"Kamu sudah bahagia, kan? Ibu senang kamu nggak perlu merasakan zalimnya keluarga ayahmu. Ibu senang kamu sudah tinggal di tempat yang nyaman di sana."
Ia merebahkan tubuhnya di atas tanah, membiarkan dinginnya meresap ke kulitnya. Tangannya masih mengelus nisan Bintang, seakan berharap bisa merasakan denyut kehidupan yang telah pergi.
"Nak… Ibu rindu. Ibu kesepian di dunia ini. Bisakah kamu mengajak Ibu ke sana?"
Matanya terpejam, air matanya jatuh tanpa suara, membasahi pipinya yang pucat. Di tempat ini, di bawah langit yang perlahan menggelap, Ayu merasa dirinya bukan siapa-siapa. Hidupnya terasa begitu hampa, seolah ia hanya bayangan yang tersisa dari masa lalu.
Setelah lama terisak dalam sunyi, Ayu menggerakkan tangannya ke dalam tas lusuh yang ia bawa. Ditariknya sebotol kecil ASIP yang hanya berisi tak lebih dari 15 ml. Tangannya gemetar saat menatap cairan bening itu.
<"Namanya Nindi. Putri ketua Partai Maju Bersama." Hayati memperkenalkan wanita itu dengan bangga.Ayu menatap Jaka, lalu Nindi, lalu kembali ke Jaka. Ia terkekeh pelan, senyum merendahkan terukir di wajahnya. "Hah… Aku gak habis pikir," suaranya bergetar, entah karena marah atau getir."Anakmu baru saja meninggal, Mas. Tapi kamu malah mengumumkan pernikahan?"Maharani, yang sedari tadi sibuk dengan ponselnya, mendengus. "Hei, yang mati ya udah mati aja. Apa hubungannya sama pernikahan Jaka?" katanya dengan nada malas, seolah kematian Bintang bukan hal besar.Ayu mengepalkan tangan di pangkuannya, berusaha meredam gejolak yang membakar dadanya."Kamu gak usah berharap lebih dari anakku," Hayati menyusul dengan tatapan tajam."Kami sudah cukup baik menampungmu di rumah ini. Kamu terhormat karena menjadi menantu Gubernur."Ayu terkekeh lagi, kali ini disertai air mata yang jatuh begitu saja. "Terhormat?" suaranya lirih
"Ah, sudah, sudah! Gak usah drama panjang!" suara Rani memotong kasar. Ia beranjak dari sofa, meraih tangan Nindi dengan penuh semangat."Nindi, ayo kita ke salon. Kamu jadi traktir aku, kan?"Nindi tersenyum manis. "Tentu dong, Kak."Rani mendengus, menatap Ayu sejenak dengan tatapan meremehkan. "Udah, Ma. Aku balik duluan. Ngapain sih lama-lama deket sama dia? Mana bau lagi..."Tanpa menunggu balasan, Rani menarik Nindi keluar rumah. Suara tawa mereka terdengar semakin menjauh.Hayati bangkit, merapikan tas tangannya dengan angkuh. "Sapa juga yang betah lama-lama di sini. Jaka, antar Mama ke arisan."Jaka mengangguk, bersiap pergi. Namun, sebelum melangkah keluar, Hayati menoleh ke arah putranya sekali lagi, suaranya dipenuhi peringatan."Ingat ya, Jaka. Jangan sampai kamu ceraikan Ayu. Mama gak mau buang uang buat bayar pembantu. Lagipula, Nindi gak boleh capek. Dia anak pejabat terhormat, jangan sampai kami membuat dia mende
Satpam itu mengangkat alis. "Pak Baim, CEO?""Iya, Pak."Tatapan satpam itu berubah ragu. "Apa Mbak sudah ada janji sebelumnya?"Ayu menggeleng, jemarinya menggenggam kartu nama di tangannya semakin erat. "Emm... Belum, Pak."Satpam menghela napas pelan. "Maaf, Mbak. CEO kami tidak bisa menemui tamu tanpa ada janji sebelumnya."Jantung Ayu berdegup lebih cepat. "Tapi, Pak... Saya pernah diminta untuk menghubunginya jika ada perlu."Satpam menatapnya sejenak, seolah menimbang kata-katanya. "Kalau begitu, Mbak bisa telepon langsung saja."Ayu terdiam. Tenggorokannya terasa kering. Perlahan, ia menundukkan kepala, meremas sudut bajunya. "Saya... Saya gak punya HP, Pak." Suaranya hampir tak terdengar.Satpam itu terdiam sesaat, lalu merogoh sakunya dan mengeluarkan ponsel. "Boleh pakai punya saya dulu, Mbak."Mata Ayu berbinar, bibirnya sedikit terbuka dalam keterkejutan. "Serius, Pak?"Satpam itu mengangguk, me
Ayu tersentak. Jantungnya berdegup lebih kencang. "Astaga! Apa yang harus aku jawab," batinnya.Matanya segera menyapu seluruh ruangan angkot. Semua penumpang kini menatapnya, wajah mereka penuh rasa ingin tahu. Ayu menunduk, berharap bisa menghilang begitu saja."Iya, kan? Bener, kan, Mbak?" Ibu itu kembali memastikan, suaranya lebih nyaring.Seorang ibu lain yang duduk di pojok ikut menimpali. "Oh iya! Saya ingat! Kamu yang bawa jenazah naik motor itu, kan? Astaga, kok tega sih, Mbak? Padahal kamu ini keluarga Gubernur!"Beberapa penumpang lain mulai berbisik-bisik. Ada yang meliriknya dengan tatapan iba, ada pula yang menatapnya dengan heran, seolah tak percaya.Seorang pria paruh baya yang duduk di depan akhirnya ikut bicara. "Iya, Mbak. Kalau ada masalah, dibicarakan saja sama Pak Gubernur. Kami yakin beliau itu orang baik. Sama masyarakat aja peduli banget."
Jaka menggertakkan gigi, lalu mencoba menghalanginya. "Ayu, kamu nggak bisa pergi begitu aja!"Ayu menepis tangannya kasar. "Kenapa nggak bisa?" desisnya."Aku bebas pergi kemana saja. Yang penting jauh dari kalian yang menjijikkan!""Ayu, kamu mau tinggal di jalanan?" balas Jaka.Ayu tertawa—bukan tawa bahagia, tapi getir, penuh luka. Ia mengangkat wajahnya, menatap Jaka penuh penghinaan."Lebih baik aku tinggal di jalanan daripada harus terus melihat kelakuanmu yang begini, Mas. Kamu nggak ada bedanya sama keluargamu."Jaka menahan napas, tak bisa membalas.Melihatnya diam, Ayu menyampirkan tasnya ke bahu, lalu berbalik menuju pintu.Tapi suara Jaka menghentikannya. "Ayu, jangan pergi! Kalau kamu pergi, siapa yang akan cuci bajuku? Masakanku? Siapa yang bersihin rumah?"Ayu be
Tangan Ayu mencengkeram lututnya. Bahagia? Kata itu terasa asing baginya sekarang. Ia menggeleng pelan, lalu menunduk. Setetes air mata jatuh ke punggung tangannya."Saya justru tertekan di rumah itu, Umi," suaranya bergetar. "Sampai… sampai saya kehilangan bayi saya."Umi Euis tersentak. "Astaghfirullah…" gumamnya, tatapannya dipenuhi keterkejutan dan kesedihan. "Sabar ya, Nak."Ayu terisak, bahunya bergetar hebat. "Keluarga itu jahat, Umi. Mereka memperlakukan saya seperti—" ia terhenti, menggeleng putus asa. "Saya kabur dari sana…"Dada Ayu terasa sesak, seperti ada yang mencengkeram kuat. Seluruh emosinya, yang selama ini ia tekan, tumpah begitu saja. Tangisnya pecah, histeris, menyayat malam yang sunyi.Tanpa ragu, Umi Euis meraih tubuh Ayu ke dalam pelukannya. Tangan tuanya yang hangat menepuk-nepuk pundak gadis itu, memberikan ketena
"Hanya pengasuh, Umi. Saya masih berusaha mencari ibu susu untuk mereka."Umi Euis menatap bayi-bayi itu dengan sayang, jemarinya mengusap dahi mungil mereka. "Ya Allah… kasihan cucu-cucu Umi ini." Suaranya lirih, seperti doa. "Semoga kalian tumbuh menjadi anak-anak yang saleh dan salehah.""Aamiin." Baim menjawab cepat.Umi Euis mengangkat wajah, menatapnya dengan bangga. "Tentu saja mereka akan menjadi anak yang kuat, seperti papanya. Kamu sudah membuktikan itu, Nak. Yatim piatu sejak remaja, tapi lihatlah sekarang… kamu sukses."Baim tersenyum kecil. "Alhamdulillah, Umi. Semua ini juga berkat doa Umi dan adik-adik di panti ini."Umi Euis mengusap lengan Baim yang kekar. Matanya basah. "Umi bangga padamu, Nak. Meski sudah sukses, kamu nggak pernah melupakan kami di sini."Baim menatapnya lembut. "Bagaimana mungkin saya melupakan Umi yang pernah merawat saya di sini?"Umi menggeleng, suaranya sedikit bergetar. "Ah&helli
"Iya, Neng," jawab si nenek. "Laki-laki dan perempuan. Mereka tampan dan cantik, seperti papanya."Ayu tidak lagi mendengar suara nenek itu. Pikirannya melayang ke dua bayi mungil yang pernah ada dalam dekapannya di rumah sakit—anak susunya.Tangannya mengepal pelan di atas meja.Dada Ayu bergetar hebat, seakan ada tarikan tak terlihat yang membuat jantungnya berdegup kencang."Nek… apa Nenek tahu siapa nama ayah bayi itu?" suaranya lirih, tapi ada desakan di dalamnya.Kedua nenek itu saling berpandangan. Salah satunya mengernyit, mencoba mengingat. "Emm… kalau nggak salah, namanya Baim."Nenek satunya mengangguk mantap. "Iya, benar. Baim namanya. Badannya tinggi, bahunya bidang. Hidungnya mancung, ada sedikit brewok."Ayu terdiam. Nama itu menggema di kepalanya. Sosok pria yang ia temui di rumah sakit, meski sekilas, ia mengingat ciri-ciri itu dengan jelas.Tangan Ayu mencengkeram sisi meja. "Nek… di
Mata Ayu membelalak. Nafasnya tertahan saat melihat sosok di ambang pintu. Degup jantungnya melambat—bukan karena takut, tapi lega."Mas Rendra..." suaranya lirih, nyaris seperti bisikan yang tercekat. Ia bergegas membuka pintu.Narendra masuk tanpa basa-basi. Tangannya meraih gagang pintu dan membantingnya hingga tertutup rapat. Tatapannya tajam, nadanya nyaris membentak."Kamu yang menyebarkan surat itu? Kenapa kamu gegabah, Ayu?"Ayu tersentak, lalu buru-buru menggeleng. "Bukan aku, Mas. Sumpah. Aku bahkan nggak tahu siapa yang—""Ini gawat." Narendra menyapu ruangan dengan pandangan waspada. Matanya menyipit."Kamu bisa dalam bahaya. Siapapun yang menyebarkan, yang jelas isi perjanjian itu sudah terungkap ke publik. Papa Sambo nggak akan membiarkan kamu muncul dan bicara.""Kenapa, Mas? Aku bisa menyangkal. Berpura-pura perjanjian itu nggak benar.""Karena kamu itu ancaman, Ayu. Dari awal!"Narendra mendekat, matanya menyala marah—bukan padanya, tapi pada kebenaran yang selama ini
"Baik, Pak. Di mana posisi target sekarang?" Suara dalam ponsel itu terdengar datar. "Di rumah. Dia tidak ke mana-mana." Sambo melirik ke arah jendela, seolah bisa menembus dinding dengan tatapan. "Lenyapkan dia. Malam ini." "Siap, Pak." Telepon berakhir dengan bunyi klik. Sambo menatap layar ponsel yang mati, lalu mengepalkannya hingga sendi jarinya memutih. "Bangsat!" gumamnya pelan namun penuh geram. Ia melempar ponsel ke sofa, lalu menghantam meja kecil di sampingnya dengan kepalan tangan. "Anak itu benar-benar tidak bisa diajak bicara baik-baik. Sudah kuperingatkan. Tapi dia tetap melawan." Dari dalam rumah, langkah cepat terdengar. Hayati muncul dengan napas tersengal, wajahnya pucat. "Pa... barusan itu wartawan? Suaranya ramai sekali." Sambo memutar tubuhnya, sorot matanya gelap. "Mereka menanyakan surat itu. Memaksa aku mengakui perbuatan Jaka. Dan sekarang... mereka ingin Ayu tampil di jumpa pers." Hayati menutup mulutnya dengan tangan. "Ya Tuhan... Pa, aku sudah cob
"Nggak masuk akal, menantu Gubernur adalah penjual sayur. Mereka pasti sengaja menyembunyikan sesuatu, agar nama Gubernur tetap bersih." Polisi itu menjabat tangan Baim, lalu melangkah pergi. Baim membeku. Pandangannya kosong, bahunya kaku, dan wajahnya pucat. Melihat itu, Yoga buru-buru menghampiri. "Pak? Anda baik-baik saja?" Baim mengangkat kepala perlahan. Suaranya parau. "Yoga, aku nggak begitu paham maksud polisi tadi. Aku bingung." Yoga mengeluarkan ponselnya. Ia membuka unggahan yang sedang viral, menampakkan surat perjanjian bermaterai. Komentar-komentar menghujani layar, sebagian besar berisi kemarahan. "Ini, Pak. Surat ini sudah tersebar ke mana-mana. Banyak yang menuntut Gubernur diperiksa KPK. Rakyat marah karena kasus ini ditutupi. Mereka menyuarakan keadilan untuk Ayu." Baim membaca cepat. Sorot matanya tajam, lalu berubah nanar saat melihat nama Ayu dan Jaka tertera jelas dalam perjanjian itu. "Jadi... orangtua Ayu...?" "Iya, Pak. Jaka menabraknya saat mabuk. Ibu
Baim mendongak. "Apa? Bagaimana bisa?"Yoga menoleh ke Laura sejenak, lalu kembali ke Baim. "Dia memang sudah lama diincar. Tapi selalu lolos karena punya pelindung kuat. Gubernur."Laura menyambung, suaranya mantap. "Kamu lihat sendiri kan, Mas. Bahkan tanpa ikut permainannya, kita masih bisa bertahan. Ayu nggak perlu lagi jadi korban mereka.""Benar, Pak. Orang saya bilang, salah satu bandar kecil yang kerja buat Bram akhirnya buka suara. Polisi tinggal menunggu waktu."Baim menarik napas dalam. Pandangannya kini lebih terang. Ragu-ragu yang tadi menggumpal mulai menguap."Terima kasih, Yoga," ucapnya lega. "Ayo, waktunya kita masuk ke ruang jumpa pers." Ia menggandeng tangan Laura mantab.Hingga akhirnya, jumpa pers itu berjalan tanpa mengikuti tekanan dari Bram. Kini suara kamera mulai mereda, para wartawan berkemas, beberapa masih sibuk menelepon redaksi.Tapi di lorong luar, langkah kaki bergemuruh. Bram datang tergesa, matanya menyala seperti bara. Saat ia melihat Baim keluar
"Lalu ke mana ibunya saat itu? Kenapa bukan dia yang memberi ASI anak kalian?" Seorang wartawan mengangkat tangan di antara kerumunan, lalu bertanya lantang—menyayat keheningan yang baru saja terbentuk.Pertanyaan itu membuat Laura tersentak pelan. Ia menunduk, menahan gelombang emosi yang nyaris tumpah. Lalu, dengan napas dalam, ia angkat wajahnya. Matanya basah, tapi suaranya jelas."Ya... itu salahku," ucap Laura pelan, tapi suaranya cukup menggema memenuhi ruangan."Saat itu, aku mengalami baby blues. Aku... aku memilih pergi ke Jerman. Meninggalkan anakku sesaat setelah mereka dilahirkan."Laura menarik napas dalam. Tangannya bergetar saat menyentuh dada, mencoba meredakan rasa bersalah yang terus menghantui."Aku sangat berterima kasih pada Ayu," lanjutnya. "Kalau bukan karena dia... mungkin anakku nggak akan selamat."Suasana ruangan menegang, namun bukan karena kecurigaan—melainkan karena rasa haru yang makin nyata.
Bram tertawa pendek, puas. "Tentu saja. Pria sehebat kamu, masa iya mau mengorbankan semuanya hanya demi... wanita penjual sayur." Ia melirik Laura, lalu menambahkan, "Apalagi istrimu secantik dan seanggun ini. Ah, Ayu... mana mungkin bisa menandingi."Laura hanya tersenyum tipis, tanpa menanggapi. Ia dan Baim saling menatap, sebuah kesepahaman diam tercipta di antara mereka—entah apa isi dari kesepakatan itu."Baiklah, Pak," kata Baim, melirik jam tangannya sekilas. "Saya harus segera masuk. Media sudah menunggu.""Silakan," balas Bram dengan anggukan ringan. "Aku tunggu kejutanmu di atas podium."Baim melangkah pergi bersama Laura. Sorot matanya masih tajam, namun kini menyimpan sesuatu yang lain. Bukan keraguan. Tapi rencana.Baim dan Laura melanjutkan langkah mereka menuju ruang jumpa pers. Kamera sudah mengarah ke podium. Lampu sorot menyilaukan. Suara bisik-bisik dari para wartawan memenuhi ruangan. Sorotan publik sedang tertuju pada mereka, dan tak ada tempat untuk bersembunyi
"Aku menyuruhnya pergi demi kamu, Mas," kata Laura. Suaranya nyaris bergetar. Wajahnya menegang, bukan karena malu, tapi karena amarah yang ia tahan. Tatapannya tajam, menantang Baim untuk membantah."Kalau dia masih tinggal di sini, semua gosip itu akan dianggap benar. Dia menantu Gubernur, Mas. Kita bukan siapa-siapa."Baim menunduk, lalu menggeleng pelan. Pandangannya kosong."Tapi kenapa harus kamu usir, Laura?" suaranya serak. "Aku berutang banyak pada Ayu. Dia yang selamatkan anak-anak kita. Setidaknya, biarkan aku bicara sebelum dia pergi."Ia terdiam sejenak, sebelum menatap Laura tajam. "Lalu anak-anak... bagaimana dengan mereka? Tidakkah kamu memikirkan mereka sebelum bertindak?"Laura menunduk. "Aku tahu, Mas. Aku salah. Aku terlalu emosi... Maafkan aku. Aku janji akan menjadi ibu yang lebih baik. Aku akan mencari ASIP. Kalau perlu, ke seluruh rumah sakit di Jakarta."Baim memejamkan mata. Tangannya mencengkeram pinggiran bathtub. Suhu air hangat yang tadinya menenangkan ki
"Laura... Ada yang ingin aku sampaikan." Baim menatap wajah istrinya dalam-dalam, mencoba memahami isi hatinya sebelum ledakan yang tak terhindarkan itu datang."Mas... nanti aja, ya. Ayo tenangkan badan dulu."Laura menggandeng tangan Baim menuju kamar mandi. Baim menurut, langkahnya berat seperti orang yang kehilangan arah.Ia melangkah masuk ke dalam bathtub, membiarkan tubuhnya tenggelam perlahan ke air hangat penuh busa. Uap naik lembut dari permukaan, menenangkan otot-ototnya yang tegang. Untuk sesaat, dunia seolah diam.Di samping bathtub, Laura duduk tenang. Ia menyusun potongan buah di piring kecil, menuang jus ke dalam gelas, lalu meletakkannya di meja mungil di samping mereka. Setiap gerakannya penuh perhatian—nyaris seperti perawat yang menjaga pasien.Baim memandangi wajahnya. Tak ada kemarahan, tak ada ketegangan seperti hari-hari sebelumnya. Hanya ketenangan... dan sesuatu yang menyerupai ketulusan.Namun justru itu yang membuat hati Baim semakin kacau. Ia menelan luda
"M-Maksud Papa?"Ayu membeku. Untuk pertama kalinya, ia merasa benar-benar terancam—bukan hanya secara fisik, tapi juga secara batin.Ia tak tahu… apakah barusan ia telah membuka pintu menuju jurang yang lebih dalam."Kamu tidak punya siapa-siapa di Jakarta, kan? Kedua orang tuamu juga sudah meninggal. Aku harap kamu tetap polos. Dan jangan sekali-kali mencoba melawanku."Ayu menelan ludah. Ia tak berani menatap Sambo. Ia sadar, ucapan mertuanya itu bukan sekadar ancaman kosong."Ya sudah, Papa pulang dulu. Ayo, Ma.""Baik, Pa." Hayati mengikutinya dari belakang, namun sorot matanya masih tajam mengarah ke Ayu.Ayu berdiri, merasa tidak nyaman dengan tekanan yang semakin berat. Namun ia tak melawan. Ia hanya menghela napas panjang.Setelah mereka keluar, percakapan di antara Sambo dan Hayati ternyata belum berakhir."Ma... cari cara agar Ayu menyerahkan surat itu ke kita," suara Sambo terdengar dari luar, semakin lama semakin cemas. "Papa nggak tenang kalau surat itu masih ada. Kita h