"Selamat pagi, Suamiku!" seru Kinara, dilihatnya Dipta melintasi dapur dan bergerak menuju mesin kopi, pria itu mengabaikan Kinara yang sudah begitu heboh di pagi hari ini.
"Mas, aku buatkan sarapan yang enak pagi ini,” lanjut Kinara.
Sejak kejadian kemarin, Kinara telah berjanji pada dirinya sendiri untuk tidak menunjukkan kesedihannya pada Dipta.
Mulut Dipta masih bungkam, pria itu sibuk sendiri dengan mesin kopinya.
Merasa tetap diabaikan, Kinara mulai memanggil, "Mas?"
Pria itu langsung berdecak. "Apa?"
"Dari tadi kamu tidak mendengar aku sedang berbicara dengan kamu?"
Tatapan tajam milik Dipta kini mengarah kepada Kinara yang sedang memasak nasi goreng spesial andalannya.
"Tidak penting," jawab Dipta sambil meraih cangkir berisi kopi racikannya dan pergi begitu saja meninggalkan dapur, membuat Kinara mematung di tempat. Kinara hanya bisa menatap nasi goreng buatannya dengan hampa.
Dipta memilih untuk duduk di ruang tamu, menikmati secangkir kopi sambil memeriksa sesuatu di layar tabletnya.
Tidak berselang lama, Kinara muncul di hadapan Dipta setelah melepaskan apronnya dan duduk di hadapan suamiya, mata berlensa hazel yang terlihat alami itu menatap suaminya dengan intens, meminta perhatian Dipta.
Merasa kesal dengan tatapan Kinara, Dipta menaruh tabletnya ke atas meja lalu menyesap kopinya untuk terakhir kalinya.
Dia beranjak sambil mengeluarkan dompet, membukanya, dan menyerahkan sebuah kartu ATM platinum, serta beberapa uang tunai berwarna merah ke hadapan Kinara. “Gunakan sesukamu dan jangan menggangguku."
Kinara tercengang, lalu berdiri kala suaminya bergerak untuk meninggalkan apartemen mewah itu. "Mas?"
Langkah Dipta terhenti, dia menoleh dengan malas. "Apa lagi?"
"Serius kamu menikahi aku cuma untuk menjadi seperti ini?" tanya Kinara.
Dipta mendelik. "Ya, aku menikahimu untuk aku jadikan pajangan cantik di sini.”
Kinara menghela nafas dengan berat, lalu menghembuskannya dengan kasar. "Setidaknya perlakukan aku sebagai istri meskipun kamu tidak mau menyentuhku."
Mata Dipta melirik ke arah kartu ATM platinum serta uang yang masih tersimpan di atas meja ruang tamu. "Aku sudah melakukannya beberapa detik yang lalu."
"Ini bukan soal materi!"
"Lalu apa? Jangan menuntut banyak hal kepadaku karena aku tidak tertarik denganmu."
Kinara mulai berkacak pinggang, merasa kesal dengan sikap Dipta. "Setidaknya hargai kerja kerasku, aku sudah memasak sarapan untuk kamu, tapi kamu malah pergi begitu saja."
"Aku tidak suka makan makanan berat di pagi hari."
Ekspresi di wajah Kinara mulai melunak, merasa baru mengetahui informasi yang terlihat sederhana namun ternyata lumayan penting. "Kalau begitu bilang, beritahu aku segala hal tentang kamu."
Selama beberapa saat, pria itu terdiam. Lalu dia mendengkus dan kembali berbalik. "Aku mau ke kantor. Ingat, jangan sampai ada yang tahu soal hubungan kita," katanya, memperingati Kinara.
“Ke kantor? Bukankah seharusnya kamu cuti selama beberapa hari ke depan?” tanya Kinara.
Dipta berdecak. “Aku sibuk dan aku tidak mau membuang waktuku untuk cuti, apalagi menemanimu di sini,” jawabnya.
“Tapi kita baru saja menikah, akan sangat aneh kalau kamu tiba-tiba muncul di kantor pagi ini. Ayah dan Ibumu pasti akan mencurigai kita berdua,” ujar Kinara, berusaha menahan kepergian Dipta.
Dipta menoleh ke belakang dan menatap wajah Kinara dengan tajam. “Kamu tidak perlu repot memikirkan soal itu. Biar itu jadi urusanku.”
Kinara merasa sangat kesal, dia mengikuti langkah Dipta menuju pintu apartemen. “Lalu aku harus melakukan apa saat kamu pergi bekerja?”
“Terserah, aku tidak peduli tentang apa pun yang akan kamu lakukan,” jawab Dipta, santai sekali.
“Mas Dipta,” lirih Kinara, merasa putus asa.
Tanpa memedulikan Kinara yang berdiri di belakangnya, Dipta keluar dari apartemen itu, terlihat tidak bersedia untuk mengurungkan niatnya.
Setelah kepergian Dipta, Kinara berjalan lesu menuju meja sofa, duduk sendirian sambil memperhatikan apa yang Dipta beri beberapa menit yang lalu. Kinara menginginkan cinta dari seorang Dipta, tapi itu terasa begitu mustahil setelah melihat dan merasakan sendiri bagaimana sikap Dipta terhadapnya.Jika dipikir-pikir lagi, banyak hal yang Kinara korbankan saat menikah dengan Dipta. Cita-citanya untuk menggelar pernikahan impian kandas begitu saja karena mereka harus menikah secara diam-diam, alasannya adalah untuk melindungi Kinara dari pesaing bisnis Dipta. Katanya mereka sering berbuat macam-macam sampai berani melukai hingga membunuh. Kinara mempercayai itu karena mendengarnya dari mulut Inggit dan Wiratama.
Kedua, dia harus rela tidak berbulan madu karena Dipta menolak itu. Dipta lebih memilih untuk bekerja ketika seharusnya mereka cuti dan menghabiskan waktu untuk berduaan seharian.
Sambil menghela nafas lelah, Kinara mulai beranjak dan mengambil apa yang Dipta beri tadi. “Uang yang selalu menjadi sumber masalah di kehidupanku, kini seakan tak berharga ketika aku hanya menginginkan cinta dari Mas Dipta.”
Jari jemari Kinara mengetuk meja panjang yang dia tempati dengan irama tidak menentu, tatapan matanya kosong meskipun mengarah pada layar laptop yang masih menyala. Suara berisik rekan kerjanya bahkan tak mampu membuat lamunan Kinara buyar, wanita itu terlalu asik dengan isi kepalanya yang hanya berisikan soal Dipta. "Kin, data hasil penjualan minggu lalu udah diinput, 'kan?" Mela—sahabat sekaligus rekan kerjanya mulai bertanya. Merasa tak kunjung mendengar jawaban dari Kinara, Mela lantas menoleh dan memperhatikan sahabatnya itu yang malah melamun. "Kin?" Wanita yang hari ini mengenakan kemeja berwarna tosca itu terkesiap, dia menoleh dan bersitatap dengan Mela yang menatapnya penuh rasa curiga. "Kenapa, Mel?" Mela berdecak. "Ada apa denganmu, Kin? Sedih karena tiba-tiba tidak jadi cuti?" Kepala Kinara menggeleng. "Bukan, memang aku yang mau berangkat bekerja hari ini." "Aku sebenarnya curiga, kamu bilang ada acara di panti sejak kemarin, dan itu mengharuskan kamu untuk cuti. T
Pada malam harinya, Kinara tampil memukau untuk melancarkan aksinya agar Dipta mau sedikit melunak, dia mengenakan pakaian minim yang diyakini bisa mengundang keinginan terpendam pria itu. Meskipun merasa tidak terbiasa, Kinara berusaha melakukannya untuk memperbaiki hubungan mereka yang terkesan dingin dan datar, Kinara tak bisa hidup seperti ini untuk waktu yang lama, dia harus membuat perubahan besar. Sudah berkali-kali wanita itu melirik jam dinding yang terus berdetak, menunjukkan bahwa waktu sudah semakin malam. Dia berdecak keras dan mulai menghubungi Dipta, masa bodoh jika pria itu akan marah karena Kinara lancang menghubunginya. Panggilan itu tidak kunjung dijawab, sampai Kinara berkali-kali menghubungi Dipta tanpa mau menyerah. Akhirnya pada percobaan kelima, panggilan tersebut baru dijawab. “Halo, Kinara?” “Ya, ini siapa?” Suara itu terdengar asing di telinga Kinara, terlebih suara berisik di seberang telepon membuat Kinara tak bisa mendengarnya dengan jelas. “Aku Gavi
Aroma makanan menguar di area meja makan yang letaknya sejajar dengan ruang tamu, ruangan itu memang menyatu tanpa sekat, sehingga Dipta yang baru saja terbangun dari tidurnya kini mampu menangkap pergerakan Kinara yang terlihat anggun dengan setelan kerja serta apron di tubuhnya. Pria itu mengerjap sambil terduduk di atas sofa, beberapa kali dia memfokuskan pandangannya ke arah Kinara yang belum menyadari bahwa suaminya sudah terbangun sejak tadi. Gadis itu cantik sekali, namun belum mampu membuat Dipta merasa tertarik. Jika dilihat lebih lama, Kinara punya tubuh yang mungil, kulitnya putih, hidungnya bangir dengan bibir yang tipis, bagian paling indah adalah kedua matanya yang berlensa hazel alami, semua yang ada pada dirinya seharusnya lebih dari cukup untuk membuat Dipta jatuh hati, sayangnya pria itu belum bisa melakukannya karena masih terjebak dengan masa lalunya. Ketika merasa ada yang memperhatikannya sejak tadi, Kinara mengangkat pandangan dan bersitatap dengan Dipta yang
“Mungkin kamu salah mendengar, tidak mungkin aku menyebutkan nama wanita lain,” elak Dipta. Kinara mendelik, lalu tersenyum getir. “Iya, mungkin aku salah mendengar.” Dahi Dipta berkerut dalam mendengar nada sinis dari kalimat istrinya, dia masih bergeming ketika Kinara meraih tas usangnya dan mulai beranjak. “Aku berangkat lebih dulu,” pamit Kinara, raut wajahnya terlihat mendung. Sekarang Kinara merasa tak perlu menyembunyikan kekecewaannya kepada Dipta, baginya wajar saja jika seorang istri marah ketika mendengar suaminya menyebutkan nama wanita lain ketika sedang mabuk. “Kinara?” Langkah wanita itu terhenti, lalu dia berbalik dan membalas tatapan Dipta. Satu hal yang Kinara harapkan sekarang adalah penjelasan Dipta tanpa perlu dia mendesaknya untuk bicara. “Jangan lupa penuhi undangan makan malam dari orangtuaku, bilang kepada mereka kalau aku tidak bisa datang karena banyak pekerjaan,” ujar Dipta, setelah mengatakan itu dia berlalu begitu saja menuju ke kamar utama. Tentu
Kinara merasa tubuhnya lemas setelah pintu pantry kembali tertutup, kini hanya tinggal dia sendiri di sana dengan kedua pipi yang memerah bak kepiting rebus. Baru disentuh seperti itu saja dia sudah merasa begitu lemas, apalagi jika diberi sentuhan yang lebih dari itu. Secara perlahan Kinara menyentuh bibirnya dan tersenyum senang, selama ini dia tidak pernah merasakan hal semacam itu karena Kinara masihlah seorang wanita yang tidak tersentuh, selama ini dia menjaga dirinya dengan sangat baik. “Terlalu singkat,” gumam Kinara, lalu dia melirik secangkir kopi yang masih tersisa setengah. Meskipun tahu kopi itu sudah dingin, dia menyesapnya sampai tandas dan membawanya menuju wastafel, mulutnya bersenandung pelan, tampak jelas bahwa dia sedang merasa senang. Setelah itu, Kinara berjalan keluar dari ruang pantry, dia berusaha bersikap tenang dan kembali menghampiri Mela. “Lama banget perginya.” Kinara meraih catatan kecil dan mulai memperhatikan isinya. “Tadi sekalian minum kopi di s
“Berhenti mencari tahu soal Maura,” perintah Inggit. Dipta mengalihkan pandangan ke arah lain, seperti sengaja menghindari tatapan mata ibunya yang mengintimidasi. “Aku sudah berhenti mencari dia sejak menikahi Kinara,” katanya. Mata Inggit menyipit. “Benarkah yang kamu katakan itu?” Kepala Dipta mengangguk, lalu dia melirik Kinara yang sepertinya dihantui rasa penasaran akan topik apa yang sedang dibicarakan Dipta dan Inggit di halaman belakang rumah. “Apa yang Ibu khawatirkan? Aku tidak punya hubungan lagi dengan Maura.” Dada Dipta terasa sesak hanya dengan mendengar dan menyebutkan nama mantan kekasihnya itu. “Ibu tahu seberapa gilanya kamu mencintai wanita itu di masa lalu, itu sebabnya Ibu khawatir kamu akan menyakiti Kinara karena kamu masih mencintai Maura,” ungkap Inggit, tanpa menutupi apa pun. Tatapan mata Dipta menerawang ke arah halaman belakang rumah yang hanya disinari lampu taman. “Tak ada yang perlu Ibu khawatirkan, selama ini aku selalu menjadi anak yang penurut.
“Kenapa kamu bicara sembarangan seperti tadi?” todong Dipta begitu Kinara menutup pintu kamar. Dibandingkan memilih untuk menjawab pertanyaan suaminya, Kinara lebih tertarik untuk memperhatikan isi kamar Dipta yang katanya sudah bertahun-tahun tidak dihuni pria itu. “Kinara!” Ingin rasanya Kinara berdecak keras mendengar nada suara Dipta yang meninggi. “Memangnya kenapa? Apa aku gak boleh punya harapan untuk punya anak bersama kamu?” Langkah Kinara semakin mendekat, dia berdiri di hadapan Dipta dengan kedua mata yang berubah sendu. “Salah kalau aku ingin punya anak?” tanya Kinara lagi. “Tentu saja salah kalau kamu mengharapkan kehadiran anak dari benihku!” Kepala Kinara menggeleng. “Gak ada yang salah. Kamu suamiku, aku istrimu. Bukankah wajar kalau kita berdua punya anak?” Tak ada jawaban, yang Kinara temukan selanjutnya hanyalah tatapan mata Dipta yang terlihat tajam dan menusuk. Selang beberapa saat, Kinara mulai bosan mengadu ketajaman lewat kedua matanya, dia melengos dan
“Wajar kalau aku payah, aku gak pernah berciuman!” Dipta mendelik, tanpa Kinara memberitahunya, dia juga sudah bisa menebak sejauh mana kemampuan wanita itu soal sentuhan fisik, terlihat dari gerakan bibirnya yang kaku dan kepayahan membalas pagutan Dipta beberapa detik lalu. “Tidur, besok kita harus ke kantor.” Kinara harus kembali menelan pil pahit setelah mendengar ucapan suaminya, terlebih ketika Dipta berjalan maju dan membaringkan tubuhnya di atas tempat tidur, memunggungi Kinara yang masih bergeming di tempat. Bodohnya dia mengharapkan akan melewati malam yang panjang dengan Dipta kala pria itu tidak sudi menyentuhnya, meskipun Kinara tak tahu apa alasannya selain karena pria itu tidak menginginkan dia sebagai istrinya. “Aku kurang cantik ya, Mas?” Dipta menghembuskan nafas lelah dan memilih untuk menulikan kedua telinganya, kedua matanya terpejam, pura-pura tertidur agar punya alasan untuk menghindari pertanyaan Kinara. “Atau aku kurang menggoda?” tanya Kinara lagi. Dia