Seorang perawat yang tengah memeriksa pasien lain segera berbalik, lalu bergegas ke sisi Ayu. Dengan cekatan, ia melepas corong oksigen dan memiringkan tubuh Ayu ke samping.
Sesaat kemudian, cairan muntahan keluar dari mulut Ayu. Perawat menepuk punggungnya perlahan, memastikan semuanya keluar dengan lancar.
Ayu terengah-engah, tubuhnya terasa lebih ringan, tapi juga lebih lemah dari sebelumnya.
Perawat meraih tisu, menyeka sisa cairan di sudut bibir Ayu, lalu menatapnya dengan sorot mata penuh pertanyaan.
"Keluarganya di mana, Bu?" tanyanya, suaranya lembut, tapi ada nada heran di dalamnya.
Ayu hanya bisa menatap kosong ke langit-langit. Tenggorokannya masih terasa kering, dan ada sesuatu yang lebih menyakitkan dari sekadar muntah—kenyataan bahwa ia benar-benar sendirian.
"Enggak ada," jawab Ayu lirih.
"Suami?" tanya perawat, suaranya lembut tapi menusuk.
Ayu menggeleng pelan. Bibirnya sedikit bergetar, tapi tak ada kata yang keluar. Dadanya terasa sesak, seolah ada beban berat yang menindih.
Ia menunduk, jemarinya mengepal di atas selimut rumah sakit. Sendiri. Benar-benar sendiri.
'Andai Bapak dan Ibu masih hidup,' batin Ayu.
Bayangan kecelakaan itu kembali menyergap. Cahaya lampu jalan yang temaram, suara rem mendecit, jeritan samar di kejauhan. Pak Sutopo dan Bu Amina tak pernah pulang dari pasar pagi Glodok hari itu.
Dulu, setiap pagi, Ayu bisa mencium aroma sayur segar di rumah. Tangan kasar ibunya mengusap kepalanya, sementara bapaknya menggendong karung penuh dagangan. Mereka tertawa meski hidup seadanya.
Tapi saat itu, semuanya berubah. Ayu yang baru lulus SMA harus meninggalkan desa Ngaliyan. Ia menempuh perjalanan panjang ke Jakarta. Bukan untuk mengejar impian, tapi untuk melihat tubuh orang tuanya terbujur kaku di ranjang rumah sakit.
Dan sekarang, setelah semua yang terjadi, ia justru terjebak di tengah keluarga yang menganggapnya tak lebih dari bayangan di sudut ruangan.
Pintu ruang pemulihan berderit pelan. Aroma antiseptik bercampur udara dingin AC menyeruak ketika Bidan Terbit masuk.
"Mbak Ayu, kamu sudah sadar?" tanyanya, mendekat ke ranjang.
Ayu berkedip beberapa kali, mencoba menyesuaikan diri dengan cahaya ruangan. Tubuhnya masih terasa lemas, efek bius membuat pikirannya sedikit melayang. Tapi ada satu hal yang lebih mendesak.
"Iya, Bu." Suaranya serak. "Bayi saya laki-laki atau perempuan?"
Bidan Terbit tersenyum hangat. "Bayi kamu sangat cantik."
Seketika, mata Ayu berbinar. Bibirnya melengkung dalam senyum kecil, meski kelopak matanya masih menyimpan sisa lelah.
"Syukurlah." Ayu menelan ludah, berusaha menguatkan diri. "Boleh saya menemuinya? Saya ingin menyusuinya."
Bidan Terbit mengusap lengannya lembut. "Sabar, Mbak Ayu. Setelah pindah ke kamar perawatan, ya!"
Ayu mengangguk pelan, tapi senyumnya perlahan pudar ketika bidan menambahkan, "Oh ya, Ayahnya sudah bisa dihubungi?"
Gemetar halus di ujung jari Ayu tak luput dari perhatian Bidan Terbit. Ia menggeleng, lebih lambat dari sebelumnya. Matanya berkabut.
Bidan Terbit mendesah. "Suami kamu ini gimana, sih? Bahkan saat hamil saja tak pernah menemani periksa. Biar aku telepon mertuamu lagi!"
"Jangan, Bu!" Ayu spontan meraih tangan bidan, jemarinya mencengkeram erat, seolah itu satu-satunya yang bisa menahannya tetap kuat.
Bidan Terbit tertegun. "Kenapa?"
Air mata Ayu jatuh, satu-satu, lalu deras. Bahunya terguncang.
"Enggak usah telepon, Bu," bisiknya, nyaris tak terdengar.
"Kami butuh keluarga pasien untuk memberitahu kondisi ibu dan bayi, Ayu," bujuk Bidan Terbit, suaranya lebih lembut.
"Tapi, Mama pasti enggak akan suka."
Dahi bidan itu mengernyit. "Memangnya kenapa, Mbak Ayu?"
Ayu menggeleng cepat, menarik napas tersendat. "Enggak, Bu. Enggak papa. Tolong, jangan telepon."
Bidan Terbit menatapnya beberapa saat, seolah menimbang-nimbang. Tapi akhirnya, ia bangkit dengan napas berat. "Maaf, Ayu. Kami tetap harus menghubunginya."
Ayu hanya bisa memejamkan mata saat suara langkah bidan itu menjauh, meninggalkannya dalam ruangan yang terasa semakin dingin.
"Bu Bidan...!" seorang perawat setengah berlari menyusul dari belakang.
"Iya?"
"Itu, Bu Ayu. Rujukan dari Bidan Terbit, kan?"
Bidan Terbit mengangguk tanpa menghentikan langkahnya.
"Kenapa?"
"Keluarganya mana, Bu? Kasihan, dia sejak kemarin berjuang sendiri."
Bidan Terbit berhenti sejenak, menarik napas pelan. "Dia yatim piatu."
Perawat itu tertegun. Matanya melembut. "Ya Allah... Tapi suami dan mertuanya? Kenapa mereka nggak menemani?"
Bidan Terbit menoleh cepat, lalu mencondongkan tubuhnya. "Ssst... Kamu ini." Ia merendahkan suara. "Dia menantu Gubernur."
Aku tidak pernah menyangka, bahwa aku dan Mas Baim akan punya masa depan seindah ini. Siapalah aku? Aku hanyalah anak dari penjual sayur di pasar pagi. Dan aku… menyaksikan sendiri bagaimana kedua orang tuaku meregang nyawa di hadapanku. Hari itu, kami sedang mengangkut sayuran ke lapak. Tiba-tiba, sebuah mobil rubicon melaju kencang dan oleng, menghantam mereka. Ibu meninggal di tempat. Ayah masih hidup, tapi kritis. Di rumah sakit, dua polisi datang membawa selembar kertas dan meminta ayahku menandatanganinya, bahkan saat tangannya tak mampu lagi menggenggam pena. Tak lama setelah itu... beliau pun pergi menyusul ibu. Aku... hancur. Baru lulus SMA. Baru datang dari Semarang ke Jakarta, dengan harapan bisa hidup bersama orang tua dan mencari pekerjaan. Tapi dalam sekejap, aku kehilangan semuanya. Aku dititipkan di Asrama Yatim dan Dhuafa. Tak lama, datanglah sepasang suami istri—katanya Gubernur Jakarta dan istrinya—menjemputku. Mereka bilang, aku akan menikah. Dan aku hanya
Baim berdiri sekitar dua meter dari Ayu. Jemarinya mencengkeram erat pegangan stroler, sendi-sendi tangannya tampak tegang, seperti menahan sesuatu yang lama mengendap. Suara langkahnya terdengar berat saat ia mendekat. "Teganya kamu mau ninggalin kita, huh?" ucapnya, pelan tapi tajam—seperti luka yang baru saja disiram garam. Ayu tersentak. Nafasnya tercekat sejenak. "D-dari mana Mas tahu saya di sini?" Suaranya nyaris tak terdengar, matanya menatap sekeliling, gugup, seolah berharap tempat itu bisa menelannya hidup-hidup. "Umi Euis." Baim menatap langsung ke matanya. "Aku di sana waktu dia telepon kamu." Ayu mengerjap. Bibirnya gemetar. "Umi...?" bisiknya, tak percaya. Namun perlahan, senyum samar terbit di wajahnya saat stroller itu mendekat. Di dalamnya, Arjuna dan Srikandi menendang-nendang kecil, tangan mungil mereka bergerak, seakan mengenali aroma yang tak asing. "Arjuna... Srikandi..." Suaranya parau, bergetar. Ia berjongkok, meraih Arjuna ke pelukannya. Seketika
Sudah seminggu sejak tragedi berdarah itu. Luka di tubuh Narendra mungkin dijahit dan dirawat, tapi luka di hati Ayu masih menganga, tak tersentuh.Hari itu, ia berjalan pelan menyusuri lorong rumah sakit, tangan kanan menggenggam tas kecil yang sudah lusuh di ujung resleting. Isinya hanya beberapa helai baju—cukup untuk pergi, bukan untuk kembali.Ia berhenti di depan pintu ICU. Menarik napas panjang, lalu membukanya perlahan.Cahaya putih dari ruangan menyambutnya dengan sunyi yang menggigit. Di dalam, tubuh Narendra terbaring kaku di atas ranjang. Wajahnya pucat. Selang menancap di hidung dan tangannya, kabel-kabel menjulur ke monitor yang memancarkan bunyi ritmis,bip… bip… bip,penanda bahwa jantungnya belum menyerah.Ayu melangkah pelan, duduk di tepi ranjang, lalu menggenggam tangan Narendra. Dingin. Tak ada balasan."Mas…" bisiknya, suara serak tertahan di tenggorokan. "Aku pamit, ya…"Matanya mulai basah. Suara di dadanya memberontak, tapi tak tahu harus berkata apa. Ia mengu
Beberapa warga menarik baju Jaka hingga tubuhnya terpental ke jalan. Pisau itu terlepas. Seseorang menendangnya jauh dari jangkauan.Jaka bangkit tergagap, napas memburu. Seperti baru terjaga dari mimpi buruk, ia berbalik dan lari membelah kerumunan yang nyaris mengeroyoknya.Tapi di ujung gang, langkahnya terhenti.Cahaya merah-biru menyambar wajahnya. Beberapa polisi berdiri siaga. Senjata teracung, suara mereka membelah malam:"Berhenti! Angkat tanganmu!"Jaka terpaku. Napasnya tak beraturan. Tangan gemetar, darah mengering di sela jemarinya. Perlahan ia mengangkat kedua tangan. Tanpa perlawanan, tubuhnya didorong ke tanah dan diborgol. Sorot matanya kosong—seperti jiwa yang baru tercerabut dari tubuhnya.Tak lama kemudian, sirine meraung dari arah lain. Ambulans berhenti di mulut gang. Petugas medis turun, membawa tandu dan peralatan. Mereka menyibak kerumunan yang kini saling berbisik ngeri.Narendra segera diangkat dari tanah. Tubuhnya nyaris tak bergerak, hanya dada yang masih
Jleb...Suara daging yang robek tertahan dalam udara, tajam dan mengerikan. Pisau menembus perut Narendra—seketika tubuhnya menegang, matanya membelalak seolah tak percaya apa yang baru saja terjadi. Nafasnya tersendat pendek.Tangan kirinya meraba pangkal pisau yang masih tertanam dalam perutnya. Jemarinya gemetar, mencoba menahan luka yang terasa membakar dari dalam. Darah mulai merembes, menghangatkan bajunya, lalu menetes deras ke jalan."Dasar pengkhianat!" suara Jaka melengking, garau dan penuh amarah. Sorot matanya liar, bibirnya mengatup keras seperti sedang menahan badai dari dalam dadanya. Ia mendorong pisau itu lebih dalam—gerakan cepat dan penuh dendam."Egh…" desah Narendra, lebih mirip embusan angin dari paru-paru yang kehilangan kendali. Kakinya melemas, bahunya turun perlahan, lalu tubuhnya ambruk dalam gerakan lambat. Pisau ditarik. Suara basah yang memuakkan terdengar ketika bilah itu meninggalkan tubuhnya. Darah memancar deras, membasahi jalan paving, menggenang c
Rani mendesis marah. Ia mendorong si pegawai dengan kasar. "Kurang ajar kamu, ya! Gini-gini aku masih punya uang!"Pegawai itu tak gentar. Ia mengangkat kartu kredit berwarna emas dan mengibaskannya di udara."Heh… jangan mimpi terus! Selama ini ayah kamu itu korupsi. Kamu cuma numpang gaya! Nih, kartu kamu nggak bisa dipakai!" Ia menjatuhkan kartu itu ke lantai dengan gerakan menghina.Wajah Rani memerah, nyaris ungu. Ia memungut kartu itu dengan gerakan tergesa lalu menutupi wajahnya dengan syal dan memakai kacamata hitam, berusaha menyembunyikan amarah dan rasa malu yang sudah telanjur menggelegak. "Apa kalian. Jangan ada yang berani merekamku. Pergi kalian semua. Bubar!" Ia menyibakkan tangan berharap kejadian itu tak ada satu orangpun yang tahu.Namun terlambat—kerumunan sudah melihat segalanya. Beberapa kamera ponsel menangkap setiap detiknya.Di dalam mobil, Ayu masih terpaku. "Mas… kamu nggak turun?" tanyanya hati-hati.Narendra mendengus pelan, hampir seperti tertawa kecil t