Share

Bab 5. Bertemu Farah

Aku menatap Ibu dengan tatapan heran bercampur tanya, menunggu kalimat selanjutnya dari bibir perempuan yang sangat kuhormati itu. Namun, cukup lama Ibu hanya bergeming, hingga rasa tak sabar di hatiku menyeruak. 

"Maksud Ibu?"

Ibu menatapku lama, dengan tatapan Iba. Tangannya kini sibuk meremas jemariku, seakan inginmentransfer kekuatan agar hatiku tetap kuat. 

"Dua bulan lalu, Fikri telah lebih dulu mengatakanhal yang sama pada Ibu," ucap Ibu dengan hati-hati. 

"Kenapa Ibu dan Bang Fikri menyembunyikannya dariku, Bu?" tanyaku sedikit kesal. 

Kami empat bersaudara. Bang Farhan anak pertama, Bang Hamka anak kedua, dan Bang Fikri terakhir sebelum aku. Kami semua sudah berkeluarga, kecuali Bang Fikri. Meski di usia yang sudah menginjak angka 31, Bang Fikri belum juga bertemu tulang rusuknya yang hilang. Kini, abangku itu tengah meneruskan pendidikan S2-nya yang sempat tertunda, sambil membuka usaha percetakan di kota Pangkalpinang, kota yang rencananya akan kukunjungi hari ini. 

"Kau masih ingat, Amar? Teman Fikri yang sering main ke sini dulu?" tanya Ibu, aku hanya mengangguk. Ya, aku cukup kenal dengan lelaki tampan yang sempat membuatku jatuh hati itu. Namun, sikap dinginnya membuatku merasa tak dianggap ada, saat kami sesekali berpapasan. 

"Abangmu bertemu Haikal, saat tengah makan siang bersama Amar. Di situlah abangmu mengetahui kalau Haikal memiliki perempuan lain." 

Ibu menarik napas dalam, memberi jeda pada kalimatnya. Aku masih diam dengan segunung rasa kecewa. Aku berusaha menahan untuk tak menangis, tak kan kusia-siakan lagi air mata untuk lelaki bernama 'Haikal' itu. Tekadku. 

"Apa alasan Bang Fikri dan Ibu menyembunyikannya dariku?" tanyaku sendu. 

"Jika bukan karena nama baik, mungkin abangmu sudah menghajar suamimu habis-habisan di tempat itu. Namun, abangmu masih bisa menahan, tapi tidak dengan Amar. Sahabat abangmu itu tetap melayangkan tinjunya tepat mengenai bibir Haikal, hingga berdarah." 

Ah, pantas saja sekitar dua bulan lalu, bibir Bang Haikal terlihat membiru, saat pulang kerja. 

"Fikri berkata pada Haikal, jika dia tak menginginkanmu lagi, maka kembalikan dengan baik-baik, bukan dengan berselingkuh. Lalu, Haikal sampai memohon agar Fikri tak mengatakannya padamu, dan dirinya bersedia meninggalkan perempuan itu." Ibu kembali menatapku, "Sudahlah  ... tak ada yang perlu kau sesali, Na! Kami selalu ada untukmu."

Ibu kembali memelukku, mengusap lembut kepalaku yang tengah bersandar di bahunya. 

"Apakah Ayah mengetahuinya, Bu?" lirihku, Ibu mengangguk. 

"Itulah mengapa ayahmu tak banyak bertanya, saat kau datang dengan wajah sembapmu tadi."

Aku merasa begitu bersyukur, terlahir dari keluarga yang begitu peduli dengan diriku. Meski Bang Haikal telah menghancurkan semua mimpi-mimpiku untuk menua bersamanya, aku akan tetap bangkit. Akan kubuktikan kalau aku bisa tanpanya. 

*****

Hari menunjukkan pukul sebelas siang. Aku sudah berdiri tepat di depan pintu pagar rumah Farah, yang masih tertutup. Rumah minimalis berlantai dua yang didominasi warna putih, membuatnya terlihat begitu elegan. 

Sisi kanan rumah terdapat garasi mobil, sedangkan sebelah kiri dibangun taman mungil, lengkap dengan kolam ikan di sudutnya. Bagian depan rumah berjajar rapi, pot-pot bunga bugenvil yang tengah rimbun berbunga, beraneka warna. 

Lingkungan perumahan yang Farah tempati, berada dekat kawasan perkantoran , membuat suasana sekeliling lebih tenang. Hanya beberapa sepeda motor dan mobil yang keluar masuk komplek. 

Aku merogoh ponsel dari dalam tas, mengaktifkannya  kembali untuk menelpon Farah. Tak lama setelah telpon tersambung terdengar suara yang sangat familiar dari seberang sana. 

"Assalamu'alaikum, Na. Kamu udah di mana?"

"Aku berada tepat di depan pagar rumahmu, Fa. Kamu di mana? Jangan sampai kulitku gosong nungguin kamu, lho!" ucapku dibuat seolah-olah kesal. 

"Biarin gosong juga, biar cantiknya pudar." Farah tertawa lepas. 

"Ih, dasar bawaannya sirik mulu!"

"Iya tuan putri, tunggu sebentar. Ini baru mau turun."

Tak berapa lama, terlihat Farah keluar dan menghampiriku. Tangannya sibuk mendorong pagar besi itu, agar motorku bisa masuk. 

"Kenapa gak langsung dibuka aja sih, Na, kan gak di kunci."

"Ogah, nanti dikira maling," sungutku. Farah terkekeh mendengarnya. 

"Ya udah, yuk masuk!"

Aku memasukkan motor matic-ku ke dalam garasi, tepat di samping mobil Farah. Kemudian mengekori gadis cantik itu dari belakang. 

"Istirahat dulu, Na. Pasti capek, kan?"

"Lumayan, Fa. Tapi aku harus balik siang ini juga kalau bisa!"

Farah menghentikan langkahnya, membalik badan ke arahku. Gadis itu kini menatapku heran. 

"Emang mau ngapain buru-buru, Na?" tanyanya dengan alis bertaut. 

"Kasian Ibu, Fa! Tadi pagi aja, aku gak sempet ngurus Ibu sebelum pergi, entah bagaimana nasib Ibu sekarang," 

"Kau pasti masih lelah, beristirahatlah dulu. Nanti saja cerita tentang itu." Farah kembali melangkah menuju kamarnya. 

Aku menarik nafas panjang, kemudian menghembusnya. Kembali wajah Ibu mertuaku tergambar di kepala. 

Farah menghempaskan bokongnya, di atas tempat tidur. Seprai bermotif pokadot abu-abu hitam, dengan warna dasar putih menutupinya. Aku pun melakukan hal yang sama dengan Farah. 

Hari ini cukup melelahkan bagiku, meski nyatanya perjalanan dari rumah hanya berjarak tempuh satu jam perjalanan saja, menuju rumah Farah. Namun, beban pikiran membuatku merasa begitu lelah, di tambah lagi semalam waktu tidur tak cukup. 

"Na, kamu masih inget gak sama Rafli? Temen SMA kita dulu?" Farah bertanya sambil merubah posisi tubuhnya, dengan posisi tengkurap. Wajahnya menghadap ke arahku. 

"Yang bapaknya tentara itu, bukan?" jawabku sambil mengingat-ingat. 

"Iya, Na!"

"Terus, kenapa dengan dia?" Kini aku yang heran. 

"Ternyata Rafli sejak dulu mengagumiku, Na, cuma  gak berani bilang. Terus, dua hari lalu dia ngelamar aku," ucap diah, dengan dagu bertumpu pada dua tangan dengan siku menempel di kasur. 

"Terus, kamu Terima, Fa?"

Aku merubah posisi menjadi duduk, sambil memeluk guling. Cerita Farah barusan, membuatku lupa akan masalahku. 

"Gak  lah, Na!"

"Kenapa? Bukannya, Rafli cukup tampan, Fa. Anak tentara pula."

"Gak ah, Na. Apalagi Rafli bilang, dia akan mengajakku ikut pindah ke Jakarta kalau aku menikah dengannya. Tambah lagi aku gak minta."

"Teruuusss, nyari yang bagaimana lagi, Fa. Umur kita beda tipis, lho. Sebulan lagi umurmu genap 28."

Farah menanggapi perkataanku dengan senyuman, lebih tepatnya nyengir. Memamerkan barisan gigi putihnya yang tersusun rapi. Senyuman yang tak kumengerti. 

"Aku menunggu sesorang yang setahun lalu pernah kuceritakan padamu, Na."

"Mana kutahu, kau bahkan tak mengatakan siapa laki-laki yang sukses merebut hatimu itu," sewotku. 

Farah kembali tersenyum. Ah, kurasa Farah sudah terkena guna-guna lelaki itu. 

"Akan kuperkenalkan lelaki itu bulan depan. Kau pasti akan terkagum-kagum melihatnya." 

"Hallah, paling juga Mang Kardi, tukang urut yang tinggal di ujung kampung itu," ledekku pada Farah. 

Farah berteriak histeris, sambil melempariku dengan bantal yang diraihnya asal. Aku tertawa puas setelah berhasil membuatnya kesal.

Suara ponsel dalam tas membuat tawa kami reda. Aku meraih benda pipih yang sudah kuanggap sebagai teman itu. Menatap lekat, nama penelpon. Bang Haikal. 

Aku menatap Farah, sambil memperlihatkan layar ponsel ke arahnya. Gadis itu mengangguk. 

"Na, kamu pulangnya masih lama, gak?" Suara Bang Haikal terdengar kacau, setelah telponnya terangkat. 

"Jangan menungguku! Aku pun tak yakin, akan pulang lagi atau tidak." jawabku ketus. 

"Apa maksudmu, Na? Kenapa kau tiba-tiba begini?"

Aku memutuskan sambungan telpon secara sepihak. Hanya mendengar suaranya, rasa muak kian merajai hatiku. Aku terdiam cukup lama, menatap layar ponsel milikku, hingga tangan Farah merangkul dan mengusap lembut pundakku. 

"Tetap semangat, Cantik."

"Entahlah, aku tak yakin." 

"Aku yang akan membuatmu yakin! Buat lelaki itu menyesal, telah memperlakukanmu."

Aku menarik napas dalam, lalu menghembusnya perlahan. Farah yang kini duduk di kursi dekat meja rias menatapku lekat. 

"Terus, apa rencanamu sekarang, Na?"

Aku mendekat ke pinggiran sofa yang tak jauh dari Farah, lalu menghempaskan bobot tubuh di atasnya. Ku pejamkan mata, satu tarikan napas dalam mampu membuat sedikit lega di dada. 

"Aku khawatir, Bang Haikal tak mau melepaskanku nantinya. Itulah alasanku ke sini."

Farah tampak mengerutkan dahi, tanda tak paham.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status