu, ya?" rayuku. Biar saja aku jadi comblang mereka.

Rasanya menyenangkan apabila melihat orang yang sedang malu-malu kucing seperti Sasti saat ini.

Benar saja, anak itu masih menatap keluar kaca. Ruanganku itu memang tembus pandang. Bisa memandang ke segala arah, termasuk ke toko seberang.

"Jangan, ah, Bu! Malu. Nanti kalau ditolak—"

"Kalau nggak dicoba mubazir, Sas!"

Anggap saja Aldi itu semacam piza dengan mozarella yang menggoda. Maka, cicipilah! Sadis, ya analogiku?

"Memangnya Pak Aldi makanan, Bu?"

Aku tertawa. Sasti pun ikut terkikik. Lalu, saat mataku mengarah toko seberang, Aldi sedang menatapku.

"Dia memang makanan, semacam piza."

Aku melanjutkan pembicaraan dengan Sasti, meski mata itu menatap tajam.

Aku sengaja balik menatap sambil berbicara.

Akan tetapi, tatapanku terganggu saat lagu All of Me terdengar nyaring di telinga.

Kaugnay na kabanata

Pinakabagong kabanata

DMCA.com Protection Status