"Ilona..."Nama itu keluar begitu saja dari bibirnya, lirih, nyaris seperti desahan angin.Romy menatap ke depan, matanya tak berkedip melihat sosok wanita yang dulu pernah menjadi dunianya. Wanita yang begitu ia cintai—dan yang ia lepaskan. Iya, lelaki itu adalah Romy, mantan suami Ilona, yang telah melepaskannya menuruti keinginan orang tuanya.Dadanya bergemuruh saat melihat Ilona dengan penuh kasih sayang menggendong seorang anak kecil. Senyumnya, tatapan matanya yang lembut, bahkan bagaimana tangannya mengusap rambut bocah itu—semua begitu alami.Tidak ada yang berubah dari Ilona, sekalipun mereka tidak bertemu selama setahun. Senyumnya, wajahnya dan kelembutannya masih tetap sama. dan yang pasti, Romy merindukannya. Tapi, kini semua sudah berbeda."Bukankah anak kita sudah meninggal?"“Itu anak siapa? Apa kamu sudah menikah lagi dan memiliki anak? Tapi, tidak mungkin secepat itu, kan?”Pikiran itu terus berputar di kepalanya, membuat jantungnya berdetak lebih kencang. Seakan ada
Ilona keluar dari ruangan dokter dengan wajah berseri. Hari ini adalah hari yang baik. Semua hasil pemeriksaan Yumi hari ini sangat baik, menunjukkan peningkatan yang pesat jauh berbeda dari bulan lalu.Di dalam gendongannya, Yumi tampak asyik mengunyah biskuit kecil yang diberikan dokter sebagai hadiah. Tangannya yang mungil menggenggam erat camilan itu, sementara matanya yang berbinar seolah ikut mengekspresikan kebahagiaan Ilona."Yumi, kamu hebat. Dokter memuji perkembangan kamu. Sebentar lagi, kamu pasti bisa jalan," ujar Ilona dengan suara penuh kasih, sebelum menjawil hidung kecil gadis itu.Yumi hanya tertawa. Ia mungkin belum mengerti betul apa yang dikatakan Ilona, tetapi tawa riangnya sudah cukup membuktikan bahwa ia bahagia.Dan semua itu karena Ilona.Tidak bisa disangkal lagi. Sejak Ilona kembali merawatnya, Yumi mulai pulih. Gadis kecil itu kini lebih sehat, lebih kuat. Ia bukan lagi bayi lemah yang dulu hampir tidak memiliki harapan untuk bertahan hidup. Dunianya adala
Mata Romy tak berkedip menatap gadis kecil yang tertidur lelap dalam pelukan Ilona. Ada sesuatu dalam dirinya yang menyesak, rasa asing yang sulit ia namai.Ia mengingat hari-hari ketika mereka masih bersama. Ketika mereka berdua begitu bahagia menanti kelahiran anak mereka, merajut impian untuk keluarga kecil yang sempurna. Namun, takdir berkata lain. Bayi mereka pergi bahkan sebelum sempat melihat dunia, meninggalkan duka yang dalam dan luka yang tak kunjung sembuh.Dan kini, di hadapannya, Ilona menggenggam erat seorang anak kecil—bukan anak mereka."Dia?" tanya Romy sambil menunjuk ke arah Yumi.Ilona mendongak. Mata mereka bertemu, namun Ilona buru-buru mengalihkan pandangannya."Romy? Kenapa kamu di sini?" tanyanya, mengabaikan pertanyaan Romy. Raut wajahnya berubah, ada keterkejutan bercampur kecemasan. Baru kali ini ia melihat Romy kembali setelah setahun berpisah. Dan yang lebih mengejutkan, pria itu tampak jauh berbeda. Tubuhnya lebih kurus, kulitnya lebih pucat, dan sorot m
"Ilona, tunggu!"Suara Romy menggema di antara orang yang lalu lalang di rumah sakit, memaksa Ilona menghentikan langkahnya. Ia memeluk Yumi lebih erat, menoleh dengan enggan. Romy sudah mensejajari langkahnya, matanya penuh dengan sesuatu yang tak bisa Ilona artikan—kesakitan, kemarahan, atau mungkin penyesalan."Ada apa?" tanya Ilona datar, tak ingin terjebak dalam percakapan yang akan membuatnya goyah.Romy menatapnya lekat-lekat, lalu dengan suara rendah yang dipenuhi urgensi, ia bertanya, "Di mana kamu tinggal sekarang?"Ilona menghela napas berat. Ia sudah menduga pertanyaan ini akan muncul. Dengan tenang, ia menjawab, "Aku tinggal di rumah keluarga Yumi, karena aku sendiri tidak memiliki rumah. Rumah ibuku diambil oleh saudaranya, karena ternyata sertifikatnya ada di tangan mereka. Aku tidak bisa memberikan alamat kepada sembarang orang, karena disana aku hanya bekerja."Dahi Romy mengerut. "Apa aku kamu anggap orang sembarangan? Apa kamu menganggap kita tidak saling kenal?" Su
"Saya tahu, Nyonya." Ilona menjawab singkat dan terlihat tidak peduli dengan apa yang dikatakan oleh Nyonya Bira. Dia terlalu lelah untuk menanggapi luapan emosi majikannya itu.Kalimat singkat Ilona justru membuat Nyonya Bira semakin murka. Wajahnya menegang, dia menatap Ilona seperti ingin langsung menerkamnya."Diam, kau!" bentaknya tajam, suaranya menggema di seluruh halaman paviliun itu, sehingga beberapa pekerja yang sedang berlalu lalang disana, hanya bisa menatap sekilas lalu mengelus dada. Mungkin mereka juga kasihan kepada Ilona, setiap hari selalu saja menjadi sasaran kemarahan atas salah yang tidak dia lakukan.Yumi, yang masih berada dalam gendongan Ilona, terbangun dengan tubuh gemetar. Gadis kecil itu mengkerut, wajahnya bersembunyi di bahu Ilona, seolah berharap dunia luar menghilang. Ilona menenangk
Plak! Plak!Sebuah tamparan keras mendarat di wajah Ilona, sedangkan dia masih berusaha menenangkan Yumi agar tidak menangis dan duduk diam di pelukan Nesha. Ilona terkejut karena itu sangatlah tiba-tiba.Tamparan keras itu masih membekas di pipi Ilona. Rasa perih yang menjalar dari kulitnya tak seberapa dibandingkan dengan sakit hatinya. Ia hanya berusaha menjaga Yumi, hanya ingin gadis kecil itu merasa aman, tapi justru mendapat perlakuan kejam dari Nyonya Bira.Tubuhnya sempat oleng, kepalanya terasa seperti berputar, bahkan pandangannya juga menggelap, Ilona hampir jatuh ke lantai jika saja tak ada tangan kokoh yang menahannya. Tangan itu… milik Egar.Entah sejak kapan Egar datang, namun yang pasti dia datang disaat yang tepat. Dan sepertinya, melihat dari pen
Nesha berjalan dengan langkah cepat, berusaha menjauh dari rumah besar itu. Matanya basah oleh air mata, tetapi bukan sepenuhnya karena kesedihan. Ini adalah bagian dari rencana. Sebuah sandiwara yang harus ia mainkan dengan sempurna. Jelas, semua itu terlihat dibuat-buat.“Nesha, kamu mau kemana?” suara Nyonya Bira yang memburu langkahnya membuatnya menghentikan laju kaki.Wanita itu menangis, tangannya gemetar saat menghapus jejak air mata yang mengalir di pipinya. “Tante, aku tidak dibutuhkan di sini. Aku bahkan tidak bisa menenangkan Yumi, bagaimana bisa aku mengambil hati Egar. Sepertinya, aku bukan orang yang tepat untuk Egar,” suaranya terdengar parau, penuh dengan kegetiran.Nyonya Bira memandangnya dengan tatapan penuh kasih sayang. Wanita paruh baya itu menghela napas panjang, mengu
Ruang makan yang semula tenang kini berubah menjadi panggung kemarahan. Piring-piring porselen yang tersusun rapi di atas meja terasa seperti saksi bisu pertengkaran yang tak terhindarkan."Mana wanita jalang itu?!" suara lantang Nyonya Bira menggema di seluruh ruangan, membuat beberapa pelayan menunduk ketakutan.Ia memutar tubuhnya ke segala arah, mencari sosok yang kini telah menghilang. Amarahnya meledak seketika. Ilona pergi tanpa seizinnya, dan itu lebih dari cukup untuk membuatnya naik pitam.Semua rencana yang telah ia susun dengan susah payah berantakan begitu saja. Padahal, betapa sulitnya mencari waktu luang bagi Nesha—wanita yang dianggapnya paling pantas untuk Egar.Nesha, anak salah satu saudara jauh Nyonya Bira yang juga seorang model yang meskipun tidak begitu terkenal, tetap merasa dirinya luar biasa sibuk. Nyonya Bira telah berusaha keras untuk menjodohkannya dengan putranya, Egar. Baginya, kehadiran seorang figur publik dalam keluarga akan menaikkan pamor mereka. Se
Ilona berdiri di ambang pintu ruang tamu, tubuhnya tegang, matanya sembab. Pikirannya penuh dengan kemungkinan-kemungkinan yang membuat dadanya sesak. Semua terlalu mendadak, terlalu asing… dan terlalu menyakitkan.Seseorang dari masa lalu—dari awal mula kehidupannya—akan datang menemuinya. Seseorang yang katanya adalah ayah kandungnya sendiri. Seseorang yang tak pernah ada saat ia terluka, lapar, atau bahkan sekadar ingin digendong.Ia menoleh pada Egar yang sejak tadi menemaninya dalam diam."Suruh masuk saja, Mas," ucap Ilona akhirnya, suaranya pelan namun tegas.Egar hanya mengangguk. Ia melangkah keluar dan memberi isyarat pada Dion dan Roy untuk mengantarkan tamu yang telah ditunggu. Tak lama, seorang lelaki paruh baya memasuki ruang tamu itu. Wajahnya sederhana, pakaiannya pun jauh dari bayangan seorang CEO besar. Tidak ada jas mewah, tidak ada jam tangan mahal, hanya kemeja lengan panjang dan celana kain biasa. Tapi ada keteduhan yang aneh di wajahnya. Sesuatu yang sulit dijel
Ruangan itu sunyi. Hanya terdengar detak jam dinding dan nafas mereka yang saling bersahutan dalam diam. Ilona masih terduduk di sofa, jemarinya saling meremas, wajahnya penuh tanya, dada sesak oleh pertarungan emosi yang tak ia mengerti."Jadi… aku harus menemuinya?" tanyanya pelan, nyaris seperti bisikan yang takut terdengar oleh kenyataan.Egar yang duduk di sampingnya tak langsung menjawab. Ia menggenggam tangan Ilona, mengusap punggungnya dengan lembut. Mata pria itu menatap dalam ke mata istrinya, mencoba mengirimkan ketenangan dalam badai yang tak ia bisa hentikan."Tidak harus," jawab Egar lirih. "Tapi… apa salah dia?"Ilona menoleh perlahan. Matanya merah, namun tidak penuh amarah—justru penuh kebingungan. "Karena dia… aku lahir ke dunia."Egar menatapnya, kali ini lebih serius. "Kamu menyesal terlahir?" tanyanya, pelan namun tajam.Ilona menggeleng cepat. "Aku tidak menyesal terlahir. Karena… aku bertemu denganmu. Karena aku lahir, ada anak-anak kita. Ada keluarga ini," jawa
"Sayang..." panggil Egar saat melangkah masuk ke dalam rumah, suaranya rendah namun penuh beban. Suasana di ruang tamu terasa lebih hening dari biasanya, seolah rumah itu tahu bahwa sesuatu yang besar baru saja terjadi di depan gerbangnya.Ilona segera berdiri dari kursi dan mendekat. "Siapa, Mas?" tanyanya, nada khawatir menyusup di balik suaranya. Wajah Egar terlihat berkabut, seolah menyembunyikan badai yang belum sempat reda.Egar tak langsung menjawab. Ia menggenggam tangan Ilona dan mengajaknya duduk. "Kita duduk dulu. Aku nggak mau kamu kaget," katanya lembut, namun tetap terasa ada sesuatu yang berat dalam ucapannya.Ilona mengikuti, walau dadanya mulai tak tenang. Instingnya berkata ada yang tak biasa dari kedatangan tamu itu. Bukan hanya tentang orang asing yang tak menyebutkan tujuannya, tapi tentang bagaimana Egar memandangnya sekarang—ada luka, ada keraguan, dan ada perlindungan yang lebih tebal dari biasanya."Apa kamu mau menemuinya?" tanya Egar akhirnya, menatap mata i
Hari itu, cuaca terasa lebih panas dari biasanya. Meski matahari hanya menggantung malu-malu di balik awan, udara di sekitar rumah Ilona dan Egar seperti dipenuhi ketegangan yang tak terlihat. Sejak keamanan rumah mereka diperketat, setiap suara, setiap gerakan, menjadi sesuatu yang mencurigakan. Begitu juga siang itu—suara keributan di depan rumah membuat Ilona dan Egar saling berpandangan."Siapa itu?" gumam Ilona, menegakkan tubuh dari sandarannya."Apakah Mama?" tanya Egar, meski ragu. "Tapi, Dion dan Roy kan kenal sama Mama. Nggak mungkin mereka sampai teriak-teriak begitu."Ilona menggeleng, menajamkan telinga. "Itu bukan suara Mama. Itu suara laki-laki."Egar berdiri, menyambar kaus yang tergantung di kursi. "Kamu di sini saja, Sayang. Aku akan lihat siapa itu."Ilona hendak membantah, tapi tatapannya langsung redup. Ia terlalu lelah untuk berdebat hari ini. Rumah yang seharusnya menjadi tempat paling nyaman justru terasa seperti penjara, dan kini ditambah dengan kedatangan ta
Pagi baru saja menyapa ketika Ilona menarik gorden jendela ruang keluarga dan menatap ke luar. Cahaya mentari yang hangat menyinari halaman, namun ada yang berbeda. Matanya menyipit ketika melihat empat sosok asing berdiri di halaman rumahnya. Mereka tidak mengenakan seragam resmi, tetapi gestur mereka jelas menunjukkan sikap profesional—berdiri tegak, mata terus bergerak memantau sekitar, tangan menyentuh alat komunikasi di telinga."Loh, itu siapa? Kenapa ada beberapa orang yang tidak dikenal? Ada apa ini?" tanya Ilona heran.Egar, yang baru saja datang dari dapur sambil membawa dua cangkir kopi, berhenti sejenak. Ia menatap keluar melalui pintu kaca besar yang menghadap halaman depan. Wajahnya tenang, tapi ada kelelahan yang tak bisa disembunyikan."Itu tim pengamanan tambahan dari Jojo," jawabnya sambil menyerahkan kopi pada Ilona. "Tapi mereka tidak menginap seperti Dion dan Roy. Mereka seperti satpam, berjaga secara bergantian, sistem shift."Ilona tidak langsung menjawab. Ia m
Bunyi dentuman keras beberapa menit yang lalu masih terngiang di telinga Egar. Suasana dalam mobil terasa hening dan tegang. Yumi yang tadi menangis sudah berhenti nangisnya, dia hanya terkejut, sementara Gana meringkuk di dalam pelukaj Ilona, sesekali merengek kecil. Ilona memeluk keduanya erat, seolah ketakutan itu masih mengejarnya.Mobil kini berhenti di pinggir jalan, tak jauh dari lokasi kejadian. Dion, salah satu pengawal pribadi yang ditugaskan oleh Anita —sedang berbicara serius dengan Roy di luar mobil."Saya akan keluar," ujar Egar akhirnya, merasa perlu ikut mengecek kondisi mobil dan situasi sekitar.Namun Dion segera menoleh dan berkata dengan tenang tapi tegas, “Tidak, biar Roy saja, Tuan. Tetap di dalam. Ini bisa jadi belum aman.”Egar mengernyit, tak biasa dikendalikan begitu, tapi dia tahu Dion dan Roy adalah orang-orang pilihan. Mereka bukan sekadar sopir atau pengawal biasa, mereka adalah bekas anggota pasukan khusus yang kini bekerja penuh untuk menjaga keluarga i
Pagi itu terasa istimewa di rumah kecil milik Egar dan Ilona. Matahari baru saja muncul malu-malu di balik awan tipis, namun Yumi sudah duduk manis di meja makan, mengenakan seragam TK barunya yang berwarna biru muda. Rambutnya yang hitam tebal dikepang dua rapi oleh Ilona, dihiasi pita mungil yang membuatnya tampak seperti boneka hidup.Akhirnya, hari yang dinanti-nantikan itu tiba. Yumi akan mulai masuk sekolah hari ini. "Nanti, Yumi akan banyak teman, kan, Ma?" tanya Yumi sambil menyuapkan sesendok nasi ke mulut mungilnya. Matanya berbinar penuh harap.Dia bangun paling pagi dan langsung mandi. Dia begitu bersemangat untuk memulai pengalaman barunya menjadi seorang siswi."Tentu, Sayang. Banyak sekali teman-teman yang menunggu Yumi," jawab Ilona sambil tersenyum lembut."Hore! Yumi bisa main sama teman!" seru Yumi sambil mengangkat kedua tangannya kegirangan.Egar tertawa kecil melihat tingkah anak gadisnya. "Iya, Nak. Yumi pasti cepat berteman, karena Yumi anak yang baik.""Iya,
Angin sore itu berembus lembut dari jendela mobil yang sengaja dibuka, membawa aroma asin dari laut yang masih membekas di tubuh mereka. Ilona menyandarkan kepalanya pada sandaran jok, memejamkan mata sejenak, menikmati ketenangan setelah seharian bermain bersama keluarga. Tapi jauh di dalam hatinya, ada kegelisahan yang sulit diabaikan.Pikiran dalam kepalanya terasa saling bertabrakan. Begitu banyak hal yang melintas di kepalanya."Tapi, entah mengapa aku merasa akan ada sesuatu yang lebih besar akan terjadi," gumam Ilona, suaranya hampir tertelan angin.Suaranya sangat lirih dan lemah.Egar, yang duduk di sebelahnya meraih tangan Ilona dan menggenggamnya dengan lembut, melirik sekilas ke arah istrinya. Ia merasakan tekanan yang sama, kekhawatiran yang membayangi kebahagiaan singkat mereka hari ini. Dia juga tidak yakin semua akan berakhir di hari ini. Apalagi hingga saat ini keluarga Ilma belum ada yang menemui Ilona. Egar merasa masih ada bayang-bayang yang akan mengancam."Sebe
Mobil melaju meninggalkan bandara, setelah hari ini, entah kapan mereka akan bertemu lagi. Semuanya tidak bisa di prediksi."Apakah Kezio pernah main tangan kepada Mamanya?" tanya Ilona pelan, tapi jelas pertanyaan itu tertuju kepada Dion dan Roy. Ternyata di dalam hatinya, dia mengkhawatirkan Anita. "Selama kami ikut Nyonya Anita, tidka pernah. Paling hanya berdebat seperti kemarin aja," jawab Dion."Syukurlah."Egar menayap Ilona lembut, sekarang dia paham apa yang mengganggu pikiran Ilona. Dia mengusap lembut punggung istrinya. "Bagaimana kalau kita ke gudang? Kamu belum pernah kan melihat gudang kita?" usulnya dengan suara hangat.Ilona menoleh, menatap wajah suaminya yang penuh perhatian. Sebuah tawaran sederhana, namun cukup untuk membuat dadanya terasa lebih ringan. Ia tahu, Egar ingin menghiburnya, mengajaknya menghirup udara segar jauh dari bayang-bayang kelam yang sempat menyelimutinya."Boleh," jawab Ilona sambil tersenyum kecil. "Iya, aku juga ingin sekali kesana. Tapi,