Masuk“Ummmhh! Ummmhh!” Langkah gontai A Xu ambruk, terkapar tak berdaya di atas lantai kayu. Ia menatap ngeri sepasang sepatu mewah di depannya. A Xu mendongak, matanya memancarkan kebencian sekaligus ketakutan murni. Ia secara naluriah beringsut mundur, berusaha menghindari sumber bahaya. “Mau lari ke mana?” Xiao Yun menendang punggungnya. Tertawa sinis, “Ckck. Kamu jelek sekali, sudah jelek malah makin jelek.” “Mmh! Mmh!” Ikatan kain menyumpal mulutnya, membungkam segala hujatannya. Ia hanya bisa melotot marah seolah ingin melubangi kepala A Xu. “Apa!?” Bersungut-sungut benci, Xiao Yun menendangnya lagi. Kali ini berpindah ke bagian kaki. “Aku bahkan belum menagih hutang setelah kau menghujat nonaku! Kenapa melotot, hah!?” imbuhnya dengan dada naik turun. “Xiao Yun, kendalikan emosimu.” Xiao Bai menengahi dengan suara tenang, ia menggengam lembut lengan adiknya, menariknya ke sisinya. “Biarkan nona menghadapinya.” Xiao Yun patuh meski wajahnya menunjukkan rasa tidak puas.
“Saya mengetahui berbagai rahasia tersembunyi. Jangan tanya mengapa, karena saya pun tak tahu alasan langit memilihku di antara jutaan manusia lainnya." Penjelasan tersebut membungkam rasa ingin tahu Zhen Ming. Pria berhanfu ungu tua itu termenung, meresapi fakta tak masuk akal yang anehnya telah terbukti nyata. ”Tak heran perilakumu pada Sun Lun dulu tiba-tiba berubah,” cetusnya sinis seraya beranjak dari tepian ranjang. Mahkota giok peraknya berkilau tajam saat ia merunduk, melirik skeptis pihak lain. Sebelum melenggang pergi, ia memberi peringatan terakhirnya. “Aku memahami maksudmu sampai batas tertentu. Tapi bukan berarti kau bisa terbebas dari kecurigaan. Selama keunggulanmu berguna untukku, aku akan memberi balasan setimpal.” Mei Anqi mengerucutkan bibirnya. Pupil caramelnya berkilat gusar menatapi punggung Zhen Ming. “Yang Mulia,” nada panggilannya serius. “Keunggulan saya merupakan senjata berguna yang diimpikan seluruh para pejabat tinggi Istana. Jangan lupakan itu
“Siapa kau sebenarnya?” Zhen Ming masih ingat jelas sosok Mei Anqi yang baru pertama kali dia temui di rumah bordil. Gadis itu menatapnya marah saat dijual paksa oleh Madam kepadanya sebagai budak nafsu. Di masa lalu, usia mudanya membangunkan sedikit belas kasihan dihati Zhen Ming. Bagaimana pun juga, ia bisa dianggap sebagai seorang ‘paman’ bagi Mei Anqi. Karenanya, ketika menghadapi tindakan memberontak Mei Anqi, sikap Zhen Ming lebih lunak. Meskipun jika Zhen Ming mau, ia bisa saja menggunakan cara kasar untuk menjinakannya. Namun saat membayangkan binar ceria di dalam mata almond itu akan sirna karena kekejamannya, Zhen Ming tidak tahan walau hanya membayangkannya. Lalu suatu hari, mendadak Mei Anqi bersedia tunduk padanya. Perilakunya sesekali tetap sembrono, tetapi kadang kala selalu penuh perhitungan dan kehati-hatian. Zhen Ming curiga padanya sudah dari lama. Hanya saja kecurigaannya tak berbukti. Spekulasi tanpa bukti tidak bisa menjadi acuan utama. Sampa
“Yang Mulia, boleh saya tahu apa yang ingin anda tanyakan?” Cai Lun membungkuk dalam, suaranya merendah penuh hormat setibanya di pelataran luas kediaman Zhen Ming. Di tepi kolam, Zhen Ming tak berbalik sama sekali. Tatapannya setajam elang, terpaku pada kerumunan ikan yang berebut pakan. Detik berikutnya, ia menoleh sekilas, bertanya dengan nada santai tapi justru terasa menghujam. "Ceritakan padaku tentang pertemuan pertamamu dengan Qiqi." Cai Lun menagangguk patuh. Ia menceritakan seluruh ingatannya tanpa ada yang ditutupi. Begitu selesai, ia menutup rapat mulutnya. Diam-diam mencuri pandang mengamati ekspresi sang Raja. Di sana, di dekat kolam ikan koi, Zhen Ming masih berdiri menjulang, bergeming selayaknya patung dengan raut wajah sukar dibaca. Tenang, namun dingin. Keheningan itu merayapi punggung Cai Lun, menghantarkan sensasi menakutkan yang membuatnya menggigil. Ia lekas menarik pandangannya. Sebagai rekan bisnis, sebenarnya hubungan mereka cukup bagus. Me
“Xiao Bai!” “Hamba datang, nona!” Dayang muda di luar pintu bergegas masuk ke ruangan, menunjukkan kehadirannya. “Siapkan air hangat.” “Baik!” Mei Anqi beringsut duduk ke tepian ranjang. Kaki putih panjangnya tergantung, bagian betisnya terekspos— memperlihatkan bengkak keunguan. ‘Sialan, cengkeraman Zhen Ming semalam amat kejam!’ batinnya dongkol. Baru mencoba melangkah sedikit, timbul nyeri menusuk tak tertahankan. Ia terpaksa kembali duduk, bersandar lemah pada pilar ranjang. Suara gemerisik pelan terdengar dari arah belakang tubuhnya. Ia berkata dingin tanpa menoleh, “Karena anda sudah bangun, silahkan kembali Yang Mulia. Halaman miskin ini tak mampu menampung anda lagi.” Di belakang, Zhen Ming bangun dan mencari sandaran ternyaman. Selimut tipis melorot dari tubuhnya. Memamerkan badan atletisnya yang berotot dengan kulit gandum eksotis mempesona. Bibirnya menyungging senyuman kecil, “Betapa teganya kau padaku. Kamu memerasku satu malam penuh dan begini imbal
“Sayangnya aku tidak bisa tidur dan bermimpi sekarang. Urusan kita belum selesai,” tekanan memenuhi nada suaranya. Mei Anqi terkapar lemah di atas ranjang. Sensasi tusukan yang mengejutkan merobek paksa rasionalitasnya. Napasnya terseret dan tersengal, bibirnya terbuka, mendesah sakit. “Akh!” Lehernya melengkung indah saat nyeri dan kenikmatan menyergap bersamaan. Geraman panas menggelegar dari atas tubuhnya. “Mei Anqi—enggh!” Wajah tampannya menegang tak senang saat jepitan hebat mencekik miliknya. “Sial,” ia mengumpat rendah, menyibak surai hitam panjangnya ke belakang dengan maskulin. ”Belum ada satu bulan kita berpisah dalam hal ini dan milikmu menggigitku begitu erat.” Zhen Ming membelai pinggang rampingnya yang sehalus giok. “Harus ku akui, tubuhmu terlahir untuk menjerat pria mana pun.” “Berhenti membual! Aku tahu kau hanya ingin merendahkanku sebagai pelacur, ‘kan?” pekik Mei Anqi setengah marah, setengah linglung. Bibir kecilnya terengah-engah, membuka lalu menutup.







