"Masalah apa?" tanya Irenne sambil berkernyit, meletakkan gelas air putih di meja.
Andrea melemaskan otot-otot kakinya. Sahabat Irenne yang berwajah cantik dan tinggi ini terlihat sedang memikirkan sesuatu. Tatapan matanya serius, tidak seperti biasanya yang penuh dengan canda. "Ya, aku harus bilang sesuatu," ucap Andrea dengan nada hati-hati melirik ke Irenne. Irenne menoleh, sedikit heran melihat wajah Andrea yang tampak menahan beban. "Kenapa? Ada apa? Kelihatan banget kamu lagi mikirin sesuatu." Andrea menarik napas panjang, lalu meraih cangkirnya di meja. "Ini soal keluargamu. Perusahaan ayahmu, sekarang sedang di ambang kehancuran." Jantung Irenne berdegup kencang. "Apa maksudmu?!" tanyanya cemas. "Ayahmu terlalu banyak menuruti hidup ibu tiri dan adik tiri kamu Ren. Belanja berlebihan, pesta, semua gaya hidup mewah itu menguras keuangan perusahaan. Tiap hari aku bertemu mereka di kantor. Jadi aku tahu tentang kemewahan yang seharusnya adalah milikmu, Ren." "Ditambah lagi adik tirimu yang boros, seenaknya menghamburkan uang untuk hal-hal yang nggak penting. Semua itu bikin keadaan makin parah," jelas Andrea lirih, matanya menatap Irenne penuh iba. Irenne terdiam mematung. Tangannya gemetar memegang cangkir. Ia tahu ibu tirinya memang suka berfoya-foya, tapi tidak pernah menyangka dampaknya sampai menghancurkan perusahaan peninggalan mendiang kakeknya. Perusahaan yang seharusnya menjadi miliknya, tapi Edgar sang ayah menyerahkan pada Amy Adelia, ibu tirinya. Bukan itu saja, Edgar menyuruh Aurel ikut bantu Amy untuk mengelola perusahaan Kenneth warisan dari kakek Irenne. "Aku bilang ini supaya kamu siap. Suatu saat kamu pasti akan ditarik masuk ke dalam masalah ini," lanjut Andrea, suaranya penuh ketulusan. Air mata Irenne menetes perlahan. "Aku sudah melupakan perusahaan Kenneth Group." Andrea menepuk pundak sahabatnya. "Kamu yang sabar ya Ren. Jangan putus asa gitu. Suatu saat kamu akan mengambil alih perusahaan itu." "Hati aku sakit, Dre. Mereka yang menikmati hasil dari kakek aku," ucap Irenne lirih, sambil menghapus air matanya. "Perusahaan Kenneth punya banyak hutang. Kemungkinan akan diambil alih oleh Scrnery Disign." Ucapan Andrea membuat mata Irenne terbelalak. "Apa kamu bilang Dre? Scenery Disign?" "Iya, kenapa?" tanya Andrea bingung. "Tidak, tidak apa-apa," jawab Irenne menutupi. Setelah Andrea pamit pulang, Irenne segera meraih ponselnya. Jari-jarinya sempat ragu menekan nomor Mark, namun akhirnya ia memberanikan diri. Suaranya terdengar pelan saat berbicara. "Halo, ini saya." Suara Mark terdengar tegas dan dalam. Jantung Irenne berdegup kencang tidak beraturan. Ia segera menstabilkan napasnya. "Pak Mark, ini ... Irenne." "Oh, Irenne ya. Ada apa?" "Maaf kalau saya mengganggu. Saya ingin bertemu dengan Bapak. Ada sesuatu yang perlu saya bicarakan." "Bicara saja sekarang." Irenne ragu-ragu sejenak. "Tidak bisa lewat telepon, Pak. Lebih baik kalau kita bertemu langsung." "Oke. Besok datang ke kantor saya jam 10:00 pagi. Jangan terlambat." "I—iya, Pak. Terima kasih. Saya pasti datang." "Hm." Sambungan telepon diputus. Irenne menatap layar ponselnya yang sudah kembali gelap. Jantungnya berdegup lebih cepat, seakan pertemuan esok akan menjadi penentuan yang besar dalam hidupnya. Keesokan paginya. Irenne bersiap-siapa merapikan dirinya. Setelah dikiranya cukup dengan sedikit polesan di wajahnya, dia melangkah ke luar rumah, masuk ke dalam mobil, melajukan dengan kecepatan rendah. Jam menunjukan pukul 9.45, saat Irenne berdiri di depan gedung megah itu. Jantungnya berdegup kencang seakan sudah berlari kiloan meter. Dia menggenggam erat tasnya, mengatur napas sebelum melangkah masuk. Begitu memasuki lobi, matanya menyapu sekeliling. Pegawai lalu-lalang, sebagian meliriknya sekilas. Ia berjalan menuju meja resepsionis. "Selamat pagi, Bu. Ada yang bisa saya bantu?" tanya resepsionis Irenne mengangguk ramah. "Selamat pagi. Saya Irenne. Saya ada janji dengan Pak Mark jam 10:00 pagi ini." Resepsionis itu mengangguk sopan, menelpon sebentar, lalu tersenyum. "Silakan naik ke lantai dua. Beliau sudah menunggu." Tangannya sedikit gemetar saat menekan tombol lift. Detik demi detik terasa lama. Ada kegelisahan di bola matanya. Sesampainya di lantai dua, pintu lift terbuka. Lorong hening, karpet tebal meredam langkahnya. Ia berhenti tepat di depan pintu bertuliskan Presdir Mark Orlando. Dengan menarik napas panjang, Irenne mengetuk perlahan. Dari dalam terdengar suara berat yang sudah sangat ia kenal. "Masuk." Perlahan, Irenne membuka pintu dan melangkah masuk. Pandangan Mark langsung jatuh padanya, tajam tapi tenang, seakan menunggu keputusan dari Irenne, atas apa yang pernah Mark tawarkan waktu itu. Wanita itu menarik kursi lalu duduk berhadapan dengan Mark, pria elegant tapi terlihat kaku memandangnya. "Silahkan, ada yang perlu anda sampaikan pada saya. Bicaralah." Ucapan pria itu membuat Irenne merasa gugup. "Saya—saya menerima bekerja di sini. Bekerja sebagai ibu sambung untuk anak Bapak. Saya akan mengurus beliau dengan sebaik-baiknya," ucap Irenne sambil menunduk. "Dan menikah dengan saya?" tanya Mark sambil memandang tajam penuh selidik. Irenne mendongak, membalas tatapan pria itu. "Ya, saya terima lamaran Bapak. Tapi ada syaratnya. Kalau Bapak keberatan, yaa saya nggak paksa.""Masalah apa?" tanya Irenne sambil berkernyit, meletakkan gelas air putih di meja.Andrea melemaskan otot-otot kakinya. Sahabat Irenne yang berwajah cantik dan tinggi ini terlihat sedang memikirkan sesuatu. Tatapan matanya serius, tidak seperti biasanya yang penuh dengan canda."Ya, aku harus bilang sesuatu," ucap Andrea dengan nada hati-hati melirik ke Irenne.Irenne menoleh, sedikit heran melihat wajah Andrea yang tampak menahan beban. "Kenapa? Ada apa? Kelihatan banget kamu lagi mikirin sesuatu."Andrea menarik napas panjang, lalu meraih cangkirnya di meja. "Ini soal keluargamu. Perusahaan ayahmu, sekarang sedang di ambang kehancuran."Jantung Irenne berdegup kencang. "Apa maksudmu?!" tanyanya cemas."Ayahmu terlalu banyak menuruti hidup ibu tiri dan adik tiri kamu Ren. Belanja berlebihan, pesta, semua gaya hidup mewah itu menguras keuangan perusahaan. Tiap hari aku bertemu mereka di kantor. Jadi aku tahu tentang kemewahan yang seharusnya adalah milikmu, Ren.""Ditambah lagi adik t
Irenne diam sesaat, pikirannya masih gamang. Tapi akhirnya wanita itu menjawab."Tidak ... sa—saya tidak terima tawaran Bapak."Mark terdiam. Matanya menunduk sesaat, lalu kembali menatap Irenne. Ada gurat kecewa yang jelas terbaca di wajah tampannya. Seolah penolakan itu menghantam harapannya yang sempat ia gantungkan pada wanita di hadapannya. Tawaran untuk menjadi ibu sambung Arley bukan sekadar formalitas baginya, melainkan sebuah jalan keluar yang ia yakini terbaik untuk anaknya. Namun kini, setelah Irenne menolak dengan halus, hatinya terasa hampa.Melihat sorot mata Mark yang meredup, hati Irenne ikut terenyuh. Ia tidak bermaksud menyakiti, hanya saja tawaran itu terlalu berat untuk diterima. Jari-jarinya meremas ujung rok yang ia kenakan, mencoba menahan rasa bersalah yang tiba-tiba muncul."Maafkan saya, Pak ..." ucapnya lirih, hampir tak terdengar. Ia menunduk, tak sanggup membalas tatapan Mark. Dalam hatinya, Irenne tahu bahwa lelaki itu sedang berjuang demi anaknya. Justr
"Perlu Anda tahu, lowongan yang masih tersisa hanya di bagian cleaning servis. Apa Anda mau di bagian tersebut?" tanya Mark, tatapannya tajam namun penuh penilaian, tak lepas dari wajah Irenne."Maaf, Pak. Bidang ini tidak sesuai dengan latar belakang pendidikan saya," kata Irenne.Mark lalu menyandarkan tubuhnya ke kursi. "Apa kamu sudah izin dengan keluargamu? Atau dengan suamimu agar bisa bekerja di perusahaan ini?"Pertanyaan itu membuat Irenne membeku. Dia menunduk, mencoba menyembunyikan sorot matanya yang bergetar."Sa—saya baru aja pisah dengan suami," ucapnya terbata, suaranya nyaris berbisik.Mark mencondongkan tubuh sedikit ke depan. "Bercerai maksudnya?" tanyanya, suaranya dalam dan penuh rasa ingin tahu.Irenne menggigit bibir bawahnya, lalu menarik napas dalam-dalam sebelum menjawab. "Sa—saya belum resmi bercerai. Tapi saya akan bekerja untuk membuat surat cerai secepatnya."Di balik kata-kata itu, tersimpan luka yang dalam pada Davin, sang suami. Tapi pertanyaan-pertany
Irenne menoleh ke seorang anak laki-laki berusia sekitaran lima tahun. Keningnya berkernyit.'Mama? Anak ini memanggil siapa? Panggil aku?' batinnya memandang sang anak yang memeluk pangkuan Irenne."Mama, Mama!" ucap sang anak pria sambil terus memeluknya."Hei, sayang. Kenapa kamu panggil aku, Mama? Di mana Mama kamu?" ucap Irenne tersenyum."Mama, aku kangen sama Mama. Mama jangan pergi lagi ya. Mamaaa."Ucapan sang anak diselingi Isak tangis, yang seolah menyimpan kerinduan seribu tahun, membuat hati Irenne terenyuh. Ia menunduk, menatap wajah polos dengan mata bening penuh kerinduan. 'Pasti anak ini ditinggal ibunya,' pikirnya sambil mengusap rambut halusnya yang wangi samar susu.Di sisi lain, seorang pria dengan jas berwarna cream, sosok tegas sebagai seorang presdir perusahaan itu, berdiri memperhatikan dari kejauhan. Tatapan tajamnya sempat melunak ketika melihat sang anak begitu erat memeluk Irenne.Dia segera melirik seorang babysitter yang baru saja keluar dari toilet. De
Irenne tak dapat menahan amarahnya lagi.Plak!Satu tamparan keras melayang di pipi Aurel. Tindakan Irenne menyita perhatian banyak orang. Bagaimana tidak? Model iklan perusahaan mereka ditampar. Hal itu tentu akan menjadi buah bibir di kantor.Irenne mengabaikan tatapan-tatapan itu."Aku sudah cukup sabar menghadapi perlakuanmu selama ini. Tapi kali ini, aku tidak akan membiarkannya begitu saja," tegas Irenne.Aurel mengepal kuat. Ia mengusap pipinya yang terasa perih. Kekecewaan Aurel semakin memuncak saat Davin hanya diam tak menghentikan Irenne."Security!" panggil Aurel lantang.Dua petugas keamanan dengan berbadan tegap datang.Aurel menunjuk ke arah Irenne. "Cepat bawa wanita ini keluar. Wanita kurang ajar, sepertinya tidak cocok bekerja di sini," perintahnya.Petugas keamanan tampak ragu. Mereka diam saling pandang."Aurel!" seru Irenne. "Kamu jangan keterlaluan!"Aurel melotot ke arah security itu. "Kenapa kalian diam saja! Aku ini model iklan di sini, dan dia sudah menampar
Mendengar kata cerai, Davin tersentak dan segera mematikan ponselnya. Kata-kata yang sangat mustahil diucapkan Irenne, terlontar begitu saja.Davin bangkit dari kursinya, menghampiri Irenne. "Omong kosong! Kau sadar apa yang baru saja kamu katakan, ha?" Irenne berdecih, "Kau bilang omong kosong? Apa kau perduli padaku? Aku baru saja keguguran, tapi kau bahkan tidak menjenguk. Kau asik selingkuh, kan?"Pandangan Irenne dan Davin saling bertaut. Ia tak menyangka Irenne mengetahui perselingkuhannya. Namun, alih-alih merasa bersalah ia justru bersikap acuh tak acuh.Davin membalas, "Kau keguguran karena kecerobohanmu sendiri. Atas dasar apa kau menuduhku selingkuh?" Irenne tak percaya, lelaki yang begitu di cintainya tega mengatakan hal itu. Bayinya bahkan tidak diperdulikan sedikitpun.Padahal, Davin selalu mendesaknya untuk segera hamil. Keluarganya bahkan menuduhnya mandul. Ironisnya, saat Irenne hamil mereka tak ada yang perduli.“Suami macam apa kamu Davin?!”Irenne mengambil pons