Share

Bab 9

Jam tutup toko sudah berlalu setengah jam lalu. Akan tetapi, aku masih berdiam diri di dalam ruangan kaca ini. Mengecek rekaman CCTV.

"May, pulang, yuk! Udah malam, nih, May."

Aku terlonjak saat suara itu tiba-tiba menyusup telinga. Suara yang sangat kukenal. Apalagi, akhir-akhir ini dia sering sekali menggangguku.

"Aldi suka ngagetin mulu, nih, sebel, tau!"

Aku merajuk dan melemparkan kertas bekas nota yang tadi kuremas-remas tanpa sengaja saat mengecek rekaman CCTV toko. Kena. Sukurin!

Dia memang kebiasaan menyelonong begitu saja tanpa rasa bersalah. Ditegur pun tidak mempan. Malah seolah-olah tidak mendengar apa yang kuutarakan. Bahkan, berkali-kali kepalanya terkena lemparan kertas yang berukuran sebesar bola kasti. Tetap saja dia tak mengacuhkan.

"Lagi ngecek apaan, sih, serius amat, May?"

"Aku lagi pengen tau kerja anak-anak aja."

"Udahlah, nggak usah terlalu dipikirin kalau masalah profit! Anak-anak marketing itu rajin, kok, tapi ya gimana keadaanya memang lagi sepi aja. Udah malam banget, pulang, yuk!" Aldi meraih tangan kananku.

Aku refleks menepisnya. Dia sepertinya mulai berani. Kuancam dia lewat tatapan. Dia mundur sambil mengangkat tangan.

"Dekat boleh, kurang ajar, jangan, Bos!"

Kumatikan layar monitor CCTV, kemudian bangkit dan meninggalkan ruangan setelah mengecek semua laci. Aldi mengekoriku keluar. Setelahnya, dia jalan terlebih dulu dan aku dibelakangnya. Entah, tetapi rasanya aku canggung jika harus berduaan dengan laki-laki selain Lukman.

Apalagi, akhir-akhir ini aku merasa Aldi sangat lain memperlakukanku. Bukan kepedean, tetapi dari gerak-geriknya aku curiga dia menginginkan sesuatu yang lebih dariku. Aku sungguh tidak ingin itu terjadi.

Aku adalah orang yang senang menghindari risiko. Terlebih, magnet yang dimiliki Aldi begitu besar. Auranya begitu kuat.

Langkahnya santai, kedua tangan dimasukkan ke dalam kantong celana.

"May, jalannya lama amat, masih kuat nggak?"

Astaga, dia ternyata berhenti. Badannya sudah menghadap ke arahku dan menunggu dengan tidak sabar. Laki-laki memang semua maunya serba cepat. Tiba-tiba saja ingatanku melayang ke Lukman.

Sudah beberapa hari aku tidak bertemu dengannya. Ah, kalau dipikir-pikir kangen juga. Cuma, kalau dipikir-pikir lagi, biar saja seperti ini sementara.

Dia sibuk, aku juga sama. Ya, aku sekarang ini sedang ingin sedikit membebaskan diri. Menyenangkan diri sendiri.

Lamunanku buyar saat badanku menabrak sesuatu. Sesuatu yang keras, tetapi menguarkan aroma jeruk. Astaga, saking asyiknya aku melamun, badan sebesar itu bahkan tidak terlihat olehku.

"Sorry, sorry, Al! Ya ampun, maaf banget," ucapku dengan rasa malu yang mencapai ubun-ubun. Memang, jalan menuju parkiran ini sedikit gelap, tetapi bukan berarti badan sebesar itu bisa tak kasat mata.

"Yaelah, bilang aja pengen dipeluk, May!"

Ya, Tuhan, Aldi mengatakan itu dengan wajah yang didekatkan ke arahku.

"Ngaco, ah!" elakku. Bukan marah, melainkan malu. Demi menyelamatkan muka yang aku yakin sudah berubah bak kepiting rebus, maka kaki ini mengambil langkah seribu.

Mungkin jika ada yang melihat, dikira ini adegan film India. Lari-larian di parkiran. Sungguh memalukan. Aku sampai-sampai ingin mengulang waktu supaya kejadian itu tidak pernah terjadi.

Baru saja aku ingin masuk ke mobil, Aldi kembali menarikku. Kali ini cengkeramannya kencang. Matanya menatapku lekat.

Aku coba menepis, tetapi tidak bisa.

"Makan dulu, yuk! Aku tau kamu lapar." Aldi mengatakan itu masih dengan tatapan anehnya. Haruskah aku mengiakan?

Setelah berpikir sejenak, aku mengiakan.

"Mau makan apa memangnya, Al?"

"Terserah kamu aja. Kamu lagi mau makan apa?" tanyanya. "Mumpung aku lagi baik." Dia tertawa. Aku mengangguk karena sudah ingin secepatnya keluar dari suasana itu.

"Mau bareng apa gimana ke sananya?"

"Terserah kamu. Sendiri-sendiri oke. Barengan juga nggak masalah." Aku yakin, siapa pun yang jadi pasangan Aldi pasti akan bahagia.

"Aku mau makan di warung dekat pantai."

"Siapa takut? Aldi bakal dengan senang hati menemani. Yuk, jalan sekarang!"

"Bareng aja, kali, ya? Kamu yang nyetir." Aku memang sedang ingin malas-malasan.

Entah mengapa rasa badanku sangat lelah.

"Oke."

"Nih, kuncinya! Jangan ngebut!" ancamku. Aku takut dia akan ngebut seperti kemarin saat pergi ke pantai dengan motornya.

Dia mengangguk setuju. Sepertinya bisa dipercaya. Akhirnya, aku pun menikmati perjalanan dengan menyandarkan tubuh sepenuhnya ke sandaran kursi samping sopir.

Ternyata rasanya nikmat. Aku baru kali ini merasakannya sejak sibuk bekerja. Biasanya, ke mana-mana menyetir sendiri.

Kemudian, aku merasa tubuhku digoyang-goyangkan.

Mataku terbuka perlahan dan kaget setengah mati saat melihat wajah Aldi.

"Selamat malam, Anda sudah sampai di tujuan. Silakan turun dan hati-hati dengan barang bawaaan Anda!" Aldi menirukan nada intruksi awak kabin di sebuah penerbangan. Benar-benar dia itu.

Suasana parkiran pinggir pantai terlihat ramai. Sepertinya banyak orang yang sedang ingin menikmati angin laut di malam hari. Aku dan Aldi turun, kemudian menuju ke warung yang kumaksud.

"Yaaah, tutup, Al. Udah jauh-jauh ke sini." Aku sedikit kecewa. Jujur saja, makanan di warung ini sangat membuatku rindu.

"Ya udah makan yang lain aja, yuk, May!"

Aldi mengajakku menuju sebuah restoran.

"Makan di sini? Duh-duh, kayak pasangan aja kita." Aku mengatakan hal itu tanpa sadar. Akan tetapi, melihat lirikan Aldi yang aneh, membuatku tutup mulut. Dia kemudian mencari kursi kosong.

"Di sana aja mau nggak, May?" tanya Aldi sambil menunjuk dua buah kursi berhadapan yang berada di sudut ruangan. Aku mengiakan.

Aku dan Aldi menuju ke sana. Akan tetapi, baru saja aku ingin duduk, sebuah suara mengagetkanku. Suara seorang wanita.

"May, kita ketemu lagi. Kebetulan banget." Dia Ci Lily. Wajah ayunya kalu ini makin memesona dengan polesan wajah ala Korea.

"Hai, Ci! Cici sama siapa? Kebetulan banget."

"Ah, May, kayaknya kita batal makan, deh."

"Kenapa, Al? Kamu buru-buru? Kok tiba-tiba?"

"Iya, ini barusan dapat telepon dari Yudi."

Yudi? Ah, lagi-lagi dia. Ada apa sebenarnya?

"Dia kecelakaan, May. Barusan dia telepon." Aldi menarikku setelah mengangguk sopan ke arah Ci Lily.

"Ya ampun kenapa jadi begini, sih, Al?"

"Kapan-kapan kita makan di sini, aku janji!"

***

Dering beker membangunkan seluruh kesadaranku.

Dengan semangat yang membara, aku langsung menyambar handuk dan menuju kamar mandi. Akan tetapi, tiba-tiba kepalaku terasa pusing. Sedikit kaget karena merasa pusing mendadak. Meski termasuk yang sering stres karena pekerjaan menumpuk, aku bisa dibilang jarang sekali pusing. Namun, pagi ini aku merasakannya.

Kupejamkan mata, mencoba untuk mengurangi sensasinya. Akan tetapi, sepertinya itu tidak membantu. Aku justru makin pening.

"Duh, kenapa pusing banget gini, sih, kepalaku?"

Aku menggumam sambil meringis dan bertopang pada dinding keramik. Acara mandiku otomatis jadi sedikit tertunda. Apalagi sesaat setelahnya, perutku mual. Sangat mual. Kepala yang masih pusing mau tak mau kubawa mendekati wastafel dan... hoek! Aku memuntahkan sedikit sisa makanan yang ada di lambung.

Aku jadi ingat, semalam aku lupa makan.

Aku juga dari pantai walau hanya sebentar.

Sepertinya aku masuk angin dan perlu istirahat. Ah, mungkinkah aku harus libur dulu hari ini? Rasanya badanku berat.

Aku mengurungkna niat mandi, kemudian mencari ponsel untuk menghubungi Sasti. Kukabarkan padanya bahwa hari ini aku tidak masuk. Lalu, tidak lupa kutitip pesan untuk menjaga toko dengan baik.

Setelah itu, aku berbaring di ranjang.

Namun, perut ini rasanya benar-benar sangat mual hingga aku terpaksa bangun. Menuju wastafel dan muntah. Akan tetapi, isinya hanya air. Benar-benar rasanya sangat tidak enak.

"May, aku bawain bubur, nih, buka pintu!"

"Tunggu!"

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status