Noah mengangkat alisnya, mencoba memproses apa yang baru saja dikatakan Jasmine. Sementara itu, Zora terlihat seperti ingin berkata sesuatu, tetapi bibirnya hanya bergerak tanpa suara.
"Kamu bercanda, kan?" Noah akhirnya berkata, matanya menyipit dengan skeptis.
"Aku serius," jawab Jasmine tegas. "Aku tidak akan melangkah lebih jauh tanpa itu. Aku sudah menyerahkan terlalu banyak. Ini satu-satunya cara agar aku merasa ini benar, meskipun semuanya salah."
Zora memandang Jasmine dengan campuran rasa marah dan bingung. "Jasmine, ini bukan waktunya untuk menawar! Kamu tahu situasinya!"
"Aku tahu," balas Jasmine, suaranya dingin. "Tapi aku tidak akan melanggar prinsipku. Kamu ingin anak, aku ingin menjaga moralku. Ini keputusan final."
Noah menatap Zora, seolah meminta persetujuannya. Setelah beberapa detik hening yang panjang, mereka berada di sudut ruang yang jauh dari Jasmine.
Zora menghela napas dengan berat, lalu mengangguk kecil. "Baiklah," katanya dengan suara yang terpaksa. "Tapi jangan pikir aku akan, rela dengan hal ini."
"Aku masih belum sepakat, pikirkan dulu semua itu, sementara malam ini Jasmine menginap di rumah kita, agar bisa memikirkan semuanya," jawab Noah setelahnya dia meningalkan ruangan kantor.
***
Malam itu, Jasmine duduk memeluk lutut di pojok kamar tamu kediaman Noah dan Zora. Cahaya lampu temaram memantul di dinding, membentuk bayangan tubuhnya yang gemetar.
"Bagaimana aku bisa melakukan ini?" gumamnya pelan, nyaris tak terdengar.
Pikirannya berputar, berperang antara logika dan harga diri. Jasmine ingin menyelamatkan neneknya, tapi harga yang harus dibayarnya terlalu mahal.
Tiba-tiba, suara Zora, sepupunya, bergema lagi di benaknya.“Jasmine, kamu harus berpikir logis. Ini untuk nenekmu. Dia butuh pengobatan segera.”
“Tapi bagaimana dengan hidupku setelah ini?” Jasmine berbisik sendiri, matanya mulai memerah karena terlalu lama menangis.
Ketukan di pintu memecah keheningan. Jantung Jasmine berdebar kencang. Jasmine tahu siapa yang datang. Dengan tangan gemetar, dia membuka pintu.
Noah berdiri di sana, mengenakan setelan hitam rapi. Matanya yang dingin seperti pisau, menusuk langsung ke hati Jasmine.
“Sudah kamu pikirkan?” tanyanya tanpa basa-basi.
Jasmine menggigit bibir bawahnya. Jasmine tahu Noah tidak peduli pada perasaannya. Baginya, ini hanya sebuah transaksi bisnis.
“Bagaimana aku bisa mengambil keputusan seperti ini?” suaranya pecah. “Kamu bahkan tidak peduli apa yang terjadi padaku.”
Noah menatapnya tajam. “Aku tidak peduli pada permainan ini. Tapi aku peduli pada nama keluargaku. Jika kamu tidak mampu, jangan buang waktu kami.”
Kata-katanya menusuk hati Jasmine seperti belati. Jasmine merasa seperti seorang pion yang dipaksa bergerak di papan catur tanpa pilihan. Air matanya mulai menggenang, tetapi dia menahannya agar tidak jatuh.
“Sudah kukatakan, aku akan melakukannya,” ucap Jasmine akhirnya, suaranya lirih tapi penuh tekad. “Tapi syarat menikah secara agama, itu mutlak. Apa sudah kalian setujui?”
Noah terdiam. Matanya menyipit, seolah mencoba menilai sejauh mana kesungguhan Jasmine. Detik demi detik berlalu, membuat suasana semakin mencekam.
“Baik,” katanya akhirnya, dengan nada datar. “Tapi ingat, ini hanya formalitas. Jangan berharap lebih dari itu.”
Jasmine mengepalkan tangan di belakang punggungnya. Jasmine tahu Noah tidak berbicara dari hati, tapi setidaknya ini memberi sedikit ruang baginya untuk menjaga harga diri.
“Aku akan menandatangani kontrak besok,” ujarnya tegas. “Tapi aku ingin pengobatan nenekku dimulai segera setelah itu.”
Noah mengangguk. “Kami akan memastikan semua berjalan sesuai kesepakatan. Jangan berpikir untuk mundur, Jasmine. Kalau bukan karena Zora, aku enggan melakukan ini.”
Setelah Noah pergi, Jasmine menutup pintu dan bersandar di sana, tubuhnya melemas. Beban di pundaknya terasa semakin berat. Jasmine tahu apa yang akan terjadi setelah ini tidak akan mudah, tapi untuk neneknya, dia siap mengorbankan segalanya.
Malam itu, Jasmine memandang ke arah langit-langit kamar, berharap ada keajaiban yang bisa membebaskannya dari semua ini. Tapi yang ada hanyalah keheningan dan tangis yang terpendam, dalam hati.
"Aku hanya ingin melakukan yang terbaik," bisiknya. "Tapi kenapa harus seberat ini?"
Jasmine terbayang wajah neneknya yang pucat di ranjang rumah sakit, sosok yang selalu ada untuknya sejak kecil. Dia menarik napas panjang, mencoba menenangkan kegundahan hatinya.
Ketukan pintu memecah keheningan. Suara Zora terdengar lembut dari luar. “Jasmine, aku tahu ini berat. Tapi aku percaya kau cukup kuat. Makanlah dulu, ini sudah terlalu larut.”
Jasmine hanya diam, membiarkan air mata yang ditahannya jatuh. Jasmine tahu keputusan ini akan mengubah hidupnya selamanya. Namun, demi orang yang paling dia cintai, Jasmine tak punya pilihan lain.
“Besok semuanya dimulai,” gumamnya pelan. “Aku harus siap.”
Anak-anak itu menoleh, tertawa, lalu tetap berlari, seperti semua anak-anak yang percaya bahwa dunia ini cukup luas untuk menampung kebebasan mereka. Di antara ilalang dan bunga rumput yang bergoyang ringan diterpa angin, mereka tampak seperti cahaya kecil yang menari di dunia yang akhirnya bersedia memberi ruang bagi kebahagiaan.Di samping Jasmine, Noah duduk dengan tangan melingkar santai di bahu istrinya. Wajahnya tenang, tidak lagi menyimpan beban yang dulu begitu menggerogoti. Rambutnya sedikit lebih panjang sekarang, dengan gurat waktu di sekitar matanya, tapi senyumnya tetap sama—tulus dan hangat, seperti pagi yang tidak terburu-buru.“Mereka cepat sekali tumbuh, ya,” kata Noah, suaranya lembut namun sarat kebanggaan. Matanya mengikuti setiap langkah kecil yang penuh semangat di halaman itu.“Kadang aku merasa... kita terlalu beruntung bisa sampai di titik ini,” sahut Jasmine, menatap mereka dengan pandangan yang sulit dijel
Noah keluar dari dalam rumah, membawa selimut kecil yang mereka beli dulu—saat masih menanti kelahiran. Ia membentangkannya di bangku kayu panjang di teras, lalu duduk di samping Jasmine.“Masih ingat waktu pertama kita ke sini?” tanyanya pelan.Jasmine mengangguk, tersenyum samar. “Kita bahkan belum tahu bagaimana caranya memasak air dengan kompor kayu.”Noah tertawa kecil. “Dan kamu nyaris membakar tirai karena mau bikin teh.”“Tapi kamu tetap minum tehnya. Padahal rasanya...” Jasmine menggigit bibir, menahan tawa.“Kayak air rendaman kayu bakar,” Noah menyambung.Tawa mereka menyatu dengan suara dedaunan yang ditiup angin. Ringan. Seperti hati mereka sore itu.Sejenak, keheningan datang lagi. Tapi bukan yang canggung. Keheningan yang penuh penerimaan.“Jas,” ucap Noah pelan, “kamu tahu... kalau waktu bisa diulang, aku nggak akan memilih jalan
Siang itu, Noah dan Jasmine duduk bersama di ruang kerja Oma Dursila. Ruangan itu sunyi sejak terakhir kali Noah dan neneknya berdebat. Namun mereka datang bukan untuk membuka luka baru, melainkan untuk mencoba menyembuhkan yang lama.Tak lama kemudian, pintu terbuka. Oma Dursila masuk dengan langkah pelan, wajahnya tampak lebih tua dari sebelumnya. Matanya menatap mereka berdua bergantian, lalu ia duduk di kursi yang biasa ia tempati di balik meja.Tidak ada pembuka basa-basi. Hanya hening yang menegangkan. Hingga akhirnya Jasmine bersuara, “Oma, saya tahu... mungkin selama ini saya cuma duri di mata Oma. Tapi saya ingin jujur hari ini. Saya ingin kita semua berhenti saling menuduh.”Oma mengangkat alisnya. “Jujur tentang apa?”“Noah dan saya akan pergi dari rumah ini. Bukan karena takut. Tapi karena kami ingin hidup tanpa bayang-bayang. Tapi sebelum itu... saya ingin Oma tahu bahwa saya tidak pernah memanipulasi Noah. Saya
Ada jeda yang panjang, sebelum Jasmine akhirnya berkata, “Aku takut.”Noah menoleh, keningnya berkerut. “Takut kenapa?”Jasmine menatap matanya, lalu bergeser menjauh sedikit, masih memeluk dirinya sendiri. “Takut kalau semua ini cuma sebentar. Kalau pada akhirnya, kita akan hancur lagi. Takut kalau aku nggak cukup kuat untuk menghadapi semua ombak yang akan datang.”Noah melangkah mendekat. Ia berdiri di belakang Jasmine, lalu tanpa memaksakan, ia menyentuh pundaknya dengan lembut. “Aku juga takut,” ucapnya lirih. “Tapi kita bisa takut bersama. Kita bisa kuat bareng. Kita nggak harus pura-pura baik-baik saja.”Jasmine memejamkan mata. Sentuhan Noah masih sama—hangat, dalam, dan membingungkan. Ada bagian dari dirinya yang ingin menyerah, tapi ada juga bagian lain yang perlahan tumbuh lagi, seperti tunas kecil yang berani muncul di antara reruntuhan musim dingin.“Noah,” u
“Aku tahu apa yang Nenek lakukan,” katanya pelan tapi tajam. “Penyelidikan terhadap Jasmine. Orang yang Nenek kirim diam-diam. Nenek mengira aku tidak tahu?”Oma mengangkat alis. “Aku melakukan apa yang perlu aku lakukan. Untuk keluargaku. Untuk masa depanmu.”Noah menatap langsung ke mata neneknya. “Atau untuk mempertahankan kekuasaan dan kendali?”Pertanyaan itu menggantung, menampar ruang di antara mereka.“Jasmine adalah—” Noah terdiam sejenak, menahan gelombang emosi yang hampir meledak. “Dia orang yang aku pilih. Apa pun masa lalunya, aku akan tetap bersamanya. Karena dia membuatku merasa hidup kembali. Bukan seperti boneka pewaris yang selalu Nenek bentuk.”Oma menyipitkan mata, namun nadanya tetap tenang. “Kamu terlalu cepat percaya. Dunia ini lebih kejam daripada yang kamu kira, Noah.”“Tapi aku tahu siapa yang jahat di sini,” balas
Noah berdiri. “Siapa?”“Namanya… Melinda. Dia mengaku pernah mengenal ayah Tuan, dan Ibu Jasmine.”Jasmine dan Noah saling berpandangan. Dunia mereka kembali goyah. Jasmine bangkit perlahan, wajahnya tampak pucat.“Aku ikut,” ucap Jasmine cepat.Noah tak menolak. Mereka berjalan berdampingan menuju ruang tamu, dada mereka sama-sama dipenuhi pertanyaan yang belum sempat terjawab.Di ruang tamu, seorang wanita berusia sekitar empat puluhan duduk dengan anggun namun terlihat gugup. Rambutnya diikat sederhana, dan matanya terus mengamati setiap sudut ruangan, seolah sedang memanggil kenangan yang lama terkubur.Saat Noah dan Jasmine masuk, wanita itu berdiri cepat. “Kalian pasti… Noah dan Jasmine?”Mereka mengangguk. Noah melangkah maju. “Ibu Melinda, kami diberitahu bahwa Anda mengenal orang tua kami?”Melinda tersenyum lemah. “Bukan hanya mengenal. Ak