Share

Bab 2. Bukti Kuat

Penulis: Rizka Fhaqot
last update Terakhir Diperbarui: 2022-06-19 23:00:50

Aku masih sibuk membersihkan kotoran Ibu, saat Bang Haikal pulang kerja. Ibu baru saja buang air besar di popok yang belum genap dua jam kupakaikan. 

Tak ada rasa benci sedikit pun di hatiku untuk Ibu, meski putranya telah menoreh luka sangat dalam di hatiku. Dan tak ada yang berubah dari pelayanan ku untuk perempuan lembut itu. 

"Harry, di mana, Dik?"

Pertanyaan pertama yang dilontarkan Bang Haikal, saat menghampiriku di dapur. Ibu memang kutempatkan di dapur saat siang hari, tujuanku agar mudah memenuhi keinginan Ibu, karena waktuku banyak kuhabiskan di dapur. Beliau akan kupindahkan ke kamarnya saat menjelang waktu tidur. 

"Di rumah Kak Lila, Bang!" ucapku tanpa menoleh. Kak Lila adalah tetangga samping rumah, juga merupakan keluarga jauh dari Ibu. 

Semenjak Harry bersama kami, Bang Haikal lebih ceria. Setiap pulang dari mana saja, Harry-lah yang pertama ditemuinya. Memang, sejak dua tahun menikah, Bang Haikal kerap menanyakan apakah ada tanda-tanda titipan itu datang, mungkin saking kepinginnya memiliki buah hati. Namun, setelah Harry bersama kami, Bang Haikal tak pernah lagi menanyakan itu. Aku sedikit lega, kedatangan Harry sedikit mengobati sedihku, karena belum diberi kepercayaan itu. 

Aku tak ingin Bang Haikal menaruh curiga padaku, akan kuusahakan sikapku sebiasa mungkin, untuk mencari tahu lebih jauh hubungan Bang Haikal dengan perempuan itu. 

Bang Haikal langsung duduk di kursi makan, dengan menyandarkan punggungnya pada sandaran kursi, menghadap ke arah kami. 

"Abang mau makan sekarang?" 

Aku bertanya basa-basi masih tanpa menatapnya, kusibukkan mataku menatap obyek yang tengah kukerjakan, berusaha mengusir debar jantung yang cukup menyiksa. Serta menyembunyikan mata yang tampak membengkak, setelah menangis cukup lama siang tadi. 

"Abang mau mandi dulu, gerah!"

"Baiklah! Akan Zana siapkan pakaian gantinya, Bang."

Aku beranjak ke kamar setelah selesai mengurus Ibu, perempuan itu tampak lega sekarang.

Aku masih sibuk memilah pakaian untuk Bang Haikal, ketika tangan kekar itu memegang bahuku, memutar posisi badan menghadap ke arahnya. 

Aku hanya mampu tertunduk. Namun, degub jantung berpacu semakin kencang, ketika tangan itu mengangkat dagu milikku, membuat mataku menatap tepat manik milik lelaki yang kusebut suami itu. 

"Kau habis menangis, Na?" tanya Bang Haikal menyelidik. 

Aku bergeming, otak bekerja keras mencari alasan untuk berkilah, agar usahaku tak sia-sia. 

"Aku hanya tak tega memikirkan Ibu, Bang!"

"Memangnya, ada apa dengan Ibu?" Bang Haikal mengerutkan keningnya, seperti tak paham maksudku. 

"Tak tega melihat Ibu masih bertarung melawan sakitnya."

"Bukankah Ibu sudah sakit lama, biasanya kau tak sampai begini?"

Ingin rasanya bibir ini jujur, memaki dengan kasar manusia tak punya hati di hadapanku ini. Jika bukan karena misi utamaku, sudah kucakar wajah lelaki pecinta selangka***n ini. Tak sudi rasanya aku disentuhnya lagi, tapi biarlah, akan kusempurnakan kepura-puraan ini, sampai semua menjadi jelas. 

"Entahlah, Bang, hari ini aku terlalu terbawa suasana."

"Kau memang istri terbaik, Sayang. Abang beruntung memilikimu."

Mendengar kata-kata pujian dari Bang Haikal, aku tak merasakan bahagia sedikitpun, melainkan rasa benci yang semakin bertambah besar. 

Hebat sekali lelaki ini memainkan dramanya, akan kutunjukkan drama yang lebih menantang. Sinisku dalam hati. 

Bang Haikal merangkul bahuku, membawa tubuhku ke dalam pelukannya, tangannya mengusap lembut kepalaku. Dikecup nya berkali-kali puncak kepalaku, sikap yang tak pernah berubah dalam memperlakukanku. Wajar saja, jika aku tak pernah menyangka lelaki ini bermain api di belakangku. Jika bukan karena ingin memberinya pelajaran lebih 'berkesan' pasti sudah kudorong kuat lelaki ini, hingga kepalanya membentur tembok di depanku. Rasanya aku lebih bahagia melihatnya mati perlahan, dari pada harus melihatnya memainkan drama menjijikkan seperti ini. 

Aku berusaha melepas pelukan Bang Haikal, ada rasa jijik ketika kulitku menempel pada tubuhnya. Aku tak tahu, sejauh apa hubungan Bang Haikal dengan perempuan itu, tapi hatiku menolak jika Bang Haikal hanya berteman dengan perempuan itu. 

Perempuan yang memintaku untuk merawat Harry seperti anak sendiri, setahun yang lalu. Saat belum genap tiga bulan Harry bersama kami. 

"Titip Harry ya, Kak. Dia anak sepupuku. Ibunya meninggal dua bulan setelah Harry lahir," ucapnya dengan tangan mengusap lembut pipi bayi yang tengah tertidur pulas dalam gendonganku. 

Perempuan itu terlihat beberapa kali menghapus genangan air mata yang mulai keluar. Wajar saja, karena Harry adalah keponakannya, pikirku. 

"Jangan mengkhawatirkan Harry, dia akan kami rawat dengan sebaik mungkin," jawab Bang Haikal yang duduk di sampingku kala itu, dengan tersenyum manis. 

Aku tak banyak bicara, otakku sibuk mencerna, alasan keluarga mereka memberikan Harry untuk diadopsi, padahal mereka terlihat dari keluarga mampu. Tapi aku tak ingin suudzon kala itu. 

*****

Bang Haikal sudah terlelap sejak pukul sembilan tadi, di samping Harry yang tidur lebih awal darinya. Ibu sudah kupindahkan ke kamarnya yang bersebelahan dengan kamar kami. Aku sengaja menunggu Bang Haikal lebih nyenyak untuk melancarkan aksiku. 

Kuraih ponsel Bang Haikal yang terletak di atas nakas. Aku memang hampir tak pernah memeriksa ponselnya, bagiku, sikap penyayang yang ia tampakkan selama ini, cukup sebagai bukti, bahwa aku wanita satu-satunya yang ada di hatinya. Ternyata aku salah. 

Kugeser layar ponsel setelah menekan tombol on/off pada sisi kanannya, ternyata gawainya terkunci dengan pola. Kucoba berbagai pola, tapi tak ada yang berhasil. Selanjutnya, kucoba menggunakan fitur sidik jari, dengan menekan satu persatu ujung jari milik Bang Haikal. Yess, berhasil setelah jari manis kirinya menempel pada sensor sidik jari. 

Aku segera keluar kamar, berjalan menuju kamar mandi. Biarlah kuhabiskan waktuku lebih lama di kamar mandi, karena tak ingin Bang Haikal akan menemukanku tengah membuka gawainya, saat terbangun. 

Aku mulai berselancar di aplikasi sosial media milik Bang Haikal. Tak sulit mengungkapkannya, karena baru saja aku membuka aplikasi hijau bergambar gagang telpon, aku langsung menemukan bukti perselingkuhan mereka.

[Sayang, Abang rindu aksimu di ranjang!]

[Rania juga rindu menghabiskan malam bersama Abang. Kapan ke sini, Bang?]

[Mungkin besok, Abang sudah tak sabar!]

[Oke, Sayang! Rania akan siapin jamu kuat untuk Abang. Biar bisa membuat Rania ngos-ngosan seperti terakhir kita melakukannua.]

Nafas memburu di dadaku, air mata kembali mengurai. Membayangkan suami yang kuhormati selama ini telah berbagi peluh dengan wanita selain diriku, amarah kembali mengubun-ubun.

Ternyata sejauh itu hubung Bang Haikal dengan perempuan itu, aku semakin jijik dengan lelaki itu. Ingin rasanya ku hampiri lelaki yang tengah terlelap di kamar itu, memukul kepalanya dengan ulekan yang biasa kugunakan untuk memasak. Atau menonjok wajahnya dengan membabi buta. Tapi aku tak ingin kecerobohan membuatku lebih sengsara. 

Kutarik nafas panjang dan mengeluarkannya perlahan, sambil mengusap kasar lelehan bening di pipiku. 

Aku berusaha kuat. Akan kubalas sakit hatiku padamu, Bang. Agar kau tahu akibat dari perbuatanmu. Geramku. 

Aku beralih ke aplikasi biru berlogo huruf 'f', mengklik di pencarian dengan kata kunci 'Rania'. Deretan nama yang terdapat penggalan nama yang sama, mataku fokus mencari, dan menemukan sebuah akun dengan nama 'Rania Harry', dengan foto profil seorang wanita yang sangat mirip dengan perempuan yang tengah kucari, dengan foto profil tengah mengenakan seragam salah satu perusahaan swasta. 

Mataku tertuju pada nama 'Harry' yang menempel di belakang namanya. Apakah ada sesuatu di baliknya, atau hanya kebetulan saja? 

Aku kembali membuka aplikasi hijau, tanganku kembali menscroll ke atas percakapan mereka lebih jauh lagi, untuk mencari tahu lebih jauh apa yang sebenarnya terjadi. 

Mataku membulat sempurna, saat menangkap percakapan yang mampu membuat emosiku semakin menggunung.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Menjadi Babysitter Anak Suamiku   Part 167. Semua Dengan Jalannya Sendiri

    Aku tersenyum lalu mengangguk pelan. Ya, Rania akan menikah dengan Hendri. Lelaki itu telah jatuh cinta pada pandangan pertama. Atas permintaan Rania, aku dan Bang Amar bercerita banyak tentang masa lalu beserta perubahan Rania pada Hendri, berharap Hendri bisa menerima apa adanya dan lebih mampu memahami Rania saat Hendri mengutarakan niatnya untuk serius pada Rania. Bahkan aku dan Bang Amar lah yang menjadi penyatu keduanya. Tentang Bang Haikal, kabar terakhir yang kudengar dari Kak Naima, mantan suamiku itu masih sendiri setelah Rania menolak untuk kembali. "Semoga sakinah hingga maut memisahkan." Do'a Farah. "Jujur, Na. Aku pun merasa iba pada Rania. Tapi saat mengingat wajah angkuhnya dulu, rasa itu memudar." "Semua pernah melakukan kesalahan, Fa, pun dengan Rania. Aku merasa aku masih di bawahnya. Aku tak tahu harus bagaimana jika aku yang berada di posisi Rania. Ia sangat butuh dukungan. Luka yang kurasakan karena sebuah penghianatan kurasa tak sebanding dengan luka yang ia

  • Menjadi Babysitter Anak Suamiku   Part 166. Akhir Kisah

    "Tak apa, aku hanya heran melihatmu yang tak seperti biasa." Amar berusaha mengalih perhatian Hendri. "Apa kau sudah jatuh cinta pada pandangan pertama?" Amar menggoda anak buahnya itu. Di luar keduanya memang terlihat tak ubah seperti teman. Amar sangat pintar menempatkan posisi. Ia tak begitu suka jika di luar kantor, Hendri atau anak buah yang lain menganggapnya seformal di kantor. Meski untuk panggilan, Hendri memanggilnya dengan embel-embel yang sama. Pak. Hendri menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Ia terlihat salah tingkah. Malu jika dirinya harus mengakui rasa yang tiba-tiba datang tanpa permisi. "Sudah sewajarnya kamu cari pengganti almarhumah istrimu, Hen. Kamu masih sangat muda dan memiliki seorang putri yang sangat butuh sosok ibu."Hendri begeming, hatinya membenarkan perkataan Amar barusan. Namun rasanya terlalu cepat untuk mengatakan jika dirinya menaruh hati pada perempuan bergamis hitam yang baru saja ia lihat. Ia bahkan belum tahu nama perempuan itu. "Kau menar

  • Menjadi Babysitter Anak Suamiku   Part 165. Usaha Haikal

    "Semakin ke sini aku semakin merasa bersalah pada Zana. Aku tak ingin terus-terusan dihantui perasaan yang sama, atau bahkan lebih. Aku yakin, hanya dengan melihatku saja, Zana masih merasakan luka yang dulu kuciptakan, jadi kumohon, jangan membuatku merasa lebih tak nyaman karena aku sangat menikmati kehidupanku sekarang. Kehidupan yang tak lepas dari peran Zana di dalamnya."Apa yang dikatakan Rania benar adanya. Ia sangat menikmati saat sekarang, saat Harry mulai bisa menerimanya, membuat hatinya dipenuhi haru. "Jika Abang sayang aku dan Harry, maka akhirilah hubungan yang menyakiti banyak pihak ini. Mari kita mulai semuanya dari awal. Aku tak ingin tersiksa saat mengingat kembali caraku menghancurkan perasaan Zana dulu."Haikal membatu. Ia tak menyangka jika Rania akan mengatakan hal yang tidak pernah ia sangka seperti saat ini. "Kau tak perlu memikirkan orang lain, pikirkan saja perasaan kita berdua. Aku tau kau masih sangat mencintaiku." Haikal berusaha membujuk, berharap Rani

  • Menjadi Babysitter Anak Suamiku   Part 164. Kita Berpisah Saja

    Aku menatap Bang Amar yang terhalang sandaran kursi menatapnya dengan tetapan heran. "Bukankah jika Rania yang datang, Harry tak perlu merasa khawatir kalau kita akan meninggalkannya di panti?""Kita bisa mengantar Harry ke panti, Sayang. Atau bisa juga denga mempertemukan mereka berdua di mana saja. Aku hanya ingin menghargaimu, dengan tidak adanya tamu asing lawan jenis yang datang ke rumah. Abang tak ingin istri Abang merasa tak nyaman." Senyum mengembang di wajahnya. Alasan Bang Amar ada benarnya juga. Mengapa aku tak memperhatikan hal sepenting itu? "Sayang, bagaimana pun dekatnya kau dengan Harry, mereka tetaplah orang asing bagi kita dan Harry bukanlah mahrammu."Aku pun paham kemana arah pembicaraan Bang Amar. Ini hanyalah langkahku untuk menyelamatkan tumbuh kembang Harry. Memberikan hak-haknya setelah terlahir menjadi seorang anak."Abang berharap, kelak Harry akan tinggal bersama Rania secara utuh. Tak apa kau menginginkan dia seperti anak sendiri seperti sekarang, yang

  • Menjadi Babysitter Anak Suamiku   Part 163. Membawa Harry

    Kalimat Harry barusan menegaskan jika aku tak akan bisa pergi tanpa membawanya. "Masih betah?" bisik Bang Amar di telingaku saat aku tengah asik bercengkrama dengan Harry. Aku kembali melirik jam tangan. Pukul 05.25, kemudian beralih menatap sendu bocah tiga setengah tahun yang tengah bergelayut manja di pangkuanku. "Sayang, kita ke depan, yuk," ajakku pada Harry yang ia sambut dengan anggukan. Kaki kecil itu melangkah riang, menapaki langkah demi langkah melewati satu persatu keramik lantai menuju teras depan, di mana Rania dan Puji duduk bersama beberapa anak panti. Harry menggenggam erat telunjukku saat kami berjalan bersisian, seolah tak memberiku kesempatan untuk jauh darinya. Pertanyaan demi pertanyaan sesuatu yang baru ia lihat tak henti keluar dari bibirnya. "Ran, kami pamit dulu, ya, titip Harry, Ran," ucapku dengan berat hati. Tak rela rasanya meninggalkan Harry di sini. Namun harus bagaimana lagi, meski sedari kecil aku lah yang telah merawat Harry, hati kecilku meng

  • Menjadi Babysitter Anak Suamiku   Part 162. Melepas Rindu

    Beberapa menit aku bahkan tak mampu melepaskan pelukan pada Harry. Aku tergugu di tubuh mungil itu hingga Bang Amar masuk setelah Rania ke luar. Kurenggangkan pelukan di tubuh Harry, membingkai wajahnya, memindai setiap lekuk wajahnya dengan mata yang masih mengabur. Bang Amar mengusap lembut kepala hingga punggung Harry, wajahnya terlihat sendu. "Sayang, udah, ya, nangisnya. Bunda lagi sakit, lho, kasian kalau Bunda nangis terus, nanti tambah sakit," bujuk Bang Amar dengan mengusap lembut kepala Harry yang tengan membelai wajahku. Anak kecil itu mengangguk cepat."Kita ke doktel, ya, Bunda." Harry mencium kedua pipiku kemudian kedua mataku. Benar-benar tak ada yang berubah. Perlakuan Harry masih seperti dulu. Ia adalah anak pintar yang memperlakukanku dengan lembut dan penuh kasih. "Iya, sayang. Maafin Bunda, ya, kemarin nggak bisa jemput Harry. Yang penting sekarang, Harry sudah dekat Bunda," ucapku dengan senyum bercampur air mata. Air mata haru. "Sayang, jangan banyak nangis

  • Menjadi Babysitter Anak Suamiku   Part 161. Bertemu Kembali

    Bang Amar tak langsung menjawab, tangannya mengusap lembut perutku. "Bilang sama, Ummi, kita berangkat sekarang, Dek." Aku tertawa geli melihat ulah Bang Amar. Kini, aku seolah kehilangan sosok jual mahalnya yang dulu. "Yakin? Trus kerjaan Abang gimana?" Aku masih tak enak hati. "Tenang, Abang udah suruh Hendri buat handle. Sekarang siap-siap, gih."Hendri adalah asisten Bang Amar di kantor, duda anak satu yang istrinya meninggal saat melahirkan dua tahun lalu. "Oke, Zana siap-siap."Aku tersenyum senang menanggapi ucapan Bang Amar. Mimpi memeluk Harry akan segera menjadi nyata. *****Jantungku berdegub kencang tatkala menatap punggung mungil Harry yang tengah meringkuk di atas ranjang. "Ia tertidur setelah kelelahan menangis, Na," lirih Rania sendu. Aku duduk di sisi ranjang di belakang Harry dengan dada mulai sesak. Beban berat menahan rindu pada bocah mungil itu seakan tak mampu lagi kubendung. Rasa tak puas membuatku berpindah posisi di depan Harry untuk memindai setiap ga

  • Menjadi Babysitter Anak Suamiku   Part 160. Kecewa Tak Beralasan

    Haikal membuang muka. Pemandangan di hadapannya membuat hatinya meringis. Nek Rahima nyatanya begitu berarti bagi Harry setelah Zana. Harry masih terus menarik tangan Nek Rahima untuk masuk mobil, Nek Rahima mematung. Pelan ia berjongkok, mensejajarkan tubuhnya dengan tubuh mungil Harry. "Sayang, Nenek di sini saja dulu, nanti Nenek bisa jenguk Harry di rumah Bunda atau Harry yang ke sini bersama Bunda.""Nenek ikut, kita jenguk Bunda.""Harry pulangnya sama Ayah dan Mama Rania, ya. Nanti Nenek nyusul."Harry mencebik. Ia ingin segera menjenguk bundanya, tapi ia pun tak ingin meninggalkan Nek Rahima. Dilema, itu lah yang ia rasakan. Haikal segera mendekat, Rania mengikuti dari belakang. Tak banyak yang bisa perempuan itu lakukan sekarang karena Harry masih belum menganggapnya penting. *****"Lagi ngapain?" tanya Bang Amar lewat sambungan telpon. Jam dinding baru saja menunjukkan pukul 10.15. Bang Amar memang selalu menyempatkan menghubungiku ketika dia berada di kantor di saat se

  • Menjadi Babysitter Anak Suamiku   Part 159. Akhirnya Luluh

    "Boleh Rania tanya sesuatu ke Ibu?" Nek Rahima menoleh pada Rania di sampingnya lalu mengangguk. "Nenek ikhlas melepaskan Harry bersamaku?"Beberapa saat hanya desiran angin malam yang terdengar berembus. Kedua perempuan itu saling terpaku, sibuk dengan hati dan pikiran masing-masing. "Ikhlas ataupun tidak, Harry tetaplah anakmu, Nak, Ibu tidak memiliki alasan untuk menahannya di sini."Nek Rahima sangat sadar, jika dirinya hanyalah orang yang Allah pilihkan untuk menjaga dan merawat Harry sebentar saja. Ia tak memiliki alasan untuk berontak."Ibu cuma sendirian di rumah ini?""Iya. Anak-anak Ibu tinggal di kota dan hanya akan pulang bergiliran menjenguk Ibu." Nek Rahima menerawang, rindunya pada anak-anaknya dan cucu-cucunya terobati setelah Harry hadir menemaninya. "Apa Ibu tak memiliki keinginan untuk tinggal bersama mereka?" Rania berkata dengan hati-hati. Embusan napas panjang keluar dari bibir keriput itu. Setiap berbicara tentang hal yang sama, ia merasakan dilema. Rasa r

Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status