Share

Bab 4. Memeluk Ibu

Author: Rizka Fhaqot
last update Huling Na-update: 2022-06-19 23:02:12

Aku beranjak meraih kunci motor yang tergantung di pintu kamar, tanpa mempedulikan kalimat-kalimat permohonan yang keluar dari bibir manusia munafik itu. Namun, tangan kekar miliknya mencekal pergelangan tanganku. 

"Kau kenapa, sih, Dek? Ngobrol kalau Abang ada salah! Jangan asal pergi!" Ucapan Bang Haikal terdengar membentak. 

Aku mengibaskan tangannya kuat-kuat, tapi tetap aku kalah kuat. 

"Lepaskan! Aku juga ingin bebas! Aku menikah bukan untuk jadi babu tanpa gaji dan tak dihargai seperti ini!"

Akhirnya kata-kata itu lolos begitu saja dari bibirku, tanpa mampu kutahan. Aku berucap dengan geraham mengeras menahan emosi, serta mata seakan ingin keluar. Hanya dengan melihat wajahnya saja amarahku mampu naik ke ubun-ubun. 

Nyali lelaki itu nampak ciut, dan melepaskan cekalan tangannya di pergelangan tanganku. Sepertinya Bang Haikal tak menyangka aku akan seberani ini padanya, muka yang tadinya emosi, sekarang terlihat menegang, aku tetap tak peduli. 

Aku cukup tahu, jika sikapku tak sesuai tuntunan  Tuhan-ku. Namun, aku tak cukup sabar dengan penghiatan Bang Haikal kali ini, lebih-lebih aku seolah hanya dijadikan babu gratisan. Ingin rasanya kutelan hidup-hidup lelaki di hadapanku ini.

"Nda!" seru Harry dengan mata yang mulai terbuka, anak lelaki itu sudah bangun. Aku tak menanggapi panggilannya, bahkan hingga beberapa kali ia memanggilku. 

Harry mulai menangis, karena melihatku abai  padanya, lebih-lebih ia mendapatiku sudah menggunakan pakaian lengkap. Anak itu sudah cukup mengerti, jika aku akan pergi tanpa membawanya. 

"Gendong Harry sebentar dulu, Dik!" pinta Bang Haikal, kini dengan suara lembut. Entah sebab apa ia berubah lembut begini, setelah tadi sempat membentakku. Apakah mungkin, sesal itu mulai merayapi hatinya? Ah, kurasa bukan. 

"Gendong sendiri! Aku bukan babu kalian!" jawabku dengan wajah sinis. Aku berlalu tanpa mempedulikan Bang Haikal yang terus-terusan memintaku untuk tinggal, juga Harry dengan tangisannya yang semakin kencang. 

Aku berjalan cepat keluar kamar, setelah menjinjing tas mini di bahuku, melewati ruang tamu. Sepeda motor milikku sudah kupanaskan, dan kuposisikan menghadap halaman, sejak subuh tadi. Kutarik tua gas motor maticku tanpa menoleh  lagi. 

Kupacu motor matic keluaran lama milikku, dengan kecepatan sedang. Motor yang kubeli dari hasil menabung saat sebelum menikah. Kuda besi itu kini tengah membelah jalan sempit khas pedesaan. 

Pagi ini, aku berniat singgah ke rumah ibuku, berhubung jalan menuju kota di mana Farah tinggal, melewati desa tempat tinggal orang tuaku, tanah kelahiran aku dan Farah. 

Jalanan aspal marka jalan itu masih sangat lengang, dengan udara pagi yang begitu sejuk dan menenangkan. Namun, tetap tak mampu membuatku tenang. Hatiku kini kusibukkan dengan melantunkan shalawat untuk manusia termulia, berharap aku bisa meniru sabar Sang Baginda, dengan meresapi  makna setiap kata dari lisanku. 

Tak sampai tiga puluh menit, motorku telah terparkir di halaman rumah milik orang tuaku. Rumah yang cukup mewah untuk ukuran pedesaan. 

Jendela-jendela itu terbuka, aku berjalan menuju pintu utama. Mengetuknya perlahan sambil mengucap salam. Tak butuh waktu lama, terlihat anak kunci mulai berputar dari dalam. 

"W*'alaikumsalaam."

Wajah perempuan berusia mendekati angka 60, yang telah melahirkanku itu menyembul di balik pintu. 

Kuraih tangan yang sudah mulai mengeriput, menciuminya dengan takzim. Ibu menatapku dengan teliti. 

"Kok, pagi-pagi sudah ke sini?" Ibu berujar dengan alis bertaut, seakan menangkap sesuatu yang tak biasa pada putri bungsunya ini. 

"Memangnya Zana gak boleh, jenguk Ibu pagi-pagi?" tanyaku sewot. 

"Bukan begitu, Sayang  ... ah sudahlah, yuk masuk!" 

Ibu menarik tanganku untuk segera masuk bersamanya. 

"Langsung ke dapur yuk, Na! Ayahmu udah di sana,"

Aku mengekor di belakang Ibu hingga ke dapur. Ayah terlihat tengah menikmati pisang goreng dan kopi hitam kesukaannya. Aku menyalami tangan Ayah, lalu menciuminya, lalu duduk di tengah-tengah antara Ayah dan Ibu. 

"Anak ayah berangkat sendiri?"

"Iya, Yah!" jawabku berusaha tersenyum. 

"Ya sudah, yuk sarapan bareng!"

"Zana ke kamar aja ya, Bu. Pengen istirahat dulu, sebentar lagi baru sarapan."

Aku bangkit untuk melangkah ke kamar, sekedar untuk bertenang, sebelum menemui Farah. Pastinya emosiku akan kembali melejit, saat membahas dua manusia tak beradab itu. 

Ibu hanya tersenyum. Perempuan lebutku itu, seakan mengerti gundah yang sekarang tengah menderaku. Sedangkan ayah, beliau menatap heran ke arahku. 

Kubuka pintu kamar, menyapu ke sekeliling ruangan yang sejak lima tahun terakhir jarang kusinggahi. Ruangan berukuran tiga kali empat meter ini masih seperti dulu, beberapa figura milikku dulu masih tertata rapi, seperti tak ada perubahan. Namun, tetap terawat. 

Aku berbaring di atas kasur, menikmati suasana tenang. Seseorang yang melekat diingatanku, saat berada di tempat ini. Farah, ya  .... satu-satunya sahabat dekat yang selalu kuajak menginap di sini. 

Aku memejamkan mata, berusaha menikmati aromah rumah yang kerap kurindu. Namun, wajah ibu mertua tampak begitu jelas, tengah menatap sendu ke arahku. Aku tersentak, ada rasa bersalah menjalar di hatiku, pada perempuan ringkih itu. 

Krriieeeettt! 

Suara gesekan engsel pintu kamar, membuatku membuka mata yang sedari tadi tertutup. 

"Apakah Ibu mengganggumu, Nak?" ucap Ibu lembut. 

Aku bangkit pada posisi duduk, dan tersenyum ke arahnya, "Aku sama sekali tak pernah merasa terganggu dengan kehadiran Ibu." Ibu membalas senyumku. 

Ibu berjalan masuk, kemudian duduk tepat di sampingku. 

"Jika ada masalah yang tak mampu lagi kau tahan, maka ceritakanlah!" Ibu meraih tanganku, mengusap lembut lalu membawanya dalam pangkuannya. 

Aku menyenderkan kepala, pada bahu perempuan surgaku. Mataku mulai memanas, tapi berusaha kutahan. Lima tahun sudah aku resmi bergelar seorang istri, baru kali ini aku membawa masalahku ke rumah ini. Maafkan aku ibu  .... 

"Zana tak apa-apa, Bu!" lirihku, tak ingin melihat perempuan baik ini ikut menanggung bebanku. 

"Serapat apapun kau menutupinya, naluri Ibu tetap akan mampu menembusnya!"

Netraku tak mampu lagi membendung bulir bening yang merangsek keluar, menerobos pertahanan. Aku menangis. Kupeluk erat perempuan paruh baya itu, seakan ingin menceritakan beban berat di hatiku tanpa harus lewat kata-kata. 

Ibu merenggangkan pelukanku, mengangkat wajahku agar tatapan kami bertemu. 

"Apakah kau sudah tak mempercayai Ibu lagi?" tanya Ibu dengan tatapan sendu, namun penuh penekanan. Aku menggeleng. 

"Ceritakanlah! Ibu tak ingin kau memendamnya sendiri!"

Tangisku kembali pecah, tak sanggup lagi rasanya luka ini kupendam. Hingga akhirnya, kuceritakan semua perih yang telah merampas bahagiaku, pada sosok yang kupanggil 'Ibu', di sela isak tangis pedih dan kecewa. 

Perempuan itu tertunduk dalam tanpa suara, bahunya bergetar menahan sesak. Ada rasa bersalah, telah membuat perempuan di sampingku ini terluka. Namun, aku benar-benar tak kuat jika harus menanggungnya sendiri. 

Ibu kembali merengkuh tubuhku, tangisnya pecah, hingga membuat tangisku kembali mengisak. Kami menangis sambil berpelukan, menangisi ulah lelaki yang telah memintaku pada orang tuaku lima tahun lalu, hanya untuk menoreh luka sesakit ini. 

"Menangislah sepuasmu, setelah itu, bertenanglah!" lirih Ibu, setelah melerai pelukanku. Mengusap lembut air mata di pipiku. 

"Zana kecewa, Bu!" 

"Pastinya, tak ada yang tak kecewa ketika dihianati orang terpenting dalam hidupnya, Sayang. Zana harus kuat, jika tidak, semua akan sia-sia."

"Apa salah Zana, Bu? Kurang apa Zana selama ini pada keluarga Bang Haikal? Apakah karena Zana belum bisa memberikan keturunan, lantas seenaknya Bang Haikal selingkuh dari Hana?"

Deretan pertanyaan keluar bertubi-tubi dari bibirku,  bersama isakan kecil. Ibu meletakkan jari telunjuknya di bibirku, sebagai isyarat untuk diam. Setelahnya, Ibu menyeka sisa-sisa air mata yang tadi sempat tumpah ruah. 

"Kau anak Ibu yang cantik! Jangan pernah berkecil hati, Sayang! Ibu memang tak menyuruhmu berpisah dengan suamimu. Namun, jika kau tak mampu lagi bersabar, maka kembalilah ke sini. Pintu rumah ini selalu terbuka untukmu. Ibu pun tak rela hati kesayangan Ibu dibuat luka," ucap Ibu sambil menangkupkan kedua tangannya di pipiku. Mata Ibu merah, dengan bulu mata yang masih basah. 

"Ibu sudah menduga, jika hari ini akan tiba."

Aku tersentak, mendengar kalimat terakhir yang Ibu katakan. Apakah ada yang Ibu tutupi dariku?

Patuloy na basahin ang aklat na ito nang libre
I-scan ang code upang i-download ang App

Pinakabagong kabanata

  • Menjadi Babysitter Anak Suamiku   Part 167. Semua Dengan Jalannya Sendiri

    Aku tersenyum lalu mengangguk pelan. Ya, Rania akan menikah dengan Hendri. Lelaki itu telah jatuh cinta pada pandangan pertama. Atas permintaan Rania, aku dan Bang Amar bercerita banyak tentang masa lalu beserta perubahan Rania pada Hendri, berharap Hendri bisa menerima apa adanya dan lebih mampu memahami Rania saat Hendri mengutarakan niatnya untuk serius pada Rania. Bahkan aku dan Bang Amar lah yang menjadi penyatu keduanya. Tentang Bang Haikal, kabar terakhir yang kudengar dari Kak Naima, mantan suamiku itu masih sendiri setelah Rania menolak untuk kembali. "Semoga sakinah hingga maut memisahkan." Do'a Farah. "Jujur, Na. Aku pun merasa iba pada Rania. Tapi saat mengingat wajah angkuhnya dulu, rasa itu memudar." "Semua pernah melakukan kesalahan, Fa, pun dengan Rania. Aku merasa aku masih di bawahnya. Aku tak tahu harus bagaimana jika aku yang berada di posisi Rania. Ia sangat butuh dukungan. Luka yang kurasakan karena sebuah penghianatan kurasa tak sebanding dengan luka yang ia

  • Menjadi Babysitter Anak Suamiku   Part 166. Akhir Kisah

    "Tak apa, aku hanya heran melihatmu yang tak seperti biasa." Amar berusaha mengalih perhatian Hendri. "Apa kau sudah jatuh cinta pada pandangan pertama?" Amar menggoda anak buahnya itu. Di luar keduanya memang terlihat tak ubah seperti teman. Amar sangat pintar menempatkan posisi. Ia tak begitu suka jika di luar kantor, Hendri atau anak buah yang lain menganggapnya seformal di kantor. Meski untuk panggilan, Hendri memanggilnya dengan embel-embel yang sama. Pak. Hendri menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Ia terlihat salah tingkah. Malu jika dirinya harus mengakui rasa yang tiba-tiba datang tanpa permisi. "Sudah sewajarnya kamu cari pengganti almarhumah istrimu, Hen. Kamu masih sangat muda dan memiliki seorang putri yang sangat butuh sosok ibu."Hendri begeming, hatinya membenarkan perkataan Amar barusan. Namun rasanya terlalu cepat untuk mengatakan jika dirinya menaruh hati pada perempuan bergamis hitam yang baru saja ia lihat. Ia bahkan belum tahu nama perempuan itu. "Kau menar

  • Menjadi Babysitter Anak Suamiku   Part 165. Usaha Haikal

    "Semakin ke sini aku semakin merasa bersalah pada Zana. Aku tak ingin terus-terusan dihantui perasaan yang sama, atau bahkan lebih. Aku yakin, hanya dengan melihatku saja, Zana masih merasakan luka yang dulu kuciptakan, jadi kumohon, jangan membuatku merasa lebih tak nyaman karena aku sangat menikmati kehidupanku sekarang. Kehidupan yang tak lepas dari peran Zana di dalamnya."Apa yang dikatakan Rania benar adanya. Ia sangat menikmati saat sekarang, saat Harry mulai bisa menerimanya, membuat hatinya dipenuhi haru. "Jika Abang sayang aku dan Harry, maka akhirilah hubungan yang menyakiti banyak pihak ini. Mari kita mulai semuanya dari awal. Aku tak ingin tersiksa saat mengingat kembali caraku menghancurkan perasaan Zana dulu."Haikal membatu. Ia tak menyangka jika Rania akan mengatakan hal yang tidak pernah ia sangka seperti saat ini. "Kau tak perlu memikirkan orang lain, pikirkan saja perasaan kita berdua. Aku tau kau masih sangat mencintaiku." Haikal berusaha membujuk, berharap Rani

  • Menjadi Babysitter Anak Suamiku   Part 164. Kita Berpisah Saja

    Aku menatap Bang Amar yang terhalang sandaran kursi menatapnya dengan tetapan heran. "Bukankah jika Rania yang datang, Harry tak perlu merasa khawatir kalau kita akan meninggalkannya di panti?""Kita bisa mengantar Harry ke panti, Sayang. Atau bisa juga denga mempertemukan mereka berdua di mana saja. Aku hanya ingin menghargaimu, dengan tidak adanya tamu asing lawan jenis yang datang ke rumah. Abang tak ingin istri Abang merasa tak nyaman." Senyum mengembang di wajahnya. Alasan Bang Amar ada benarnya juga. Mengapa aku tak memperhatikan hal sepenting itu? "Sayang, bagaimana pun dekatnya kau dengan Harry, mereka tetaplah orang asing bagi kita dan Harry bukanlah mahrammu."Aku pun paham kemana arah pembicaraan Bang Amar. Ini hanyalah langkahku untuk menyelamatkan tumbuh kembang Harry. Memberikan hak-haknya setelah terlahir menjadi seorang anak."Abang berharap, kelak Harry akan tinggal bersama Rania secara utuh. Tak apa kau menginginkan dia seperti anak sendiri seperti sekarang, yang

  • Menjadi Babysitter Anak Suamiku   Part 163. Membawa Harry

    Kalimat Harry barusan menegaskan jika aku tak akan bisa pergi tanpa membawanya. "Masih betah?" bisik Bang Amar di telingaku saat aku tengah asik bercengkrama dengan Harry. Aku kembali melirik jam tangan. Pukul 05.25, kemudian beralih menatap sendu bocah tiga setengah tahun yang tengah bergelayut manja di pangkuanku. "Sayang, kita ke depan, yuk," ajakku pada Harry yang ia sambut dengan anggukan. Kaki kecil itu melangkah riang, menapaki langkah demi langkah melewati satu persatu keramik lantai menuju teras depan, di mana Rania dan Puji duduk bersama beberapa anak panti. Harry menggenggam erat telunjukku saat kami berjalan bersisian, seolah tak memberiku kesempatan untuk jauh darinya. Pertanyaan demi pertanyaan sesuatu yang baru ia lihat tak henti keluar dari bibirnya. "Ran, kami pamit dulu, ya, titip Harry, Ran," ucapku dengan berat hati. Tak rela rasanya meninggalkan Harry di sini. Namun harus bagaimana lagi, meski sedari kecil aku lah yang telah merawat Harry, hati kecilku meng

  • Menjadi Babysitter Anak Suamiku   Part 162. Melepas Rindu

    Beberapa menit aku bahkan tak mampu melepaskan pelukan pada Harry. Aku tergugu di tubuh mungil itu hingga Bang Amar masuk setelah Rania ke luar. Kurenggangkan pelukan di tubuh Harry, membingkai wajahnya, memindai setiap lekuk wajahnya dengan mata yang masih mengabur. Bang Amar mengusap lembut kepala hingga punggung Harry, wajahnya terlihat sendu. "Sayang, udah, ya, nangisnya. Bunda lagi sakit, lho, kasian kalau Bunda nangis terus, nanti tambah sakit," bujuk Bang Amar dengan mengusap lembut kepala Harry yang tengan membelai wajahku. Anak kecil itu mengangguk cepat."Kita ke doktel, ya, Bunda." Harry mencium kedua pipiku kemudian kedua mataku. Benar-benar tak ada yang berubah. Perlakuan Harry masih seperti dulu. Ia adalah anak pintar yang memperlakukanku dengan lembut dan penuh kasih. "Iya, sayang. Maafin Bunda, ya, kemarin nggak bisa jemput Harry. Yang penting sekarang, Harry sudah dekat Bunda," ucapku dengan senyum bercampur air mata. Air mata haru. "Sayang, jangan banyak nangis

Higit pang Kabanata
Galugarin at basahin ang magagandang nobela
Libreng basahin ang magagandang nobela sa GoodNovel app. I-download ang mga librong gusto mo at basahin kahit saan at anumang oras.
Libreng basahin ang mga aklat sa app
I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status