Bayi-bayi itu menggeliat pelan, jemari mereka yang kecil mengepal seakan mencari sesuatu yang tak kasat mata. Kulit mereka tipis, hampir transparan di bawah cahaya lampu inkubator. Kering, bersisik, seolah tubuh mungil mereka masih belum siap menghadapi dunia luar.
Baim menelan ludah. "Mereka begitu kecil. Terlalu kecil," batinnya.
Mereka lahir prematur seminggu yang lalu, dengan berat tak lebih dari sekantong gula pasir. Tubuh mereka masih bertarung untuk bertahan, paru-paru mereka belum sepenuhnya matang.
Meski sudah mengenakan masker dan sarung tangan, ia tahu ia tak bisa menyentuh mereka. Lapisan tipis plastik inkubator menjadi penghalang antara dirinya dan anak-anaknya. Bukan sekadar jarak fisik, tapi juga ketakutan—ketakutan bahwa sentuhan sekecil apa pun bisa membawa bahaya, bisa mengundang infeksi yang bisa merenggut mereka dari genggamannya.
"Papa di sini, Nak… Papa janji, kalian akan baik-baik saja."
Namun, janjinya terasa hampa jika ia tak segera menemukan donor ASI.
Baim meremas jemarinya, matanya kembali menatap bayi-bayinya yang masih terbaring lemah dalam inkubator. Ia mengembuskan napas panjang, lalu menoleh ke arah suster yang berdiri di sampingnya.
"Suster, bagaimana keadaan bayi saya?"
Suster itu menatapnya dengan raut hati-hati. "Berat badan mereka masih sama, Pak. Akhir-akhir ini, pendonor ASI berkurang, sehingga bayi-bayi Bapak tidak cukup mendapatkan ASI secara maksimal."
Baim mengerutkan kening, dadanya terasa semakin sesak. "Apa pihak rumah sakit belum menemukan pendonor tetap untuk bayi saya, Sus?"
Suster menggeleng. "Belum, Pak. Tidak mudah mencari pendonor ASI yang sesuai dengan kriteria. Bayi Bapak kembar, mereka butuh ASI dalam jumlah banyak dan dari ibu yang benar-benar sehat." Ia terdiam sejenak, lalu menambahkan dengan hati-hati, "Mungkin Pak Baim juga bisa mencarinya di luar rumah sakit."
Baim mengusap wajahnya, menekan perasaan frustrasi yang mulai mendesak. "Baik, Sus. Saya akan coba mencarinya sendiri."
Suster mengangguk, tersenyum tipis. "Itu lebih baik, Pak. Pihak rumah sakit juga akan tetap berusaha mencari pendonor tetap untuk si kembar."
"Tolong kabari saya jika sudah mendapatkannya, ya."
"Tentu, Pak Baim."
Baim menatap bayi-bayinya sekali lagi, lalu menarik napas panjang sebelum melangkah pergi. Ada banyak hal yang bisa ia beli dengan kekayaannya, tapi saat ini, yang paling dibutuhkan anak-anaknya adalah sesuatu yang tak bisa ia dapatkan dengan mudah—seorang ibu yang bersedia menjadi penyambung hidup mereka.
***
Sementara di ruang operasi, Ayu masih belum menyadari apa yang terjadi pada bayinya. Dokter kandungan masih terus menyelesaikan proses menjahit robekan di perutnya.
Setelah 45 menit kemudian, dokter melepas sarung tangannya, lalu memberikan isyarat pada perawat. "Lukanya sudah dibalut. Bawa dia ke ruang pemulihan."
Beberapa perawat bergerak sigap. Dengan hati-hati, mereka memindahkan tubuh Ayu ke tempat tidur roda, lalu mendorongnya keluar dari ruang operasi. Lampu-lampu di langit-langit tampak samar di balik kelopak matanya yang berat. Kesadarannya masih mengapung di antara realitas dan efek anestesi.
Di ruang pemulihan, Ayu mulai tersadar perlahan. Rasa berat di kelopak matanya membuatnya sulit membuka mata sepenuhnya. Dunia di sekelilingnya terasa kabur. Suara sayup-sayup mulai terdengar—suara perawat, suara mesin medis, dan bisikan lirih yang samar.
Dadanya naik turun pelan. Napasnya masih terasa berat. Ia mencoba menggerakkan jari-jarinya, namun tubuhnya terasa kaku, seakan bukan miliknya sendiri.
Saat akhirnya pandangannya lebih jelas, ia melihat sekeliling.
Di sisi lain ruangan, ada beberapa pasien lain yang juga dalam masa pemulihan. Wajah mereka masih pucat, tapi ada sesuatu yang berbeda—mereka tidak sendirian.
Tangan mereka digenggam erat oleh suami mereka. Ada bisikan lembut, ada sentuhan yang menenangkan. Mata mereka mungkin masih berat oleh efek obat, tetapi ada kekuatan dalam genggaman itu, ada kehangatan yang membuat mereka merasa lebih baik.
Ayu menelan ludah. Tatapannya jatuh pada tangannya sendiri—kosong. Tidak ada tangan yang menggenggamnya. Tidak ada suara lembut yang menenangkannya.
Tak ada siapa pun.
Perasaan hampa menyelinap di dadanya. Seakan-akan udara di ruangan ini menekan dirinya lebih dalam, membuatnya semakin kecil. Air mata mulai menggenang di sudut matanya, lalu mengalir perlahan ke pelipisnya.
"Bapak... Ibu..." suaranya tak keluar, hanya bergema dalam hatinya yang mulai terasa nyeri. "Di mana kalian? Ayu rindu."
Ayu ingin pulang. Ia ingin berada dalam dekapan seseorang yang peduli. Tapi kenyataannya, ia terbaring di sini—sendirian dan merasakan kehampaan.
Tiba-tiba, ada sesuatu yang bergejolak di perutnya. Sensasi mual yang hebat melanda, naik ke tenggorokan seperti gelombang pasang yang tak terbendung. Ayu ingin bergerak, ingin memiringkan tubuhnya, tapi tubuhnya masih terlalu lemah.
Panik mulai menyergap. Dadanya terasa semakin sesak. Napasnya tercekat di balik corong oksigen, suaranya hanya keluar sebagai gumaman tertahan.
Ayu mencoba berteriak, tapi yang keluar hanya rintihan samar. Pandangannya mulai berputar, rasa mual semakin menjadi.
Di seberang ruangan, seseorang memperhatikannya—seorang anggota keluarga pasien lain. Matanya membelalak saat menyadari kondisi Ayu yang tidak biasa.
"Mbak, perawat! Tolong! Dia mau muntah!" serunya.
"Kalau begitu, kami pamit."Salah satu petugas KPK mengangguk singkat, lalu berbalik meninggalkan ruang tamu. Anggota lainnya mengikuti, membawa berkas dan beberapa barang bukti dalam kotak coklat.Begitu pintu terbuka, suara gemuruh langsung menyergap. Blitz kamera menyala, mikrofon terulur liar."Apakah benar Sambo menyembunyikan Jaka sebagai pembunuh orang tua Ayu?""Apakah Pak Sambo akan ditahan?""Apa benar Jaka menikahi Ayu agar terbebas dari jerat hukum?"Beberapa wartawan mencoba menyelinap masuk, mendorong tubuh mereka ke celah pintu yang masih setengah terbuka. Namun para pengawal Sambo bergerak cepat, membentuk barikade hidup. Sikut bersentuhan, tubuh berbenturan, namun rumah tetap tertutup rapat dari mata publik.Di dalam, Sambo ambruk bersimpuh di lantai marmer. Tubuhnya lunglai, kepalanya tertunduk dalam. Ia mencengkeram rambutnya, mencakar pelipisnya sendiri. "Hancur… semuanya hancur…" gumamnya lirih, hampir tak terdengar.Hayati berlari mendekat, lututnya jatuh di sam
"Sari... Fatma," suara Baim terdengar pelan tapi jelas. "Ayu pernah cerita soal surat perjanjian itu ke kalian?"Keheningan menggantung. Hanya suara napas bayi dan detak jam dinding yang menemani. Fatma dan Sari saling pandang, lalu Sari menjawab hati-hati, "Nggak, Pak. Ayu nggak pernah cerita hal-hal pribadi ke kami."Baim mengembuskan napas panjang. Pandangannya beralih ke sekitar. "Kira-kira... surat itu mungkin ada di rumah ini?"Fatma tampak mengernyit, lalu seolah sesuatu menyentak ingatannya. "Eh... saya jadi ingat, Pak. Dulu Indri pernah bilang, katanya dia nemu surat perjanjian di lemari Ayu.""Indri?" alis Baim terangkat. "Jadi... surat itu benar-benar ada?""Iya, Pak. Katanya sih begitu. Bahkan dia pernah motret suratnya juga," ujar Fatma.Laura yang sejak tadi diam, menegang. Kalau Mas Baim tanya langsung ke Indri... pikirnya. Tiba-tiba ia teringat sesuatu. Selama ini cuma aku dan Indri yang tahu surat itu. Jangan-jangan... dia yang bocorin ke media?Baim mengangguk pelan.
Narendra menurunkan jendela mobil. "Mau apa kalian?""Tuan Sambo meminta Anda segera menemuinya," jawab pria itu datar.Narendra mengisap rokoknya sekali lagi, lalu melemparkannya keluar. "Sudah kubilang, aku akan menemuinya setelah ini."Tatapan pria itu mengeras. "Di mana wanita itu?"Narendra menyipitkan mata, nadanya tajam. "Kalian mau rebut bonus itu untuk diri kalian sendiri? Aku yang akan menyerahkannya langsung ke Papa. Sekarang minggir."Ia menutup jendela, mendorong knop transmisi, lalu menancap gas, meninggalkan tempat gelap itu dalam kepulan debu.Sementara itu di rumah Baim. Kamar yang remang, cahaya dari layar ponsel menyala terang di wajah Laura. Alisnya bertaut, rahangnya mengeras. Ia menggulir layar cepat-cepat, lalu berhenti pada satu unggahan yang tengah ramai dibagikan. Teks di bawahnya menyala tegas: "Surat Perjanjian Pernikahan Ayu, Bocor ke Publik."Matanya membelalak. Ponsel itu bergetar ringan di tangannya yang gemetar."Enggak mungkin..." bisiknya. Ia berdir
"Apa maksudnya Mas Rendra? Jangan-jangan dari awal dia cuma disuruh Papa?" Ayu menggenggam ponselnya erat, jantungnya berdebar tak karuan.Malam itu, kabut tipis menggantung di antara deretan pepohonan. Ayu duduk kaku di jok penumpang, jemarinya meremas ujung dress. Cahaya ponsel di pangkuannya terus menyala—pesan tanpa nama itu terus ia baca, kata-katanya membuat resah dan khawatir.Narendra diam di balik kemudi, sorot matanya fokus menembus gelap.Aspal di depan membentang hitam dan kosong, tapi Ayu tak menatapnya—matanya lebih sering melirik Narendra, lalu ke jalan, lalu kembali lagi. Ada sesuatu yang mencurigakan mengusik pikirannya.Saat mobil berbelok di perempatan kecil, masuk ke jalan sempit yang hanya cukup untuk satu mobil, Ayu langsung duduk lebih tegak."Mas, kok kita lewat sini?" Suaranya tercekat, hampir tak terdengar."Biar kita nggak gampang dilacak. Di jalan besar, orang-orang Papa bisa mengenali mobil ini."Jawabannya masuk akal, tapi Ayu tak bisa mengusir gemuruh di
"Papa ngirim pesan..." Suara Narendra terdengar panik.Mata Ayu membulat. "Apa? Mungkinkah itu orang suruhan Papa?"Narendra kembali melirik spion, lalu menggeleng pelan. "Nggak tahu."Beberapa detik kemudian, getaran panggilan masuk dari Sambo membuat ponselnya bergerak."Papa nelpon, Mas!" seru Ayu panik.Narendra spontan menoleh ke arah ponsel. Pegangannya di setir mulai goyah."Apa Papa tahu aku bawa Ayu kabur?" batinnya.Ayu melirik spion dengan napas tak teratur. "Mas, van hitam itu masih ngikutin kita. Gimana dong?""Di depan ada pom bensin. Aku akan masuk ke sana."Narendra membanting setir, lalu menepi ke area pom. Dari kaca spion, ia melihat van itu menyalip dan terus melaju.Ayu menghela napas panjang. Matanya terpejam sebentar."Syukurlah... Van itu udah nggak ngikutin kita."Narendra mengangguk kecil. "Aku angkat telepon dari Papa. Kamu tenang dulu, ya."Ayu mengangguk cepat. "Iya, Mas..."Narendra menekan tombol hijau. Ia menarik napas panjang sebelum berbicara."Halo,
Mata Ayu membelalak. Nafasnya tertahan saat melihat sosok di ambang pintu. Degup jantungnya melambat—bukan karena takut, tapi lega."Mas Rendra..." suaranya lirih, nyaris seperti bisikan yang tercekat. Ia bergegas membuka pintu.Narendra masuk tanpa basa-basi. Tangannya meraih gagang pintu dan membantingnya hingga tertutup rapat. Tatapannya tajam, nadanya nyaris membentak."Kamu yang menyebarkan surat itu? Kenapa kamu gegabah, Ayu?"Ayu tersentak, lalu buru-buru menggeleng. "Bukan aku, Mas. Sumpah. Aku bahkan nggak tahu siapa yang—""Ini gawat." Narendra menyapu ruangan dengan pandangan waspada. Matanya menyipit."Kamu bisa dalam bahaya. Siapapun yang menyebarkan, yang jelas isi perjanjian itu sudah terungkap ke publik. Papa Sambo nggak akan membiarkan kamu muncul dan bicara.""Kenapa, Mas? Aku bisa menyangkal. Berpura-pura perjanjian itu nggak benar.""Karena kamu itu ancaman, Ayu. Dari awal!"Narendra mendekat, matanya menyala marah—bukan padanya, tapi pada kebenaran yang selama ini
"Baik, Pak. Di mana posisi target sekarang?" Suara dalam ponsel itu terdengar datar. "Di rumah. Dia tidak ke mana-mana." Sambo melirik ke arah jendela, seolah bisa menembus dinding dengan tatapan. "Lenyapkan dia. Malam ini." "Siap, Pak." Telepon berakhir dengan bunyi klik. Sambo menatap layar ponsel yang mati, lalu mengepalkannya hingga sendi jarinya memutih. "Bangsat!" gumamnya pelan namun penuh geram. Ia melempar ponsel ke sofa, lalu menghantam meja kecil di sampingnya dengan kepalan tangan. "Anak itu benar-benar tidak bisa diajak bicara baik-baik. Sudah kuperingatkan. Tapi dia tetap melawan." Dari dalam rumah, langkah cepat terdengar. Hayati muncul dengan napas tersengal, wajahnya pucat. "Pa... barusan itu wartawan? Suaranya ramai sekali." Sambo memutar tubuhnya, sorot matanya gelap. "Mereka menanyakan surat itu. Memaksa aku mengakui perbuatan Jaka. Dan sekarang... mereka ingin Ayu tampil di jumpa pers." Hayati menutup mulutnya dengan tangan. "Ya Tuhan... Pa, aku sudah cob
"Nggak masuk akal, menantu Gubernur adalah penjual sayur. Mereka pasti sengaja menyembunyikan sesuatu, agar nama Gubernur tetap bersih." Polisi itu menjabat tangan Baim, lalu melangkah pergi. Baim membeku. Pandangannya kosong, bahunya kaku, dan wajahnya pucat. Melihat itu, Yoga buru-buru menghampiri. "Pak? Anda baik-baik saja?" Baim mengangkat kepala perlahan. Suaranya parau. "Yoga, aku nggak begitu paham maksud polisi tadi. Aku bingung." Yoga mengeluarkan ponselnya. Ia membuka unggahan yang sedang viral, menampakkan surat perjanjian bermaterai. Komentar-komentar menghujani layar, sebagian besar berisi kemarahan. "Ini, Pak. Surat ini sudah tersebar ke mana-mana. Banyak yang menuntut Gubernur diperiksa KPK. Rakyat marah karena kasus ini ditutupi. Mereka menyuarakan keadilan untuk Ayu." Baim membaca cepat. Sorot matanya tajam, lalu berubah nanar saat melihat nama Ayu dan Jaka tertera jelas dalam perjanjian itu. "Jadi... orangtua Ayu...?" "Iya, Pak. Jaka menabraknya saat mabuk. Ibu
Baim mendongak. "Apa? Bagaimana bisa?"Yoga menoleh ke Laura sejenak, lalu kembali ke Baim. "Dia memang sudah lama diincar. Tapi selalu lolos karena punya pelindung kuat. Gubernur."Laura menyambung, suaranya mantap. "Kamu lihat sendiri kan, Mas. Bahkan tanpa ikut permainannya, kita masih bisa bertahan. Ayu nggak perlu lagi jadi korban mereka.""Benar, Pak. Orang saya bilang, salah satu bandar kecil yang kerja buat Bram akhirnya buka suara. Polisi tinggal menunggu waktu."Baim menarik napas dalam. Pandangannya kini lebih terang. Ragu-ragu yang tadi menggumpal mulai menguap."Terima kasih, Yoga," ucapnya lega. "Ayo, waktunya kita masuk ke ruang jumpa pers." Ia menggandeng tangan Laura mantab.Hingga akhirnya, jumpa pers itu berjalan tanpa mengikuti tekanan dari Bram. Kini suara kamera mulai mereda, para wartawan berkemas, beberapa masih sibuk menelepon redaksi.Tapi di lorong luar, langkah kaki bergemuruh. Bram datang tergesa, matanya menyala seperti bara. Saat ia melihat Baim keluar