“Keluar, kamu tidur di kamar lain,” usir Dipta dengan nada suara dan ekspresi wajah yang begitu datar.
Kedua mata Kinara langsung melebar. “Apa maksudnya, Mas? Kita tidak tidur di dalam satu kamar?”
Dipta melengos. “Ini kamarku, kamu tidur di kamar lain,” ulang Dipta, masih dengan ekspresi yang sama.
Kinara melayangkan tatapan penuh tanya kepada suaminya. “Kita baru saja menikah, kenapa harus pisah kamar?”
“Karena aku tidak mau tidur denganmu,” jawab Dipta, dia segera meraih gagang koper berukuran dua puluh delapan inci milik Kinara dan membawanya keluar dari kamar utama.
Kinara yang melihat pergerakan Dipta lantas mengikutinya dengan tergesa-gesa, langkah lebar pria itu mengarah pada salah satu kamar yang ada di apartemen tersebut. Dipta membuka pintunya lebar-lebar dan menaruh koper Kinara di sana.
Setelah itu dia berbalik dan menemukan Kinara yang sudah berdiri di dekatnya. “Mulai dari sekarang, ini kamarmu.”
Pandangan Kinara mulai memperhatikan kamar itu, sebenarnya masih sangat layak untuk digunakan, tidak kalah mewah dengan kamar utama tadi, hanya ukurannya saja yang sedikit lebih kecil.
“Mas, kamu serius mau aku tidur di sini?” tanya Kinara, dia memegang lengan Dipta dengan lancang.
Pria itu terlihat risi dan melepaskan pegangan tangan istrinya. “Ya,” jawabnya, singkat sekali.
“Tapi kenapa? Kita sudah sah menjadi suami istri, ini juga malam pertama kita.” Kinara terlihat masih tidak terima dengan sikap suaminya yang mendadak aneh, padahal sebelum mereka menikah Dipta tak pernah memperlakukan Kinara seperti ini.
Dipta berdecak pelan, lalu menatap istrinya dengan tatapan tidak berminat. “Apa yang kamu harapkan? Kita menikah tanpa cinta, harusnya kamu sadar akan hal itu.”
Kinara terdiam, dia memandang wajah tampan suaminya lamat-lamat. Benar, sejak awal menerima permintaan dari kedua orangtua Dipta, Kinara seharusnya sudah tahu bahwa pria itu tidak mencintainya.
Mungkin Kinara yang terlalu naif, dia kira Dipta yang tidak banyak protes dan menuruti kemauan orangtuanya memang menaruh ketertarikan kepada Kinara sampai tak berniat menolak pernikahan yang dirancang kedua orangtuanya.
“Lalu kenapa kamu menikahi aku kalau pada akhirnya kamu bersikap seperti ini?” tanya Kinara, kedua matanya mulai berkaca-kaca, hancur sudah harapannya untuk melewati malam yang panjang dengan pria yang dia cintai sejak lama.
Senyuman miring muncul di wajah Dipta. “Menurutmu kenapa?”
Kepala Kinara menggeleng, dia berusaha untuk menahan air matanya agar tidak luruh, meskipun tahu jika sekali saja dia berkedip, air mata kesedihan itu akan menelusuri pipinya.
“Tentu saja karena permintaan orangtuaku. Jangan banyak berkhayal Kinara! Kalau aku memang menyukaimu dan berniat menikah denganmu, sudah aku lakukan itu sejak awal, bahkan tanpa perlu ada desakkan dari orangtuaku,” jelas Dipta, benar-benar jujur tanpa memedulikan perasaan Kinara. Setelah mengatakan itu dia pergi begitu saja meninggalkan Kinara yang terpaku di tempat.
Wanita itu membiarkan air matanya mengalir, kebahagiaan yang dia sangka akan datang ke dalam hidupnya rupanya hanyalah angan-angan semu.
Kinara mulai menyadari bahwa menikah dengan Dipta adalah sebuah keputusan bodoh, dia terlalu berharap pria itu mampu untuk membalas perasaannya dalam waktu yang singkat.
Rasanya baru kemarin dia merasakan ada ribuan kupu-kupu yang berterbangan di dalam perutnya, saat itu kedua orangtua Dipta menemui dirinya yang hidup sebatang kara, mereka meminta Kinara yang sudah mereka biayai pendidikannya untuk menjadi istri dari anak mereka.
Awalnya Kinara tidak tahu mengapa Inggit dan Wiratama memilih Kinara yang hanya merupakan wanita biasa untuk menjadi menantu mereka, padahal mereka berasal dari keluarga kaya raya yang bisa saja memasang standar yang tinggi untuk calon istri anaknya.
“Kami sudah berjanji untuk menjagamu Kinara, dan ini kesempatan yang paling tepat untuk menepati janji kami kepada mendiang orangtuamu,” jelas Inggit kala itu.
Sejak awal, Kinara sudah tahu bahwa Inggit dan Wiratama mengalami kecelakaan bersamaan dengan kedua orangtuanya. mereka berdua yang berhasil selamat pada akhirnya merasa bersalah dan merasa bertanggung jawab atas Kinara.
Itulah sebabnya sepasang suami istri itu membiayai pendidikannya hingga Kinara lulus Sarjana, lalu juga memberikan kesempatan kepadanya untuk bekerja di perusahaan milik Dipta, yaitu Pratama Corporation yang bergerak di bidang teknologi.
Seharusnya Kinara menyadari bahwa pernikahan ini hanya terlaksana karena kedua orangtua Dipta merasa bertanggung jawab atas dirinya, bukan karena Dipta yang menaruh ketertarikan terhadap dirinya.
Bodohnya Kinara, melihat Dipta yang memperlakukannya dengan baik, dia kira pria itu juga punya perasaan lebih untuknya, atau setidaknya menaruh sedikit saja ketertarikan kepada Kinara.
“Kenapa kamu jadi berubah begini, Mas?” tanya Kinara, padahal tahu Dipta tak akan mendengar atau menjawabnya karena sudah sejak tadi kembali ke kamar utama.
Kinara mulai terisak, ada rasa sesak yang muncul di dalam dadanya. Dia merasa kembali melihat benteng tinggi di antara dirinya dan Dipta, membuat jarak yang terasa nyata di antara mereka berdua seperti saat sebelum rencana pernikahan itu muncul.
Kinara menyeka air matanya dengan gerakan kasar. “Aku akan buat kamu mencintaiku,” katanya dengan tekad yang kuat.
"Selamat pagi, Suamiku!" seru Kinara, dilihatnya Dipta melintasi dapur dan bergerak menuju mesin kopi, pria itu mengabaikan Kinara yang sudah begitu heboh di pagi hari ini. "Mas, aku buatkan sarapan yang enak pagi ini,” lanjut Kinara. Sejak kejadian kemarin, Kinara telah berjanji pada dirinya sendiri untuk tidak menunjukkan kesedihannya pada Dipta. Mulut Dipta masih bungkam, pria itu sibuk sendiri dengan mesin kopinya. Merasa tetap diabaikan, Kinara mulai memanggil, "Mas?" Pria itu langsung berdecak. "Apa?" "Dari tadi kamu tidak mendengar aku sedang berbicara dengan kamu?" Tatapan tajam milik Dipta kini mengarah kepada Kinara yang sedang memasak nasi goreng spesial andalannya. "Tidak penting," jawab Dipta sambil meraih cangkir berisi kopi racikannya dan pergi begitu saja meninggalkan dapur, membuat Kinara mematung di tempat. Kinara hanya bisa menatap nasi goreng buatannya dengan hampa. Dipta memilih untuk duduk di ruang tamu, menikmati secangkir kopi sambil memeriksa sesuatu d
Jari jemari Kinara mengetuk meja panjang yang dia tempati dengan irama tidak menentu, tatapan matanya kosong meskipun mengarah pada layar laptop yang masih menyala. Suara berisik rekan kerjanya bahkan tak mampu membuat lamunan Kinara buyar, wanita itu terlalu asik dengan isi kepalanya yang hanya berisikan soal Dipta. "Kin, data hasil penjualan minggu lalu udah diinput, 'kan?" Mela—sahabat sekaligus rekan kerjanya mulai bertanya. Merasa tak kunjung mendengar jawaban dari Kinara, Mela lantas menoleh dan memperhatikan sahabatnya itu yang malah melamun. "Kin?" Wanita yang hari ini mengenakan kemeja berwarna tosca itu terkesiap, dia menoleh dan bersitatap dengan Mela yang menatapnya penuh rasa curiga. "Kenapa, Mel?" Mela berdecak. "Ada apa denganmu, Kin? Sedih karena tiba-tiba tidak jadi cuti?" Kepala Kinara menggeleng. "Bukan, memang aku yang mau berangkat bekerja hari ini." "Aku sebenarnya curiga, kamu bilang ada acara di panti sejak kemarin, dan itu mengharuskan kamu untuk cuti. T
Pada malam harinya, Kinara tampil memukau untuk melancarkan aksinya agar Dipta mau sedikit melunak, dia mengenakan pakaian minim yang diyakini bisa mengundang keinginan terpendam pria itu. Meskipun merasa tidak terbiasa, Kinara berusaha melakukannya untuk memperbaiki hubungan mereka yang terkesan dingin dan datar, Kinara tak bisa hidup seperti ini untuk waktu yang lama, dia harus membuat perubahan besar. Sudah berkali-kali wanita itu melirik jam dinding yang terus berdetak, menunjukkan bahwa waktu sudah semakin malam. Dia berdecak keras dan mulai menghubungi Dipta, masa bodoh jika pria itu akan marah karena Kinara lancang menghubunginya. Panggilan itu tidak kunjung dijawab, sampai Kinara berkali-kali menghubungi Dipta tanpa mau menyerah. Akhirnya pada percobaan kelima, panggilan tersebut baru dijawab. “Halo, Kinara?” “Ya, ini siapa?” Suara itu terdengar asing di telinga Kinara, terlebih suara berisik di seberang telepon membuat Kinara tak bisa mendengarnya dengan jelas. “Aku Gavi
Aroma makanan menguar di area meja makan yang letaknya sejajar dengan ruang tamu, ruangan itu memang menyatu tanpa sekat, sehingga Dipta yang baru saja terbangun dari tidurnya kini mampu menangkap pergerakan Kinara yang terlihat anggun dengan setelan kerja serta apron di tubuhnya. Pria itu mengerjap sambil terduduk di atas sofa, beberapa kali dia memfokuskan pandangannya ke arah Kinara yang belum menyadari bahwa suaminya sudah terbangun sejak tadi. Gadis itu cantik sekali, namun belum mampu membuat Dipta merasa tertarik. Jika dilihat lebih lama, Kinara punya tubuh yang mungil, kulitnya putih, hidungnya bangir dengan bibir yang tipis, bagian paling indah adalah kedua matanya yang berlensa hazel alami, semua yang ada pada dirinya seharusnya lebih dari cukup untuk membuat Dipta jatuh hati, sayangnya pria itu belum bisa melakukannya karena masih terjebak dengan masa lalunya. Ketika merasa ada yang memperhatikannya sejak tadi, Kinara mengangkat pandangan dan bersitatap dengan Dipta yang
“Mungkin kamu salah mendengar, tidak mungkin aku menyebutkan nama wanita lain,” elak Dipta. Kinara mendelik, lalu tersenyum getir. “Iya, mungkin aku salah mendengar.” Dahi Dipta berkerut dalam mendengar nada sinis dari kalimat istrinya, dia masih bergeming ketika Kinara meraih tas usangnya dan mulai beranjak. “Aku berangkat lebih dulu,” pamit Kinara, raut wajahnya terlihat mendung. Sekarang Kinara merasa tak perlu menyembunyikan kekecewaannya kepada Dipta, baginya wajar saja jika seorang istri marah ketika mendengar suaminya menyebutkan nama wanita lain ketika sedang mabuk. “Kinara?” Langkah wanita itu terhenti, lalu dia berbalik dan membalas tatapan Dipta. Satu hal yang Kinara harapkan sekarang adalah penjelasan Dipta tanpa perlu dia mendesaknya untuk bicara. “Jangan lupa penuhi undangan makan malam dari orangtuaku, bilang kepada mereka kalau aku tidak bisa datang karena banyak pekerjaan,” ujar Dipta, setelah mengatakan itu dia berlalu begitu saja menuju ke kamar utama. Tentu
Kinara merasa tubuhnya lemas setelah pintu pantry kembali tertutup, kini hanya tinggal dia sendiri di sana dengan kedua pipi yang memerah bak kepiting rebus. Baru disentuh seperti itu saja dia sudah merasa begitu lemas, apalagi jika diberi sentuhan yang lebih dari itu. Secara perlahan Kinara menyentuh bibirnya dan tersenyum senang, selama ini dia tidak pernah merasakan hal semacam itu karena Kinara masihlah seorang wanita yang tidak tersentuh, selama ini dia menjaga dirinya dengan sangat baik. “Terlalu singkat,” gumam Kinara, lalu dia melirik secangkir kopi yang masih tersisa setengah. Meskipun tahu kopi itu sudah dingin, dia menyesapnya sampai tandas dan membawanya menuju wastafel, mulutnya bersenandung pelan, tampak jelas bahwa dia sedang merasa senang. Setelah itu, Kinara berjalan keluar dari ruang pantry, dia berusaha bersikap tenang dan kembali menghampiri Mela. “Lama banget perginya.” Kinara meraih catatan kecil dan mulai memperhatikan isinya. “Tadi sekalian minum kopi di s
“Berhenti mencari tahu soal Maura,” perintah Inggit. Dipta mengalihkan pandangan ke arah lain, seperti sengaja menghindari tatapan mata ibunya yang mengintimidasi. “Aku sudah berhenti mencari dia sejak menikahi Kinara,” katanya. Mata Inggit menyipit. “Benarkah yang kamu katakan itu?” Kepala Dipta mengangguk, lalu dia melirik Kinara yang sepertinya dihantui rasa penasaran akan topik apa yang sedang dibicarakan Dipta dan Inggit di halaman belakang rumah. “Apa yang Ibu khawatirkan? Aku tidak punya hubungan lagi dengan Maura.” Dada Dipta terasa sesak hanya dengan mendengar dan menyebutkan nama mantan kekasihnya itu. “Ibu tahu seberapa gilanya kamu mencintai wanita itu di masa lalu, itu sebabnya Ibu khawatir kamu akan menyakiti Kinara karena kamu masih mencintai Maura,” ungkap Inggit, tanpa menutupi apa pun. Tatapan mata Dipta menerawang ke arah halaman belakang rumah yang hanya disinari lampu taman. “Tak ada yang perlu Ibu khawatirkan, selama ini aku selalu menjadi anak yang penurut.
“Kenapa kamu bicara sembarangan seperti tadi?” todong Dipta begitu Kinara menutup pintu kamar. Dibandingkan memilih untuk menjawab pertanyaan suaminya, Kinara lebih tertarik untuk memperhatikan isi kamar Dipta yang katanya sudah bertahun-tahun tidak dihuni pria itu. “Kinara!” Ingin rasanya Kinara berdecak keras mendengar nada suara Dipta yang meninggi. “Memangnya kenapa? Apa aku gak boleh punya harapan untuk punya anak bersama kamu?” Langkah Kinara semakin mendekat, dia berdiri di hadapan Dipta dengan kedua mata yang berubah sendu. “Salah kalau aku ingin punya anak?” tanya Kinara lagi. “Tentu saja salah kalau kamu mengharapkan kehadiran anak dari benihku!” Kepala Kinara menggeleng. “Gak ada yang salah. Kamu suamiku, aku istrimu. Bukankah wajar kalau kita berdua punya anak?” Tak ada jawaban, yang Kinara temukan selanjutnya hanyalah tatapan mata Dipta yang terlihat tajam dan menusuk. Selang beberapa saat, Kinara mulai bosan mengadu ketajaman lewat kedua matanya, dia melengos dan