"Kapan kamu bisa kasih saya cucu? Sudah satu tahun menikah dengan anak saya, tapi kamu belum bisa kasih keturunan!"
Ini bukan kali pertamanya Hanifa mendengar pertanyaan ketus yang dilontarkan oleh Ibu mertuanya. Wanita, ah tidak! Ia masih seorang gadis yang tak pernah disentuh oleh suaminya selama satu tahun pernikahan.
Alasannya cukup klise, dia sama sekali tidak menarik dan bukan tipe suaminya.
Lantas, jika tidak menarik, kenapa mereka bisa menikah? Jawabannya sederhana, mereka menikah karena permintaan terakhir dari almarhum Kakek Abimana sebelum wafat.
"Kalau ditanya itu tolong dijawab, ya! Bukan justru masih sibuk ngunyah makanan! Pantas saja badan gembrot macam gajah, kerjaan kamu makan terus!" sentak sang mertua dengan kerasnya.
"Aku mau jawab apa? Sedangkan Mas Abi saja—"
"Hanifa. Masuk kamar!" Belum juga Hanifa menyelesaikan ucapannya, tapi suara bariton milik Abimana langsung menggelegar di sepenjuru ruangan.
"Tapi, Mas ...,"
"Kalau saya bilang masuk, ya, masuk. Jangan jadi istri pembangkang kamu!" Abimana menatap tajam ke arah istrinya.
Hanifa menghela napas seraya meletakkan sendok yang sejak tadi dia pegang, ke atas meja. Setelahnya, gadis itu memilih untuk meninggalkan area ruang makan dengan kepala tertunduk dalam.
"Mama kenapa ke sini? Kok, nggak bilang-bilang? Aku, kan, bisa jemput?" Abimana sudah melunak dan kini mulai melonggarkan dasinya yang terasa mencekik di leher.
"Mama itu lagi sakit hati. Mama selalu di ejek oleh teman arisan karena cuma Mama yang belum punya cucu. Kamu kapan kasih Mama cucu, hah?"
Abimana berdecak sebal seraya menggeleng. "Jangankan mau punya anak sama dia. Lihat wajahnya saja eneg bukan main."
"Ya, terus, masa sampai nanti kamu nggak bakal punya anak? Mama nggak mau, ya, kalau keturunan Mama cuma berhenti di kamu!" sengit sang Mama yang masih tak terima dengan hal ini.
Abimana merasa kesal dengan desakan tersebut. Kepalanya akhir-akhir ini terasa berat. Belum lagi pekerjaan kantor yang begitu menguras tenaga. Apalagi dia sebagai seorang bawahan, bukan seorang bos yang bisa seenak jidat berlaku semaunya. Pergerakannya di kantor sangat terbatas.
"Gampang! Tinggal cerai sama dia, lalu cari perempuan body aduhai untuk memperbaiki keturunan!" Abimana menatap datar ke arah Mamanya yang kini sedang menatap kaget dirinya.
"Kamu yakin mau pisah sama dia? Kamu, kan, belum dapat warisan yang dijanjikan sama almarhum kakekmu!"
"Ya, aku sudah muak satu atap sama si gembrot itu. Masalah warisan, sudah pasti akan tetap dapat. Toh juga aku sudah menikahi si gembrot itu. Nanti bilang saja sama pengacaranya kakek, kalau aku sama Hanifa pisah karena si gembrot itu yang ngajak pisah duluan, biar warisan itu segera diberikan padaku." Abimana tersenyum miring.
***
"Mas Abi, sarapannya sudah jadi!"
Abimana menatap malas sang istri yang sekarang ini sedang berdiri di depan meja makan. Penampilannya persis seperti gembel. Daster lusuh dan sendal jepit rumahan. Apalagi, wajahnya sama sekali tidak dipolesi oleh make up dan berjerawat.
"Setiap hari sayuran hijau. Kamu itu mikir tidak, sih, kalau aku ini manusia, bukan kambing?"
Prang!
Masakan yang dibuat dengan penuh cinta, kini sudah berceceran di atas lantai.
"Mas, kalau nggak mau makan, setidaknya jangan dibuang kayak gini. Mubazir!" Napas Hanifa sudah kembang kempis.
Selama ini dia hanya diam ketika ditindas oleh suaminya sendiri. Cintanya yang melebihi apapun membuat gadis itu hanya bisa pasrah.
Namun, semakin ke sini, kenapa dadanya terasa sesak?
"Oh, mubazir, ya? Sini kamu! Makan ini supaya tidak mubazir. Ayo!" Abimana menggertak istrinya, tapi Hanifa langsung menggeleng lemah.
Lelaki itu mendekat dan menatap inci demi inci wajah yang penuh dengan jerawat itu.
"Nyesel saya punya istri nggak guna kayak kamu! Kalau bukan karena almarhum kakek, kamu pasti jadi gelandangan di luar sana!" Abimana mendorong tubuh gempal Hanifa sampai tersungkur. Setelahnya ia pergi begitu saja.
Hanifa menatap sendu kepergian Abimana. Sudah satu tahun lamanya membina bahtera rumah tangga, tapi kenapa Abimana tak pernah mau melirik ke arahnya?
"Aku pengen nyerah, tapi aku nggak punya siapa-siapa di kota ini selain Mas Abi dan keluarganya," keluh Hanifa meratapi nasib.
Di sisi lain, Abimana memilih untuk mendatangi kediaman kedua orang tuanya. Wajah lelaki itu sejak tadi sudah kusut bak pakaian belum disetrika.
"Loh, kok kamu ada di sini, sih? Nggak masuk kerja? Nanti Om kamu ngomel lagi. Kamu, kan, masih bawahannya dia!" tanya Santi, Mamanya Abimana yang kemarin sempat datang di kediaman Abimana guna mengomeli sang menantu.
"Lagi capek sama kehidupan. Aku udah nggak bisa tinggal satu atap sama si gembrot itu. Lama-lama punya penyakit darah tinggi aku, Ma!" adu Abimana dengan wajah memelas.
"Terus, maunya kamu gimana? Kamu sendiri loh yang setuju nikah sama dia waktu itu. Sekarang kok malah uring-uringan kayak gini, sih? Mau Mama kenalkan sama anak teman arisan Mama?" tawar Santi yang wataknya sama gilanya dengan Abimana.
Abimana menggeleng tegas. Dia memang berniat mencari wanita lain yang lebih dari segalanya. Salah satunya harus cantik dan memiliki body aduhai. Tapi, bukan sekarang waktunya.
"Aku mau pergi ke kantor pengadilan agama. Aku mau urus surat gugatan cerai. Kali ini jangan halangi aku, ya, Ma! Aku mohon sama Mama, tolong dukung aku!" Abimana bahkan sampai menangkup kedua tangannya ke depan.
"Tapi, gimana dengan warisan itu—"
"Nggak usah dipikirin dulu. Cepat atau lambat, semua yang memang ditakdirkan menjadi milikku, bakal jatuh ke tanganku. Mama nggak usah takut hidup kere!" potong Abimana.
Pada akhirnya, Santi hanya bisa mengangguk pasrah. Jika dipikir-pikir, dia juga tak sudi punya menantu gembrot dan berjerawat macam Hanifa. Apalagi sampai punya cucu nanti. Akan seburuk apa wajah cucunya nanti?
Dulu, dia menyetujui pernikahan antara Abimana dan Hanifa lantaran terpaksa dan memang sudah dijanjikan bila anak lelakinya akan diberi warisan lebih banyak dari para saudaranya yang telah menikah lebih dulu, asal mau menikahi Hanifa. Tentu saja masih ada syarat lain untuk mendapatkan warisan tersebut . Sepertinya Abimana dan Santi melupakan point pentingnya.
"Aku numpang makan dulu sebelum ngurus berkas gugatan cerai. Lapar!"
"Memang, si gembrot tidak masak?" tanya Santi yang kini sedang mengekori Abimana menuju dapur.
Abimana tak langsung menjawab. Lelaki itu memilih untuk duduk di depan meja makan.
"Dia masak sayur terus. Giliran aku berangkat, isi kulkas bakalan ludes. Tekor aku, Ma. Tiap minggu belanja banyak. Semuanya masuk di perut si gembrot!" omel Abimana.
Santi menghela napas. Wanita itu gegas mengambilkan nasi dan lauk pauk untuk sang anak.
"Jangan banyak-banyak kalau makan. Nanti jadi gembrot macam Hanifa loh!" ujar Santi berniat bercanda, tapi wajah Abimana semakin masam.
Selesai numpang sarapan, Abimana lekas meninggalkan perumahan orang tuanya. Tekadnya sudah bulat untuk berpisah dengan Hanifa.
Persetan jika nanti Hanifa sakit hati. Salah siapa punya penampilan tidak di rawat. Seandainya dia cantik, sudah pasti Abimana akan klepek-klepek. Sayangnya, kenyataan tak sesuai dengan harapan.
Seharian full Abimana mengurus berkas perceraian dan besok dia harus kembali lagi untuk melengkapi segalanya. Abimana kali ini memutuskan untuk pulang walau rasanya enggan sekali bertemu dengan Hanifa.
"Sudah pulang, Mas?" sapa Hanifa berbasa-basi.
Abimana mendelik horor ketika melihat penampilan Hanifa, dari atas rambut sampai ke bawah kaki.
"Kamu sehat, Nifa? Ngapain pakai baju kurang bahan begitu?" sentak Abimana. Bukannya tergoda, tapi justru dia jijik bukan main ketika melihat lipatan lemak di mana-mana.
"Mama nyuruh aku cepat hamil, jadi aku mau nurutin keinginannya Mama. Apa aku salah?"
Anisa datang ketika mendengar musibah yang menimpa sang menantu. Dia geram sekali. Terlebih lagi, ketika berada di sana, pembantu yang mencelakai menantunya justru tidak ada di sana."Pokoknya Mama nggak mau tau, kamu pecat saja pembantu itu." Entah sudah berapa kali Respati mendengar omelan dari sang Mama. Dia ingin menyela, tapi tidak bisa. Terlebih lagi, tiga perempuan kesayangannya ini justru menatap tajam ke arah dirinya. Apalagi Hanifa yang tak suka sejak awal dengan kehadiran Maya. Makin menjadi wanita itu merajuk. "Sampai sekarang tidak berani pulang setelah membuat cucu mantuku celaka. Awas memang dia nanti kalau sampai masih berani ke sini, habis dia!" sungut Nenek LaksmiHanifa hanya diam saja mendengar nenek serta mertuanya yang sibuk mengoceh. Dia pun hanya memberikan tatapan maut pada Respati, tapi tidak berkomentar apapun. "Kali ini kamu yang tegas. Awas memang masih mempertahankan dia. Sejak awal Nenek tidak setuju, tapi kamu ngeyel. Nisa juga ngeyel!" Sang nenek ke
"Masak apa kamu itu?" tegur Nenek Laksmi ketika melihat Maya mengeluarkan nasi sisa kemarin."Nasi goreng!" Walau sekesal apapun si Maya, dia akan tetap menjawab segala pertanyaan yang bersumber dari mulut wanita tua itu."Pakai nasi sisa kemarin? Astaga, jangan nasi goreng. Tidak baik untuk kesehatan janinnya Hanifa. Masak sup ayam saja. Itu nasi kemarin jangan dipakai, takutnya basi!"Maya menghela napas. Baru kemarin loh ada wanita tua itu, tapi rasanya seperti membuat Maya menyerah saja. "Jangan lupa juga kupaskan buah segar lalu dicuci. Takutnya nanti Hanifa butuh buat nyemil!"Hanifa, Hanifa dan Hanifa. Maya sampai muak dengarnya. Walau begitu, dia tetap mengangguk sebagai jawaban.Diam-diam, Nenek Laksmi tersenyum miring. Sangat bahagia bisa membuat Maya tersiksa dengan kecerewetannya. Beberapa saat kemudian, Hanifa dan Respati pun masuk ke dalam dapur. Maya yang tadinya tampak cemberut pun seketika wajahnya berbinar dengan sangat cerah. Ia pun berjalan mendekat dan lekas me
Nenek Laksmi dan Hanifa sudah tiba di kediaman mewah milik Respati. Mereka pun langsung melihat sosok Maya yang sedang bersantai ria di ruang tamu bak seorang majikan. Ehem ...Deheman dari Nenek Laksmi sukses membuat Maya terkejut bukan main. Apalagi ia tau betul jika Nenek Laksmi itu cerewetnya minta ampun. Bisa mampus dia nanti jika wanita tua itu bertindakWalau begitu, Maya tetap selalu memprioritaskan keanggunan. Siapa tau nenek dari lelaki yang dia taksir ini mau merestui dia dan Respati bersatu."Eh, ada Nenek—""Panggil saya nyonya, saya bukan nenek kamu!" balas Nenek Laksmi memotong ucapan dari Maya.Sang empu kesal bukan main. Sedangkan Hanifa hanya bisa meringis pelan. Dia memang sangat kesal pada pembantunya itu. Hanya saja, istri dari Respati ini bukan juga orang yang gila hormat. Walau begitu, dia akui jika nenek suaminya ini memang sangat keras."Maaf, Nyonya. Saya kira boleh pakai embel-embel Nek kayak Mas Pati!" Mas? Apa Hanifa tidak salah dengar? Medusa satu ini
Pagi-pagi sekali Maya pergi begitu saja dari kediaman Respati untuk menemui seseorang. Tadinya dia mengatakan jika hendak pergi membeli sayur di pasar dan Hanifa yang memang sejak awal tak menyukai keberadaan Maya pun membiarkan saja. Di sinilah Maya berada. Di pinggir jalan sembari duduk memainkan ponsel. Beberapa saat kemudian, seseorang datang menghampiri dengan raut datarnya. "Gimana? Ada perkembangan apa?" tanya orang itu yang tak lain adalah Santi.Ya, Ibu dari almarhum Abimana itu memang dalang di balik semuanya. Bahkan, dia sengaja mengawasi gerak gerik keluarga Respati dari sebulan yang lalu. Sampai suatu ketika, Respati dan keluarganya sepakat mencari ART. Dari sanalah rencana di mulai. Dia bertemu dengan Maya yang saat itu baru tiba di kota hendak mencari pekerjaan. Sayangnya, saat itu Maya sudah sangat frustasi lantaran tak ada yang menerima lamaran pekerjaannya. Alhasil, Santi mempengaruhi wanita itu dan pada akhirnya mereka bekerja sama dengan iming-iming Maya bisa
Malam harinya, seperti biasa, Maya selalu saja mencari kesempatan dalam kesempitan. Seperti malam-malam sebelumnya, wanita itu ikut makan di meja makan. Hanifa sudah tidak mood. Apalagi Respati juga tidak menegur asisten rumah tangga itu dan terkesan membiarkan saja. "Pak Pati mau makan pakai apa?" tanya Maya yang mulai melancarkan aksinya. "Biar saja ambil sendiri—""Sudah, sini saya ambilkan saja, Pak!" Maya gegas menuangkan nasi ke dalam piring kosong milik Respati. Wajah Hanifa sudah tidak bisa di kondisikan lagi. Wanita itu menatap datar pemandangan yang tentu saja membuat hatinya bergejolak ingin mencekik perempuan bernama Maya itu. Sialan sekali. "Mas. Aku mau makan di luar. Nggak mood makan di sini!" ujar Hanifa."Tapi nanti mubazir loh, Dek. Dia sudah masak banyak!" balas Respati.Terkadang, Hanifa itu heran sekali. Respati terkesan selalu membela Maya. Padahal yang sebenarnya tidak begitu. Wanita hamil itu hanya sedang mengalami masa-masa sensitif dalam segi perasaan m
Setiap hari ada saja tingkah Maya yang selalu memancing emosi Hanifa. Seperti sekarang ini, Maya keluar dari kamar yang di khususkan untuk asisten rumah tangga dengan menggunakan baju milik Hanifa. Pantas saja wanita hamil itu tak menemukan baju kesayangannya, ternyata justru sudah dipakai oleh Maya."Mbak, itu bajuku kok dipakai? Mbak kok terlalu lancang?" Tegur Hanifa yang merasa tak suka dengan sikap Maya yang selalu seenaknya seperti ini.Maya yang di tegur seperti itu malah menaikkan sebelah alisnya. Dia menatap aneh ke arah Hanifa"Loh, kok Mbak Nifa malah bilang kayak gini? Ini loh bajunya saya! Memangnya cuma Mbak saja yang bisa beli?" tantang Maya, padahal jelas-jelas ini baju memang milik Hanifa, tapi mana mau pembantu itu mengaku?Sementara di sisi lain, Hanifa sudah menatap garang pada pembantu satu itu. "Mbak Maya jangan macam-macam, ya. Aku loh tau kalau Mbak ini yang nata baju aku buat di bawa ke lantai bawah. Jadi, ya, kemungkinan besar dan itu memang baju aku. Aku
Beberapa hari kemudian, keadaan Hanifa semakin membaik dan sudah bisa beraktivitas seperti sedia kala. Bedanya, perempuan itu sama sekali tak diperbolehkan untuk menyentuh peralatan dapur. Alhasil, semua pekerjaan rumah dikerjakan oleh Maya. Di mulai dari bersih-bersih dan juga memasak. Semua di lakukan oleh wanita yang usianya beberapa tahun di atas Hanifa. "Pak Pati, ini saya sudah masak sayur asem sama ikan goreng spesial buat Bapak!" ujar Maya dengan centilnya ketika Respati baru saja memasuki area dapur. Sang empu hanya mengangguk dan mulai sibuk membuka pintu kulkas. Maya yang merasa dicueki pun lekas mendekat ke arah sang empu dan menjawil lengannya."Pak Pati cari apa?"Respati terkejut bukan main dan sontak saja menjauh dari sosok Maya. Bisa gawat nanti jika Hanifa melihat, sudah pasti akan salah paham. "Mbak tolong jangan dekat-dekat seperti ini! Takutnya istri saya salah paham nantinya!" tegur Respati yang seketika membuat Maya memutar bola mata dengan malas. "Istri
Hampir dua minggu lamanya Hanifa di rawat di rumah sakit dan syukurnya hari ini sudah diperbolehkan pulang. Respati sangat kelelahan lantaran sibuk bolak balik rumah sakit sekaligus memantau pekerjaan. Walau begitu, ia sama sekali tak pernah mengeluh lantaran semua ini dia lakukan demi keluarga kecilnya yang sebentar lagi akan bertambah dalam beberapa bulan kedepan. "Semua barang-barang sudah dipacking?" tanya Handoko. Anisa tidak ikut lantaran sibuk mengurus Kusuma yang beberapa waktu lalu sudah lahiran dan sekarang anak bayinya sedang demam dan rewel. Alhasil, Kusuma membutuhkan bantuan sang Mama."Sudah, Pa. Biaya administrasi juga sudah Pati lunasi!" balas Respati dengan lesu. Bukan karena sedih tapi karena lelaki itu benar-benar butuh istirahat. Handoko mengangguk dan mulai membantu mengeluarkan semua barang bawaan yang dua minggu ini di bawa ke rumah sakit. Sekitar lima belas menit perjalanan menuju ke rumah, pada akhirnya mereka tiba juga dan sudah di sambut oleh satu ART
Hanifa keluar dengan wajah sendu. Bibirnya bahkan sudah melengkung ke bawah. Respati yang melihat semua itu tentu saja langsung menghela napas. Ia gegas mendekat dan merangkul bahu sang istri untuk menenangkan. Lewat ekspresi Hanifa saja Respati bisa menebak hasilnya seperti apa. Mungkin saja memang tak seperti harapan mereka saat ini, tapi Respati tidak mempermasalahkan hal tersebut. "Jangan sedih, kita bisa coba lagi nanti. Masih ada banyak waktu. Ayo dong senyum!" hibur Respati.Nenek Laksmi yang melihat itu terharu bukan main. Dia tak menyangka jika cucu lelakinya yang satu ini sangat dewasa dalam segi pikiran."Maaf—""Kenapa minta maaf, sih, Sayang? Mas tidak masalah, loh! Itu artinya, kita kurang berusaha selama ini. Mas santai begini, kok. Tidak masalah ini!"Hanifa menghela napas. Padahal dia belum selesai bicara, tapi suaminya terus menerus mengoceh seperti ini. "Mas, aku belum selesai bicara, loh. Astaga, coba lihat ini hasilnya!" Hanifa melepas paksa pelukan dari Respat