Share

Bab 2. Pajangan Cantik

"Selamat pagi, Suamiku!" seru Kinara, dilihatnya Dipta melintasi dapur dan bergerak menuju mesin kopi, pria itu mengabaikan Kinara yang sudah begitu heboh di pagi hari ini.

"Mas, aku buatkan sarapan yang enak pagi ini,” lanjut Kinara.

Sejak kejadian kemarin, Kinara telah berjanji pada dirinya sendiri untuk tidak menunjukkan kesedihannya pada Dipta.

Mulut Dipta masih bungkam, pria itu sibuk sendiri dengan mesin kopinya.

Merasa tetap diabaikan, Kinara mulai memanggil, "Mas?"

Pria itu langsung berdecak. "Apa?"

"Dari tadi kamu tidak mendengar aku sedang berbicara dengan kamu?"

Tatapan tajam milik Dipta kini mengarah kepada Kinara yang sedang memasak nasi goreng spesial andalannya.

"Tidak penting," jawab Dipta sambil meraih cangkir berisi kopi racikannya dan pergi begitu saja meninggalkan dapur, membuat Kinara mematung di tempat. Kinara hanya bisa menatap nasi goreng buatannya dengan hampa.

Dipta memilih untuk duduk di ruang tamu, menikmati secangkir kopi sambil memeriksa sesuatu di layar tabletnya.

Tidak berselang lama, Kinara muncul di hadapan Dipta setelah melepaskan apronnya dan duduk di hadapan suamiya, mata berlensa hazel yang terlihat alami itu menatap suaminya dengan intens, meminta perhatian Dipta.

Merasa kesal dengan tatapan Kinara, Dipta menaruh tabletnya ke atas meja lalu menyesap kopinya untuk terakhir kalinya.

Dia beranjak sambil mengeluarkan dompet, membukanya, dan menyerahkan sebuah kartu ATM platinum, serta beberapa uang tunai berwarna merah ke hadapan Kinara. “Gunakan sesukamu dan jangan menggangguku."

Kinara tercengang, lalu berdiri kala suaminya bergerak untuk meninggalkan apartemen mewah itu. "Mas?"

Langkah Dipta terhenti, dia menoleh dengan malas. "Apa lagi?"

"Serius kamu menikahi aku cuma untuk menjadi seperti ini?" tanya Kinara.

Dipta mendelik. "Ya, aku menikahimu untuk aku jadikan pajangan cantik di sini.”

Kinara menghela nafas dengan berat, lalu menghembuskannya dengan kasar. "Setidaknya perlakukan aku sebagai istri meskipun kamu tidak mau menyentuhku."

Mata Dipta melirik ke arah kartu ATM platinum serta uang yang masih tersimpan di atas meja ruang tamu. "Aku sudah melakukannya beberapa detik yang lalu."

"Ini bukan soal materi!"

"Lalu apa? Jangan menuntut banyak hal kepadaku karena aku tidak tertarik denganmu."

Kinara mulai berkacak pinggang, merasa kesal dengan sikap Dipta. "Setidaknya hargai kerja kerasku, aku sudah memasak sarapan untuk kamu, tapi kamu malah pergi begitu saja."

"Aku tidak suka makan makanan berat di pagi hari."

Ekspresi di wajah Kinara mulai melunak, merasa baru mengetahui informasi yang terlihat sederhana namun ternyata lumayan penting. "Kalau begitu bilang, beritahu aku segala hal tentang kamu."

Selama beberapa saat, pria itu terdiam. Lalu dia mendengkus dan kembali berbalik. "Aku mau ke kantor. Ingat, jangan sampai ada yang tahu soal hubungan kita," katanya, memperingati Kinara.

“Ke kantor? Bukankah seharusnya kamu cuti selama beberapa hari ke depan?” tanya Kinara.

Dipta berdecak. “Aku sibuk dan aku tidak mau membuang waktuku untuk cuti, apalagi menemanimu di sini,” jawabnya.

“Tapi kita baru saja menikah, akan sangat aneh kalau kamu tiba-tiba muncul di kantor pagi ini. Ayah dan Ibumu pasti akan mencurigai kita berdua,” ujar Kinara, berusaha menahan kepergian Dipta.

Dipta menoleh ke belakang dan menatap wajah Kinara dengan tajam. “Kamu tidak perlu repot memikirkan soal itu. Biar itu jadi urusanku.”

Kinara merasa sangat kesal, dia mengikuti langkah Dipta menuju pintu apartemen. “Lalu aku harus melakukan apa saat kamu pergi bekerja?”

“Terserah, aku tidak peduli tentang apa pun yang akan kamu lakukan,” jawab Dipta, santai sekali.

“Mas Dipta,” lirih Kinara, merasa putus asa.

Tanpa memedulikan Kinara yang berdiri di belakangnya, Dipta keluar dari apartemen itu, terlihat tidak bersedia untuk mengurungkan niatnya.

Setelah kepergian Dipta, Kinara berjalan lesu menuju meja sofa, duduk sendirian sambil memperhatikan apa yang Dipta beri beberapa menit yang lalu. Kinara menginginkan cinta dari seorang Dipta, tapi itu terasa begitu mustahil setelah melihat dan merasakan sendiri bagaimana sikap Dipta terhadapnya.

Jika dipikir-pikir lagi, banyak hal yang Kinara korbankan saat menikah dengan Dipta. Cita-citanya untuk menggelar pernikahan impian kandas begitu saja karena mereka harus menikah secara diam-diam, alasannya adalah untuk melindungi Kinara dari pesaing bisnis Dipta. Katanya mereka sering berbuat macam-macam sampai berani melukai hingga membunuh. Kinara mempercayai itu karena mendengarnya dari mulut Inggit dan Wiratama.

Kedua, dia harus rela tidak berbulan madu karena Dipta menolak itu. Dipta lebih memilih untuk bekerja ketika seharusnya mereka cuti dan menghabiskan waktu untuk berduaan seharian.

Sambil menghela nafas lelah, Kinara mulai beranjak dan mengambil apa yang Dipta beri tadi. “Uang yang selalu menjadi sumber masalah di kehidupanku, kini seakan tak berharga ketika aku hanya menginginkan cinta dari Mas Dipta.”

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status