 LOGIN
LOGIN
Aurel menatap surat itu dengan mata membulat tak percaya. "Anda gila, Pak Mark! Anda tau, dengan tindakan anda seperti ini, begitu besar malunya buat saya. Ingat, saya bisa menuntut Anda!"Mark tetap tak bergeming. "Silakan. Semua bukti sudah lengkap. Anda tidak bisa mengubah keputusan saya."Aurel berdiri mendadak, menarik surat itu dengan gerakan kasar. Tangannya bergetar menahan emosi."Baik! Tapi ingat, Pak Mark, kamu bakal nyesel sudah menyingkirkan saya seperti ini! Anda benar-benar keterlaluan!"Dengan langkah cepat dan penuh amarah, Aurel meninggalkan ruangan sambil membanting pintu begitu keras, hingga kaca jendela bergetar halus.Suasana ruangan itu kembali hening. Irenne menatap Mark dengan rasa khawatir."Pak … apa tidak sebaiknya diberi waktu dulu? Supaya nggak ada keributan seperti ini."Mark menatap lurus ke arah pintu yang baru saja ditutup Aurel. Matanya berkilat menahan emosi."Tidak, sudah cukup. Dia sudah terlalu jauh mempermalukan kamu, dan dia sudah menghina anak
Pagi itu, suasana di kantor yang masih terlihat tenang terganggu ketika pintu ruangan HRD terbuka cukup keras. Aurel melangkah masuk dengan wajah penuh amarah. Sepasang matanya menatap tajam ke arah staf yang sedang duduk di balik meja resepsionis."Saya mau bertemu dengan Pak Mark sekarang juga," katanya tegas, tanpa basa-basi.Staf HRD mendongak tertegun, sedikit terkejut mencoba bersikap profesional. "Maaf, Bu Aurel, apakah Ibu sudah membuat janji sebelumnya dengan beliau?"Aurel mendengus kesal. "Enggak perlu janji! Saya cuma butuh lima menit. Suruh dia keluar sekarang!"Staf HRD menatap gugup. Dia lalu mencoba mencari jalan tengah. "Baik, kalau begitu ... saya panggil dulu asisten beliau. Sekarang Bu Irenne yang menangani semua urusan Pak Mark."Mendengar nama itu, wajah Aurel langsung berubah. Rahangnya mengeras, dan suaranya meninggi. "Irenne?! Jadi sekarang dia kerja di sini bukan sebagai karyawan biasa?"Aurel benar-benar tidak habis pikir, Irenne yang selama ini dia anggap b
Semua mata sontak menoleh. Di hadapan mereka berdiri seorang pria berjas hitam, sorot matanya tajam menusuk. Dialah Mark. Cengkeramannya membuat Edgar terdiam, tak mampu melanjutkan amarahnya. "Ini tempat umum. Kalau Bapak ingin meluapkan emosi, jangan jadikan dia korban di depan semua orang," ucap Mark dengan nada dingin. "Bukankah dia anak Bapak sendiri? Harusnya Bapak jangan ikut-ikutan terhasut dan membuka aib yang tak pernah ada." Suasana mendadak sunyi. Aurel terbelalak, tidak menyangka kehadiran Mark. Sementara Irenne menatap Mark dengan mata basah, setengah tak percaya. Mark menatap sekilas ke arah Irenne, lalu menoleh tajam ke arah Aurel dan Edgar. "Saya Mark, Presdir di Scenery Group. Mungkin kamu belum pernah melihat saya, Aurel. Sudah cukup mempermalukannya Irenne anak buah saya. Jangan lupa, tidak semua yang kalian katakan itu benar." Kata-katanya menancap seperti pisau dingin di udara pesta yang kini berubah mencekam. Aurel hanya tercengang melihat pria tampan di h
Irenne melangkah perlahan menuju pelaminan dengan senyum yang berusaha ia pertahankan. Tangannya sedikit bergetar ketika menyodorkan ucapan selamat kepada kedua mempelai."Aurel, Davin ... selamat ya. Semoga kalian berdua bahagia."Namun, bukannya sambutan hangat, Aurel menatapnya dengan tajam. Senyum di wajahnya menipis, tergantikan oleh nada sinis."Hmm, rasanya aneh ya, kamu datang ke sini. Padahal aku gak ngundang. Siapa juga yang nyuruh kamu hadir?" ujar Aurel dengan nada ketus dan sengaja volume nadanya diperkeras."Oh iya, aku tau pasti, kalau kamu sekarang hidup dengan pria miskin tanpa menikah. Siapa sih pria itu? Kenalin dong sama kita. Kalian kumpul kebo kan? juga kamu mengasuh anak cacat yang bukan darah dagingmu sendiri. Hohoho ... Mengenaskan."Ucapan itu membuat suasana di sekitar pelaminan seketika hening. Beberapa tamu yang mendengar mulai saling berpandangan dan saling berbisik. Sementara Irenne hanya berdiri terpaku. Dia berusaha menahan perih yang tiba-tiba menyaya
Pagi itu, aroma bubur ayam dengan harum kaldu ayam membuat Arley merengek minta disuapi oleh Irenne. Arley duduk di kursinya sambil mengayun-ayunkan kaki kecilnya. "Mau disuapin sama Mama," pintanya manja sambil menatap Irenne dengan senyum lebar. Irenne tersenyum lembut. "Iya, iya ... tapi harus dihabisin ya,” ucapnya sambil mengambil sendok dan mulai menyuapi pelan. Dari seberang meja, Saly menatap tajam pemandangan itu. Bibirnya tersungging sinis, seolah tidak suka melihat kedekatan mereka. Namun semakin lama ia memandang, ekspresinya perlahan berubah. Di balik tatapan dinginnya, hatinya mulai bimbang—antara rasa cemburu karena takut kehilangan kasih sayang cucunya, atau rasa haru melihat Arley begitu bahagia di samping Irenne. Saly akhirnya menunduk. Dia pura-pura sibuk dengan sarapannya sendiri. Tapi di dalam hatinya, sesuatu perlahan melunak. Setelah sarapan selesai, Arley berlari ke taman belakang untuk bermain. Irenne menghabiskan sarapannya dengan tenang, sementara Sal
"Ini kunci untuk ruang baru yang akan kamu tempati mulai besok," katanya akhirnya. "Ruang baru?" Irenne tampak semakin bingung. "Maksudnya … saya mau dipindahkan?" Mark tersenyum samar. "Bukan dipindahkan, tapi diangkat. Mulai hari ini, kamu saya percayakan untuk memimpin tim arsitektur di setiap proyek. Kamu pantas dapat tempat yang lebih baik, Irenne." Irenne tertegun, nyaris tak percaya. "Tapi Pak, saya belum yakin kalau saya bisa." Mark menatapnya dengan tatapan tegas. "Maaf, tidak ada bantahan." "Terima kasih, Pak Mark. Saya tidak akan mengecewakan kepercayaan ini." Mark bersandar di kursinya, memandangi Irenne beberapa detik sebelum akhirnya mengulurkan sesuatu dari tangannya. "Dan ini …" ucapnya pelan, "kunci mobil. Saya berikan mobil itu untuk kamu. Sudah atas nama kamu. Mobil merah yang terparkir di depan." Irenne membeku. Matanya membulat, tak percaya dengan apa yang baru didengarnya. Mobil mewah berwarna merah yang tadi menarik perhatiannya di halaman kantor








