Share

Bab 2. Bukti Kuat

Aku masih sibuk membersihkan kotoran Ibu, saat Bang Haikal pulang kerja. Ibu baru saja buang air besar di popok yang belum genap dua jam kupakaikan. 

Tak ada rasa benci sedikit pun di hatiku untuk Ibu, meski putranya telah menoreh luka sangat dalam di hatiku. Dan tak ada yang berubah dari pelayanan ku untuk perempuan lembut itu. 

"Harry, di mana, Dik?"

Pertanyaan pertama yang dilontarkan Bang Haikal, saat menghampiriku di dapur. Ibu memang kutempatkan di dapur saat siang hari, tujuanku agar mudah memenuhi keinginan Ibu, karena waktuku banyak kuhabiskan di dapur. Beliau akan kupindahkan ke kamarnya saat menjelang waktu tidur. 

"Di rumah Kak Lila, Bang!" ucapku tanpa menoleh. Kak Lila adalah tetangga samping rumah, juga merupakan keluarga jauh dari Ibu. 

Semenjak Harry bersama kami, Bang Haikal lebih ceria. Setiap pulang dari mana saja, Harry-lah yang pertama ditemuinya. Memang, sejak dua tahun menikah, Bang Haikal kerap menanyakan apakah ada tanda-tanda titipan itu datang, mungkin saking kepinginnya memiliki buah hati. Namun, setelah Harry bersama kami, Bang Haikal tak pernah lagi menanyakan itu. Aku sedikit lega, kedatangan Harry sedikit mengobati sedihku, karena belum diberi kepercayaan itu. 

Aku tak ingin Bang Haikal menaruh curiga padaku, akan kuusahakan sikapku sebiasa mungkin, untuk mencari tahu lebih jauh hubungan Bang Haikal dengan perempuan itu. 

Bang Haikal langsung duduk di kursi makan, dengan menyandarkan punggungnya pada sandaran kursi, menghadap ke arah kami. 

"Abang mau makan sekarang?" 

Aku bertanya basa-basi masih tanpa menatapnya, kusibukkan mataku menatap obyek yang tengah kukerjakan, berusaha mengusir debar jantung yang cukup menyiksa. Serta menyembunyikan mata yang tampak membengkak, setelah menangis cukup lama siang tadi. 

"Abang mau mandi dulu, gerah!"

"Baiklah! Akan Zana siapkan pakaian gantinya, Bang."

Aku beranjak ke kamar setelah selesai mengurus Ibu, perempuan itu tampak lega sekarang.

Aku masih sibuk memilah pakaian untuk Bang Haikal, ketika tangan kekar itu memegang bahuku, memutar posisi badan menghadap ke arahnya. 

Aku hanya mampu tertunduk. Namun, degub jantung berpacu semakin kencang, ketika tangan itu mengangkat dagu milikku, membuat mataku menatap tepat manik milik lelaki yang kusebut suami itu. 

"Kau habis menangis, Na?" tanya Bang Haikal menyelidik. 

Aku bergeming, otak bekerja keras mencari alasan untuk berkilah, agar usahaku tak sia-sia. 

"Aku hanya tak tega memikirkan Ibu, Bang!"

"Memangnya, ada apa dengan Ibu?" Bang Haikal mengerutkan keningnya, seperti tak paham maksudku. 

"Tak tega melihat Ibu masih bertarung melawan sakitnya."

"Bukankah Ibu sudah sakit lama, biasanya kau tak sampai begini?"

Ingin rasanya bibir ini jujur, memaki dengan kasar manusia tak punya hati di hadapanku ini. Jika bukan karena misi utamaku, sudah kucakar wajah lelaki pecinta selangka***n ini. Tak sudi rasanya aku disentuhnya lagi, tapi biarlah, akan kusempurnakan kepura-puraan ini, sampai semua menjadi jelas. 

"Entahlah, Bang, hari ini aku terlalu terbawa suasana."

"Kau memang istri terbaik, Sayang. Abang beruntung memilikimu."

Mendengar kata-kata pujian dari Bang Haikal, aku tak merasakan bahagia sedikitpun, melainkan rasa benci yang semakin bertambah besar. 

Hebat sekali lelaki ini memainkan dramanya, akan kutunjukkan drama yang lebih menantang. Sinisku dalam hati. 

Bang Haikal merangkul bahuku, membawa tubuhku ke dalam pelukannya, tangannya mengusap lembut kepalaku. Dikecup nya berkali-kali puncak kepalaku, sikap yang tak pernah berubah dalam memperlakukanku. Wajar saja, jika aku tak pernah menyangka lelaki ini bermain api di belakangku. Jika bukan karena ingin memberinya pelajaran lebih 'berkesan' pasti sudah kudorong kuat lelaki ini, hingga kepalanya membentur tembok di depanku. Rasanya aku lebih bahagia melihatnya mati perlahan, dari pada harus melihatnya memainkan drama menjijikkan seperti ini. 

Aku berusaha melepas pelukan Bang Haikal, ada rasa jijik ketika kulitku menempel pada tubuhnya. Aku tak tahu, sejauh apa hubungan Bang Haikal dengan perempuan itu, tapi hatiku menolak jika Bang Haikal hanya berteman dengan perempuan itu. 

Perempuan yang memintaku untuk merawat Harry seperti anak sendiri, setahun yang lalu. Saat belum genap tiga bulan Harry bersama kami. 

"Titip Harry ya, Kak. Dia anak sepupuku. Ibunya meninggal dua bulan setelah Harry lahir," ucapnya dengan tangan mengusap lembut pipi bayi yang tengah tertidur pulas dalam gendonganku. 

Perempuan itu terlihat beberapa kali menghapus genangan air mata yang mulai keluar. Wajar saja, karena Harry adalah keponakannya, pikirku. 

"Jangan mengkhawatirkan Harry, dia akan kami rawat dengan sebaik mungkin," jawab Bang Haikal yang duduk di sampingku kala itu, dengan tersenyum manis. 

Aku tak banyak bicara, otakku sibuk mencerna, alasan keluarga mereka memberikan Harry untuk diadopsi, padahal mereka terlihat dari keluarga mampu. Tapi aku tak ingin suudzon kala itu. 

*****

Bang Haikal sudah terlelap sejak pukul sembilan tadi, di samping Harry yang tidur lebih awal darinya. Ibu sudah kupindahkan ke kamarnya yang bersebelahan dengan kamar kami. Aku sengaja menunggu Bang Haikal lebih nyenyak untuk melancarkan aksiku. 

Kuraih ponsel Bang Haikal yang terletak di atas nakas. Aku memang hampir tak pernah memeriksa ponselnya, bagiku, sikap penyayang yang ia tampakkan selama ini, cukup sebagai bukti, bahwa aku wanita satu-satunya yang ada di hatinya. Ternyata aku salah. 

Kugeser layar ponsel setelah menekan tombol on/off pada sisi kanannya, ternyata gawainya terkunci dengan pola. Kucoba berbagai pola, tapi tak ada yang berhasil. Selanjutnya, kucoba menggunakan fitur sidik jari, dengan menekan satu persatu ujung jari milik Bang Haikal. Yess, berhasil setelah jari manis kirinya menempel pada sensor sidik jari. 

Aku segera keluar kamar, berjalan menuju kamar mandi. Biarlah kuhabiskan waktuku lebih lama di kamar mandi, karena tak ingin Bang Haikal akan menemukanku tengah membuka gawainya, saat terbangun. 

Aku mulai berselancar di aplikasi sosial media milik Bang Haikal. Tak sulit mengungkapkannya, karena baru saja aku membuka aplikasi hijau bergambar gagang telpon, aku langsung menemukan bukti perselingkuhan mereka.

[Sayang, Abang rindu aksimu di ranjang!]

[Rania juga rindu menghabiskan malam bersama Abang. Kapan ke sini, Bang?]

[Mungkin besok, Abang sudah tak sabar!]

[Oke, Sayang! Rania akan siapin jamu kuat untuk Abang. Biar bisa membuat Rania ngos-ngosan seperti terakhir kita melakukannua.]

Nafas memburu di dadaku, air mata kembali mengurai. Membayangkan suami yang kuhormati selama ini telah berbagi peluh dengan wanita selain diriku, amarah kembali mengubun-ubun.

Ternyata sejauh itu hubung Bang Haikal dengan perempuan itu, aku semakin jijik dengan lelaki itu. Ingin rasanya ku hampiri lelaki yang tengah terlelap di kamar itu, memukul kepalanya dengan ulekan yang biasa kugunakan untuk memasak. Atau menonjok wajahnya dengan membabi buta. Tapi aku tak ingin kecerobohan membuatku lebih sengsara. 

Kutarik nafas panjang dan mengeluarkannya perlahan, sambil mengusap kasar lelehan bening di pipiku. 

Aku berusaha kuat. Akan kubalas sakit hatiku padamu, Bang. Agar kau tahu akibat dari perbuatanmu. Geramku. 

Aku beralih ke aplikasi biru berlogo huruf 'f', mengklik di pencarian dengan kata kunci 'Rania'. Deretan nama yang terdapat penggalan nama yang sama, mataku fokus mencari, dan menemukan sebuah akun dengan nama 'Rania Harry', dengan foto profil seorang wanita yang sangat mirip dengan perempuan yang tengah kucari, dengan foto profil tengah mengenakan seragam salah satu perusahaan swasta. 

Mataku tertuju pada nama 'Harry' yang menempel di belakang namanya. Apakah ada sesuatu di baliknya, atau hanya kebetulan saja? 

Aku kembali membuka aplikasi hijau, tanganku kembali menscroll ke atas percakapan mereka lebih jauh lagi, untuk mencari tahu lebih jauh apa yang sebenarnya terjadi. 

Mataku membulat sempurna, saat menangkap percakapan yang mampu membuat emosiku semakin menggunung.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status