Alat penyedot bekerja, mengeluarkan cairan dari paru-paru mungil itu. Namun, tetap tak ada suara.
"Pasang oksigen!" perintah dokter tanpa ragu.
Seorang perawat segera menempelkan sungkup kecil di wajah bayi, mengalirkan oksigen ke paru-parunya yang masih berjuang untuk bekerja.
Tetap sunyi.
Dada dokter anak mulai terasa sesak. Ia tahu detik-detik ini sangat berharga.
Tanpa membuang waktu, ia menempelkan dua jari di dada bayi dan mulai melakukan kompresi kecil—tepat di atas jantung mungil yang masih terlalu lemah. Tekanan ringan, berulang, namun penuh harapan.
Setiap dorongan adalah perjuangan.
Setiap dorongan adalah doa.
Lalu, ia mengambil alat ventilasi dan mulai memberikan bantuan napas. Udara dialirkan perlahan, berharap paru-paru bayi itu mau bekerja.
Detik-detik berlalu seperti selamanya.
Semua orang di ruangan itu menunggu—menunggu satu suara kecil yang bisa mengubah segalanya.
Tangisan.
Namun, keheningan masih menggantung di udara.
"Belum menangis, Dok!" suara bidan memecah ketegangan di ruangan.
Matanya terpaku pada bayi mungil yang masih terbaring diam di bawah alat bantu napas.
Dokter anak mengernyit, mendekatkan stetoskop ke dada kecil itu. Hening. Hanya denyut yang lemah, nyaris tak terasa. Lalu, samar-samar, suara berdesir yang tidak biasa terdengar di antara detak jantungnya.
"Denyut nadinya lemah," ujar dokter dengan nada serius. "Saya mendengar murmur jantung yang abnormal."
Para perawat dan bidan saling berpandangan, cemas mulai terasa di udara.
"Kita akan melakukan pemeriksaan EKG! Segera bawa dia ke ruang pemeriksaan!"
Tanpa menunda waktu, perawat dengan sigap mengambil selimut hangat, membungkus tubuh mungil bayi itu dengan hati-hati. Sementara satu perawat lainnya sudah bersiap dengan inkubator portabel, memastikan selang oksigen tetap terpasang.
"Baik, Dok!" bidan segera membantu, mendorong inkubator dengan langkah cepat keluar dari NICU.
Di lorong rumah sakit, roda inkubator berdecit halus di atas lantai. Lampu-lampu langit-langit berganti satu per satu saat mereka bergerak menuju ruang pemeriksaan.
Di dalam inkubator, bayi itu masih diam. Napasnya begitu pelan, hampir tak terlihat.
Setiap detik terasa seperti seumur hidup.
Dokter anak mengepalkan tangan. "Bertahanlah, Nak. Bertahanlah," gumamnya.
Wajahnya tampak seputih jas yang dikenakannya. Ia menatap layar monitor tanpa berkedip, sementara jemarinya mengepal di sisi meja. Garis-garis pada hasil EKG terlihat lambat, intervalnya terlalu lebar.
"Bagaimana ini, Dok?" tanya bidan, suaranya bergetar halus.
Dokter anak menghela napas pelan, seolah sedang menimbang sesuatu. Di sisi lain, dokter neonatologis mencermati lembaran hasil pemeriksaan, dahinya berkerut.
"Kita masih punya satu pemeriksaan lagi yang belum dilakukan," katanya, berusaha terdengar tenang. "Mari tetap optimis. Semoga ini hanya kekhawatiran berlebih."
Bidan dan perawat saling bertukar pandang. Yang satu menggigit bibirnya, sementara yang lain mengusap lengan bayi dengan lembut, seolah sentuhan itu bisa memberi ketenangan.
"Mari kita pastikan dengan ekokardiogram," imbuh dokter.
"Baik, Dok."
Tanpa menunda, bidan dan perawat mendorong inkubator ke ruang kardiogram. Roda-roda berderit halus melintasi lantai rumah sakit yang dingin.
Di waktu yang sama, mereka berpapasan dengan Baim Syaputra. Seorang CEO tampan yang bisnisnya bergerak di bidang perhotelan bintang lima di Jakarta.
Baim Syaputra melangkah cepat di koridor, napasnya berat. Jemarinya terus menggenggam ponsel, namun tidak ada satu pun pesan balasan yang ia harapkan.
Sesampainya di ruang kardiogram, perawat dengan hati-hati membaringkan bayi mungil Ayu. Napasnya pelan, nyaris tak terdengar. Gel bening dioleskan ke dadanya, kulitnya yang tipis bergetar sedikit karena dinginnya.
Teknisi menggerakkan transduser ke berbagai sudut, matanya tajam mengamati layar. Di sana, gambar jantung yang kecil dan rapuh itu berdenyut dalam ritme yang tak semestinya.
"Apa perlu pemeriksaan Doppler, Dok?" tanyanya, setelah beberapa saat hening.
"Iya, tolong periksa juga," jawab dokter anak, nada suaranya lebih rendah dari sebelumnya.
Teknisi mengganti mode pemeriksaan. Di layar, aliran darah tampak seperti gelombang warna-warni, memperlihatkan setiap hambatan yang tak kasatmata.
Di ruangan yang dingin itu, semua yang hadir menahan napas, menunggu jawaban yang mungkin tak ingin mereka dengar.
Di ruangan bayi, Baim berdiri di balik kaca besar, menatap dua bayi mungil yang terbaring dalam inkubator. Kulit mereka masih merah muda, napasnya halus, dada kecil mereka naik turun perlahan.
Baim mengepalkan tangan, rahangnya mengeras.
"Ayah apa aku ini! Kenapa aku nggak bisa melakukan sesuatu untuk mereka?" sesalnya sendiri.
Pikirannya kalut. Bayi-bayi itu butuh ASI, dan sejauh ini, tidak ada satu pun donor yang tersedia.
Baim menempelkan telapak tangannya di kaca inkubator, seolah berharap kehangatannya bisa meresap hingga ke tubuh mungil di dalamnya.
"Halo, sayang… bagaimana kabar kalian?" suaranya lirih, hampir tenggelam oleh suara mesin medis di ruangan itu.
Aku tidak pernah menyangka, bahwa aku dan Mas Baim akan punya masa depan seindah ini. Siapalah aku? Aku hanyalah anak dari penjual sayur di pasar pagi. Dan aku… menyaksikan sendiri bagaimana kedua orang tuaku meregang nyawa di hadapanku. Hari itu, kami sedang mengangkut sayuran ke lapak. Tiba-tiba, sebuah mobil rubicon melaju kencang dan oleng, menghantam mereka. Ibu meninggal di tempat. Ayah masih hidup, tapi kritis. Di rumah sakit, dua polisi datang membawa selembar kertas dan meminta ayahku menandatanganinya, bahkan saat tangannya tak mampu lagi menggenggam pena. Tak lama setelah itu... beliau pun pergi menyusul ibu. Aku... hancur. Baru lulus SMA. Baru datang dari Semarang ke Jakarta, dengan harapan bisa hidup bersama orang tua dan mencari pekerjaan. Tapi dalam sekejap, aku kehilangan semuanya. Aku dititipkan di Asrama Yatim dan Dhuafa. Tak lama, datanglah sepasang suami istri—katanya Gubernur Jakarta dan istrinya—menjemputku. Mereka bilang, aku akan menikah. Dan aku hanya
Baim berdiri sekitar dua meter dari Ayu. Jemarinya mencengkeram erat pegangan stroler, sendi-sendi tangannya tampak tegang, seperti menahan sesuatu yang lama mengendap. Suara langkahnya terdengar berat saat ia mendekat. "Teganya kamu mau ninggalin kita, huh?" ucapnya, pelan tapi tajam—seperti luka yang baru saja disiram garam. Ayu tersentak. Nafasnya tercekat sejenak. "D-dari mana Mas tahu saya di sini?" Suaranya nyaris tak terdengar, matanya menatap sekeliling, gugup, seolah berharap tempat itu bisa menelannya hidup-hidup. "Umi Euis." Baim menatap langsung ke matanya. "Aku di sana waktu dia telepon kamu." Ayu mengerjap. Bibirnya gemetar. "Umi...?" bisiknya, tak percaya. Namun perlahan, senyum samar terbit di wajahnya saat stroller itu mendekat. Di dalamnya, Arjuna dan Srikandi menendang-nendang kecil, tangan mungil mereka bergerak, seakan mengenali aroma yang tak asing. "Arjuna... Srikandi..." Suaranya parau, bergetar. Ia berjongkok, meraih Arjuna ke pelukannya. Seketika
Sudah seminggu sejak tragedi berdarah itu. Luka di tubuh Narendra mungkin dijahit dan dirawat, tapi luka di hati Ayu masih menganga, tak tersentuh.Hari itu, ia berjalan pelan menyusuri lorong rumah sakit, tangan kanan menggenggam tas kecil yang sudah lusuh di ujung resleting. Isinya hanya beberapa helai baju—cukup untuk pergi, bukan untuk kembali.Ia berhenti di depan pintu ICU. Menarik napas panjang, lalu membukanya perlahan.Cahaya putih dari ruangan menyambutnya dengan sunyi yang menggigit. Di dalam, tubuh Narendra terbaring kaku di atas ranjang. Wajahnya pucat. Selang menancap di hidung dan tangannya, kabel-kabel menjulur ke monitor yang memancarkan bunyi ritmis,bip… bip… bip,penanda bahwa jantungnya belum menyerah.Ayu melangkah pelan, duduk di tepi ranjang, lalu menggenggam tangan Narendra. Dingin. Tak ada balasan."Mas…" bisiknya, suara serak tertahan di tenggorokan. "Aku pamit, ya…"Matanya mulai basah. Suara di dadanya memberontak, tapi tak tahu harus berkata apa. Ia mengu
Beberapa warga menarik baju Jaka hingga tubuhnya terpental ke jalan. Pisau itu terlepas. Seseorang menendangnya jauh dari jangkauan.Jaka bangkit tergagap, napas memburu. Seperti baru terjaga dari mimpi buruk, ia berbalik dan lari membelah kerumunan yang nyaris mengeroyoknya.Tapi di ujung gang, langkahnya terhenti.Cahaya merah-biru menyambar wajahnya. Beberapa polisi berdiri siaga. Senjata teracung, suara mereka membelah malam:"Berhenti! Angkat tanganmu!"Jaka terpaku. Napasnya tak beraturan. Tangan gemetar, darah mengering di sela jemarinya. Perlahan ia mengangkat kedua tangan. Tanpa perlawanan, tubuhnya didorong ke tanah dan diborgol. Sorot matanya kosong—seperti jiwa yang baru tercerabut dari tubuhnya.Tak lama kemudian, sirine meraung dari arah lain. Ambulans berhenti di mulut gang. Petugas medis turun, membawa tandu dan peralatan. Mereka menyibak kerumunan yang kini saling berbisik ngeri.Narendra segera diangkat dari tanah. Tubuhnya nyaris tak bergerak, hanya dada yang masih
Jleb...Suara daging yang robek tertahan dalam udara, tajam dan mengerikan. Pisau menembus perut Narendra—seketika tubuhnya menegang, matanya membelalak seolah tak percaya apa yang baru saja terjadi. Nafasnya tersendat pendek.Tangan kirinya meraba pangkal pisau yang masih tertanam dalam perutnya. Jemarinya gemetar, mencoba menahan luka yang terasa membakar dari dalam. Darah mulai merembes, menghangatkan bajunya, lalu menetes deras ke jalan."Dasar pengkhianat!" suara Jaka melengking, garau dan penuh amarah. Sorot matanya liar, bibirnya mengatup keras seperti sedang menahan badai dari dalam dadanya. Ia mendorong pisau itu lebih dalam—gerakan cepat dan penuh dendam."Egh…" desah Narendra, lebih mirip embusan angin dari paru-paru yang kehilangan kendali. Kakinya melemas, bahunya turun perlahan, lalu tubuhnya ambruk dalam gerakan lambat. Pisau ditarik. Suara basah yang memuakkan terdengar ketika bilah itu meninggalkan tubuhnya. Darah memancar deras, membasahi jalan paving, menggenang c
Rani mendesis marah. Ia mendorong si pegawai dengan kasar. "Kurang ajar kamu, ya! Gini-gini aku masih punya uang!"Pegawai itu tak gentar. Ia mengangkat kartu kredit berwarna emas dan mengibaskannya di udara."Heh… jangan mimpi terus! Selama ini ayah kamu itu korupsi. Kamu cuma numpang gaya! Nih, kartu kamu nggak bisa dipakai!" Ia menjatuhkan kartu itu ke lantai dengan gerakan menghina.Wajah Rani memerah, nyaris ungu. Ia memungut kartu itu dengan gerakan tergesa lalu menutupi wajahnya dengan syal dan memakai kacamata hitam, berusaha menyembunyikan amarah dan rasa malu yang sudah telanjur menggelegak. "Apa kalian. Jangan ada yang berani merekamku. Pergi kalian semua. Bubar!" Ia menyibakkan tangan berharap kejadian itu tak ada satu orangpun yang tahu.Namun terlambat—kerumunan sudah melihat segalanya. Beberapa kamera ponsel menangkap setiap detiknya.Di dalam mobil, Ayu masih terpaku. "Mas… kamu nggak turun?" tanyanya hati-hati.Narendra mendengus pelan, hampir seperti tertawa kecil t