Share

BAB 7. Syarat

Author: Bayang Cermin
last update Last Updated: 2025-10-01 12:58:42

"Masalah apa?" tanya Irenne sambil berkernyit, meletakkan gelas air putih di meja.

Andrea melemaskan otot-otot kakinya. Sahabat Irenne yang berwajah cantik dan tinggi ini terlihat sedang memikirkan sesuatu. Tatapan matanya serius, tidak seperti biasanya yang penuh dengan canda.

"Ya, aku harus bilang sesuatu," ucap Andrea dengan nada hati-hati melirik ke Irenne.

Irenne menoleh, sedikit heran melihat wajah Andrea yang tampak menahan beban. "Kenapa? Ada apa? Kelihatan banget kamu lagi mikirin sesuatu."

Andrea menarik napas panjang, lalu meraih cangkirnya di meja. "Ini soal keluargamu. Perusahaan ayahmu, sekarang sedang di ambang kehancuran."

Jantung Irenne berdegup kencang. "Apa maksudmu?!" tanyanya cemas.

"Ayahmu terlalu banyak menuruti hidup ibu tiri dan adik tiri kamu Ren. Belanja berlebihan, pesta, semua gaya hidup mewah itu menguras keuangan perusahaan. Tiap hari aku bertemu mereka di kantor. Jadi aku tahu tentang kemewahan yang seharusnya adalah milikmu, Ren."

"Ditambah lagi adik tirimu yang boros, seenaknya menghamburkan uang untuk hal-hal yang nggak penting. Semua itu bikin keadaan makin parah," jelas Andrea lirih, matanya menatap Irenne penuh iba.

Irenne terdiam mematung. Tangannya gemetar memegang cangkir. Ia tahu ibu tirinya memang suka berfoya-foya, tapi tidak pernah menyangka dampaknya sampai menghancurkan perusahaan peninggalan mendiang kakeknya.

Perusahaan yang seharusnya menjadi miliknya, tapi Edgar sang ayah menyerahkan pada Amy Adelia, ibu tirinya. Bukan  itu saja, Edgar menyuruh Aurel ikut bantu Amy untuk mengelola perusahaan Kenneth warisan dari kakek Irenne.

"Aku bilang ini supaya kamu siap. Suatu saat kamu pasti akan ditarik masuk ke dalam masalah ini," lanjut Andrea, suaranya penuh ketulusan.

Air mata Irenne menetes perlahan.  "Aku sudah melupakan perusahaan Kenneth Group."

Andrea menepuk pundak sahabatnya. "Kamu yang sabar ya Ren. Jangan putus asa gitu. Suatu saat kamu akan mengambil alih perusahaan itu."

"Hati aku sakit, Dre. Mereka yang menikmati hasil dari kakek aku," ucap Irenne lirih, sambil menghapus air matanya.

"Perusahaan Kenneth punya banyak hutang. Kemungkinan akan diambil alih oleh Scrnery Disign."

Ucapan Andrea membuat mata Irenne terbelalak. "Apa kamu bilang Dre? Scenery Disign?"

"Iya, kenapa?" tanya Andrea bingung.

"Tidak, tidak apa-apa," jawab Irenne menutupi.

Setelah Andrea pamit pulang, Irenne segera meraih ponselnya. Jari-jarinya sempat ragu menekan nomor Mark, namun akhirnya ia memberanikan diri. Suaranya terdengar pelan saat berbicara.

"Halo, ini saya."

Suara Mark terdengar tegas dan dalam. Jantung Irenne berdegup kencang tidak beraturan. Ia segera menstabilkan napasnya. 

"Pak Mark, ini ... Irenne."

         "Oh, Irenne ya. Ada apa?"

"Maaf kalau saya mengganggu. Saya ingin bertemu dengan Bapak. Ada sesuatu yang perlu saya bicarakan."

"Bicara saja sekarang."

Irenne ragu-ragu sejenak. "Tidak bisa lewat telepon, Pak. Lebih baik kalau kita bertemu langsung."

       "Oke. Besok datang ke kantor saya jam 10:00 pagi. Jangan terlambat."

"I—iya, Pak. Terima kasih. Saya pasti datang."

"Hm."

Sambungan telepon diputus. 

Irenne menatap layar ponselnya yang sudah kembali gelap. Jantungnya berdegup lebih cepat, seakan pertemuan esok akan menjadi penentuan yang besar dalam hidupnya.

Keesokan paginya. 

Irenne bersiap-siapa merapikan dirinya. Setelah dikiranya cukup dengan sedikit polesan di wajahnya, dia melangkah ke luar rumah, masuk ke dalam mobil, melajukan dengan kecepatan rendah. 

Jam menunjukan pukul 9.45, saat Irenne berdiri di depan gedung megah itu. Jantungnya berdegup kencang seakan sudah berlari kiloan meter. Dia menggenggam erat tasnya, mengatur napas sebelum melangkah masuk.

Begitu memasuki lobi, matanya menyapu sekeliling. Pegawai lalu-lalang, sebagian meliriknya sekilas. Ia berjalan menuju meja resepsionis.

"Selamat pagi, Bu. Ada yang bisa saya bantu?" tanya resepsionis 

Irenne mengangguk ramah. "Selamat pagi. Saya Irenne. Saya ada janji dengan Pak Mark jam 10:00 pagi ini."

Resepsionis itu mengangguk sopan, menelpon sebentar, lalu tersenyum.

"Silakan naik ke lantai dua. Beliau sudah menunggu."

Tangannya sedikit gemetar saat menekan tombol lift. Detik demi detik terasa lama. Ada kegelisahan di bola matanya.

Sesampainya di lantai dua, pintu lift terbuka. Lorong hening, karpet tebal meredam langkahnya. Ia berhenti tepat di depan pintu bertuliskan Presdir Mark Orlando.

Dengan menarik napas panjang, Irenne mengetuk perlahan. Dari dalam terdengar suara berat yang sudah sangat ia kenal.

"Masuk."

Perlahan, Irenne membuka pintu dan melangkah masuk. Pandangan Mark langsung jatuh padanya, tajam tapi tenang, seakan menunggu keputusan dari Irenne, atas apa yang pernah Mark tawarkan waktu itu.

Wanita itu menarik kursi lalu duduk berhadapan dengan Mark, pria elegant tapi terlihat kaku memandangnya.

"Silahkan, ada yang perlu anda sampaikan pada saya. Bicaralah."

Ucapan pria itu membuat Irenne merasa gugup. "Saya—saya menerima bekerja di sini. Bekerja sebagai ibu sambung untuk anak Bapak. Saya akan mengurus beliau dengan sebaik-baiknya," ucap Irenne sambil menunduk.

"Dan menikah dengan saya?" tanya Mark sambil memandang tajam penuh selidik.

Irenne mendongak, membalas tatapan pria itu. "Ya, saya terima lamaran Bapak. Tapi ada syaratnya. Kalau Bapak keberatan, yaa saya nggak paksa."

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Menjadi Ibu Sambung untuk Anak Presdir   BAB 63. Di Kamar Arley.

    "Kalian gak perlu khawatir, saya sebagai ibunya, wajib memberi perhatian pada anak saya sendiri," ucap Laura sambil menatap Mark dan Irenne dengan nada yang sukar ditebak, antara teguran, kecemasan, dan kepemilikan yang kuat.Suasana meja makan langsung terasa mencekam. Saly berhenti mengunyah, sementara Siren Kai hanya mengangkat alis, menatap Laura dari ujung meja.Beberapa saat kemudian, Bibi kembali ke ruang makan dengan langkah ragu, kepala tertunduk dalam-dalam."Kamar sudah siap ditempati, Nyonya," lapornya pelan."Hmmm, terima kasih, Bi," jawab Laura singkat. Tanpa menunggu reaksi siapa pun, dia langsung melangkah menuju kamar Arley. Tidak ada permisi, tidak ada sopan santun, seolah rumah itu miliknya sendiri.Pintu kamar mengayun tertutup, meninggalkan keheningan yang menegangkan.Siren Kai menatap punggung Laura yang menghilang di balik pintu kamar, tatapannya dingin menusuk. Rahangnya mengeras.Mark dan Irenne saling pandang, masing-masing menyimpan keresahan yang tak merek

  • Menjadi Ibu Sambung untuk Anak Presdir   BAB 62. Ancaman untuk Irenne

    Pagi itu, di ruang makan rumah keluarga Mark. Aroma jarumnya roti panggang dengan isi daging asap memenuhi udara. Mark, Irenne, Saly, dan Nenek Sirren Kai sedang duduk sarapan dalam keheningan yang tegang setelah beberapa hari penuh masalah. Arley masih beristirahat di kamarnya—dokter menyarankan agar ia tidak banyak bergerak pascakejadian di proyek kemarin, dan harus banyak beristirahat, karena retaknya lengan kiri. Tok! Tok! Tok! Bibi yang sedang membereskan gelas menoleh cepat dan berjalan ke arah pintu depan. Begitu pintu dibuka, wajahnya langsung berubah kaku. "Nyonya Laura?" bisiknya pelan. Tanpa menunggu dipersilakan, Laura melangkah masuk, sepatunya masih menginjak karpet bersih. Sorot matanya tajam, napasnya terengah sedikit, tanda ia datang dengan emosi penuh. Terlebih saat menatap Irenne. Laura langsung menuju meja makan. Semua orang menoleh, suasana langsung mencekam. Laura: (dengan suara tinggi) "Mana Arley? Aku mau dia ikut aku sekarang juga." Irenne menelan luda

  • Menjadi Ibu Sambung untuk Anak Presdir   BAB 61. Mencari Bukti

    "Mark, aku memang salah. Aku minta maaf," ucap Irenne suatu hari. Mark enggan untuk menoleh. "Nggak ada yang perlu dimaafkan. Lupakan." Sejak hari itu, setiap Mark melihat Irenne, sorot matanya penuh dingin dan penolakan. Saat Irenne mencoba menjelaskan, Mark memalingkan wajah. Saat Irenne mendekat, Mark melangkah pergi. Saat Irenne berkata jujur, Mark menyebutnya, "Hmm, masih berani membela diri setelah kecerobohanmu, yang hampir membunuh Arley." Perlahan, jarak di antara mereka menjadi jurang yang sulit dijembatani. Belum lagi setiap malam sebelum tidur, bisikan Saly Vista terus menggaung di kepala Mark. "Wanita itu memang sengaja kok, ingin menyingkirkan Arley …" "Mama yakin, dia mengejar kekayaan keluarga kita …" "Kamu harusnya lebih berhati-hati dengan perempuan seperti dia Mark. Ingat, dia itu darah pembunuh …" Mark menutup mata, mengabaikan rasa bersalah yang berusaha muncul. Karena ia mulai percaya bahwa Irenne bukan lagi orang yang ia pikir selama ini. Pagi

  • Menjadi Ibu Sambung untuk Anak Presdir   BAB 60. Kesalah Pahaman

    Arley masih terbaring tak sadarkan diri ketika para pekerja proyek bergegas mengangkat tubuhnya yang tertimpa balok. Mark yang tiba tak lama kemudian langsung memerintahkan,"Hei! Kalian tunggu apa lagi?! Kenapa cuma diam! Cepat! Bawa dia ke rumah sakit sekarang!" seru Mark dengan berang.Suasana kacau. Debu masih beterbangan, para pekerja panik, sementara Irenne berdiri di tengah kerumunan dengan wajah pucat dan tubuh bergetar dan perasaan bersalah.Di Rumah SakitArley akhirnya dinyatakan selamat. Dokter keluar dari ruang UGD dengan wajah tenang menemui Mark."Syukurlah, tidak ada luka internal serius. Hanya retak pada lengan kiri dan beberapa memar," jelas dokter.Mark mengangguk, lega. "Terima kasih Dok. Kalau begitu saya urus administrasi dulu, permisi."Mark melangkah ke loket bagian administrasi. Di sana Irenne sedang duduk melamun bercampur shok. Namun ketika Mark menatap Irenne, sorot matanya berubah—bukan marah, tetapi kecewa yang begitu dalam atas kecerobohan Irenne.Irenne

  • Menjadi Ibu Sambung untuk Anak Presdir   BAB 59. Pemeriksaan TKP

    "Arley!!!! Bangun sayang, bangun Nak!" Saat itu juga air Irenne tidak dapat menahan air matanya untuk meleleh. Arley berusaha melindungi Irenne tanpa memikirkan dirinya sendiri, sehingga kayu balok besar menimpanya. Sehingga yang terdengar berikutnya hanyalah suara Arley meringis pelan di bawah tumpukan debu dan kayu. "Arley!! Arley bangun, Nak! Tolong!! Tolooong!" Irenne berteriak histeris, berusaha mengangkat kayu berat itu dengan tangan gemetar. Beberapa pekerja datang membantu, dan mereka akhirnya menemukan Arley dalam keadaan tak sadarkan diri. Sus Ina terpekik dan langsung menangis. "Tuan kecil! Oh Tuhan…" Irenne menahan tangis, wajahnya pucat pasi. "Cepat! Panggil ambulans!" Beberapa jam kemudian di rumah sakit, Arley terbaring di ruang perawatan dengan perban di lengan kirinya. Dokter menjelaskan kalau ia mengalami retak tulang, tapi nyawanya masih sempat tertolong dan selamat. Irenne menunduk di sisi ranjang, menggenggam tangan anaknya dengan mata sembab. "Maafin Mama,

  • Menjadi Ibu Sambung untuk Anak Presdir   BAB 58. Kerja Sama Aurel dan Melvin

    Siang itu, langit tampak mendung seolah ikut menyimpan beban perasaan yang menggelayuti hati Aurel. Di kontrakan kecil yang kini ia tinggali bersama Edgar dan Amy, suasana terasa sepi. Edgar duduk termenung di kursi tamu bersama Amy.Aurel menatap sekeliling rumah itu dengan rasa tidak percaya. Dulu, ia hidup di rumah megah Kenneth Residence—berlantai marmer, berlampu kristal, penuh kemewahan. Kini, semuanya hilang karena satu nama, Irenne."Irenne!!" pekik hatinya.Ia mengepalkan tangannya kuat-kuat. "Perempuan itu sudah menghancurkan segalanya ..."Sambil berjalan ke kamarnya, Aurel mengambil ponselnya. Ia membuka daftar kontak dan menggulir ke bawah hingga menemukan nama Melvin. Bibirnya menyunggingkan senyum licik."Untung aku sempat menyimpan nomor Melvin. Dan untung juga aku tahu, dia benci Mark setengah mati karena urusan warisan neneknya," gumam Aurel pelan. "Mungkin ini waktunya kita kerja sama."Tanpa berpikir panjang, ia menekan tombol panggil. Suara di seberang terdengar s

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status