Share

Bab 8

Siang ini suasana toko kembali sepi. Anak-anak marketing beberapa ada yang menyebar brosur di pinggir jalan raya yang dari tempatku duduk dapat terlihat dengan jelas. Sedangkan, aku menyibukkan diri dengan laporan harian. Mengecek lapran stok di seluruh toko, agar dapat memantau ketersediaan barang.

Baru saja beberapa menit mulai, aku dikejutkan oleh telepon dari Pak Agus.

"May, gimana hasil pemeriksaan CCTV tokomu?"

"Astaga, Pak! Mohon maaf banget, aku malah lupa ngecek. Ya ampun aku pikun."

Ada desahan berat yang kudengar dari Pak Agus di seberang sana. Aku jadi merasa bersalah. Padahal sebenarnya itu aku yang berkepentingan.

"Ya udah kalau kamu udah nggak perlu nggak usah. Yang penting sekarang udah nggak ada kehilangan lagi," katanya kemudian. Akan tetapi, aku justru jadi penasaran. Segera kudekati monitor yang tersambung ke perangkat CCTV, kemudian mengecek rekaman di tanggal kejadian uang setoran kurang. Namun, aku terkejut saat mendapati rekaman di dalamnya hilang. Mataku menatap layar LED dengan serius.

"Pak, rekamannya nggak ada," panikku.

Pak Agus pun tidak percaya. Ia mencecarku mengapa bisa tidak ada. Kira-kira siapa yang menghapus?

Aku memantung sejenak. Sambungan telepon kemudian kututup setelah Pak Agus bilang untukku menguruanya. Kini, aku menebak-nebak, siapa yang sudah melakukannya? Kuamati satu persatu karyawanku dari sini. Di ruangan kaca berukuran 3x4 meter yang dapat menjangkau ke segala arah. Wajah-wajah itu seperti tidak ada yang mencurigakan. Anak-anak marketing tampaknya hanya sedang memikirkan cara mendapatkan profit di sepinya pengunjung.

"Bu, saya izin makan siang dulu, ya!"

Sasti mengagetkanku. Ia tampak sudah berdiri tepat di depanku. Aku mengangguk gelagapan karena memang belum fokus.

"Silakan."

"Mau nitip apa nggak, Bu? Saya mau ke kantin atas." Dia memberitahuku tujuannya.

Biasanya aku juga sudah lapar, tetapi karena CCTV yang rekamannya tiba-tiba lenyap, membuat nafsu makan hilang.

"Saya nitip jus aja, ya. Jus jeruk tanpa gula." Kuulurkan uang sepuluh ribuan kepada Sasti, kemudian ia menerimanya

"Oke."

Sasti pergi dan saat aku ingin melanjutkan memeriksa laporan harianku, tiba-tiba ponsel pintar di mejaku mengalunkan merdunya suara John Legend. Napasku tertahan. Ada rasa enggan untuk mengangkatnya.

"Ya, Bang. Aku lagi sibuk sekarang." Akhirnya kuangkat panggilan itu karena terus berulang dan cukup mengganggu, jadi aku yang mengalah.

"Kamu masih marah? Kemarin kamu ke mana?" tanya Lukman di seberang dengan nada datar. Tumben dia tidak mengembuskan hawa perang.

"Aku bersenang-senang di pantai."

Hening.

Aku menunggu dia menyahut, tetapi sepi.

"Sekarang udah makan belum?"

Pura-pura tanya makan, nanti ujung-ujungnya mengajakku makan. Itu sudah pola lama yang terus berulang. Sampai-sampai kupingku rasanya ingin menolak saking sebalnya. Itu sama sekali tidak kreatif.

"Aku lagi sibuk jadi makan seadanya aja."

Hening. Entah apa yang sedang dipikirkannya. Aku sedang tidak ingin menerka-nerka.

"Padahal aku kangen banget pengen ketemu."

Ada perasaan lain yang muncul saat dia mengucapkan itu. Ada desir halus yang mengusik relung kalbuku. Rindu.

"Aku terlalu sibuk untuk mengangeni seseorang."

Ah, apa daya, kadang hati dan mulut memang tidak sinkron. Begitu pun yang sedang terjadi kepadaku. Desir rindu ini mengusik, tetapi tidak ingin aku mengakuinya. Mungkin, gengsiku sedang di level puncak.

"May, kamu, kok, tega banget sama aku?"

"Udahlah, Bang! Aku lagi sibuk," ketusku, mencoba mengakhiri sambungan. Aku khawatir, jika lama-lama mendengarkan rayuannya, imanku akan runtuh. Gengsiku akan turun seketika.

"May—"

"Sudah dulu, ya, Bang. Bye!" Kumatikan sambungan dan segera melempar benda pipih itu ke dalam laci. Kutangkup wajah yang sepertinya memerah. Antara risi dan rindu berpacu di dadaku.

Di suasana yang sepi, dengan otak yang juga sedang penuh teka-teki membuatku ingin mendengarkan lagu. Lagu yang semoga saja bisa mengembalikan emosiku ke sisi baik. Emosi baik yang menguarkan aura positif sehingga dapat menarik konsumen. Dengan datangnya konsumen, maka rupiah akan mengalir ke rekening.

Lagu-lagu yang kuputar mengalun indah.

Kuresapi selurih lirik dan nadanya.

***

"Kamu tahu nggak Lukman itu suamiku?"

"Yang benar saja, Lukman calon suamiku."

"Oh, ya? Lihat ini! Masih nggak percaya?"

"Bisa aja itu palsu. Zaman sekarang ijazah aja gampang dipalsukan. Apalagi cuma buku kecil macam itu."

Ya Tuhan, sebenarnya aku tidak ingin mengatakan itu, tetapi apa boleh buat?

Haruskah aku memercayai wanita itu?

"Bang, sekarang kamu pilih dia atau aku?"

"Eh, sok kecakepan, kalau laki-laki udah selingkuh itu artinya udah bosen!"

Nah, tadi aku menolak untuk mengakui dia sebagai istri Lukman, tetapi sekarang justru secara tidak langsung mengakui bahwa aku hanyalah selingkuhan. Itu sama saja aku mengakui bahwa wanita itu istri sahnya. Ya, Tuhan kenapa aku terjebak dalam lingkaran setan?

"Eh, pelakor nggak tau diri, ngaca donk!"

"Eh, gini-gini aku masih seger dibandingin kamu! Nyatanya dia suka sama aku," kataku penuh kebahagiaan. Bahagia karena merasa mampu dapat mengalahkan istri sah Lukman. Cewek zaman sekarang jangan mengaku cantik kalau belum bisa menakhlukan suami orang!

Ah, tetapi kenapa aku merasa sama sekali tidak nyaman dengan sebutan 'pelakor'?

Aku ingat sesuatu. Aku ingat Tante Rika. Dia sosok pelakor yang membuat mama sakit-sakitan. Dia yang mebuat aku terlantar.

Aku menangis. Tersedu-sedu. Rasanya sesak.

Lututku melemas. Badanku begetar. Hatiku gemuruh. Ya, Tuhan, benarkah aku seorang pelakor? Benarkah dia istri Lukman?

Aku melihat Lukman diseret perempuan itu menjauh. Menghilang dari pandanganku. Meninggalkan aku yang masih berdiri.

Kata-kata perempuan itu masih terngiang.

"Eh, pelakor nggak tau diri, ngaca, donk!"

"Bu, Bu Maya, ini jusnya. Bu, Bu Maya kenapa?" Aku mendengar lamat-lamat suara itu. Akan tetapi, aku tidak bisa melihat sosok si pemilik suara.

Aku merasakan tubuhku digoyang-goyangkan.

"Hah, di mana saya? Ka-kamu? Saya di mana?" Aku terkejut setengah mati. Wajah polos Sasti terlihat kebingungan menatapku.

"Bu Maya ketiduran. Kayaknya kecapekan. Tapi, kenapa nangis, Bu?" tanya Sasti sambil mengambilkan tisu di mejanya dan kembali ke mejaku.

"Saya mimpi buruk yang aneh, Sas."

"Mimpi apa, Bu? Kalau Bu Maya mau bisa cerita ke saya. Saya pasti dengarkan."

"Ah, nggak lah, Sas. Saya mungkin kecapekan." Aku menyedot jus jeruk yang tadi dibelikan Sasti. Sensasi asam membuat otak dan mataku segar.

Sepertinya tadi aku tertidur di meja dengan posisi menelungkup. Terbukti pipi kiriku memerah. Mungkin itu karena tegencet meja.

"Banyak istirahat aja, Bu. Mungkin juga Bu Maya stres karena toko sepi." Dia memang paham keadaanku.

"Eh itu kamu bawa apaan? Emang belum jadi makan?" tanyaku saat melihat plastik bening yang baru saja diletakkannya di meja kerja gadis itu.

Aku kembali menyedot asamnya cairan di gelas plastik yang beberapa saat lalu dibawa Sasti. Rasa segar itu kembali mengisi seluruh kekosongan tubuhku. Membuatnya semangat lagi.

"Ini rujak buah, Bu. Tadinya mau makan nasi goreng, tapi antre, jadi malas. Lagian saya takut Bu Maya repot," jelas Sasti sambil membuka mika berisi aneka buah dan sambal itu. Aromanya menguar sampai ke hidungku.

Aku menghirupnya dalam-dalam.

Tiba-tiba saja liurku seolah-olah ingin menetes.

"Saya minta, ya? Nanti kalau kurang beli lagi. Atau kamu mau beli lagi sekarang?"

Sasti menoleh ke arahku dengan tatapan bertanya. Mungkin dia bingung kenapa aku tiba-tiba saja menginginkan makanan itu. Padahal sebelumnya aku ogah. Namun, dia tidak banyak bicara dan menyodorkan makanan itu ke mejaku. Mepersilakanku untuk memakannya.

"Tumben, Bu? Abis mimpi aneh tadi jadi pengen makan rujak buah. Apa jangan-jangan di mimpi Bu Maya tadi lagi nyari rujak buah dan nggak ketemu terus nangis?" Astaga, analisis macam apa itu, Sas?

Aku hanya tertawa mennaggapi Sasti.

Yang jelas, aku sedang menikmati mangga muda dengan cita rasa asam melebihi jus jeruk tanpa gula tadi.

Aku terus mencocol potongan mangga muda ke pekatnya sambal gula yang pedasnya tidak terkira itu.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status