Share

Menjadi Babysitter Anak Suamiku
Menjadi Babysitter Anak Suamiku
Penulis: Rizka Fhaqot

Bab 1. Awal Prahara

"Nya, minyum!"

Lirih suara perempuan ringkih itu berbicara khas penderita stroke, lidahnya kesulitan melafadzkan huruf sesuai tempatnya. Namun, aku cukup tahu apa yang beliau katakan. Ya, perempuan itu tengah memintaku untuk mengambilkan minum untuknya. 

Bergegas aku mendekat. Tangan yang semula sibuk mengupas kentang persiapan memasak sayur sup untuk makan siang nanti, kugeletakkan begitu saja. 

Kuulurkan segelas air beserta sedotan panjang, untuk mempermudah saat ia meminumnya. 

"Minum yang banyak, Bu! Supaya ginjal Ibu selalu sehat!" ucapku menyemangati. Ibu memaksakan bibir kakunya untuk tersenyum, mata kuyunya menatap berbinar ke arahku. 

"Makasih, Nya." Ucapan keluar dari bibir kaku itu. Kata-kata yang puluhan kali diucapkannya dalam sehari, dan ditujukan untukku. Aku menjawabnya dengan senyuman dan usapan lembut di tangan keriputnya. 

Perempuan itu bernama Muslimah—ibu dari suamiku—Bang Haikal. 

Ibu meminum hingga habis setengahnya. Aku kembali melanjutkan pekerjaanku semula, setelah meletakkan gelas yang tersisa setengah itu di atas meja dekat Ibu. 

Setelah mengurus semua keperluan Ibu dan Harry setiap pagi, aku segera memasak untuk makan siang kami. Aku tak ingin Ibu sampai menunggu masakanku selesai, saat jam makan siang tiba. 

Jika ada banyak cerita tentang mertua zolim terhadap menantunya, maka kisahku berbanding terbalik. Ya, Ibu adalah mertua yang baik, sesuai dengan namanya.

Ibu sangat menyayangiku, bahkan dulu, aku bak ratu di rumah ini. Hampir semua pekerjaan rumah, Ibu yang mengerjakan, aku hanya membantu sebisaku. Ibu bahkan tak mengizinkanku untuk bekerja terlalu lelah. Namun, semua berakhir setelah penyakit stroke menimpa Ibu tiga tahun lalu. Kini, Ibu hanya berbaring kaku, atau duduk terpaku di kursi rodanya. 

Ibu memiliki dua anak perempuan dan satu laki-laki, yaitu Bang Haikal. 

Sejak aku menikah dan diboyong ke rumah ini, dua Kakak perempuan Bang Haikal, Kak Farida dan Kak Naima, sudah tak lagi tinggal bersama. Mereka berdua sudah berkeluarga dan tinggal di kota, mereka datang sebulan sekali untuk menjenguk Ibu. Selebihnya mereka sibuk dengan kehidupan mereka di kota. 

Aku tak pernah mempermasalahkan itu. Bagiku, ini waktunya untuk balas budi pada mertua sebaik Ibu. Rasa beruntung memiliki mertua yang menganggapku layaknya anak sendiri, membuatku tak pernah mengeluh saat merawat Ibu. 

Di rumah ini, kami hanya tinggal berempat, bersama Bang Haikal dan Harry—anak angkat kami. Terkadang Bang Haikal tak pulang ke rumah, karena pekerjaan dengan waktu yang tak menentu. Sedangkan ayah mertuaku, telah lama meninggal. 

Harry tengah tertidur di ruang tivi, setelah sebelumnya kuberikan sebotol susu formula untuk mengenyangkan perutnya.

Kami mengadopsi harry setelah tiga tahun pernikahan kami. Tepatnya, Bang Haikal yang mengadopsi Harry, saat usia Harry baru empat bulan, tanpa mengatakan padaku sebelumnya. 

"Mungkin ini jalan kita, supaya segera diberi momongan, Sayang."

Begitulah alasan Bang Haikal, ketika membujukku untuk menerima bayi mungil yang waktu itu digendongnya, hampir dua tahun lalu. Saat itu, Bang Haikal membawa Harry pulang bersama Ilman anak buahnya. Sekarang usia Harry sudah setahun sepuluh bulan. 

Suara ponsel yang kuletakkan di atas kulkas berdering. Aku berniat mengabaikannya, karena kesibukan memasak yang tengah kukerjakan. Namun, beberapa kali setelahnya kembali terdengar suara pesan masuk. 

Aku melap tangan yang basah, kemudian bangkit dan meraih ponsel pintar yang kubeli setahun lalu.

Beberapa foto yang masih blur terpampang, disertai tulisan. Ternyata, Farah-lah yang mengirimiku pesan barusan. 

[Na! ini Haikal, kan?]

Aku membelalakkan mata setelah deretan foto itu berhasil terbuka sempurna. Foto Bang Haikal tengah bersama perempuan muda, mereka terlihat begitu mesramesra bak sepasang kekasih.

[Kapan dan di mana kau melihat mereka, Fa?]

Ku ketik balasan untuk Farah dengan degup jantung memburu, amarah telah menguasai hati dan pikiranku, membuat mata memanas menahan bulir yang mendesak keluar. 

Kutadahkan kepala berusaha menahan tangis. Kelebat bayangan perempuan asing yang tengah rebah di dada bidang Bang Haikal, kembali terbayang. 

[Mereka tengah di cafe BTC, Na, tak jauh dari tempatku duduk sekarang.]

Kuremas jemari sekuat tenaga, sebagai gambaran emosi yang berusaha kutahan sekuat mungkin. Kulafadzkan istigfar, berusaha mengontrol emosi yang tengah merajai hati.

Inikah ucapan terima kasihmu atas pengorbananku selama ini, Bang? Apakah aku tak layak untuk kau bahagiakan? Kurangkah pengabdianku selama lima tahun ini?

Hati ini seakan hancur berkeping. Kepercayaanku selama ini disalahgunakan oleh Bang Haikal. Gigiku bergemeletuk menahan emosi dan luka, yang membuncah secara bersamaan di dada. 

"Kenyapa, Nya?" 

Suara Ibu memaksaku untuk menoleh, kalimat tanya yang tentunya dengan susah payah beliau ucapkan. Tergambar jelas di mata perempuan yang terlihat renta itu, bahwa dirinya tengah menghawatirkan keadaanku. 

Air mata semakin sulit untuk kubendung, saat mata kami bersitatap, rasa tak kuat lagi mataku untuk tak menangis. Sedetik kemudian, mataku menumpahkan bulir yang sedari tadi berebutan keluar. Aku menghambur mendekat, kemudian memeluk tubuh ringkih nan kaku itu dengan erat, kutumpahkan sesak lewat air mata yang mengalir deras di pipi. 

"Maafkan Zana, Bu!" ucapku dengan air mata yang tumpah ruah. Ingin kuhabiskan air mata luka ini hingga tak bersisa lagi, supaya tak ada lagi rasa sesakit ini melukai hatiku nantinya. Ibu mengusap punggungku dengan sebelah tangan yang masih bisa digerakkan. 

Cukup lama kami berpelukan. Isakan kecil terdengar dari bibir pucat yang tengah rebah di bahuku. Kurenggangkan pelukanku pada Ibu, menatap wajah yang hanya tersisa tulang berbalut kulit itu. Kutangkupkan kedua tangan pada pipi kurusnya, menatap dalam wajah yang selalu menghujaniku dengan cinta. Kuciumi wajahnya berkali-kali, ada rasa bersalah, ketika menyadari, bahwa aku telah membuat perempuan sebaik Ibu bersedih. 

Suara dering ponsel kembali terdengar, aku menoleh ke arah ponsel yang ternyata tergeletak di lantai tanpa kusadari, kemudian mendekat untuk meraihnya. 

Sebuah video menyakitkan kembali masuk ke gawaiku, dari Farah—sahabatku sejak SMA, yang memiliki salon kecantikan di pusat perbelanjaan di kota. Tempat di mana Bang Haikal tengah menoreh luka di hatiku sekarang. 

[Bukan niatku untuk menghancurkan hatimu, Na! Aku hanya tak ingin, kau menghabiskan waktumu untuk orang yang salah. Kau sahabatku!]

[Aku yang harusnya berterimakasih padamu, Fa! Tak ada sedikit pun di hatiku menyalahkanmu.]

[Jika butuh bantuanku, katakan saja. Aku akan selalu ada untukmu, Na! Jangan pernah sungkan.]

Balasan Farah memberikan secercah semangat untukku. Setidaknya, menjadi tempatku berbagi kisah pilu ini. 

Farah memang begitu peduli padaku, meski aku telah menikah, bahkan Farah sering  mengunjungiku di sini, menghabiskan waktu hingga berjam-jam hanya untuk bercerita, atau sekedar menonton film, persis kebiasaan kami sebelum aku menikah dulu. 

Sejak SMA aku memang sangat akrab dengan Farah, mungkin karena banyaknya kesamaan di antara kami. Bahkan kami sering menginap bersama, baik di rumahku atau rumah Farah, jarak antara rumah ibuku dengan rumah Farah pun tak terlalu jauh. Namun, sejak selesai SMA aku memilih bekerja lalu menikah, saat Bang Haikal melamarku. Sedangkan Farah, ia memilih kuliah, setelahnya membuka usaha salon, sesuai jurusan yang ia tekuni saat kuliah. Hingga, di usia yang sudah dua puluh delapan tahun, Farah masih belum menikah. 

Tanganku mengetuk layar ponsel, tepat pada video terakhir yang Farah kirim barusan. Video dua orang tak sejenis yang terlihat bak sepasang suami istri di tempat umum. Ya  ... mereka tengah berada di Bangka Trade Center, salah satu pusat perbelanjaan di Kota yang tak terlalu jauh dari tempatku. 

Lelaki yang berstatus suamiku itu dengan santainya merangkul bahu perempuan itu, menyenderkan ke pundaknya. Sesekali senyum merekah dari bibir mereka. Memalukan! 

Tunggu  ... bukankah, perempuan ini  ...? 

Baiklah Bang, akan kuajari bagaimana caranya berterimakasih, akan kuajarkan bagaimana caranya menghargai, akan kuajari bagaimana balas budi. Dan kau akan tahu, bagaimana istri penurutmu ini jika telah kau sakiti.

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Sahani
menarik untuk dibaca
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status