Share

Bab 7

Hari ini memang jadwalku libur.

"May, aku di depan, buka pintu donk!"

Suara itu tidak asing di telingaku.

Aku yang baru saja mandi bergegas mengambil handuk dan melilitkannya ke badan. Mengintip sebentar lewat balik gorden, memastikan pendengarku tidak salah. Benar saja, dia di sana.

Bukan langsung membuka pintu, aku justru tergesa memakai pakaian sekenanya.

Sebuah gaun katun motif bunga berwarna cerah melekat di tubuhku. Kuhampiri pintu dan membukanya. Dia masih di sana. Menatapku dengan tatapan yang entah. Aku mempersilakannya masuk.

"Kamu masih marah sama aku, May?" tanyanya.

"Marah atau nggak bukannya nggak penting?"

"Kenapa gitu, sih, May? Cuma hal sepele." Dia menatapku intens. Mungkin kecewa atau apa, aku kurang peduli.

"Udahlah nggak penting juga dibahas."

"Nggak penting gimana? Kamu marah." Dia tampak gusar. Wajahnya memerah.

"Ya nggak pentinglah, kalau penting kan ada usahanya. Minta maaf, kek. Mana?"

"Aku nggak ngerti harus minta maaf gimana."

Kurasa, dia bukan tidak mengerti apa yang harus dilakukan, melainkan abai.

"Kamu mau kumaafin? Aku bisa aja maafin." Aku ingin melihat keseriusan ucapannya. Sejauh mana keinginannya untuk mendapatkan maafku.

"Kamu mau apa? Cokelat? Bunga?"

Dikira aku masih mempan disogok begituan?

Maaf saja, aku sudah menaikkan level.

"Aku mau ke pantai. Yuk, ke pantai! Sekarang."

Benar saja, wajah itu mendadak pasi.

Aku menyeringai. Menang. Dia mana mau.

"Aku sibuk banget, Sayang. Nggak bisa." Aku melihat wajah itu dipaksa untuk mengekspresikan penyesalan.

Sayangnya aku sudah muak. Terlalu sering dia seperti itu. Alasannya sibuk.

"Ya udah kalau gitu aku mau pergi sekarang."

"Ya ampun, May, aku nyempetin ke sini-"

"Bang, aku capek dan bosan-"

"Apa maksud kamu bilang begitu, May?"

"Aku mau pergi. Menikmati hidup. Sekali-kali."

Aku tiba-tiba saja teringat kalimat kata-kata Aldi. Dia benar dalam hal ini. Aku memang sudah saatnya menikmati hidup.

Aku menyambar tas yang tergantung di belakang pintu indekos. Mengambil ponsel yang kuletakkan di meja, kemudian memasukkannya ke tas. Lukman berkali-kali berusaha memanggilku. Akan tetapi, aku kali ini ingin memberinya pelajaran. Biar dia kapok.

"May!"

Aku keluar dengan segera. Dia membuntutiku sambil terus berbicara tentang apa saja yang sayangnya tidak ingin kudengar. Biar saja.

"Aku cuma mau senang-senang, Bang."

Aku memakai sepatu karet yang nyaman di kaki. Setelahnya, kuambil ponsel dari tas dan menelepon seseorang. Lukman terlihat begitu stres.

Matanya menatap penuh amarah.

"Halo, May. Aku di depan kosmu. Aku masuk."

"Nggak usah, aku udah siap, kok. See you!" Kututup telepon dengan cepat, kemudian melangkah meninggalkan Lukman yang mematung.

Benar saja, di depan sana, tepat di belakang mobil Lukman, motor besar terparkir dengan gagah. Di atasnya, tampak seorang laki-laki berjaket kulit. Siapa lagi kalau bukan Aldi?

"Hai, May! Kita langsung? Atau mau ngapain dulu?" tanyanya berondongan.

"May!" Lukman masih berusaha mencegahku. Aku jadi merasa bagai bidadari.

"Langsung cabut, Al. Aku udah nggak sabar main air. Yuk!" Sengaja aku mengatakannya.

"Siap!"

***

"Al, kenapa kamu ada di depan kosku?"

Tentu saja aku bertanya demikian karena memang tidak ada rencana sebelumnya.

Kami tidak janjian. Aku bahkan sama sekali tidak menghubunginya sebelum tadi itu. Buatku itu ajaib. Aldi seperti punya indera keenam.

Aku hanya melihatnya tersenyum.

"Makan dulu, yuk! Aku tahu kamu lapar." Tahu dari mana dia? Apa perutku sekeras itu berteriak minta diisi makanan?

Dia mengajakku bangkit dari pasir.

"Jawab dululah pertanyaanku, Al!"

"Ya, aku cuma merasa kalau kita jodoh."

Aku terbatuk. Jodoh katanya? Jodoh Mbahmu!

Kenapa dia seperti berusaha membuatku baper? Bahkan, tatapannya itu benar-benar membuatku merinding. Aku belum pernah mendapatkan tatapan seperti itu dari Lukman.

Mungkin karena melihatku enggan beranjak, dia menarik tanganku. Memaksa untuk mengikutinya. Cengkeramannya tidak begitu kuat.

"Aku beneran penasaran, Jangan-jangan kamu dukun, ya? Duh, ampun jangan santet aku, Al! Aku masih belum nikah."

Mendengar itu, Aldi hanya menoleh ke belakang sekilas. Tanpa ekspresi. Kemudian, tanganku dilepaskannya.

Langkahnya semakin kencang. Akan tetapi, kali ini aku justru yang mengejarnya. Berusaha menyamai.

"Kamu tahu, May, jodoh bisa siapa aja?"

Yaelah, pertanyaan macam apa itu?

"Tapi yang jelas, jodoh itu rahasia Tuhan."

Dan, Aldi bukan Tuhan. Jadi yang tadi keluar dari mulutnya itu hanyalah hoaks. Aku tentu saja tidak ingin itu terjadi. Bagaimana pun Lukman, aku tetap mencintainya. Jika pun harus meminta kepada Tuhan, maka nama Lukman lah yang kusebut. Bukan Aldi. Hatiku hanya milik Lukman.

Aku masih berada di belakang Aldi.

Dia menoleh, mungkin memastikan bahwa aku benar-benar mengikutinya.

"Mau makan apa? Mau di restoran atau warung? Kamu yang pilih aja, May."

Rasanya dunia ini benar-benar terbalik.

Sepertinya cinta ini sedang benar-benar diuji. Lukman tidak pernah sekali pun mengajakku keluar, meski sekadar beli jajan ke swalayan. Lukman juga belum pernah membiarkanku memilih menu makanan yang akan kumakan.

"Teeserah kamu aja, Al. Kamu yang mau traktir, kan?" ledekku. "Nanti kalau aku yang milih kamu nggak mampu bayar lagi."

"Pilih aja yang kamu suka. Aku yang bayar." Wajahnya benar-benar serius. Aku benar-benar merasa sedang bermimpi. Mimpi terindah.

"Aku mau makan nasi campur di warung."

"Ayuk!"

***

Ku rasa getaran cinta

Di setiap tatapan matanya

Andai ku coba tuk berpaling

Akankah sanggup ku hadapi kenyataan ini

Oh Tuhan tolonglah aku

Janganlah kau biarkan diriku

Jatuh cinta kepadanya

Sebab andai itu terjadi

Akan ada hati yang terluka

Tuhan tolong diriku

Walaupun terasa indah

Andaikan ku dapat juga dirinya

Namun ku harus tetap bertahan

Menjaga cinta yang t'lah lebih dulu ku jalani

Oh Tuhan tolonglah aku

Janganlah kau biarkan diriku

Jatuh cinta kepadanya

Sebab andai itu terjadi

Akan ada hati yang terluka

Tuhan tolong diriku

Sebab andai itu terjadi

Akan ada hati yang terluka

Tuhan tolong diriku

Kenapa ada lagu itu di warung ini?

Apakah Tuhan benar-benar sedang mengujiku?

Aku terus melirik Aldi yang sedang melahap makanan di sampingku. Aroma jeruk di tubuhnya seolah-olah melekay di hidung. Menggoda otak untuk terus menghidunya dengan rakus, kemudian mendekap si pemilik aroma dengan erat. Aku merasa otak ini benar-benar sudah terkontaminasi.

"Kamu katanya mau lihat sunset, kok, jam segitu udah nongkrong di kosku tadi?"

Kali ini dia sedikit tertawa.

"Aku sebenarnya janjian sama Yudi."

Yudi?

"Terus?"

Dia tertawa lagi setelah mulutnya kosong.

Aku tahu Yudi. Dia teman dekat Aldi. Kamarnya di lantai dua. Hanya saja aku tidak akrab dengannya. Ah, jadi aku terkena PHP? Dasar Aldi resek!

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status