Jari jemari Kinara mengetuk meja panjang yang dia tempati dengan irama tidak menentu, tatapan matanya kosong meskipun mengarah pada layar laptop yang masih menyala.
Suara berisik rekan kerjanya bahkan tak mampu membuat lamunan Kinara buyar, wanita itu terlalu asik dengan isi kepalanya yang hanya berisikan soal Dipta.
"Kin, data hasil penjualan minggu lalu udah diinput, 'kan?" Mela—sahabat sekaligus rekan kerjanya mulai bertanya.
Merasa tak kunjung mendengar jawaban dari Kinara, Mela lantas menoleh dan memperhatikan sahabatnya itu yang malah melamun. "Kin?"
Wanita yang hari ini mengenakan kemeja berwarna tosca itu terkesiap, dia menoleh dan bersitatap dengan Mela yang menatapnya penuh rasa curiga. "Kenapa, Mel?"
Mela berdecak. "Ada apa denganmu, Kin? Sedih karena tiba-tiba tidak jadi cuti?"
Kepala Kinara menggeleng. "Bukan, memang aku yang mau berangkat bekerja hari ini."
"Aku sebenarnya curiga, kamu bilang ada acara di panti sejak kemarin, dan itu mengharuskan kamu untuk cuti. Tapi kenapa aku tidak diundang?"
Kinara mengerjap kaget, dia memutar otaknya untuk menemukan jawaban paling logis, pasalnya dia sudah berjanji tidak akan bicara soal hubungannya dan Dipta kepada siapa pun sejak mereka setuju untuk menikah. "Oh, itu karena kamu sedang sibuk."
"Cuma karena itu?"
Kepala Kinara mengangguk dengan yakin, dalam hati dia merutuki dirinya sendiri yang sampai berbohong begini.
Beberapa saat kemudian mata Mela teralih ke arah lain, senyumannya mengembang dan dia langsung berbisik, "Suami sejuta umat baru saja muncul."
Kantor Pratama Corporation yang memang mengusung konsep open-office itu membuat seluruh karyawan terbiasa bekerja di area co-working space atau bisa dikenal dengan sebutan ruang kerja bersama, di mana di sana terdapat banyak meja berukuran besar yang bisa digunakan karyawan untuk bekerja secara bebas dan fleksibel, juga memudahkan mereka untuk berbaur dengan karyawan dari divisi lain.
Ruang kerja bersama itu juga menjadi tempat favorit para karyawan perempuan ketika CEO sekaligus Owner mereka yang begitu tampan dan berwibawa terbiasa melewatinya sebelum sampai di ruang kerjanya, sehingga tidak heran jika area itu selalu penuh oleh banyak karyawan perempuan.
"Suami sejuta umat? Yang benar saja," gumam Kinara sambil memandang suaminya yang berjalan dengan langkah besar, melewati area tersebut.
"Tidak akan ada yang bisa tahan jadi istri dia, kecuali aku."
"Kenapa, Kin?" tanya Mela, dia mengalihkan perhatian kepada Kinara yang terdengar bergumam beberapa detik lalu, sayangnya tidak sampai tertangkap telinga Mela.
Kinara menggeleng. "Tidak, aku hanya sedang berbicara sendiri."
Meskipun tidak puas dengan jawaban Kinara, pada akhirnya Mela mengangguk dan kembali melanjutkan pekerjaannya.
Suara getaran ponsel yang Kinara simpan di atas meja tiba-tiba terdengar, dia meliriknya sebentar dan menemukan kontak suaminya muncul di sana, kedua matanya spontan melebar, tangannya bergerak cepat untuk meraih ponsel itu agar Mela tak sempat melihat nama suaminya muncul di sana.
Kinara berdeham canggung dan berjalan menjauh untuk mengambil jarak, meskipun yakin bahwa tatapan mata Mela sedang mengikuti langkahnya. Setelah cukup jauh dan aman, barulah dia menjawab panggilan itu.
“Lama sekali kamu menjawab panggilan,” omel Dipta begitu panggilan itu terjawab.
Kinara menghembuskan nafas lelah. “Ada apa?” todongnya sambil melirik ke sana kemari, takut ada yang mendengar percakapan mereka sekalipun itu hanya lewat telepon genggam.
“Aku hanya ingin memperingati kamu agar tidak bicara sembarang soal hubungan kita, sekalipun itu kepada teman terdekatmu.”
Wanita itu mendelik, sebegitu tidak percayanya Dipta terhadapnya sampai harus memperingati beberapa kali begini. “Tenang saja, aku tidak akan membocorkan soal hubungan kita.”
Sejujurnya Kinara tidak tahu mengapa dia mau saja menuruti Dipta, terlepas dari dia yang sangat mencintai pria itu dan dia yang menghargai kedua orangtua Dipta, mungkin yang benar adalah dia yang terlalu bodoh sampai mudah menurut.
“Kamu tahu, malam ini aku akan pakai gaun tidur yang lebih tipis dan menggoda dari kemarin,” ucap Kinara sambil menyeringai, dia mengalihkan pembicaraan dan berusaha menggoda suaminya agar pria itu sedikit luluh.
Tapi ternyata respon Dipta justru di luar dugaannya. “Terserah, aku tidak tertarik dengan kamu ataupun tubuhmu.”
Ekspresi wajah Kinara langsung berubah kaku, tapi di dalam hatinya dia tahu bahwa dia tak boleh menyerah semudah itu. Kinara adalah tipe orang yang optimis, begitu dia memutuskan sesuatu, meskipun keputusan itu salah, dia akan berjuang sampai mendapatkan hasil yang dia inginkan.
“Tunggu saja sampai kamu berlutut di bawah kakiku,” kata Kinara, begitu percaya diri.
Terdengar suara tawa di seberang telepon, mendengarnya membuat Kinara rindu saat Dipta tertawa lepas di depannya, tepatnya sebelum mereka terjebak dalam hubungan ini. “Berhenti bermimpi, Kinara. Itu tidak mungkin.”
“Kenapa? Apa jangan-jangan kamu tidak suka perempuan?”
Tidak ada jawaban, hanya hening yang bisa Kinara tangkap melalui panggilan itu. “Tunggu dan lihat saja, jangan terlalu percaya diri Mr. Pratama, aku bisa membuatmu menginginkanku jika aku berusaha lebih keras dari pada kemarin.”
Pada malam harinya, Kinara tampil memukau untuk melancarkan aksinya agar Dipta mau sedikit melunak, dia mengenakan pakaian minim yang diyakini bisa mengundang keinginan terpendam pria itu. Meskipun merasa tidak terbiasa, Kinara berusaha melakukannya untuk memperbaiki hubungan mereka yang terkesan dingin dan datar, Kinara tak bisa hidup seperti ini untuk waktu yang lama, dia harus membuat perubahan besar. Sudah berkali-kali wanita itu melirik jam dinding yang terus berdetak, menunjukkan bahwa waktu sudah semakin malam. Dia berdecak keras dan mulai menghubungi Dipta, masa bodoh jika pria itu akan marah karena Kinara lancang menghubunginya. Panggilan itu tidak kunjung dijawab, sampai Kinara berkali-kali menghubungi Dipta tanpa mau menyerah. Akhirnya pada percobaan kelima, panggilan tersebut baru dijawab. “Halo, Kinara?” “Ya, ini siapa?” Suara itu terdengar asing di telinga Kinara, terlebih suara berisik di seberang telepon membuat Kinara tak bisa mendengarnya dengan jelas. “Aku Gavi
Aroma makanan menguar di area meja makan yang letaknya sejajar dengan ruang tamu, ruangan itu memang menyatu tanpa sekat, sehingga Dipta yang baru saja terbangun dari tidurnya kini mampu menangkap pergerakan Kinara yang terlihat anggun dengan setelan kerja serta apron di tubuhnya. Pria itu mengerjap sambil terduduk di atas sofa, beberapa kali dia memfokuskan pandangannya ke arah Kinara yang belum menyadari bahwa suaminya sudah terbangun sejak tadi. Gadis itu cantik sekali, namun belum mampu membuat Dipta merasa tertarik. Jika dilihat lebih lama, Kinara punya tubuh yang mungil, kulitnya putih, hidungnya bangir dengan bibir yang tipis, bagian paling indah adalah kedua matanya yang berlensa hazel alami, semua yang ada pada dirinya seharusnya lebih dari cukup untuk membuat Dipta jatuh hati, sayangnya pria itu belum bisa melakukannya karena masih terjebak dengan masa lalunya. Ketika merasa ada yang memperhatikannya sejak tadi, Kinara mengangkat pandangan dan bersitatap dengan Dipta yang
“Mungkin kamu salah mendengar, tidak mungkin aku menyebutkan nama wanita lain,” elak Dipta. Kinara mendelik, lalu tersenyum getir. “Iya, mungkin aku salah mendengar.” Dahi Dipta berkerut dalam mendengar nada sinis dari kalimat istrinya, dia masih bergeming ketika Kinara meraih tas usangnya dan mulai beranjak. “Aku berangkat lebih dulu,” pamit Kinara, raut wajahnya terlihat mendung. Sekarang Kinara merasa tak perlu menyembunyikan kekecewaannya kepada Dipta, baginya wajar saja jika seorang istri marah ketika mendengar suaminya menyebutkan nama wanita lain ketika sedang mabuk. “Kinara?” Langkah wanita itu terhenti, lalu dia berbalik dan membalas tatapan Dipta. Satu hal yang Kinara harapkan sekarang adalah penjelasan Dipta tanpa perlu dia mendesaknya untuk bicara. “Jangan lupa penuhi undangan makan malam dari orangtuaku, bilang kepada mereka kalau aku tidak bisa datang karena banyak pekerjaan,” ujar Dipta, setelah mengatakan itu dia berlalu begitu saja menuju ke kamar utama. Tentu
Kinara merasa tubuhnya lemas setelah pintu pantry kembali tertutup, kini hanya tinggal dia sendiri di sana dengan kedua pipi yang memerah bak kepiting rebus. Baru disentuh seperti itu saja dia sudah merasa begitu lemas, apalagi jika diberi sentuhan yang lebih dari itu. Secara perlahan Kinara menyentuh bibirnya dan tersenyum senang, selama ini dia tidak pernah merasakan hal semacam itu karena Kinara masihlah seorang wanita yang tidak tersentuh, selama ini dia menjaga dirinya dengan sangat baik. “Terlalu singkat,” gumam Kinara, lalu dia melirik secangkir kopi yang masih tersisa setengah. Meskipun tahu kopi itu sudah dingin, dia menyesapnya sampai tandas dan membawanya menuju wastafel, mulutnya bersenandung pelan, tampak jelas bahwa dia sedang merasa senang. Setelah itu, Kinara berjalan keluar dari ruang pantry, dia berusaha bersikap tenang dan kembali menghampiri Mela. “Lama banget perginya.” Kinara meraih catatan kecil dan mulai memperhatikan isinya. “Tadi sekalian minum kopi di s
“Berhenti mencari tahu soal Maura,” perintah Inggit. Dipta mengalihkan pandangan ke arah lain, seperti sengaja menghindari tatapan mata ibunya yang mengintimidasi. “Aku sudah berhenti mencari dia sejak menikahi Kinara,” katanya. Mata Inggit menyipit. “Benarkah yang kamu katakan itu?” Kepala Dipta mengangguk, lalu dia melirik Kinara yang sepertinya dihantui rasa penasaran akan topik apa yang sedang dibicarakan Dipta dan Inggit di halaman belakang rumah. “Apa yang Ibu khawatirkan? Aku tidak punya hubungan lagi dengan Maura.” Dada Dipta terasa sesak hanya dengan mendengar dan menyebutkan nama mantan kekasihnya itu. “Ibu tahu seberapa gilanya kamu mencintai wanita itu di masa lalu, itu sebabnya Ibu khawatir kamu akan menyakiti Kinara karena kamu masih mencintai Maura,” ungkap Inggit, tanpa menutupi apa pun. Tatapan mata Dipta menerawang ke arah halaman belakang rumah yang hanya disinari lampu taman. “Tak ada yang perlu Ibu khawatirkan, selama ini aku selalu menjadi anak yang penurut.
“Kenapa kamu bicara sembarangan seperti tadi?” todong Dipta begitu Kinara menutup pintu kamar. Dibandingkan memilih untuk menjawab pertanyaan suaminya, Kinara lebih tertarik untuk memperhatikan isi kamar Dipta yang katanya sudah bertahun-tahun tidak dihuni pria itu. “Kinara!” Ingin rasanya Kinara berdecak keras mendengar nada suara Dipta yang meninggi. “Memangnya kenapa? Apa aku gak boleh punya harapan untuk punya anak bersama kamu?” Langkah Kinara semakin mendekat, dia berdiri di hadapan Dipta dengan kedua mata yang berubah sendu. “Salah kalau aku ingin punya anak?” tanya Kinara lagi. “Tentu saja salah kalau kamu mengharapkan kehadiran anak dari benihku!” Kepala Kinara menggeleng. “Gak ada yang salah. Kamu suamiku, aku istrimu. Bukankah wajar kalau kita berdua punya anak?” Tak ada jawaban, yang Kinara temukan selanjutnya hanyalah tatapan mata Dipta yang terlihat tajam dan menusuk. Selang beberapa saat, Kinara mulai bosan mengadu ketajaman lewat kedua matanya, dia melengos dan
“Wajar kalau aku payah, aku gak pernah berciuman!” Dipta mendelik, tanpa Kinara memberitahunya, dia juga sudah bisa menebak sejauh mana kemampuan wanita itu soal sentuhan fisik, terlihat dari gerakan bibirnya yang kaku dan kepayahan membalas pagutan Dipta beberapa detik lalu. “Tidur, besok kita harus ke kantor.” Kinara harus kembali menelan pil pahit setelah mendengar ucapan suaminya, terlebih ketika Dipta berjalan maju dan membaringkan tubuhnya di atas tempat tidur, memunggungi Kinara yang masih bergeming di tempat. Bodohnya dia mengharapkan akan melewati malam yang panjang dengan Dipta kala pria itu tidak sudi menyentuhnya, meskipun Kinara tak tahu apa alasannya selain karena pria itu tidak menginginkan dia sebagai istrinya. “Aku kurang cantik ya, Mas?” Dipta menghembuskan nafas lelah dan memilih untuk menulikan kedua telinganya, kedua matanya terpejam, pura-pura tertidur agar punya alasan untuk menghindari pertanyaan Kinara. “Atau aku kurang menggoda?” tanya Kinara lagi. Dia
Kinara sudah bosan mendengar kalimat yang sama dari mulut suaminya, dia sangat mengerti bahwa dirinya tak cukup menarik untuk bisa menggoda pria itu. Kepercayaan diri Kinara juga perlahan mulai menghilang hingga hampir tak bersisa, semua itu berkat kalimat pedas yang selalu Dipta ucapkan kepadanya. “Kamu dan tubuhmu tak akan mampu membuatku bergairah.” Kalimat itu terus terngiang-ngiang di kepala Kinara, seolah-olah mengingatkan Kinara agar terus sadar diri dan tidak menaruh harapan lebih kepada Dipta. Beberapa kali dia menghela nafas dalam-dalam dan menghembuskannya secara kasar, bahkan tidur di ranjang yang sama dengan pria yang dia cintai saja rasanya bisa semenyedihkan ini, padahal dulu Kinara pikir dia akan sangat bahagia ketika hidup dengan pria yang dia cintai. Namun sepertinya Kinara lupa, bahwa akan jauh lebih bahagia jika dia hidup dengan pria yang mencintainya. “Hembusan nafasmu itu berisik, aku gak bisa tidur.” Suara berat Dipta tiba-tiba terdengar. Kinara menoleh ke