Gayatri menangis tersedu sambil menaburkan bunga ke atas permukaan air laut pelabuhan Bakauheni. Mengelap air mata yang membasahi pipinya, Gayatri mencium puncak kepala anak keduanya yang baru berusia dua tahun, sementara tangan kanannya mengusap kepalanya yang berdiri di sampingnya yang baru berusia lima tahun.
Bukan hanya Gayatri seorang saja yang menangis di sana, tetapi banyak orang-orang juga yang menangis sedih lantaran harus mengikhlaskan orang-orang terdekat dan yang dicintainya menghilang, pergi untuk selama-lamanya dan raganya tidak akan pernah ditemukan. Menghilang dalam gelap, dingin dan dalamnya lautan lepas.Sudah hampir dua pekan kapal feri yang mengangkut penumpang dari lampung menuju pelabuhan merak itu hilang. kabarnya kapal feri tersebut tenggelam di sekitaran Selat Sunda. Dari banyaknya penumpang kapal, hanya sekitar tujuh puluhan orang yang ditemukan, termasuk korban selamat yang hanya bisa dihitung dengan jari.Angin laut menerpa wajah Gayatri yang terlihat sangat sedih, wajahnya juga pucat karena tidak pernah sebentar pun tidak menangis."Ayo kita pulang," ucap Gayatri, mencoba tegar ketika Tim SAR dengan berat hati menghentikan pencarian korban tenggelamnya kapal feri itu.Sesampainya di rumah, Gayatri disuguhkan oleh tangisan histeris dari ibu mertuanya serta kedua adik iparnya. Televisi di ruang tengah menyala, menampilkan acara berita tentang Tim SAR yang berhenti mencari korban-korban dan menyatakan kalau semua penumpang itu tidak ada yang selamat."Hendar! Hendar! Hendar!" Ibu mertuanya berteriak memanggil anak sulungnya, satu-satunya anak laki-laki di keluarganya.Para tetangga yang memang sedang berkumpul di masing-masing rumah keluarga para korban itu mencoba menenangkan keluarga yang ditinggalkan.Ibu Nining, mertua Gayatri terjatuh pingsan. Gayatri buru-buru masuk ke dalam rumah, sebisa mungkin dirinya membantu mertuanya untuk segera sadar kembali.Tujuh hari kemudian, kehidupan mereka kembali normal meskipun perasaan mereka masih agak hampa karena kehilangan.Gayatri yang selesai memasak langsung pergi ke belakang rumah untuk mengambil cucian pakaian dan menjemurnya di depan rumah. Sengaja dirinya tidak langsung sarapan terlebih dahulu karena kalau dirinya ikut sarapan bersama mertua dan adik iparnya, pasti Gayatri akan langsung dimarahi. Kedua anak Gayatri pun belum diberi makan. Yang kecil hanya baru diberi minum susu saja.Sikap mertua dan adik iparnya langsung berbeda ketika Hendar sudah tidak ada. Yang tadinya pekerjaan rumah selalu dibagi-bagi, sekarang semua tugas Gayatri lakukan sendiri. Makanya akhir-akhir ini Gayatri selalu bangun jam empat pagi supaya nanti ketika Damilah akan berangkat ke sekolah, Gayatri tidak keteteran."Nanti kalau sudah selesai beres-beres rumah kamu jangan lupa pergi ke sawah buat bantuin ibu nanam sayuran. Jangan terlalu siang berangkatnya.""Iya, Bu," jawab Gayatri sambil merapikan posisi jemurannya.Bu Nining dan Damilah sudah pergi. Gayatri langsung menyuapi anak-anaknya makan makanan sisa karena sebagian sudah dibawa oleh ibu mertuanya dan juga Damilah yang dari bulan Januari sudah mulai les di sekolah dan pulangnya sampai sore."Nanti Gifari sama adek main di rumah Danang, ya. Soalnya ibu mau pergi ke sawah lagi. Jangan nakal ya, jagain adek. Ini uang buat jajan kalian berdua.""Iya, Bu," jawab Gifari sambil meminum air putih sambil habis.Sementara itu Gayatri mulai mencuci piring dan gelas yang kotor, setelah itu dilanjutkan dengan menyapu di dalam dan di luar rumah.***"Kamu ini dari mana saja? Kenapa baru datang sekarang? Dasar menantu lelet." Bu Nining langsung marah-marah begitu Gayatri sampai. Padahal hari ini masih pagi, sekitar pukul setengah tujuh lebih sepuluh menit."Maaf, Bu.""Maaf, maaf. Emangnya cukup minta maaf doang? Udah sana kamu pergi ke petakan sawah yang lain. Sekalian kamu pacul di sana biar pas nanam jadi gampang.""Iya, Bu." Gayatri dengan sigap mengambil cangkul dan mulai menggarap lahan tersebut.Sebenarnya petakan sawah yang sudah selesai dipanen sebulan yang lalu itu sudah digarap oleh orang lain. Tetapi karena kabar Hendar menghilang dan dinyatakan meninggal, Bu Nining menghentikan pekerja tersebut karena takut nantinya tidak terbayar, soalnya tulang punggung keluarga adalah Hendar. Jadi segala kebutuhan dari mulai Gayatri dan kedua anaknya, kemudian Bu Nining dan Damilah semua Hendar yang menanggung. Apalagi sekarang Damilah sudah kelas dua belas, makin banyak saja kebutuhan dari sekolah yang harus menelan banyak biaya. Apalagi sekarang harga sembako dan BBM sedang naik, sebisa mungkin keluarga Bu Nining harus menghemat.Siang harinya ketika mereka pulang, Gayatri pergi dulu ke kebun untuk mencari kayu bakar. Sementara Bu Nining langsung pulang ke rumah untuk tidur siang. Biasanya di rumah mereka sering masak nasi menggunakan magicom, tetapi karena menghemat, jadilah Gayatri harus menanak nasi menggunakan tungku.Gayatri menghela napas panjang. Ia sebisa mungkin menahan tangisnya supaya tidak pecah. Dalam keadaan dan situasinya saat ini, dirinya tidak boleh lemah karena Gayatri sama sekali tidak mempunyai pegangan.Gayatri dulunya adalah gadis yang hidup sebatang kara. Kata paman dan bibinya, orang tua Gayatri sudah meninggal dunia ketika Gayatri dilahirkan ke dunia ini. Dari kecil Gayatri sudah terbiasa hidup mandiri meskipun paman dan bibinya selalu mencoba memanjakannya.Ketegaran hati Gayatri runtuh ketika mendengar suaminya, orang yang paling dicintainya itu pergi untuk selama-lamanya meninggalkan dirinya dan kedua anaknya. Hidup Gayatri seketika terasa hancur. Kini tempat satu-satunya untuk bersandar itu tidak ada. Gayatri sekarang harus berdiri sendiri dan harus mencoba untuk kuat.Andai saja saat itu Gayatri tidak mengijinkan Hendar untuk merantau ke Bandung, bekerja di tempat temannya yang saat itu katanya sedang membutuhkan tambahan pekerja, pasti hal ini tidak akan terjadi. Hendar tersayangnya itu masih ada di sampingnya dan sikap mertua serta iparnya tidak akan berubah."Mas...," Sekuat apa pun Gayatri menahan tangisnya, hal tersebut nyatanya tidak berhasil. Perlahan air matanya jatuh, tetapi Gayatri buru-buru menghapusnya. Dirinya takut kalau ibu mertuanya melihat dirinya sedang menangis. Pasti nantinya akan menjadi sebuah masalah yang berkepanjangan.Di dalam hati Gayatri, dirinya mendoakan kebaikan untuk suaminya. Meskipun agak mustahil dan sedikit menentang takdir, tetapi selama raga Hendar belum juga ditemukan, Gayatri berharap kalau suaminya itu selamat di suatu tempat supaya nanti keluarga kecil mereka bisa berkumpul kembali.Gayatri menatap cincin pernikahannya dengan Hendar. Sampai sekarang Gayatri enggan melepaskan cincin suci tersebut. Biarlah cincin itu masih tetap Gayatri pakai, hitung-hitung untuk menjaga dirinya dari para laki-laki yang mencoba menggodanya. Biarlah para ibu-ibu mencemooh dirinya karena sudah janda ditinggal mati tetapi tidak melepaskan cincin pernikahan. Ibu mertuanya tidak memarahi Gayatri karena masih memakai cincin tersebut. Atau memang Bu Nining sengaja membiarkan Gayatri tetap memakainya karena anaknya masih ada yang gadis dan juga lajang. Jadi semua perhatian orang-orang pasti akan tertuju pada Gayatri karena mereka merasa iba atau karena Gayatri sudah dewasa.Dari segi fisik, rupa dan sifat, Gayatri jauh lebih unggul daripada Damilah. Bahkan saat ini Gayatri sudah memiliki anak dua pun, kecantikan Gayatri tidak pernah memudar. Tubuhnya tetap kurus ideal."Gayatri, bisa bicara sebentar?" tanya Bu Nela setelah Gayatri selesai mengerjakan pekerjaan rumah.Gayatri hanya mengangguk. Kemudian ia mengikuti Bu Nela dan duduk di kursi santai di balkon apartemen Bram."Jadi begini, saya sudah membicarakan hal ini dengan Bram tadi malam. Saya berencana mengerjakan kamu menjadi baby sitter, untuk masalah gaji kamu tenang saja, tidak usah khawatir. Gaji kamu akan naik dua kali lipat." Bu Nela menatap Gayatri. "Kamu sanggup, kan?""Saya sanggup, Bu.""Lusa kamu mulai pindah ke sini.""Eh? Maaf, Bu?""Bram nggak bilang, ya?"Gayatri menggeleng.Bu Nela menjelaskan. "Jadi gini, karena kamu akan mengurus bayi, jadi tidak mungkin kalau kamu harus pulang pergi, apalagi bayi selalu terbangun tengah malam. Jadi kamu akan tinggal di sini, di apartemen sebelah Bram. Kebetulan itu apartemen punya saya. Sebenarnya saya menyuruh Bram untuk tinggal di rumah. Tapi ia tidak mau.""Lalu apakah anak-anak saya juga ikut?""Benar. Kamu bawa saja anak-anak ke sini. Na
"Pak Bram!" Gayatri mengetuk pintu. Meskipun kemarin Bram mengatakan kalau hendak membangunkannya Gayatri masuk saja ke kamar tapi Gayatri sungkan. Masa iya seorang janda seperti dirinya harus masuk ke dalam kamar bujangan yang tengah tertidur pulas. "Saya sudah bangun, Tri!" Gayatri langsung kembali ke dapur untuk mengambil vacum cleaner dan pel-an. Untuk hari ini ia tidak mencuci baju karena kata Bram, Gayatri mencuci bajunya dua atau tiga hari sekali saja. Pukul setengah tujuh pagi Bram sudah rapi dan bersiap untuk berangkat. Gayatri juga sudah selesai membereskan rumah dan sekarang ia hendak pulang untuk bekerja di rumah yang lain. Bram juga sudah memberikan ijin untuk Gayatri bekerja yang lain asalkan nanti pas bagian bekerja di rumahnya, Gayatri datang tepat waktu. Gayatri bekerja dari rumah ke rumah sebagai buruh cuci. Kalau ada yang menyuruhnya untuk menyetrika, Gayatri menolaknya karena menyetrika menyita banyak waktu. Ia melakukannya harus berada di waktu yang benar-bena
Seorang lelaki berperawakan tinggi dan berkulit kecokelatan dengan potongan rambut bergaya undercut itu menguap lebar. Sambil menunggu pintu lift terbuka ia mencoba membuka matanya lebar-lebar supaya kesadarannya masih terjaga. Pekerjaannya dari luar kota menguras tenaganya, ditambah perjalanan yang jauh membuatnya benar-benar lelah dan ingin segera beristirahat.Selang beberapa menit kemudian dirinya sudah sampai di depan pintu apartemen miliknya. Ia membuka kunci kemudian masuk. Keningnya sedikit mengkerut melihat ada sandal lusuh. Sepertinya itu milik asisten rumah tangga yang baru. Aroma masakan juga mulai tercium harum menyeruak ke seisi ruangan. Laki-laki itu yang sedang lelah dan kelaparan perutnya semakin perih dan tidak sabar untuk makan."Ini beneran apartemen-ku, bukan, sih?" gumam laki-laki itu. Ia terkejut melihat seorang perempuan muda yang tengah mengelap meja dapur. Sebuah menu masakan sudah terhidang di meja makan.Laki-laki itu kembali ke luar apartemen, hanya untuk
"Minum dulu, Tri." Asti memberikan air hangat untuk Gayatri dan kedua anaknya.Gayatri baru saja sampai di Pelabuhan Merak setelah beberapa jam mengarungi lautan dari Pelabuhan Bakauheuni.Ya, benar, Gayatri sekarang berada di Pulau Jawa, ia tidak benar-benar pergi ke Batam sesuai apa yang dikatakan Alin pada keluarga Bu Nining dan para warga.Pelarian Gayatri ini dibantu oleh ketiga sahabatnya yang berada di Lampung, keluarga Bu Uri, Pak RT dan beberapa warga yang lain. Gayatri kabur dari rumah tepat pukul satu malam saat ibu mertuanya dan adik iparnya sedang tidur pulas. Sengaja Gayatri memilih waktu tersebut karena memang Gayatri sudah terbiasa bangun tengah malam, jadi kalau Bu Nining terbangun ia tidak akan curiga kalau menantunya itu sebenarnya sedang melarikan diri.Gayatri pergi menggunakan mobil pickup milik Bu Uri, sekalian Bu Uri mengantarkan sayuran ke pasar subuh. Perjalanan yang sangat menegangkan bagi Gayatri itu sekarang sudah selesai. Ia bisa bernapas lega dan hatinya
Sampai pukul tujuh pagi Gayatri dan kedua anaknya tidak kunjung datang juga ke rumah. Bu Nining sudah tidak enak duduk, tidak enak makan dan sebagainya. Ia terus saja mondar-mandir dan sesekali berdecak kesal, kepalanya terus menoleh ke arah jalan, siapa tahu nanti begitu Gayatri muncul, ia akan langsung memborbardir Gayatri dengan amukan yang meledak-ledak.Setengah jam kemudian, ada sebuah mobil pickup berwarna hitam yang sering digunakan untuk mengangkut hewan ternak berhenti di depan rumah Gayatri.Bu Nining mengerutkan keningnya kemudian menghampiri sopir dan seorang yang duduk di kursi penumpang."Lho, juragan Iwan. Mau ke mana?" tanya Bu Nining."Ini saya mau mengambil ternak milik Gayatri, Bu.""Ternak? Ternak apa?" Bu Nining terheran-heran."Kambing milik Gayatri. Kemarin lusa Gayatri menjual semua kambingnya ke saya. Dan hari ini saya mau mengambil semuanya termasuk ayam-ayam yang Gayatri pelihara.""Mengambil? Gayatri menjual kambing? Kok saya gak tahu? Juragan Iwan jangan
Darsa sudah melaksanakan pertunangan dengan anak Pak RW, tanggal pernikahan mereka juga sudah direncanakan dan kabar tersebut sekarang menjadi topik perbincangan hangat di antara para warga desa. Termasuk Bu Nining, dengan kesal ia membicarakan dua sejoli itu. Bahkan sampai saat ini Bu Nining selalu saja menyalahkan Gayatri atas gagalnya rencana mengenalkan Damilah pada Darsa.Pernah waktu kemarin saat kabar Darsa berpacaran dengan anaknya Pak RW, Bu Nining menyalahkan Gayatri dan memaki menantunya itu. Bu Nining juga sempat main tangan dan mulutnya berkata kasar saking emosinya. Ia juga selalu menyuarakan untuk Gayatri hengkang dari rumahnya. Ralat, ini sebenarnya rumah milik Hendar. Sertifikat dan SPPT juga atas nama Hendar. Meskipun ini adalah tanah warisan, tetapi biaya pembangunan rumah semuanya atas jerih payah Hendar dan Gayatri. Dan sekarang, Bu Nining merasa tidak ikhlas saat tanah warisannya itu diambil alih oleh Gayatri, istri sah dari anaknya. Karena memang Gayatri-lah yan