Share

Menjadi Babysitter Anak Suamiku
Menjadi Babysitter Anak Suamiku
Penulis: Rizka Fhaqot

Bab 1. Awal Prahara

Penulis: Rizka Fhaqot
last update Terakhir Diperbarui: 2022-06-19 23:00:14

"Nya, minyum!"

Lirih suara perempuan ringkih itu berbicara khas penderita stroke, lidahnya kesulitan melafadzkan huruf sesuai tempatnya. Namun, aku cukup tahu apa yang beliau katakan. Ya, perempuan itu tengah memintaku untuk mengambilkan minum untuknya. 

Bergegas aku mendekat. Tangan yang semula sibuk mengupas kentang persiapan memasak sayur sup untuk makan siang nanti, kugeletakkan begitu saja. 

Kuulurkan segelas air beserta sedotan panjang, untuk mempermudah saat ia meminumnya. 

"Minum yang banyak, Bu! Supaya ginjal Ibu selalu sehat!" ucapku menyemangati. Ibu memaksakan bibir kakunya untuk tersenyum, mata kuyunya menatap berbinar ke arahku. 

"Makasih, Nya." Ucapan keluar dari bibir kaku itu. Kata-kata yang puluhan kali diucapkannya dalam sehari, dan ditujukan untukku. Aku menjawabnya dengan senyuman dan usapan lembut di tangan keriputnya. 

Perempuan itu bernama Muslimah—ibu dari suamiku—Bang Haikal. 

Ibu meminum hingga habis setengahnya. Aku kembali melanjutkan pekerjaanku semula, setelah meletakkan gelas yang tersisa setengah itu di atas meja dekat Ibu. 

Setelah mengurus semua keperluan Ibu dan Harry setiap pagi, aku segera memasak untuk makan siang kami. Aku tak ingin Ibu sampai menunggu masakanku selesai, saat jam makan siang tiba. 

Jika ada banyak cerita tentang mertua zolim terhadap menantunya, maka kisahku berbanding terbalik. Ya, Ibu adalah mertua yang baik, sesuai dengan namanya.

Ibu sangat menyayangiku, bahkan dulu, aku bak ratu di rumah ini. Hampir semua pekerjaan rumah, Ibu yang mengerjakan, aku hanya membantu sebisaku. Ibu bahkan tak mengizinkanku untuk bekerja terlalu lelah. Namun, semua berakhir setelah penyakit stroke menimpa Ibu tiga tahun lalu. Kini, Ibu hanya berbaring kaku, atau duduk terpaku di kursi rodanya. 

Ibu memiliki dua anak perempuan dan satu laki-laki, yaitu Bang Haikal. 

Sejak aku menikah dan diboyong ke rumah ini, dua Kakak perempuan Bang Haikal, Kak Farida dan Kak Naima, sudah tak lagi tinggal bersama. Mereka berdua sudah berkeluarga dan tinggal di kota, mereka datang sebulan sekali untuk menjenguk Ibu. Selebihnya mereka sibuk dengan kehidupan mereka di kota. 

Aku tak pernah mempermasalahkan itu. Bagiku, ini waktunya untuk balas budi pada mertua sebaik Ibu. Rasa beruntung memiliki mertua yang menganggapku layaknya anak sendiri, membuatku tak pernah mengeluh saat merawat Ibu. 

Di rumah ini, kami hanya tinggal berempat, bersama Bang Haikal dan Harry—anak angkat kami. Terkadang Bang Haikal tak pulang ke rumah, karena pekerjaan dengan waktu yang tak menentu. Sedangkan ayah mertuaku, telah lama meninggal. 

Harry tengah tertidur di ruang tivi, setelah sebelumnya kuberikan sebotol susu formula untuk mengenyangkan perutnya.

Kami mengadopsi harry setelah tiga tahun pernikahan kami. Tepatnya, Bang Haikal yang mengadopsi Harry, saat usia Harry baru empat bulan, tanpa mengatakan padaku sebelumnya. 

"Mungkin ini jalan kita, supaya segera diberi momongan, Sayang."

Begitulah alasan Bang Haikal, ketika membujukku untuk menerima bayi mungil yang waktu itu digendongnya, hampir dua tahun lalu. Saat itu, Bang Haikal membawa Harry pulang bersama Ilman anak buahnya. Sekarang usia Harry sudah setahun sepuluh bulan. 

Suara ponsel yang kuletakkan di atas kulkas berdering. Aku berniat mengabaikannya, karena kesibukan memasak yang tengah kukerjakan. Namun, beberapa kali setelahnya kembali terdengar suara pesan masuk. 

Aku melap tangan yang basah, kemudian bangkit dan meraih ponsel pintar yang kubeli setahun lalu.

Beberapa foto yang masih blur terpampang, disertai tulisan. Ternyata, Farah-lah yang mengirimiku pesan barusan. 

[Na! ini Haikal, kan?]

Aku membelalakkan mata setelah deretan foto itu berhasil terbuka sempurna. Foto Bang Haikal tengah bersama perempuan muda, mereka terlihat begitu mesramesra bak sepasang kekasih.

[Kapan dan di mana kau melihat mereka, Fa?]

Ku ketik balasan untuk Farah dengan degup jantung memburu, amarah telah menguasai hati dan pikiranku, membuat mata memanas menahan bulir yang mendesak keluar. 

Kutadahkan kepala berusaha menahan tangis. Kelebat bayangan perempuan asing yang tengah rebah di dada bidang Bang Haikal, kembali terbayang. 

[Mereka tengah di cafe BTC, Na, tak jauh dari tempatku duduk sekarang.]

Kuremas jemari sekuat tenaga, sebagai gambaran emosi yang berusaha kutahan sekuat mungkin. Kulafadzkan istigfar, berusaha mengontrol emosi yang tengah merajai hati.

Inikah ucapan terima kasihmu atas pengorbananku selama ini, Bang? Apakah aku tak layak untuk kau bahagiakan? Kurangkah pengabdianku selama lima tahun ini?

Hati ini seakan hancur berkeping. Kepercayaanku selama ini disalahgunakan oleh Bang Haikal. Gigiku bergemeletuk menahan emosi dan luka, yang membuncah secara bersamaan di dada. 

"Kenyapa, Nya?" 

Suara Ibu memaksaku untuk menoleh, kalimat tanya yang tentunya dengan susah payah beliau ucapkan. Tergambar jelas di mata perempuan yang terlihat renta itu, bahwa dirinya tengah menghawatirkan keadaanku. 

Air mata semakin sulit untuk kubendung, saat mata kami bersitatap, rasa tak kuat lagi mataku untuk tak menangis. Sedetik kemudian, mataku menumpahkan bulir yang sedari tadi berebutan keluar. Aku menghambur mendekat, kemudian memeluk tubuh ringkih nan kaku itu dengan erat, kutumpahkan sesak lewat air mata yang mengalir deras di pipi. 

"Maafkan Zana, Bu!" ucapku dengan air mata yang tumpah ruah. Ingin kuhabiskan air mata luka ini hingga tak bersisa lagi, supaya tak ada lagi rasa sesakit ini melukai hatiku nantinya. Ibu mengusap punggungku dengan sebelah tangan yang masih bisa digerakkan. 

Cukup lama kami berpelukan. Isakan kecil terdengar dari bibir pucat yang tengah rebah di bahuku. Kurenggangkan pelukanku pada Ibu, menatap wajah yang hanya tersisa tulang berbalut kulit itu. Kutangkupkan kedua tangan pada pipi kurusnya, menatap dalam wajah yang selalu menghujaniku dengan cinta. Kuciumi wajahnya berkali-kali, ada rasa bersalah, ketika menyadari, bahwa aku telah membuat perempuan sebaik Ibu bersedih. 

Suara dering ponsel kembali terdengar, aku menoleh ke arah ponsel yang ternyata tergeletak di lantai tanpa kusadari, kemudian mendekat untuk meraihnya. 

Sebuah video menyakitkan kembali masuk ke gawaiku, dari Farah—sahabatku sejak SMA, yang memiliki salon kecantikan di pusat perbelanjaan di kota. Tempat di mana Bang Haikal tengah menoreh luka di hatiku sekarang. 

[Bukan niatku untuk menghancurkan hatimu, Na! Aku hanya tak ingin, kau menghabiskan waktumu untuk orang yang salah. Kau sahabatku!]

[Aku yang harusnya berterimakasih padamu, Fa! Tak ada sedikit pun di hatiku menyalahkanmu.]

[Jika butuh bantuanku, katakan saja. Aku akan selalu ada untukmu, Na! Jangan pernah sungkan.]

Balasan Farah memberikan secercah semangat untukku. Setidaknya, menjadi tempatku berbagi kisah pilu ini. 

Farah memang begitu peduli padaku, meski aku telah menikah, bahkan Farah sering  mengunjungiku di sini, menghabiskan waktu hingga berjam-jam hanya untuk bercerita, atau sekedar menonton film, persis kebiasaan kami sebelum aku menikah dulu. 

Sejak SMA aku memang sangat akrab dengan Farah, mungkin karena banyaknya kesamaan di antara kami. Bahkan kami sering menginap bersama, baik di rumahku atau rumah Farah, jarak antara rumah ibuku dengan rumah Farah pun tak terlalu jauh. Namun, sejak selesai SMA aku memilih bekerja lalu menikah, saat Bang Haikal melamarku. Sedangkan Farah, ia memilih kuliah, setelahnya membuka usaha salon, sesuai jurusan yang ia tekuni saat kuliah. Hingga, di usia yang sudah dua puluh delapan tahun, Farah masih belum menikah. 

Tanganku mengetuk layar ponsel, tepat pada video terakhir yang Farah kirim barusan. Video dua orang tak sejenis yang terlihat bak sepasang suami istri di tempat umum. Ya  ... mereka tengah berada di Bangka Trade Center, salah satu pusat perbelanjaan di Kota yang tak terlalu jauh dari tempatku. 

Lelaki yang berstatus suamiku itu dengan santainya merangkul bahu perempuan itu, menyenderkan ke pundaknya. Sesekali senyum merekah dari bibir mereka. Memalukan! 

Tunggu  ... bukankah, perempuan ini  ...? 

Baiklah Bang, akan kuajari bagaimana caranya berterimakasih, akan kuajarkan bagaimana caranya menghargai, akan kuajari bagaimana balas budi. Dan kau akan tahu, bagaimana istri penurutmu ini jika telah kau sakiti.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi
Komen (1)
goodnovel comment avatar
Sahani
menarik untuk dibaca
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terbaru

  • Menjadi Babysitter Anak Suamiku   Part 167. Semua Dengan Jalannya Sendiri

    Aku tersenyum lalu mengangguk pelan. Ya, Rania akan menikah dengan Hendri. Lelaki itu telah jatuh cinta pada pandangan pertama. Atas permintaan Rania, aku dan Bang Amar bercerita banyak tentang masa lalu beserta perubahan Rania pada Hendri, berharap Hendri bisa menerima apa adanya dan lebih mampu memahami Rania saat Hendri mengutarakan niatnya untuk serius pada Rania. Bahkan aku dan Bang Amar lah yang menjadi penyatu keduanya. Tentang Bang Haikal, kabar terakhir yang kudengar dari Kak Naima, mantan suamiku itu masih sendiri setelah Rania menolak untuk kembali. "Semoga sakinah hingga maut memisahkan." Do'a Farah. "Jujur, Na. Aku pun merasa iba pada Rania. Tapi saat mengingat wajah angkuhnya dulu, rasa itu memudar." "Semua pernah melakukan kesalahan, Fa, pun dengan Rania. Aku merasa aku masih di bawahnya. Aku tak tahu harus bagaimana jika aku yang berada di posisi Rania. Ia sangat butuh dukungan. Luka yang kurasakan karena sebuah penghianatan kurasa tak sebanding dengan luka yang ia

  • Menjadi Babysitter Anak Suamiku   Part 166. Akhir Kisah

    "Tak apa, aku hanya heran melihatmu yang tak seperti biasa." Amar berusaha mengalih perhatian Hendri. "Apa kau sudah jatuh cinta pada pandangan pertama?" Amar menggoda anak buahnya itu. Di luar keduanya memang terlihat tak ubah seperti teman. Amar sangat pintar menempatkan posisi. Ia tak begitu suka jika di luar kantor, Hendri atau anak buah yang lain menganggapnya seformal di kantor. Meski untuk panggilan, Hendri memanggilnya dengan embel-embel yang sama. Pak. Hendri menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Ia terlihat salah tingkah. Malu jika dirinya harus mengakui rasa yang tiba-tiba datang tanpa permisi. "Sudah sewajarnya kamu cari pengganti almarhumah istrimu, Hen. Kamu masih sangat muda dan memiliki seorang putri yang sangat butuh sosok ibu."Hendri begeming, hatinya membenarkan perkataan Amar barusan. Namun rasanya terlalu cepat untuk mengatakan jika dirinya menaruh hati pada perempuan bergamis hitam yang baru saja ia lihat. Ia bahkan belum tahu nama perempuan itu. "Kau menar

  • Menjadi Babysitter Anak Suamiku   Part 165. Usaha Haikal

    "Semakin ke sini aku semakin merasa bersalah pada Zana. Aku tak ingin terus-terusan dihantui perasaan yang sama, atau bahkan lebih. Aku yakin, hanya dengan melihatku saja, Zana masih merasakan luka yang dulu kuciptakan, jadi kumohon, jangan membuatku merasa lebih tak nyaman karena aku sangat menikmati kehidupanku sekarang. Kehidupan yang tak lepas dari peran Zana di dalamnya."Apa yang dikatakan Rania benar adanya. Ia sangat menikmati saat sekarang, saat Harry mulai bisa menerimanya, membuat hatinya dipenuhi haru. "Jika Abang sayang aku dan Harry, maka akhirilah hubungan yang menyakiti banyak pihak ini. Mari kita mulai semuanya dari awal. Aku tak ingin tersiksa saat mengingat kembali caraku menghancurkan perasaan Zana dulu."Haikal membatu. Ia tak menyangka jika Rania akan mengatakan hal yang tidak pernah ia sangka seperti saat ini. "Kau tak perlu memikirkan orang lain, pikirkan saja perasaan kita berdua. Aku tau kau masih sangat mencintaiku." Haikal berusaha membujuk, berharap Rani

  • Menjadi Babysitter Anak Suamiku   Part 164. Kita Berpisah Saja

    Aku menatap Bang Amar yang terhalang sandaran kursi menatapnya dengan tetapan heran. "Bukankah jika Rania yang datang, Harry tak perlu merasa khawatir kalau kita akan meninggalkannya di panti?""Kita bisa mengantar Harry ke panti, Sayang. Atau bisa juga denga mempertemukan mereka berdua di mana saja. Aku hanya ingin menghargaimu, dengan tidak adanya tamu asing lawan jenis yang datang ke rumah. Abang tak ingin istri Abang merasa tak nyaman." Senyum mengembang di wajahnya. Alasan Bang Amar ada benarnya juga. Mengapa aku tak memperhatikan hal sepenting itu? "Sayang, bagaimana pun dekatnya kau dengan Harry, mereka tetaplah orang asing bagi kita dan Harry bukanlah mahrammu."Aku pun paham kemana arah pembicaraan Bang Amar. Ini hanyalah langkahku untuk menyelamatkan tumbuh kembang Harry. Memberikan hak-haknya setelah terlahir menjadi seorang anak."Abang berharap, kelak Harry akan tinggal bersama Rania secara utuh. Tak apa kau menginginkan dia seperti anak sendiri seperti sekarang, yang

  • Menjadi Babysitter Anak Suamiku   Part 163. Membawa Harry

    Kalimat Harry barusan menegaskan jika aku tak akan bisa pergi tanpa membawanya. "Masih betah?" bisik Bang Amar di telingaku saat aku tengah asik bercengkrama dengan Harry. Aku kembali melirik jam tangan. Pukul 05.25, kemudian beralih menatap sendu bocah tiga setengah tahun yang tengah bergelayut manja di pangkuanku. "Sayang, kita ke depan, yuk," ajakku pada Harry yang ia sambut dengan anggukan. Kaki kecil itu melangkah riang, menapaki langkah demi langkah melewati satu persatu keramik lantai menuju teras depan, di mana Rania dan Puji duduk bersama beberapa anak panti. Harry menggenggam erat telunjukku saat kami berjalan bersisian, seolah tak memberiku kesempatan untuk jauh darinya. Pertanyaan demi pertanyaan sesuatu yang baru ia lihat tak henti keluar dari bibirnya. "Ran, kami pamit dulu, ya, titip Harry, Ran," ucapku dengan berat hati. Tak rela rasanya meninggalkan Harry di sini. Namun harus bagaimana lagi, meski sedari kecil aku lah yang telah merawat Harry, hati kecilku meng

  • Menjadi Babysitter Anak Suamiku   Part 162. Melepas Rindu

    Beberapa menit aku bahkan tak mampu melepaskan pelukan pada Harry. Aku tergugu di tubuh mungil itu hingga Bang Amar masuk setelah Rania ke luar. Kurenggangkan pelukan di tubuh Harry, membingkai wajahnya, memindai setiap lekuk wajahnya dengan mata yang masih mengabur. Bang Amar mengusap lembut kepala hingga punggung Harry, wajahnya terlihat sendu. "Sayang, udah, ya, nangisnya. Bunda lagi sakit, lho, kasian kalau Bunda nangis terus, nanti tambah sakit," bujuk Bang Amar dengan mengusap lembut kepala Harry yang tengan membelai wajahku. Anak kecil itu mengangguk cepat."Kita ke doktel, ya, Bunda." Harry mencium kedua pipiku kemudian kedua mataku. Benar-benar tak ada yang berubah. Perlakuan Harry masih seperti dulu. Ia adalah anak pintar yang memperlakukanku dengan lembut dan penuh kasih. "Iya, sayang. Maafin Bunda, ya, kemarin nggak bisa jemput Harry. Yang penting sekarang, Harry sudah dekat Bunda," ucapku dengan senyum bercampur air mata. Air mata haru. "Sayang, jangan banyak nangis

  • Menjadi Babysitter Anak Suamiku   Part 161. Bertemu Kembali

    Bang Amar tak langsung menjawab, tangannya mengusap lembut perutku. "Bilang sama, Ummi, kita berangkat sekarang, Dek." Aku tertawa geli melihat ulah Bang Amar. Kini, aku seolah kehilangan sosok jual mahalnya yang dulu. "Yakin? Trus kerjaan Abang gimana?" Aku masih tak enak hati. "Tenang, Abang udah suruh Hendri buat handle. Sekarang siap-siap, gih."Hendri adalah asisten Bang Amar di kantor, duda anak satu yang istrinya meninggal saat melahirkan dua tahun lalu. "Oke, Zana siap-siap."Aku tersenyum senang menanggapi ucapan Bang Amar. Mimpi memeluk Harry akan segera menjadi nyata. *****Jantungku berdegub kencang tatkala menatap punggung mungil Harry yang tengah meringkuk di atas ranjang. "Ia tertidur setelah kelelahan menangis, Na," lirih Rania sendu. Aku duduk di sisi ranjang di belakang Harry dengan dada mulai sesak. Beban berat menahan rindu pada bocah mungil itu seakan tak mampu lagi kubendung. Rasa tak puas membuatku berpindah posisi di depan Harry untuk memindai setiap ga

  • Menjadi Babysitter Anak Suamiku   Part 160. Kecewa Tak Beralasan

    Haikal membuang muka. Pemandangan di hadapannya membuat hatinya meringis. Nek Rahima nyatanya begitu berarti bagi Harry setelah Zana. Harry masih terus menarik tangan Nek Rahima untuk masuk mobil, Nek Rahima mematung. Pelan ia berjongkok, mensejajarkan tubuhnya dengan tubuh mungil Harry. "Sayang, Nenek di sini saja dulu, nanti Nenek bisa jenguk Harry di rumah Bunda atau Harry yang ke sini bersama Bunda.""Nenek ikut, kita jenguk Bunda.""Harry pulangnya sama Ayah dan Mama Rania, ya. Nanti Nenek nyusul."Harry mencebik. Ia ingin segera menjenguk bundanya, tapi ia pun tak ingin meninggalkan Nek Rahima. Dilema, itu lah yang ia rasakan. Haikal segera mendekat, Rania mengikuti dari belakang. Tak banyak yang bisa perempuan itu lakukan sekarang karena Harry masih belum menganggapnya penting. *****"Lagi ngapain?" tanya Bang Amar lewat sambungan telpon. Jam dinding baru saja menunjukkan pukul 10.15. Bang Amar memang selalu menyempatkan menghubungiku ketika dia berada di kantor di saat se

  • Menjadi Babysitter Anak Suamiku   Part 159. Akhirnya Luluh

    "Boleh Rania tanya sesuatu ke Ibu?" Nek Rahima menoleh pada Rania di sampingnya lalu mengangguk. "Nenek ikhlas melepaskan Harry bersamaku?"Beberapa saat hanya desiran angin malam yang terdengar berembus. Kedua perempuan itu saling terpaku, sibuk dengan hati dan pikiran masing-masing. "Ikhlas ataupun tidak, Harry tetaplah anakmu, Nak, Ibu tidak memiliki alasan untuk menahannya di sini."Nek Rahima sangat sadar, jika dirinya hanyalah orang yang Allah pilihkan untuk menjaga dan merawat Harry sebentar saja. Ia tak memiliki alasan untuk berontak."Ibu cuma sendirian di rumah ini?""Iya. Anak-anak Ibu tinggal di kota dan hanya akan pulang bergiliran menjenguk Ibu." Nek Rahima menerawang, rindunya pada anak-anaknya dan cucu-cucunya terobati setelah Harry hadir menemaninya. "Apa Ibu tak memiliki keinginan untuk tinggal bersama mereka?" Rania berkata dengan hati-hati. Embusan napas panjang keluar dari bibir keriput itu. Setiap berbicara tentang hal yang sama, ia merasakan dilema. Rasa r

Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status