Share

Bab 6 : Masih Lembur

Karena keadaan Bintang sudah mulai membaik, dia pun diizinkan pulang. Tak sedikitpun Raya meninggalkan Bintang, padahal hari ada jadwal kuliah. Tanpa peduli, Raya mengabaikan kuliahnya demi bisa menemani Bintang. Namun, berbeda dengan Kala yang awalnya ingin mengosongkan jadwal, tetapi dia harus segera ke kantor karena ada sesuatu yang harus ditanganinya. Terpaksa setelah mengantar Bintang pulang, Kala langsung menuju ke kantor.

“Ray, aku titip Bintang. Kalau ada sesuatu segera hubungi aku!” ujarnya sebelum berlalu.

“Iya, Mas.” Raya mengangguk pelan. Sesaat mobil itu pun meluncur meninggalkan halaman rumah. Lagi-lagi ada rasa sakit di ulu hatinya.

“Sabar Ray,” ucapnya untuk menguatkan diri.

Setelah menikah, Raya memutuskan fokus pada rumah tangganya, sekalipun dia tak dianggap oleh Kala. Jika biasanya Raya akan menghabiskan waktu senggangnya untuk jalan ke mall bersama dengan temannya, kini hanya digunakan untuk membersihkan rumah dan sekedar masak. Entah rasanya sudah tidak tertarik lagi untuk gabung bersama dengan teman-temannya.

“Bintang mau makan apa biar Mama masakin?” tanya Raya pada Bintang yang sedang menonton televisi.

“Terserah Mama aja,” jawab Bintang pasrah.

“Lho, kok terserah Mama, sih? Kan Bintang yang mau makan.”

“Tapi Bintang enggak selera makan, Ma.”

Raya paham akan apa yang dirasakan oleh Bintang. Memang saat sakit rasanya tidak berselera untuk makan apa-apa.

“Mama masakin sup bakso ya? Bintang mau kan?”

Raya tahu jika sup bakso adalah sayur kesukaan Bintang, karena beberapa jam yang lalu Kala memberitahu makanan apa yang tidak boleh dimakan oleh Bintang serta makanan kesukaannya.

“Sup bakso?” cicit Bintang sambil menelan ludahnya. “Iya, Bintang suka.”

“Ya udah, Bintang tunggu di sini dulu, Mama mau masak. Oke!”

“Oke, Ma.”

Raya langsung bergegas menuju dapur dan segera meracik bahan akan dimasaknya. Meskipun masakan tak seenak masakan mendiang kakaknya, tetapi Raya tidak berkecil hati. Bisa menyiapkan masakan yang bisa dimakan oleh Bintang saja sudah merasa sangat bersyukur.

Selesai menyiapkan masakannya, Raya menghampiri Bintang dan mengajaknya untuk makan siang.

“Ma, hape Mama tadi bunyi,” ucap Bintang.

“Oh iya?” Raya menautkan kedua alisnya kemudian meraih ponsel yang berada di atas meja. Dilihatnya beberapa pesan dari Mozie dan juga Caca, sahabat baiknya. Keduanya menanyakan mengapa Raya tidak kuliah dan memberitahu jika ada tugas dari dosen mereka. Karena saat ini Raya sedang ingin mengajak Bintang makan, dia pun mengabaikan pesan yang masuk dan berniat membalasnya nanti saat Bintang sudah tidur.

“Siapa, Ma?” tanya Bintang ingin tahu.

“Oh ini dari teman Mama.”

“Om Randy?” tebak Bintang.

“Bukan, Sayang. Ini teman Mama perempuan. Namanya aunty Mozie sama aunty Caca. Kapan-kapan Mama kenalin sama aunty-aunty cantik itu, tapi sekarang makan dulu ya, biar cepat sembuh,” bujuk Raya.

“Tapi Bintang belum lapar, Ma.”

“Yah … Mama jadi sedih, deh. Udah masak tapi Bintang enggak mau makan.” Raya berpura-pura sedih untuk mengambil hati Bintang.

Bocah polos itu tentu tidak ingin membuat Raya bersedih. Dengan cepat dia pun turun dari tempat duduknya dan menarik pelan tangan Raya untuk menuju ke meja makan. “Ayo, Ma. Bintang mau makan.”

Raya menyunggingkan senyum di bibirnya manakal berhasil membuat Bintang mau makan. “Ayo!”

***

Hampir satu hari Raya menemui Bintang. Meskipun dinyatakan sudah membaik, tetapi Bintang enggan untuk ditinggal oleh Raya. Baru ditinggal ke kamar mandi saja Bintang sudah memanggilnya. Mungkin saat ini Bintang sedang merindukan sosok ibu untuk memeluk dan memanjakannya.

Sudah pukul sembilan malam, tetapi belum ada tanda-tanda Kala pulang. Bahkan dalam satu hari ini pria itu sama sekali tidak menghubunginya. Padahal Kala tahu jika keadaan Bintang masih belum pulih sepenuhnya.

“Sesibuk apa sih pekerjaan mas Kala, sampai-sampai dia harus pulang larut terus?”

Raya mondar-mandir menunggu mobil Kala. Namun, sayangnya hampir satu jam tak ada tanda-tanda mobil itu datang. Dengan rasa lelah, Raya pun memutuskan untuk tidur karena sudah tidak sanggup menahan rasa kantuknya.

Rasanya memang sakit ketika harus menikah dengan orang yang sama sekali tidak mencintainya. Bahkan yang lebih parah keduanya tidak tidur dalam satu kamar, meskipun telah sah menjadi pasangan suami istri.

Di sisi lain, Kala terpaksa lembur lagi karena harus segera menyelesaikan agenda akhir tahunnya. Kepala terasa pusing, karena pekerjaan yang tak kunjung selesai. Ditambah lagi kemarin dia kurang tidur karena harus menunggu Bintang di rumah sakit.

Detik kemudian Kala menyadari jika dalam satu hari ini dia belum mendapatkan kabar tentang Bintang. Entah bagaimana keadaan anaknya setelah pulang dari rumah sakit. Dengan cepat Kala mengambil ponsel dan mencari nama Raya. Namun, saat ingin menelpon Kala mengurungkan niatnya. Sudah pukul sebelas malam. Kala yakin jika Raya telah tidur.

“Kenapa Raya tidak mengirim pesan apa-apa tentang Bintang ya? Apakah Bintang sudah membaik?”

Saat pikiran sedang terarah pada Raya, tiba-tiba sebuah ketukan pintu membuyarkan lamunannya. Kala sendiri heran mengapa masih ada karyawan yang belum pulang. Setelah mengucapkan kata masuk muncullah sosok Maya dengan secangkir kopi di tangannya.

“Maaf Pak, saya mengganggu,” ujarnya yang terus berjalan mendekat. “Ini kopi untuk Anda, Pak.”

Kala mendongak memperhatikan Maya yang tengah meletakkan kopi untuknya, padahal Kala sama sekali tidak memintanya.

"Kenapa kamu belum pulang?” tanyanya.

"Emm … saya masih mempunyai pekerjaan yang harus saya selesaikan, Pak. Dan tidak sengaja melihat bapak juga belum pulang, akhirnya saya berinisiatif untuk kopi. Apakah bapak sudah mau pulang?”

Kala menghela napas kasarnya. “Iya, aku mau pulang. Maaf, aku tidak bisa meminum kopinya.”

“Ah, tidak apa-apa, Pak. Kebetulan saya juga mau pulang. Emm … bagaimana kalau kita pulang pulang bersama. Ah, maksud saya turun ke parkiran bersama,” tawar Maya.

“Kamu duluan aja, aku ada sedikit pekerjaan yang harus diselesaikan,” ujar Kala.

Dengan anggukan pelan, Maya pun langsung undur diri meninggalkan ruangan Kala dengan rasa tidak puas. Tangannya mengepal, karena rencana untuk mendekati Kala lebih dalam ternyata gagal total.

“Tidak apa-apa jika hari ini aku gagal, tapi akan aku pastikan jika next time tidak akan gagal lagi,” ujar Maya sambil menutup pintu ruangan Kala.

Setelah menyelesaikan pekerjaannya Kala pun langsung meninggalkan kantor. Saat dilihat ternyata waktu sudah menunjukkan hampir pukul dua belas malam. Rasa tubuhnya sudah sangat, tetapi dia harus menyetir mobil sampai ke rumah. Helaan napas pun terdengar begitu berat.

Namun, saat Kala baru ingin membuka pintu mobil tiba-tiba sosok Maya datang mengagetkan dirinya.

“Pak Kala mau pulang?”

Kala langsung menoleh kebelakang. “Maya,” ucapnya dengan pelan.

“Saya lihat Pak Kala seperti sedang lelah. Jika tidak keberatan saya bisa mengantarkan Pak Kala pulang. Saya hanya takut terjadi sesuatu dengan Bapak.”

Sejenak Kala terdiam. Tidak dipungkiri jika saat ini tubuhnya sudah sangat lelah. Sepertinya tidak ada yang salah jika Maya mengantarkannya pulang. Sebagai imbalan, Kala akan memberikan bonus insentif kepada Maya.

“Sepertinya itu bukan itu yang buruk. Baiklah, aku tidak keberatan jika kamu mengantarkan aku pulang. Sebagai emailnya aku akan memberikan bonus insentif kepada. Kirimkan saja nomor rekening,” ujar Kala.

"Ah, enggak repot-repot, Pak. Saya ikhlas kok.”

“Tidak. Aku tidak mau berhutang budi kepadamu!”

Maya pun tersenyum kecil ketika Kala menyerahkan sebuah kunci mobil kepada dirinya. Namun, tiba-tiba senyum itu luntur kalah membuka pintu belakang.

“Lho, Pak Kala duduk di belakang?” tanyanya dengan heran.

“Iya. Aku tidak mau kelak terjadi kesalahpahaman di antara kita,” pungkas Kala.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status