Share

Bab 3. Tekad yang Kuat

Jari jemari Kinara mengetuk meja panjang yang dia tempati dengan irama tidak menentu, tatapan matanya kosong meskipun mengarah pada layar laptop yang masih menyala.

Suara berisik rekan kerjanya bahkan tak mampu membuat lamunan Kinara buyar, wanita itu terlalu asik dengan isi kepalanya yang hanya berisikan soal Dipta.

"Kin, data hasil penjualan minggu lalu udah diinput, 'kan?" Mela—sahabat sekaligus rekan kerjanya mulai bertanya.

Merasa tak kunjung mendengar jawaban dari Kinara, Mela lantas menoleh dan memperhatikan sahabatnya itu yang malah melamun. "Kin?"

Wanita yang hari ini mengenakan kemeja berwarna tosca itu terkesiap, dia menoleh dan bersitatap dengan Mela yang menatapnya penuh rasa curiga. "Kenapa, Mel?"

Mela berdecak. "Ada apa denganmu, Kin? Sedih karena tiba-tiba tidak jadi cuti?"

Kepala Kinara menggeleng. "Bukan, memang aku yang mau berangkat bekerja hari ini."

"Aku sebenarnya curiga, kamu bilang ada acara di panti sejak kemarin, dan itu mengharuskan kamu untuk cuti. Tapi kenapa aku tidak diundang?"

Kinara mengerjap kaget, dia memutar otaknya untuk menemukan jawaban paling logis, pasalnya dia sudah berjanji tidak akan bicara soal hubungannya dan Dipta kepada siapa pun sejak mereka setuju untuk menikah. "Oh, itu karena kamu sedang sibuk."

"Cuma karena itu?"

Kepala Kinara mengangguk dengan yakin, dalam hati dia merutuki dirinya sendiri yang sampai berbohong begini.

Beberapa saat kemudian mata Mela teralih ke arah lain, senyumannya mengembang dan dia langsung berbisik, "Suami sejuta umat baru saja muncul."

Kantor Pratama Corporation yang memang mengusung konsep open-office itu membuat seluruh karyawan terbiasa bekerja di area co-working space atau bisa dikenal dengan sebutan ruang kerja bersama, di mana di sana terdapat banyak meja berukuran besar yang bisa digunakan karyawan untuk bekerja secara bebas dan fleksibel, juga memudahkan mereka untuk berbaur dengan karyawan dari divisi lain.

Ruang kerja bersama itu juga menjadi tempat favorit para karyawan perempuan ketika CEO sekaligus Owner mereka yang begitu tampan dan berwibawa terbiasa melewatinya sebelum sampai di ruang kerjanya, sehingga tidak heran jika area itu selalu penuh oleh banyak karyawan perempuan.

"Suami sejuta umat? Yang benar saja," gumam Kinara sambil memandang suaminya yang berjalan dengan langkah besar, melewati area tersebut.

"Tidak akan ada yang bisa tahan jadi istri dia, kecuali aku."

"Kenapa, Kin?" tanya Mela, dia mengalihkan perhatian kepada Kinara yang terdengar bergumam beberapa detik lalu, sayangnya tidak sampai tertangkap telinga Mela.

Kinara menggeleng. "Tidak, aku hanya sedang berbicara sendiri."

Meskipun tidak puas dengan jawaban Kinara, pada akhirnya Mela mengangguk dan kembali melanjutkan pekerjaannya.

Suara getaran ponsel yang Kinara simpan di atas meja tiba-tiba terdengar, dia meliriknya sebentar dan menemukan kontak suaminya muncul di sana, kedua matanya spontan melebar, tangannya bergerak cepat untuk meraih ponsel itu agar Mela tak sempat melihat nama suaminya muncul di sana.

Kinara berdeham canggung dan berjalan menjauh untuk mengambil jarak, meskipun yakin bahwa tatapan mata Mela sedang mengikuti langkahnya. Setelah cukup jauh dan aman, barulah dia menjawab panggilan itu.

“Lama sekali kamu menjawab panggilan,” omel Dipta begitu panggilan itu terjawab.

Kinara menghembuskan nafas lelah. “Ada apa?” todongnya sambil melirik ke sana kemari, takut ada yang mendengar percakapan mereka sekalipun itu hanya lewat telepon genggam.

“Aku hanya ingin memperingati kamu agar tidak bicara sembarang soal hubungan kita, sekalipun itu kepada teman terdekatmu.”

Wanita itu mendelik, sebegitu tidak percayanya Dipta terhadapnya sampai harus memperingati beberapa kali begini. “Tenang saja, aku tidak akan membocorkan soal hubungan kita.”

Sejujurnya Kinara tidak tahu mengapa dia mau saja menuruti Dipta, terlepas dari dia yang sangat mencintai pria itu dan dia yang menghargai kedua orangtua Dipta, mungkin yang benar adalah dia yang terlalu bodoh sampai mudah menurut.

“Kamu tahu, malam ini aku akan pakai gaun tidur yang lebih tipis dan menggoda dari kemarin,” ucap Kinara sambil menyeringai, dia mengalihkan pembicaraan dan berusaha menggoda suaminya agar pria itu sedikit luluh.

Tapi ternyata respon Dipta justru di luar dugaannya. “Terserah, aku tidak tertarik dengan kamu ataupun tubuhmu.”

Ekspresi wajah Kinara langsung berubah kaku, tapi di dalam hatinya dia tahu bahwa dia tak boleh menyerah semudah itu. Kinara adalah tipe orang yang optimis, begitu dia memutuskan sesuatu, meskipun keputusan itu salah, dia akan berjuang sampai mendapatkan hasil yang dia inginkan.

“Tunggu saja sampai kamu berlutut di bawah kakiku,” kata Kinara, begitu percaya diri.

Terdengar suara tawa di seberang telepon, mendengarnya membuat Kinara rindu saat Dipta tertawa lepas di depannya, tepatnya sebelum mereka terjebak dalam hubungan ini. “Berhenti bermimpi, Kinara. Itu tidak mungkin.”

“Kenapa? Apa jangan-jangan kamu tidak suka perempuan?”

Tidak ada jawaban, hanya hening yang bisa Kinara tangkap melalui panggilan itu. “Tunggu dan lihat saja, jangan terlalu percaya diri Mr. Pratama, aku bisa membuatmu menginginkanku jika aku berusaha lebih keras dari pada kemarin.”

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status