Share

Bab 3. Tentang Harry

[Apakah Zana masih belum tahu tentang kita, Sayang?]

[Kamu tenang saja, Zana perempuan penurut, dia bahkan tak pernah membuka ponselku. Zana juga mengurus Harry dengan sangat baik, persis seperti anak sendiri!]

[Benarkah? Oh, ya, Harry bagaimana kabarnya, Bang?"]

[Iya, Sayang! Harry sehat! Dia makin gemesin loh, sekarang udah mulai pinter ngomong.]

[Makasih, ya, udah ngerawat anak kita dengan baik.]

Seluruh tubuhku terasa bergetar, kaki seakan tak kuat menopang bobot tubuh, hingga harus menyenderkannya di dinding kamar mandi agar tak ambruk. Jantung berpacu kian cepat, air mata menerobos kian deras, aku menangis dengan membekap kuat mulut agar tak bersuara. Ternyata aku hanya dimanfaatkan oleh suamiku sendiri. 

Lebih dari setengah jam sudah aku menangis, emosiku sulit untuk kukendalikan. Kuusap naik turun dengan kuat dada yang sesak oleh luka, berharap sedikit reda. 

Aku sudah tak kuat lagi untuk membaca semua tentang kelicikan mereka, yang telah memperbudakku selama ini. Segera kukirim ke ponselku, beberapa screenshot percakapan mereka dan foto dari galeri ponsel. Lalu menghapus semua jejak, dan mengunci kembali layar ponsel manusia tak beradab itu. 

Berkali-kali napas panjang kuhirup dan membuangnya, sambil beristigfar dalam hati. Tak seharusnya aku menangisi manusia tak punya hati seperti Bang Haikal sampai begini, tapi aku benar-benar syok mendapati kenyataan yang baru kuketahui barusan. 

Usia hari sekarang dua puluh dua bulan, di tambah masa hamil sembilan bulan, berarti mereka berselingkuh sudah hampir tiga tahun, atau bahkan lebih. Aku jadi menghitung-hitung masa penghianatan Bang Haikal, kemudian merutuki kebodohanku selama ini. 

Waktu sudah menunjukkan pukul 1 malam. Aku kembali ke kamar untuk mengembalikan gawai Bang Haikal ke tempat semula. Kemudian kembali ke kamar mandi, berwudhu untuk melaksanakan sholat tahajud beserta witir. Sholat yang selalu kulakukan selain sholat fardhu. 

Bacaan sholat dengan makna sarat pujian pada Sang Khalik, kubisikkan dalam dekapan malam, hati sibuk mengartikan semua kata dengan penuh rasa. Hingga salam pada satu rakaat witir menjadi penutup shalatku.

Ku angkat kedua tangan dengan lelehan yang kembali berurai, kuadukan semua lukaku kepada Sang Pemilik Hati. Mengadukan dua durjana yang telah menciptakan seribu luka untukku. 

Dia terasa begitu dekat, mendekapku dalam kedamaian, menyejukkan hati yang semula penuh amarah, mendinginkan kepala yang semula membara. 

Aku merintih meminta keadilan pada Sang Maha Adil, meminta kekuatan pada Sang Maha Kuat. Memohon Tuhan-ku memberi petunjuk atas semua masalah yang menggumpal di kepalaku. 

Kuusap wajah dengan kedua tangan, sebagai akhir munajat. Hatiku kini jauh lebih tenang. 

Aku bangkit, berjalan masuk kamar, dan duduk di sisi tempat tidur, bersama perasaan yang sulit ku gambarkan. 

Di dalam kamar, Mas Haikal dan Harry masih terlelap. Entah mengapa rasaku yang lebih dari setahun ini pada Harry, tiba-tiba hilang dengan sekejap malam ini. Tak ada rasa sayang seperti yang tiap hari selalu mewarnai hatiku. 

Ya, memang semenjak Harry bersama kami, aku mengurusnya dengan baik, layaknya anak sendiri. Aku tak pernah merasa direpotkan dengan tangisannya, meski tak jarang aku tak tidur malam, karena harus menungguinya yang tengah sakit. 

Aku tak mengerti, apa isi kepala perempuan itu, yang dengan entengnya menitipkan anaknya padaku. Karena yang aku tahu, umumnya seorang ibu tak akan sanggup tinggal berpisah dengan buah hatinya, meski hanya sekejap. Dulu, aku saja tak betah jika Harry lama dibawa Kak Lila ke rumahnya, tapi tidak untuk sekarang. 

Mungkin ada yang menganggapku gil*, membenci anak sekecil Harry hanya karena ulah orang tuanya, tapi terserah. Orang tuanya menoreh luka begitu dalam untukku, jadi rasanya wajar, jika aku berubah begini. Aku tak membenci Harry, tapi hanya memilih jalan agar hatiku tak semakin sakit. 

Tak kan ada lagi Zana yang penurut seperti sebelumnya, Haikal. Dan tak kan ada lagi baby sitter Zana untuk anak gundikmu, Haikal.

Kuraih ponselku yang tergeletak di atas nakas, untuk mengirimkan pesan pada Farah, melalui aplikasi hijau yang biasa kugunakan. 

[Jika besok kau tak sibuk, aku akan menemuimu.]

Pesan terkirim ke nomor tujuan, dengan centang dua. Aku mengembalikan ponselku pada tempat sebelumnya, membaringkan tubuhku di samping Bang Haikal, meski dengan rasa benci yang masih sesak di rongga dada. Aku berusaha memejamkan mata, agar lelap mampu mengistirahatkan lelah hatiku sejenak. 

*****

Sejak selesai sholat subuh, aku sudah sibuk melakukan semuanya seperti biasa, sedangkan Bang Haikal kembali tidur. Harry masih nyenyak setelah pukul tiga dini hari tadi, merengek minta susu. Aku tetap membuatkannya, karena tak ingin suaranya mengganggu tidurku. 

Pintu kulkas kubuka, mencari bahan-bahan yang akan kugunakan untuk memasak. Kali ini aku berniat menyiapkan makanan untuk Ibu saja. Biasanya aku memasak cukup banyak menu, dari mulai masakan khusus untuk Ibu, Harry,  juga untukku dan Bang Haikal, tapi kali ini tidak. 

Aku manusia biasa, yang belum mampu mengikhlaskan hatiku untuk terus disakiti. Akan kubuat semua menjadi imbang. 

Pukul tujuh pagi, sarapan untuk Ibu sudah selesai kumasak. Pun dengan sayur bening dan ikan goreng bawal kesukaan Ibu, sudah siap untuk teman makan siangnya.

Aku masih tetap mengurus Ibu seperti biasanya, karena tak ada rasa benci padanya, melainkan rasa sedih yang semakin bertambah. Aku khawatir, jika aku tak bisa bersabar lebih lama lagi, siapa yang akan mengurus Ibu? Siapa yang akan merawat Ibu penuh kasih? Sebagaimana yang kulakukan. Memikirkannya membuat mataku memanas. 

Aku berjalan ke depan kamar Ibu, sebelum mandi. Kulihat dari balik pintu, Ibu masih berbaring di atas ranjangnya. Ada rasa tak tega meninggalkan Ibu sebelum mengurusnya pagi ini, tapi biarlah, biar Bang Haikal tahu bagaimana pengorbananku pada keluarga ini. 

Setelah mandi dan berganti pakaian, aku menghadap cermin besar yang menyatu dengan pintu lemari pakaian kami. Memakaikan riasan simpel pada wajah, untuk menyamarkan wajahku yang sembab. Terakhir mengoles tipis lipstik berwarna nude pada bibir tipisku. 

Aku terlihat begitu cantik, dengan wajah oval dan kulit putih bersih yang Tuhan anugerahkan untukku,   dengan tinggi badan 175 cm dan berat badan ideal, menambah sempurna penampilanku. 

"Kamu mau kemana, Dik?" Lelaki itu bertanya dengan suara serak, khas orang bangun tidur. Ternyata lelaki itu sudah bangun. 

"Ke rumah Ibu!" Aku menjawab singkat tanpa menoleh. 

Entah kemana perginya rasa hormat yang selama lima tahun ini selalu bersamaku. Aku benar-benar muak dengan lelaki yang masih berstatus suamiku itu. 

"Kenapa mendadak? Terus, siapa yang akan mengurus Ibu dan Harry?"

Kulirik lewat sudut mataku, lelaki itu merubah posisinya menjadi duduk tegak. 

"Aku sudah memasak untuk makan siang Ibu, jika tak ada halangan sore nanti,mungkin aku sudah pulang." jawabku dengan suara pelan, khawatir Ibu sudah bangun, dan mendengarnya. 

"Lalu, Harry bagaimana?"

"Urus saja sendiri!" Aku mengendikkan bahu. 

"Hari ini Abang mesti kerja, Dik, mana bisa Abang mengurus Harry?" Bang Haikal terdengar kesal. 

Aku berbalik menghadapnya, lalu mengendikkan bahu. Kulihat lelaki itu mulai gusar, tapi aku tak peduli. Tak ada rasa kasihan sedikitpun tersisa. 

"Ceritakan apa yang membuatmu begini, Dik!" ucap Bang Haikal, seakan merasa tanpa dosa. Aku semakin muak.

Aku meraih tas yang berisi dompet yang terdapat beberapa kartu penting di dalamnya, kemudian memasukkan bedak dan lipstik ke dalamnya. 

"Tunggulah besok saja, Dik! Jika ingin pergi. Besok Abang di rumah."

"Aku maunya sekarang!" ucapku dengan penuh penekanan dengan tubuh sedikit membungkuk ke arahnya, mataku menatap tepat mata lelaki itu tanpa berkedip. Ia menatapku heran, lima tahun menikah, ini kali pertamanya aku melawan ucapannya. Ini baru permulaan Haikal!

Suara pesan masuk dari ponsel yang kuletakkan di atas nakas terdengar, aku mendekat dan meraih benda pipih itu, lalu membuka kunci yang semalam baru kupasang. Ya, selama ini tak pernah aku memasang kunci layar pada ponselku. 

[Datang saja ke rumahku, Na. Aku sudah menggenggam kartu As perempuan yang bersama Haikal kemarin.]

Balasan pesanku semalam dari Farah, membuatku semakin tak sabar ingin bertemu perempuan cantik nan mandiri, yang lebih dari sepuluh tahun terakhir menjadi sahabatku itu. 

Segera kunonaktifkan ponselku, agar Bang Haikal tak mengganggu perjalananku hari ini. 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status