MasukPiring makan keramik itu terbang melayang kemudian jatuh ke atas lantai dapur dan pecahannya berhamburan ke mana-mana. Bu Nining sengaja melemparkan piring tersebut karena kesal pada Gayatri, pasalnya Gayatri tidak memasak masakan kesukaan Bu Nining dan Damilah. Hari ini Gayatri tidak masak karena tukang sayur keliling tidak dagang dan jika Gayatri berbelanja ke pasar, dirinya harus mengeluarkan uang tambahan untuk ojek karena jarak antara pasar dan rumahnya sangat jauh.
"Ibu sama Damilah itu bukan domba yang setiap hari harus makan hijau-hijauan." Bu Nining kembali melemparkan sendok dan gelas."Kamu mau bikin darah ibu makin naik gara-gara ibu harus memakan sayur daun singkong ini?""Bukan begitu, Bu...""Terus maksud kamu apa? Kamu jadi orang pelit banget! Kamu pikir kamu hidup di sini sama siapa? Rumah yang kamu tinggali ini awalnya tanahnya milik siapa? Siapa yang membiayai rumah ini pas dibangun, hah?"Bu Nining kembali mengungkit-ungkit perihal harta warisan yang memang sudah diberikan pada Hendar, anak pertamanya. Tapi semenjak Hendar tidak ada, Bu Nining seperti tidak ikhlas jika rumah Hendar ini jadi hak Gayatri.Makanya setelah kepergian Hendar, Bu Nining dan juga Damilah pindah ke rumah Hendar, sementara Engkom dan suaminya tinggal di rumah Bu Nining. Sepertinya rumah tersebut akan diwariskan kepada anak keduanya itu."Pergi kamu ambil ikan di kolam. Awas saja kalau sampai nanti sore belum ada makanan, ibu gak akan ngasih uang jajan lagi ke anak-anak kamu!"Gayatri buru-buru mengambil pancingan dan pergi ke kolam yang letaknya berada tidak jauh dari belakang rumah Gayatri. Sambil ditemani oleh kedua anaknya yang masih kecil, Gayatri mulai mencari umpan cacing dan daun, dalam hati berharap semoga saja dirinya berhasil mendapatkan ikan.***"Gayatri! Kamu pagi-pagi masih tidur! Cepat bangun dan masak sana! Jadi orang males banget, sih!" Bu Nining mengguyur Gayatri dengan segelas air minum.Gayatri yang tidak sengaja terlelap karena kelelahan pasalnya dari subuh sampai sekarang pukul dua belas siang hari dirinya tidak berhenti bekerja. Dimulai dari masak nasi di tungku karena Bu Nining melarangnya memasak nasi di rice cooker, katanya boros listrik. Kemudian pergi mencuci piring dan baju di empang yang jaraknya cukup jauh serta jalanan yang naik turun. Padahal ddi rumah ada air, dan sekali lagi Bu Nining mengatakan harus hemat listrik. Sementara empang kolam di belakang rumah airnya memang kecil karena sekarang memasuki musim kemarau dan juga air dari hulu selalu digilir ke tempat lain.Setelah selesai dengan urusan rumah tangga, Gayatri langsung mencabuti rumput yang mulai tumbuh di sekeliling rumah. Biasanya ketika ada Hendar sering disemprot dengan herbisida, tapi karena harganya mahal dan sekarang sedang mengirit, mau tidak mau sekarang harus dibabad menggunakan tangan yang sangat menguras tenaga.Ibu Nining baru saja datang dari pengajian bulanan yang diselenggarakan di mesjid desa. Melihat Gayatri yang ketiduran di teras depan membuatnya murka, apalagi sampah dari rumput yang masih berserakan dan belum dikumpulkan. Kekesalan Bu Nining makin memuncak ketika dirinya baru masuk ke rumah melihat di ruang tengah banyak sekali mainan yang berceceran di sana-sini. Bantal sofa sudah tidak pada tempatnya, gorden lepas dari tempatnya, noda spidol mengotori lantai yang banyak berserakan mainan."Gayatri!!! Kamu dari pagi ngapain aja? Kenapa kamu belum juga beres-beres rumah, hah?"Gayatri buru-buru menghampiri. Kedua anaknya yang kaget mendengar suara menggelegar dari neneknya itu langsung berlindung di kaki ibunya."Maafin Ghifari dan Baiq, Bu. Mereka masih kecil jadi gak tahu kalau habis main harus dibereskan lagi.""Seharusnya kamu didik anak kamu yang bener. Jangan bisanya cuma main dan berantakin rumah. Sana cepat beresin, malu kalau dilihat tetangga rumah kayak tempat sampah gini. Ini lagi, kalau tivi gak ditonton gak usah dinyalain, buang-buang listrik aja. Nih, gara-gara anak kamu yang dari pagi sampai pagi nonton tivi terus listrik di rumah ini jadi naik. Besok kalian gak usah nonton tivi lagi.""Maaf, Bu."Kedua anak Gayatri hanya menangis dalam diam. Mereka berdua takut pada neneknya, soalnya bukan sekali ini saja mereka dimarahi seperti itu, sering sekali mereka dimarahi apalagi ketika mereka sedang bermain dan berteriak-teriak, neneknya selalu menyentak sambil melotot. Selain itu, mereka berdua sering mendengar teriakan amarah dari neneknya untuk ibunya. Makin bertambah saja trauma anak kecil tersebut. Yang membuat mereka sedih juga karena mereka tidak diperbolehkan main dengan tetangga, soalnya nanti kalau anak tetangga jajan, pasti mereka berdua juga harus jajan.Dengan gerakan cepat, Gayatri merapikan mainan yang berantakan tersebut ke dalam kardus kemudian menyimpannya ke kamarnya. Gayatri juga menyapu dan mengepel ruang tengah hingga sekarang bersih kembali. Gayatri juga cepat-cepat membereskan halaman rumah karena hari sudah siang sementara dirinya belum masak untuk makan sore nanti.Malam harinya, ketika Bu Nining dan Damilah sudah selesai makan malam, kini giliran Gayatri dan kedua anaknya yang makan. Entah kenapa ibu mertua dan adik iparnya itu anti sekali makan bersama dengan Gayatri, padahal dulu ketika Hendar masih ada, mereka makan bersama saja tidak terlihat keberatan sama sekali."Ibu, kakak bosen makan tempe terus. Kakak juga pengen makan ikan," ucap Ghifari dengan pelan dan nada bicara khas anak kecil yang belum begitu jelas artikulasinya."Sabar ya, kapan-kapan ibu masakin kamu daging." Gayatri mengelus kepala anak sulungnya.Meskipun masih kecil, tetapi Ghifari tidak mau makan disuapi oleh ibunya karena dirinya sudah mengerti kalau adiknya sekarang sudah menjadi prioritas utama yang harus disuapi. Apalagi kata Ghifari sendiri, dirinya sudah besar. Baru saja dirinya berulang tahun yang ke lima dua bulan lalu dan sebentar lagi akan masuk TK, tapi sayangnya Bu Nining tidak mengijinkan.Setelah selesai menyuapi Baiq makan sayur bayam, kini giliran Gayatri yang makan. Ia kembali memakan ikan asin sisa tadi pagi. Gayatri merasa nelangsa dengan kehidupannya sekarang apalagi melihat kedua anaknya yang masih kecil tapi makan sehari-hari dengan seadanya, bisa dibilang kalau asupan gizi untuk anak-anaknya itu sangat kurang.Gayatri menghela napas disela makan malamnya. Kepalanya terus berpikir tentang rencana ke depan. Saat ini dirinya sudah tidak memiliki pemasukan uang. Uang simpanannya juga sudah tinggal sedikit. Sebenarnya Gayatri ingin bekerja serabutan, tetapi dirinya takut kalau nantinya Bu Nining tidak setuju. Tapi kalau seperti ini terus, hidupnya akan semakin menderita dan Gayatri takut akan berdampak pada kedua anaknya jika ekonominya benar-benar ambruk."Apa aku bujuk saja ibu, ya?" pikir Gayatri.Untuk saat ini, ibu mertuanya itu pikirannya kadang memang suka plin-plan. Sepertinya jika nanti musim menanam padi, atau panen hasil kebun, akan ada orang yang mengajak Gayatri bekerja. Tapi mereka biasanya mengajak Gayatri ketika pekerjaan di sawah dan di kebun milik Bu Nining sudah selesai. Selain itu, Gayatri juga ingin meminta ijin untuk membeli mesin jahit. Dari hasil menjahit baju atau mengecilkan baju, uangnya cukup lumayan untuk jajan sehari-hari anak-anaknya. Pun, Gayatri tidak ingin menyia-nyiakan keterampilannya. Dulu sebelum Hendar tiada memang Gayatri sudah meminta ijin dan diperbolehkan oleh suaminya. Sayangnya keinginan tersebut belum terealisasikan sampai sekarang."Maksud kamu? Tolong jelaskan."["Bu Nining sama Damilah akan pergi ke pulau Jawa besok lusa, Tri."]Gayatri memijat pelipisnya. Baru saja masalah yang satu selesai, datang lagi masalah baru yang kali ini akan membuatnya pusing tujuh keliling dan sangat menguras emosi baik jiwa maupun raga.["Waktu kalian sidang di pengadilan agama, besannya mertua kamu kebetulan juga lagi ke sana, ngantar anaknya yang tengah buat cerai sama menantu lakinya. Kamu mungkin nggak nyadar sama kehadiran mereka, tetapi besan ngeliat, malah ada buktinya foto kamu sama Hendar pas lagi keluar dari ruang sidang. Awalnya mertua kamu nggak percaya, tapi pas nanya sana-sini barulah dia percaya. Kali ini maaf aku nggak bisa bantu, Tri. Aku bantu support sama doa aja."]"Iya, Lin, nggak apa-apa. Dengan kamu ngasih tau aku, aku udah bersyukur banget. Makasih ya, Lin. Aku di sini akan jaga diri baik-baik.""Iya, Tri. Tapi kayaknya sebelum mertua kamu nyari kamu, kayaknya dia bakal nyari dulu anaknya. Orang tua mana, s
Sebulan setelah Gayatri resmi bercerai, kehidupannya berjalan seolah-olah tidak terjadi apa-apa. Seolah ia benar-benar sudah melupakan Hendar dan seolah tidak pernah mengenal Hendar sama sekali.Cindy juga tidak menanyakan apa-apa perihal masalah rumah tangganya Gayatri. Ia hanya tahu cerita lengkapnya dari obrolan kedua orangtuanya dan juga dari Bram. Dari mereka pun tidak ada yang menanyakan, hanya menanyakan kondisi Gayatri dan menyemangatinya.Akhir-akhir ini juga Bram sering mengajak keluarganya untuk berlibur sekaligus refreshing untuk Gayatri dan terbukti Gayatri bisa cepat menyembuhkan kesedihannya meskipun mereka tidak tahu tiap malam Gayatri sering melamun dan tidak fokus."Mbak, malam Minggu nanti kita nonton film di bioskop, yuk!" Ajak Cindy.Gayatri tersenyum tipis. "Nggak dulu deh, Non. Saya lebih suka nonton drama di rumah dan nonton kartun. Kalau ke bioskop kan anak-anak gak bisa masuk.""Hmmm... iya juga, sih, soalnya bulan ini emang nggak ada film kartun yang rilis..
Hendar POVEntah sudah berapa lama kami hanya duduk terdiam. Satupun dari kami tidak ada yang ingin membuka pembicaraan. Aku sudah lelah bersabar, akhirnya aku dulu yang membuka suara, tetapi hal tersebut malah membuat mereka makin terdiam, membisu."Jadi, apakah kalian bisa menjelaskan dengan sejujurnya padaku apa yang sebenarnya sedang terjadi?"Lima menit kutunggu tetapi tidak ada jawaban."Kenapa kalian diam saja? Tolong kalian jelaskan padaku supaya aku bisa mengambil keputusan antara memilih istri pertamaku atau Hita."Barulah mereka bereaksi ketika aku mengatakan hal demikian."Hendar, Nak, dengarkan Papa. Tapi Papa mohon kamu jangan marah."Ayah mertuaku, Pak Diman menghela napas berat. Aku bersabar mendengarkan perkataan dari beliau."Kami memang sudah tau kalau kamu sudah menikah."Bu Astri, ibu mertuaku mengangguk. Kini beliau yang berbicara, "Mama pikir kamu memang sudah bercerai soalnya dulu waktu mau menikahi Hita, kamu memang berniat menceraikan istri pertamamu, makanya
Hendar POVSuasana di pantai hari ini rasanya membuat perutku mual, apalagi ketika aku melihat air laut. Tiba-tiba saja aku merasa ketakutan dan kesadaranku langsung menghilang. Yang kuingat hanya suara teriakan Hita saat panik ketika melihatku pingsan tak sadarkan diri. Samar-samar dadaku juga berdetak kencang, entah kenapa berdebar seperti seseorang yang sedang dilanda kasmaran.Saat sadar, rasanya aku mengingat kenangan yang abstrak, entah itu mimpi atau bukan tetapi rasanya seperti nyata dan aku pernah mengalami peristiwa tersebut. Ketika mencoba terus untuk mengingatnya, kepalaku kembali merasakan sakit seperti sebelumnya. Kata dokter aku harus beristirahat dan jangan terlalu banyak pikiran. Aku didiagnosis serangan panik akibat trauma otak. Kata istriku dan mertuaku, aku ini memang hilang ingatan, kata mereka aku kecelakaan. Aku hidup sebatang kara dan bekerja di keluarga istriku dan mereka memberikan restu antara hubunganku dan anak gadisnya.Awalnya aku tidak percaya, aku mer
Gayatri menatap suaminya dari kejauhan. Tak terasa air matanya kembali menetes. Laki-laki yang tengah bersama seorang perempuan itu dulu adalah laki-laki yang paling mencintainya dan menyayanginya. Tetapi sekarang laki-laki itu sudah melupakannya dan mencintai perempuan lain yang kecantikannya sangat jauh dari Gayatri, gayanya yang sangat berbeda dari Gayatri. Laki-laki mana yang tidak menyukai perempuan cantik dan pandai bergaya itu? Berbeda dengan Gayatri yang terlihat lusuh dan tidak terawat.Kenapa Gayatri tidak berusaha kembali mendekati Hendar dan menjelaskan semuanya? Jawabannya sudah. Gayatri sudah melakukannya. Ia sudah mendatangi kediaman Hendar dan memohon untuk kembali padanya, memohon supaya suaminya itu percaya padanya tetapi hasilnya nihil. Gayatri gagal karena keburu diusir oleh Hita dan keluarganya yang ikut turun tangan. Bahkan ibunya Hita memohon pada Gayatri untuk tidak datang lagi ke rumahnya karena ibunya takut kandungan Hita kenapa-kenapa.Gayatri kini tidak bis
"Tri?"Gayatri mengusap air mata. Ia mencoba baik-baik saja di depan Bu Nela dan Cindy yang tengah menatapnya dengan sorot mata prihatin."Iya, Bu?"Bu Nela dan Cindy saling pandang. Cindy kemudian mengambil Citra dari pangkuan Gayatri. Sepertinya Gayatri tidak sadar kalau Citra tengah tertidur di pangkuannya dan sekarang tubuhnya hampir terjatuh karena Gayatri tidak memeluknya erat."Kamu istirahat saja. Biar saya dan Cindy yang mengurus anak-anak," ucap Bu Nela."Tidak usah, Bu. Kan ini sudah tugas saya, pekerjaan saya jadi saya yang harus tanggung jawab.""Tidak apa-apa, Tri. Kamu istirahat saja. Wajah kamu pucat gitu.""Iya, Mbak Tri. Mbak istirahat saja, kasihan anak-anak nanti kalau lihat Mbak sakit." Cindy juga ikut menyarankan.Gayatri mengangguk. Walaupun sekarang ia bekerja, pekerjaan pasti akan kacau karena pikiran dan perasaan sekarang sedang tak keruan.Bu Nela menghela napas. Ia sudah tahu apa yang terjadi pada Gayatri. Kemarin Asti sudah menceritakan semuanya tentang Ga







