Share

Bab 5 : Dia Istriku

Sesampainya di rumah sakit, Kala mengacak kasar rambutnya ketika telah mengetahui penyebab Bintang demam tinggi. Itu karena Bintang makan es krim yang selama ini menjadi pantangannya. Bintang memang alergi dengan es krim sehingga Kala tak pernah memberi larangan keras untuk tidak makan es krim.

“Ray, kenapa kamu kasih Bintang es krim? Bintang itu alergi sama es krim!” sentak Kala pada Raya.

Raya hanya mampu terdiam tanpa kata, karena dia benar-benar tidak tahu jika Bintang alergi dengan es krim. Melihat Kala yang marah membuatnya sangat takut. Bahkan untuk mengucap kata maaf saja bibirnya terasa kelu.

“Gak ada gunanya aku nikahi kamu yang katanya bisa jaga Bintang dengan baik, tapi buktinya malah bikin Bintang sakit kayak gini. Lihatlah akibat kecerobohan kamu, Bintang harus menahan rasa sakit,” ujar Kala lagi.

Kedua mata Raya terasa sangat panas. Tanpa disadari air matanya jatuh membasahi pipi. Dengan cepat Raya langsung menyekanya.

“Inilah alasan mengapa aku tidak tertarik untuk menikah lagi! Selain tidak bisa menjaga Bintang dengan baik, juga terlalu cengeng. Wanita memang merepotkan!” lanjutnya lagi.

Dada Raya terasa sesak. Jika bisa menolak, dia pun juga tidak mau menikah dengan Kala, karena dia juga mempunyai orang yang dicintainya. Namun, karena paksaan dari kedua orang tua mereka, Raya tak bisa berbuat apa-apa.

“Maafkan aku, Mas,” ucap Raya dengan pelan.

Kala hanya bisa menghembuskan napas kasarnya. Dia benar-benar lepas kendali karena terbawa suasana. “Sudahlah lupakan apa yang baru saja aku katakan tadi!”

Dengan penuh rasa bersalah, Raya menggenggam tangan Bintang sepanjang malam. Bahkan Raya tidak tidur hanya demi menjaga Bintang. Andaikan saja Raya tahu jika Bintang alergi dengan es krim, dia tidak akan sedikitpun memberikan es krim pada Bintang. Sayang, semua sudah terlambat. Tidak ada gunanya menyesali apa yang telah terjadi.

“Bintang, maafkan mama, ya. Semua ini salah mama. Mama benar-benar tidak tahu kalau kamu alergi sama es krim.”

Rasa kantuk yang menyerang membuat Raya beberapa kali hampir menjatuhkan kepalanya. Namun, seketika Raya mengucek matanya agar tetap tidak tidur.

Kala yang duduk di sofa terus memperhatikan Raya yang masih tak beranjak dari tempat duduknya sekalipun sudah mengantuk berat. Ada sedikit rasa sesal karena sempat membentaknya, tetapi perasaan itu segera ditepis. Seharusnya Raya bertanya terlebih dahulu makanan apa saja yang boleh dimakan oleh Bintang.

“Kalau ngantuk tidur aja di sofa. Biarkan aku yang menjaga Bintang.” Tiba-tiba saja suara itu menyentuh di telinga Raya.

“Enggak, Mas. Aku disini aja. Aku mau nungguin Bintang. Semua ini salahku, seharusnya aku —”

“Sudah tidak usah dibahas lagi. Tidurlah di sofa!” Kala memotong ucapan Raya.

Tak ingin memperkeruh suasana, Raya pun akhirnya mengangguk pelan dan berjalan ke sebuah sofa yang ada di ruangan itu. Untuk saat ini dia benar-benar merasa takut dengan kemarahan Kala. Ternyata pria itu sangat menakutkan jika sedang marah.

***

Rasanya baru saja memejamkan mata, tetapi Raya harus mengerjap pelan saat merasakan sesuatu yang menempel di pipinya. Setalah dipastikan ternyata itu adalah Bintang yang sedang menyentuh pipinya.

“Bintang,” ucap Raya terlonjak karena saking terkejutnya.

Dengan jarum infus yang masih menempel di tangan, Bintang mencoba untuk tersenyum. “Mama maafkan Bintang sudah membuat Mama khawatir.”

Baru saja membuka mata, Raya harus meloloskan air matanya begitu saja karena sangat terharu dengan ucapan Bintang. Seharusnya dialah yang meminta maaf, bukan Bintang. Kerena kecerobohannya Bintang barus masuk rumah sakit.

“Bintang, seharusnya Mama yang minta maaf. Karena Mama kamu jadi sakit.”

Tangan kecil itu langsung menyeka air mata yang membasahi pipi Raya. “Mama jangan nangis. Bintang enggak apa-apa. Bintang udah sembuh.”

Betapa beruntungnya mendiang sang kakak mempunyai anak seperti Bintang yang tumbuh dengan pintar. Andaikan saja sang kakak masih hidup, pasti mereka akan menjadi sebuah keluarga yang sangat bahagia. Terlebih Kala yang teramat mencintai kakaknya.

“Bintang, kamu kok bisa turun dari tempat tidur? Dimana papa kamu?” tanya Raya seolah sedang mencari sosok Kala di dalam ruangan itu. Namun, sayang sedikitpun tak terlihat batang hidungnya.

“Papa keluar, Ma. Tadi papa bilang mau beli sarapan,” jawab Bintang dengan polos. “Ma, Bintang mau pipis, tapi Bintang enggak bisa buka celana. Mama bisa bantuin Bintang?”

Raya mengangguk dengan senyum melebar. “Tentu bisa, Sayang. Ya udah ayo Mama antar ke kamar mandi.” Dengan cepat Raya menuntun Bintang untuk ke kamar mandi.

Bertepatan dengan itu sosok Kala pun masuk. Saat melihat Raya menuntun Bintang ke kamar mandi ada rasa nyeri di dadanya, karena mengingat ucapannya tadi malam.

“Mas Kala,” panggil Raya saat melihat Kala tetap membeku di tempat. Seketika Kala terkejut dengan sebuah panggilan yang menggema di telinga, karena sebelumnya Kala memang sedang melamun.

“Ah, iya ada apa?”

“Mas Kala ngapain disitu?”

Saat itu juga Kala menyadari jika dia masih berdiri di depan pintu. Dengan cepat Kala melangkah maju ke arah pembaringan Bintang.

“Aku beli sarapan untukmu. Kamu pasti lapar karena tadi malam enggak makan. Makanlah selagi masih hangat,” ujar Kala sambil menyerahkan kantong plastik kearah Raya.

“Tapi aku belum lapar, Mas,” tolak Raya, karena dia memang belum lapar.

“Jadi kamu masih marah dengan ucapanku tadi malam?”

Raya langsung mengernyit. Padahal tak sedikitpun dia mempermasalahkan tentang ucapan Kala tadi malam. Baginya memang benar jika dia bisa menjaga Bintang dengan baik. Lalu untuk apa dia marah.

“Marah?” cicitnya. “Aku sama sekali enggak marah, Mas. Tapi aku memang belum lapar.

"Apakah tadi malam Papa memarahi Mama? Kenapa, Pa? Apakah karena Bintang?” celetuk Bintang yang menyimak perbicangan kedua orang tuanya.

Raya yang ada di samping Bintang langsung menggeleng dengan pelan. “Ah, tidak, Sayang. Papa enggak ada marah sama Mama kok. Bintang enggak usah berpikir yang macam-macam ya. Mending kita sarapan dulu, abis itu minum obat biar cepat sembuh dan Bintang bisa segera pulang.”

Baru saja hendak menyuapkan makanan ke mulut Bintang, tiba-tiba terdengar suara ketukan pintu dan tak lama memunculkan seorang wanita cantik nan seksi sambil membawa berbagai macam buah-buahan.

“Pak Kala, bagaimana keadaan Bintang?” tanyanya yang kini sudah mendekat kearah pembaringan Bintang.

Dia adalah Maya, sekertaris di kantornya Kala. Beberapa jam yang lalu Kak sempat menelponnya untuk mengosongkan semua jadwal di kantor, karena Bintang sedang sakit. Tanpa diduga jika wanita itu akan datang ke rumah sakit.

“Bintang sudah baik-baik saja,” jawab Kala biasa saja.

“Syukurlah,” ucap Maya. Namun, seketika Maya menautkan kedua alisnya saat melihat Raya sedang menyuapi Bintang. “Dia siapa, Pak? Pengasuhnya Bintang?”

Raya langsung mengerutkan keningnya. Bisa-bisanya dia dikatakan pengasuhnya Bintang. Memangnya wajah Raya terlihat seperti seorang pengasuh.

“Dia istriku.”

Bola mata Maya langsung terbelalak dengan lebar manakala dua kata keluar begitu saja dari mulut sang atasan.

Apa? Istriku? Sejak kapan Pak Kala menikah? Tidak, ini tidak mungkin!

“Istri?” cicitnya dengan bibir bergemetar. “Pak Kala jangan bercanda,” lanjutnya lagi.

“Aku tidak memaksamu untuk percaya.”

Maya langsung menelan kasar salivanya. Seketika harapannya telah sirna begitu saja saat mengetahui kenyataan jika orang yang sedang diincarnya sudah menikah tanpa sepengetahuannya.

#BERSAMBUNG#

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status