Share

Bab 4. Memeluk Ibu

Aku beranjak meraih kunci motor yang tergantung di pintu kamar, tanpa mempedulikan kalimat-kalimat permohonan yang keluar dari bibir manusia munafik itu. Namun, tangan kekar miliknya mencekal pergelangan tanganku. 

"Kau kenapa, sih, Dek? Ngobrol kalau Abang ada salah! Jangan asal pergi!" Ucapan Bang Haikal terdengar membentak. 

Aku mengibaskan tangannya kuat-kuat, tapi tetap aku kalah kuat. 

"Lepaskan! Aku juga ingin bebas! Aku menikah bukan untuk jadi babu tanpa gaji dan tak dihargai seperti ini!"

Akhirnya kata-kata itu lolos begitu saja dari bibirku, tanpa mampu kutahan. Aku berucap dengan geraham mengeras menahan emosi, serta mata seakan ingin keluar. Hanya dengan melihat wajahnya saja amarahku mampu naik ke ubun-ubun. 

Nyali lelaki itu nampak ciut, dan melepaskan cekalan tangannya di pergelangan tanganku. Sepertinya Bang Haikal tak menyangka aku akan seberani ini padanya, muka yang tadinya emosi, sekarang terlihat menegang, aku tetap tak peduli. 

Aku cukup tahu, jika sikapku tak sesuai tuntunan  Tuhan-ku. Namun, aku tak cukup sabar dengan penghiatan Bang Haikal kali ini, lebih-lebih aku seolah hanya dijadikan babu gratisan. Ingin rasanya kutelan hidup-hidup lelaki di hadapanku ini.

"Nda!" seru Harry dengan mata yang mulai terbuka, anak lelaki itu sudah bangun. Aku tak menanggapi panggilannya, bahkan hingga beberapa kali ia memanggilku. 

Harry mulai menangis, karena melihatku abai  padanya, lebih-lebih ia mendapatiku sudah menggunakan pakaian lengkap. Anak itu sudah cukup mengerti, jika aku akan pergi tanpa membawanya. 

"Gendong Harry sebentar dulu, Dik!" pinta Bang Haikal, kini dengan suara lembut. Entah sebab apa ia berubah lembut begini, setelah tadi sempat membentakku. Apakah mungkin, sesal itu mulai merayapi hatinya? Ah, kurasa bukan. 

"Gendong sendiri! Aku bukan babu kalian!" jawabku dengan wajah sinis. Aku berlalu tanpa mempedulikan Bang Haikal yang terus-terusan memintaku untuk tinggal, juga Harry dengan tangisannya yang semakin kencang. 

Aku berjalan cepat keluar kamar, setelah menjinjing tas mini di bahuku, melewati ruang tamu. Sepeda motor milikku sudah kupanaskan, dan kuposisikan menghadap halaman, sejak subuh tadi. Kutarik tua gas motor maticku tanpa menoleh  lagi. 

Kupacu motor matic keluaran lama milikku, dengan kecepatan sedang. Motor yang kubeli dari hasil menabung saat sebelum menikah. Kuda besi itu kini tengah membelah jalan sempit khas pedesaan. 

Pagi ini, aku berniat singgah ke rumah ibuku, berhubung jalan menuju kota di mana Farah tinggal, melewati desa tempat tinggal orang tuaku, tanah kelahiran aku dan Farah. 

Jalanan aspal marka jalan itu masih sangat lengang, dengan udara pagi yang begitu sejuk dan menenangkan. Namun, tetap tak mampu membuatku tenang. Hatiku kini kusibukkan dengan melantunkan shalawat untuk manusia termulia, berharap aku bisa meniru sabar Sang Baginda, dengan meresapi  makna setiap kata dari lisanku. 

Tak sampai tiga puluh menit, motorku telah terparkir di halaman rumah milik orang tuaku. Rumah yang cukup mewah untuk ukuran pedesaan. 

Jendela-jendela itu terbuka, aku berjalan menuju pintu utama. Mengetuknya perlahan sambil mengucap salam. Tak butuh waktu lama, terlihat anak kunci mulai berputar dari dalam. 

"W*'alaikumsalaam."

Wajah perempuan berusia mendekati angka 60, yang telah melahirkanku itu menyembul di balik pintu. 

Kuraih tangan yang sudah mulai mengeriput, menciuminya dengan takzim. Ibu menatapku dengan teliti. 

"Kok, pagi-pagi sudah ke sini?" Ibu berujar dengan alis bertaut, seakan menangkap sesuatu yang tak biasa pada putri bungsunya ini. 

"Memangnya Zana gak boleh, jenguk Ibu pagi-pagi?" tanyaku sewot. 

"Bukan begitu, Sayang  ... ah sudahlah, yuk masuk!" 

Ibu menarik tanganku untuk segera masuk bersamanya. 

"Langsung ke dapur yuk, Na! Ayahmu udah di sana,"

Aku mengekor di belakang Ibu hingga ke dapur. Ayah terlihat tengah menikmati pisang goreng dan kopi hitam kesukaannya. Aku menyalami tangan Ayah, lalu menciuminya, lalu duduk di tengah-tengah antara Ayah dan Ibu. 

"Anak ayah berangkat sendiri?"

"Iya, Yah!" jawabku berusaha tersenyum. 

"Ya sudah, yuk sarapan bareng!"

"Zana ke kamar aja ya, Bu. Pengen istirahat dulu, sebentar lagi baru sarapan."

Aku bangkit untuk melangkah ke kamar, sekedar untuk bertenang, sebelum menemui Farah. Pastinya emosiku akan kembali melejit, saat membahas dua manusia tak beradab itu. 

Ibu hanya tersenyum. Perempuan lebutku itu, seakan mengerti gundah yang sekarang tengah menderaku. Sedangkan ayah, beliau menatap heran ke arahku. 

Kubuka pintu kamar, menyapu ke sekeliling ruangan yang sejak lima tahun terakhir jarang kusinggahi. Ruangan berukuran tiga kali empat meter ini masih seperti dulu, beberapa figura milikku dulu masih tertata rapi, seperti tak ada perubahan. Namun, tetap terawat. 

Aku berbaring di atas kasur, menikmati suasana tenang. Seseorang yang melekat diingatanku, saat berada di tempat ini. Farah, ya  .... satu-satunya sahabat dekat yang selalu kuajak menginap di sini. 

Aku memejamkan mata, berusaha menikmati aromah rumah yang kerap kurindu. Namun, wajah ibu mertua tampak begitu jelas, tengah menatap sendu ke arahku. Aku tersentak, ada rasa bersalah menjalar di hatiku, pada perempuan ringkih itu. 

Krriieeeettt! 

Suara gesekan engsel pintu kamar, membuatku membuka mata yang sedari tadi tertutup. 

"Apakah Ibu mengganggumu, Nak?" ucap Ibu lembut. 

Aku bangkit pada posisi duduk, dan tersenyum ke arahnya, "Aku sama sekali tak pernah merasa terganggu dengan kehadiran Ibu." Ibu membalas senyumku. 

Ibu berjalan masuk, kemudian duduk tepat di sampingku. 

"Jika ada masalah yang tak mampu lagi kau tahan, maka ceritakanlah!" Ibu meraih tanganku, mengusap lembut lalu membawanya dalam pangkuannya. 

Aku menyenderkan kepala, pada bahu perempuan surgaku. Mataku mulai memanas, tapi berusaha kutahan. Lima tahun sudah aku resmi bergelar seorang istri, baru kali ini aku membawa masalahku ke rumah ini. Maafkan aku ibu  .... 

"Zana tak apa-apa, Bu!" lirihku, tak ingin melihat perempuan baik ini ikut menanggung bebanku. 

"Serapat apapun kau menutupinya, naluri Ibu tetap akan mampu menembusnya!"

Netraku tak mampu lagi membendung bulir bening yang merangsek keluar, menerobos pertahanan. Aku menangis. Kupeluk erat perempuan paruh baya itu, seakan ingin menceritakan beban berat di hatiku tanpa harus lewat kata-kata. 

Ibu merenggangkan pelukanku, mengangkat wajahku agar tatapan kami bertemu. 

"Apakah kau sudah tak mempercayai Ibu lagi?" tanya Ibu dengan tatapan sendu, namun penuh penekanan. Aku menggeleng. 

"Ceritakanlah! Ibu tak ingin kau memendamnya sendiri!"

Tangisku kembali pecah, tak sanggup lagi rasanya luka ini kupendam. Hingga akhirnya, kuceritakan semua perih yang telah merampas bahagiaku, pada sosok yang kupanggil 'Ibu', di sela isak tangis pedih dan kecewa. 

Perempuan itu tertunduk dalam tanpa suara, bahunya bergetar menahan sesak. Ada rasa bersalah, telah membuat perempuan di sampingku ini terluka. Namun, aku benar-benar tak kuat jika harus menanggungnya sendiri. 

Ibu kembali merengkuh tubuhku, tangisnya pecah, hingga membuat tangisku kembali mengisak. Kami menangis sambil berpelukan, menangisi ulah lelaki yang telah memintaku pada orang tuaku lima tahun lalu, hanya untuk menoreh luka sesakit ini. 

"Menangislah sepuasmu, setelah itu, bertenanglah!" lirih Ibu, setelah melerai pelukanku. Mengusap lembut air mata di pipiku. 

"Zana kecewa, Bu!" 

"Pastinya, tak ada yang tak kecewa ketika dihianati orang terpenting dalam hidupnya, Sayang. Zana harus kuat, jika tidak, semua akan sia-sia."

"Apa salah Zana, Bu? Kurang apa Zana selama ini pada keluarga Bang Haikal? Apakah karena Zana belum bisa memberikan keturunan, lantas seenaknya Bang Haikal selingkuh dari Hana?"

Deretan pertanyaan keluar bertubi-tubi dari bibirku,  bersama isakan kecil. Ibu meletakkan jari telunjuknya di bibirku, sebagai isyarat untuk diam. Setelahnya, Ibu menyeka sisa-sisa air mata yang tadi sempat tumpah ruah. 

"Kau anak Ibu yang cantik! Jangan pernah berkecil hati, Sayang! Ibu memang tak menyuruhmu berpisah dengan suamimu. Namun, jika kau tak mampu lagi bersabar, maka kembalilah ke sini. Pintu rumah ini selalu terbuka untukmu. Ibu pun tak rela hati kesayangan Ibu dibuat luka," ucap Ibu sambil menangkupkan kedua tangannya di pipiku. Mata Ibu merah, dengan bulu mata yang masih basah. 

"Ibu sudah menduga, jika hari ini akan tiba."

Aku tersentak, mendengar kalimat terakhir yang Ibu katakan. Apakah ada yang Ibu tutupi dariku?

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status