Tiga hari berlalu dengan penuh kegelisahan. Jasmine mencoba mencari jalan lain, tetapi tidak ada yang berhasil. Ketika rumah sakit menelepon lagi, memberitahukan bahwa kondisi neneknya semakin memburuk, Jasmine tahu dia tidak punya pilihan lain.
Jasmine menghampiri Zora, yang baru sampai di Toserba. Saat itu Zora terburu- buru, tapi Jasmine berusaha menyampaiakan maksudnya.
"Halo, Kak Zora?" Jasmine berbicara dengan suara yang sedikit bergetar.
"Jasmine. Bagaimana kabarmu?" Zora menjawab dengan suara yang lembut.
Zora membuka berkas di kasir dan mengambil beberapa file, lalu menumpukkan di atas meja kasir. Setelahnya dia menatap Jasmine, dengan senyuman.
"Kak, aku... aku butuh bantuanmu," Jasmine mengambil napas dalam-dalam.
Jasmine, masih bingung. Apakah ini waktu yang tepat untuk dia mengatakan maksudnya. Tapi dia tidak bisa menunda lagi, walau dia tahu Zora tampak sibuk.
"Aku sudah tahu, Jasmine. Aku siap membantumu. Datang ke rumahku, kita bicarakan detailnya, saat ini aku sedang buru-buru," Zora menjawab dengan cepat.
"Terima kasih, Kak. Aku datang nanti malam sepulang menutup toko."
Sambil membuka pintu toko Zora menjawab. "Baiklah, Jasmine. Aku menunggumu."
Malam itu, Jasmine datang ke rumah Zora. Jasmine duduk di ruang tamu yang luas tetapi dingin, ditemani Zora dan suaminya, Noah Rizky Dirgantara. Noah, pria yang terlihat serius dan kaku, duduk di seberang Jasmine dengan tatapan tajam.
"Aku sudah mendengar semuanya dari Zora," kata Noah dengan nada rendah. "Dia bilang kamu ingin mengajukan beberapa syarat."
Jasmine menatap ke arah Zora sejenak sebelum menjawab. "Saya hanya ingin jaminan. Selain uang untuk nenek saya dan tunggakan kuliah, saya ingin 3% saham di perusahaan Anda. Dan... saya ingin bisa bertemu anak itu setahun sekali, meski hanya sebagai kerabat."
Noah menyipitkan mata, tetapi tidak langsung menjawab. Setelah beberapa saat, dia berkata, "Permintaan yang besar. Tapi aku mengerti situasimu. Aku akan setuju, dengan satu syarat tambahan."
"Apa itu?" tanya Jasmine dengan hati-hati.
"Kamu jangan berharap lebih, bahkan kamu harus bisa merahasiakan hal ini," jawab Noah singkat. Jasmine membelalakkan matanya, terkejut.
"Ini hanya untuk memastikan semuanya tetap dalam kendali. Aku tidak ingin ada kesalahpahaman di kemudian hari," jelas Noah, nadanya dingin dan tegas.
Jasmine tahu, keputusan ini akan mengubah hidupnya selamanya. Namun, dia hanya bisa mengangguk pelan, menerima syarat itu. Sebab, apa lagi yang bisa dia lakukan demi menyelamatkan orang yang paling dia cintai?
Keesokan paginya, Zora mengantar Jasmine ke klinik dokter keluarga mereka, Dokter Arindia Wiryagunadi, Sp.OG.
"Selamat pagi, Dokter," Zora menyapa dengan ramah.
"Selamat pagi, Zora. Siapa ini?" Dokter Arin menatap Jasmine dengan senyum.
"Jasmine, calon ibu pengganti yang kami pilih," jawab Zora.
Dokter Arin mengangguk. "Baiklah, mari kita mulai pemeriksaan."
Jasmine menjalani serangkaian pemeriksaan, termasuk: Pemeriksaan ginekologi,Tes darah untuk mengetahui kondisi kesehatan dan kesuburan. Pemeriksaan USG untuk memeriksa kondisi rahim. Tes psikologi untuk mengetahui stabilitas mental
Setelah pemeriksaan selesai, Dokter Arin memanggil Zora dan Jasmine ke ruangannya.
"Hasilnya sangat baik," kata Dokter Arin dengan senyum. "Jasmine memiliki kondisi kesehatan yang optimal untuk hamil."
Zora tersenyum puas. "Bagus, Dokter. Kami akan melanjutkan prosesnya."
Jasmine merasa lega, tapi juga cemas tentang apa yang akan terjadi selanjutnya. Mereka melanjutkan pembicaraan di kantor Noah, di dalam ruangan Noah hanya ada Jasmine dan Zora.
Zora tersenyum puas sambil menyerahkan dokumen kontrak kepada Jasmine. "Semuanya sudah siap, Jasmine. Tinggal kamu menandatangani."
Jasmine membaca dokumen tersebut dengan teliti. Matanya membelalak saat menemukan poin persyaratan yang mencantumkan kata-kata "Mengandung secara alami."
"Apa ini?" Jasmine menunjuk kalimat tersebut dengan suara bergetar. "Aku harus melakukan apa?"
Zora tersenyum. "Kamu harus hamil secara alami, Jasmine. Ini syarat mutlak."
"Aku tidak bisa melakukan hal itu!" Jasmine protes. "Aku tidak siap untuk melakukan hal intim dengan suamimu."
Noah, suami Zora, memasuki ruangan. "Jasmine, kamu sudah menyetujui syarat kami. Sekarang, kamu harus mematuhinya."
Jasmine merasa terjebak. "Tapi, ini tidak adil! Aku hanya ingin membantu nenekku. Aku pikir seperti bayi tabung atau apalah, bukan aku harus...."
Zora menekankan. "Kamu harus memilih, Jasmine. Apakah kamu ingin menyelamatkan nenekmu atau tidak?"
Jasmine terlihat dilema, napasnya terengah-engah. "Aku... aku tidak tahu, Kak Zora."
Zora memandang Jasmine dengan tatapan tajam. "Jangan mundur sekarang, Jasmine. Aku sudah menunggu terlalu lama untuk memiliki anak."
Jasmine ragu. "Tapi, bagaimana dengan moral dan agama?"
Zora mendekati Jasmine. "Aku tidak peduli! Yang penting aku memiliki anak."
Jasmine menarik napas dalam-dalam. "Baiklah, aku setuju. Tapi, aku memiliki syarat."
Zora terkejut. "Apa syaratnya?"
Jasmine menatap Zora dengan tegas. "Aku ingin menikah secara agama dengan suamimu. Aku tidak ingin melakukan dosa."
Noah dan Zora terkejut. "Apa?!"
Anak-anak itu menoleh, tertawa, lalu tetap berlari, seperti semua anak-anak yang percaya bahwa dunia ini cukup luas untuk menampung kebebasan mereka. Di antara ilalang dan bunga rumput yang bergoyang ringan diterpa angin, mereka tampak seperti cahaya kecil yang menari di dunia yang akhirnya bersedia memberi ruang bagi kebahagiaan.Di samping Jasmine, Noah duduk dengan tangan melingkar santai di bahu istrinya. Wajahnya tenang, tidak lagi menyimpan beban yang dulu begitu menggerogoti. Rambutnya sedikit lebih panjang sekarang, dengan gurat waktu di sekitar matanya, tapi senyumnya tetap sama—tulus dan hangat, seperti pagi yang tidak terburu-buru.“Mereka cepat sekali tumbuh, ya,” kata Noah, suaranya lembut namun sarat kebanggaan. Matanya mengikuti setiap langkah kecil yang penuh semangat di halaman itu.“Kadang aku merasa... kita terlalu beruntung bisa sampai di titik ini,” sahut Jasmine, menatap mereka dengan pandangan yang sulit dijel
Noah keluar dari dalam rumah, membawa selimut kecil yang mereka beli dulu—saat masih menanti kelahiran. Ia membentangkannya di bangku kayu panjang di teras, lalu duduk di samping Jasmine.“Masih ingat waktu pertama kita ke sini?” tanyanya pelan.Jasmine mengangguk, tersenyum samar. “Kita bahkan belum tahu bagaimana caranya memasak air dengan kompor kayu.”Noah tertawa kecil. “Dan kamu nyaris membakar tirai karena mau bikin teh.”“Tapi kamu tetap minum tehnya. Padahal rasanya...” Jasmine menggigit bibir, menahan tawa.“Kayak air rendaman kayu bakar,” Noah menyambung.Tawa mereka menyatu dengan suara dedaunan yang ditiup angin. Ringan. Seperti hati mereka sore itu.Sejenak, keheningan datang lagi. Tapi bukan yang canggung. Keheningan yang penuh penerimaan.“Jas,” ucap Noah pelan, “kamu tahu... kalau waktu bisa diulang, aku nggak akan memilih jalan
Siang itu, Noah dan Jasmine duduk bersama di ruang kerja Oma Dursila. Ruangan itu sunyi sejak terakhir kali Noah dan neneknya berdebat. Namun mereka datang bukan untuk membuka luka baru, melainkan untuk mencoba menyembuhkan yang lama.Tak lama kemudian, pintu terbuka. Oma Dursila masuk dengan langkah pelan, wajahnya tampak lebih tua dari sebelumnya. Matanya menatap mereka berdua bergantian, lalu ia duduk di kursi yang biasa ia tempati di balik meja.Tidak ada pembuka basa-basi. Hanya hening yang menegangkan. Hingga akhirnya Jasmine bersuara, “Oma, saya tahu... mungkin selama ini saya cuma duri di mata Oma. Tapi saya ingin jujur hari ini. Saya ingin kita semua berhenti saling menuduh.”Oma mengangkat alisnya. “Jujur tentang apa?”“Noah dan saya akan pergi dari rumah ini. Bukan karena takut. Tapi karena kami ingin hidup tanpa bayang-bayang. Tapi sebelum itu... saya ingin Oma tahu bahwa saya tidak pernah memanipulasi Noah. Saya
Ada jeda yang panjang, sebelum Jasmine akhirnya berkata, “Aku takut.”Noah menoleh, keningnya berkerut. “Takut kenapa?”Jasmine menatap matanya, lalu bergeser menjauh sedikit, masih memeluk dirinya sendiri. “Takut kalau semua ini cuma sebentar. Kalau pada akhirnya, kita akan hancur lagi. Takut kalau aku nggak cukup kuat untuk menghadapi semua ombak yang akan datang.”Noah melangkah mendekat. Ia berdiri di belakang Jasmine, lalu tanpa memaksakan, ia menyentuh pundaknya dengan lembut. “Aku juga takut,” ucapnya lirih. “Tapi kita bisa takut bersama. Kita bisa kuat bareng. Kita nggak harus pura-pura baik-baik saja.”Jasmine memejamkan mata. Sentuhan Noah masih sama—hangat, dalam, dan membingungkan. Ada bagian dari dirinya yang ingin menyerah, tapi ada juga bagian lain yang perlahan tumbuh lagi, seperti tunas kecil yang berani muncul di antara reruntuhan musim dingin.“Noah,” u
“Aku tahu apa yang Nenek lakukan,” katanya pelan tapi tajam. “Penyelidikan terhadap Jasmine. Orang yang Nenek kirim diam-diam. Nenek mengira aku tidak tahu?”Oma mengangkat alis. “Aku melakukan apa yang perlu aku lakukan. Untuk keluargaku. Untuk masa depanmu.”Noah menatap langsung ke mata neneknya. “Atau untuk mempertahankan kekuasaan dan kendali?”Pertanyaan itu menggantung, menampar ruang di antara mereka.“Jasmine adalah—” Noah terdiam sejenak, menahan gelombang emosi yang hampir meledak. “Dia orang yang aku pilih. Apa pun masa lalunya, aku akan tetap bersamanya. Karena dia membuatku merasa hidup kembali. Bukan seperti boneka pewaris yang selalu Nenek bentuk.”Oma menyipitkan mata, namun nadanya tetap tenang. “Kamu terlalu cepat percaya. Dunia ini lebih kejam daripada yang kamu kira, Noah.”“Tapi aku tahu siapa yang jahat di sini,” balas
Noah berdiri. “Siapa?”“Namanya… Melinda. Dia mengaku pernah mengenal ayah Tuan, dan Ibu Jasmine.”Jasmine dan Noah saling berpandangan. Dunia mereka kembali goyah. Jasmine bangkit perlahan, wajahnya tampak pucat.“Aku ikut,” ucap Jasmine cepat.Noah tak menolak. Mereka berjalan berdampingan menuju ruang tamu, dada mereka sama-sama dipenuhi pertanyaan yang belum sempat terjawab.Di ruang tamu, seorang wanita berusia sekitar empat puluhan duduk dengan anggun namun terlihat gugup. Rambutnya diikat sederhana, dan matanya terus mengamati setiap sudut ruangan, seolah sedang memanggil kenangan yang lama terkubur.Saat Noah dan Jasmine masuk, wanita itu berdiri cepat. “Kalian pasti… Noah dan Jasmine?”Mereka mengangguk. Noah melangkah maju. “Ibu Melinda, kami diberitahu bahwa Anda mengenal orang tua kami?”Melinda tersenyum lemah. “Bukan hanya mengenal. Ak