Suasana di dalam ruangan perawatan Bu Sari masih dipenuhi keheningan setelah kepergian Mila. Wanita tua itu menatap kosong ke arah jendela, matanya redup seolah menahan sesuatu yang tak bisa diungkapkan.
"Dia pasti sudah pergi," gumamnya lirih.
Namun, Ilona menggeleng. "Aku tidak yakin, Bu. Mila adalah anak Ibu. Semarah apa pun dia, pasti ada sedikit kekhawatiran dalam hatinya melihat kondisi Ibu."
Bu Sari hanya terdiam. Dalam hatinya, ia berharap kata-kata Ilona benar. Namun, kenyataan selama ini membuatnya pesimis. Mila telah lama berubah, dan entah kenapa kebencian itu semakin membesar sejak kehadiran Ilona.
Ilona menghela nafas panjang. "Aku akan menyusulnya, Bu."
Bu Sari menoleh dengan raut cemas. "Biarkan saja."<
Ilona bergegas masuk ke ruang perawatan, napasnya memburu. Kegelisahan mengguncang hatinya saat melihat perawat dan dokter bergerak cepat di sekitar ranjang Bu Sari."Apa yang terjadi, Pak?" tanyanya panik pada Pak RT yang berdiri di dekat pintu."Entahlah, tiba-tiba nafasnya sesak!" jawab Pak RT dengan wajah penuh kecemasan.Ilona merasa tubuhnya melemah. Ia ingin mendekat, ingin melihat keadaan Bu Sari lebih jelas, tetapi langkahnya terhenti ketika suara dingin Mila menyelusup ke telinganya."Kau tidak boleh masuk lagi!" kata Mila, matanya menatap tajam ke arah Ilona."Mila!" bentak Pak RT, tak percaya dengan sikap wanita itu.Namun, Mila hanya mengangkat bahu dan melangkah masu
Umur memang tidak bisa ditebak. Saat waktunya tiba, tak ada seorangpun yang mampu menghindar.Di kamar yang temaram, Ilona duduk di tepi tempat tidur sambil menggenggam erat sebuah cincin emas kecil di tangannya. Cincin itu adalah pemberian terakhir dari Bu Sari untuk Yumi—kenang-kenangan yang kini terasa begitu berat untuk disimpan.Air mata kembali mengalir di pipinya. “Sayang, nenek sudah meninggal,” bisiknya lirih kepada Yumi yang sedang terlelap. Ia tak ingin membangunkan putrinya, tetapi rasa sesak di dadanya tak bisa ia redam.Kesedihan yang melanda begitu mendalam. Ilona teringat bagaimana dulu ia kehilangan ibu angkat yang telah merawatnya sejak kecil. Rasa kehilangan itu seperti menghantamnya lagi, mengoyak luka lama yang belum sepenuhnya sembuh. Namun kini, setidaknya ia tidak sendirian.
Ilona duduk diam di samping jenazah Bu Sari. Wajah wanita tua itu tampak damai di bawah kain putih yang menutupinya. Ilona ingin mengingatnya seperti ini, wajah lembut penuh kasih yang selalu menyambutnya dengan senyum hangat.Ilona masih teringat saat kemarin di rumah sakit, bu Sari menggenggam tangannya erat. Mungkin itu adalah sebuah firasat dari beliau yang akan pergi untuk selama-lamanya.Di pangkuannya, Yumi menggeliat kecil, lalu mendongak dengan mata polosnya yang penuh rasa ingin tahu."Mama, nenek kenapa?" tanyanya lirih. Matanya terus menatap wajah bu Sari, mungkin dia heran, mengapa neneknya hanya diam dan memejamkan matanya, sedangkan banyak sekali orang yang mengelilinginya.Ilona menarik napas panjang, lalu mengusap lembut rambut anaknya. "Nenek sudah meni
Sejak kematian Bu Sari, Ilona tidak pernah lagi menginjakkan kaki di rumah itu. Mila pun tampaknya lega dengan kepergiannya. Bagi Mila, Ilona hanyalah bayangan dari masa lalu yang tidak ingin lagi ia lihat.Hari terus berlalu. Ilona dan Egar menjalani hidup mereka dengan penuh perjuangan. Hingga akhirnya, setelah enam bulan berjuang, mereka bisa memiliki rumah sendiri.Rumah yang mereka bangun, akhirnya selesai. Sesuai dengan hunian impian Ilona, dia akan menjadikan rumah itu menjadi tempat ternyaman dan surga untuk keluarga kecilnya.Egar menatap Ilona dengan penuh kasih, tangannya menggenggam erat jemari sang istri. "Sayang, akhirnya kita bisa pindah ke rumah kita sendiri," ucapnya, senyum lembut menghiasi wajahnya.Ilona tersenyum, ada rasa bangga di hatinya, akhirnya
Mila duduk di sudut ruangan yang gelap, lututnya ditarik hingga menyentuh dadanya. Tatapannya kosong, bibirnya terus bergetar seolah menggumam sesuatu yang tak bisa dipahami siapa pun. Ilona menatapnya dengan perasaan campur aduk—sedih, kasihan, dan juga heran."Sayang, kita bawa ke rumah sakit aja," ujar Egar pelan, suaranya penuh keprihatinan.Ilona menoleh ke arah suaminya, kemudian kembali memandang Mila. Meski kondisinya sudah separah ini, Mila tetap saja membencinya. Ia bahkan langsung mengusir Ilona begitu mengenalinya. Padahal, tidak ada lagi orang yang peduli padanya selain Ilona sendiri.Semua tetangga sudah kewalahan menghadapinya, menurut tetangga, Mila bukan hanya berdiam diri di dalam rumah. Dia mengganggu tetangga, berteriak-teriak di halaman."Sehar
Setelah meninggalkan rumah sakit, Ilona dan Egar kembali ke rumah mereka dengan hati yang masih dipenuhi tanda tanya. Sepanjang perjalanan, Ilona terus memikirkan keadaan Mila. Sesuatu terasa janggal, seolah ada potongan puzzle yang belum mereka temukan.Saat mereka duduk di ruang tamu, Egar membuka suara. "Ada yang aneh?"Ilona menghela napas, mengangguk pelan. "Iya. Saat Bu Sari meninggal, saudara-saudaranya tidak ada yang datang, kan? Mereka bilang sibuk, tapi tahu-tahu sekarang mereka merebut semua surat berharga dan emas milik Bu Sari. Sampai membuat Mila kehilangan akal sehat."Egar mengernyitkan dahi. "Tapi, sebenarnya sulit membuktikan kalau Mila benar-benar mendapatkan wasiat dari Bu Sari. Tidak ada yang pernah melihatnya. Siapa tahu semua ini hanya akal-akalan Mila? Bisa saja, sebenarnya Bu Sari tidak meni
Langit sore yang cerah menemani keluarga kecil itu menikmati hari pertama di rumah baru mereka. Ilona dan Egar duduk santai di ruang keluarga, mengawasi Yumi dan Gana yang sedang asyik bermain, pintu samping terbuka. Aroma rumput segar bercampur dengan hembusan angin yang sejuk membuat suasana terasa begitu nyaman.Namun, ketenangan itu buyar dalam sekejap."Ada kolam renang!" suara kecil Yumi menggema di halaman, penuh antusiasme. Matanya yang berbinar menatap takjub ke arah kolam renang biru yang tampak menggoda di bawah sinar matahari sore.Seketika, kaki mungilnya berlari menuju kolam tanpa sedikitpun rasa takut."Iya, jadi Yumi bisa berenang di rumah sampai puas," jawab Egar sambil tersenyum, tak menyangka bahwa anaknya akan bereaksi seantusias itu.
“Biar aku yang lihat siapa yang datang,” ujar Egar.“Iya.” Ilona menjawab sambil tersenyum, meskipun perasaannya sedikit tidak tenang, karena dia seperti begitu familiar dengan suara itu. Itu terdengar seperti suara sang mertua.“Kamu masih disini?” tanya Egar.“Gak, aku juga akan bawa anak-anak masuk. Bentar lagi mau gelap, ngapain masih disini. Takut Yumi kembali meloncat ke kolam. Lihatlah matanya begitu berbinar melihat air,” kekeh Ilona.“Oke.”Sore itu, langit mulai berubah warna, cahaya keemasan perlahan meredup di balik cakrawala. Ilona menggandeng tangan Yumi dan Gana masuk ke dalam rumah, membiarkan Egar mengecek sesuatu di halaman depan.
Hujan sore itu turun perlahan, seperti ingin menyelaraskan suasana hati Ilona yang masih berkecamuk. Meskipun tubuhnya duduk diam di ruang tamu, jiwanya masih berputar antara amarah, harapan, dan kebingungan. Di hadapannya, duduk seorang pria sederhana yang mengaku sebagai ayah kandungnya—Rudy Prasetyo.Ia tak pernah membayangkan pertemuan ini akan terjadi. Selama ini, Ilona hanya mengenal gelapnya rahasia tentang asal-usul dirinya. Ia tumbuh tanpa tahu siapa orang tua kandungnya. Sekarang, tiba-tiba muncul lelaki dengan mata berkaca-kaca yang memanggilnya "Nak" dengan suara bergetar.Ilona ingin mempercayai, namun hatinya masih membeku. Luka-luka masa lalu seperti belum memberi izin untuk sembuh.Tiba-tiba, suara lembut yang tak asing memecah keheningan."Mama di sini, Ilona."Ilona langsung menoleh. Suara itu—ya Tuhan—itu suara yang sangat ia kenal. Tapi tidak… itu tidak mungkin.Namun kenyataan menamparnya manis saat sosok Anita, perempuan yang lebih dulu mengakui sebagai ibu kandu
Ilona berdiri di ambang pintu ruang tamu, tubuhnya tegang, matanya sembab. Pikirannya penuh dengan kemungkinan-kemungkinan yang membuat dadanya sesak. Semua terlalu mendadak, terlalu asing… dan terlalu menyakitkan.Seseorang dari masa lalu—dari awal mula kehidupannya—akan datang menemuinya. Seseorang yang katanya adalah ayah kandungnya sendiri. Seseorang yang tak pernah ada saat ia terluka, lapar, atau bahkan sekadar ingin digendong.Ia menoleh pada Egar yang sejak tadi menemaninya dalam diam."Suruh masuk saja, Mas," ucap Ilona akhirnya, suaranya pelan namun tegas.Egar hanya mengangguk. Ia melangkah keluar dan memberi isyarat pada Dion dan Roy untuk mengantarkan tamu yang telah ditunggu. Tak lama, seorang lelaki paruh baya memasuki ruang tamu itu. Wajahnya sederhana, pakaiannya pun jauh dari bayangan seorang CEO besar. Tidak ada jas mewah, tidak ada jam tangan mahal, hanya kemeja lengan panjang dan celana kain biasa. Tapi ada keteduhan yang aneh di wajahnya. Sesuatu yang sulit dijel
Ruangan itu sunyi. Hanya terdengar detak jam dinding dan nafas mereka yang saling bersahutan dalam diam. Ilona masih terduduk di sofa, jemarinya saling meremas, wajahnya penuh tanya, dada sesak oleh pertarungan emosi yang tak ia mengerti."Jadi… aku harus menemuinya?" tanyanya pelan, nyaris seperti bisikan yang takut terdengar oleh kenyataan.Egar yang duduk di sampingnya tak langsung menjawab. Ia menggenggam tangan Ilona, mengusap punggungnya dengan lembut. Mata pria itu menatap dalam ke mata istrinya, mencoba mengirimkan ketenangan dalam badai yang tak ia bisa hentikan."Tidak harus," jawab Egar lirih. "Tapi… apa salah dia?"Ilona menoleh perlahan. Matanya merah, namun tidak penuh amarah—justru penuh kebingungan. "Karena dia… aku lahir ke dunia."Egar menatapnya, kali ini lebih serius. "Kamu menyesal terlahir?" tanyanya, pelan namun tajam.Ilona menggeleng cepat. "Aku tidak menyesal terlahir. Karena… aku bertemu denganmu. Karena aku lahir, ada anak-anak kita. Ada keluarga ini," jawa
"Sayang..." panggil Egar saat melangkah masuk ke dalam rumah, suaranya rendah namun penuh beban. Suasana di ruang tamu terasa lebih hening dari biasanya, seolah rumah itu tahu bahwa sesuatu yang besar baru saja terjadi di depan gerbangnya.Ilona segera berdiri dari kursi dan mendekat. "Siapa, Mas?" tanyanya, nada khawatir menyusup di balik suaranya. Wajah Egar terlihat berkabut, seolah menyembunyikan badai yang belum sempat reda.Egar tak langsung menjawab. Ia menggenggam tangan Ilona dan mengajaknya duduk. "Kita duduk dulu. Aku nggak mau kamu kaget," katanya lembut, namun tetap terasa ada sesuatu yang berat dalam ucapannya.Ilona mengikuti, walau dadanya mulai tak tenang. Instingnya berkata ada yang tak biasa dari kedatangan tamu itu. Bukan hanya tentang orang asing yang tak menyebutkan tujuannya, tapi tentang bagaimana Egar memandangnya sekarang—ada luka, ada keraguan, dan ada perlindungan yang lebih tebal dari biasanya."Apa kamu mau menemuinya?" tanya Egar akhirnya, menatap mata i
Hari itu, cuaca terasa lebih panas dari biasanya. Meski matahari hanya menggantung malu-malu di balik awan, udara di sekitar rumah Ilona dan Egar seperti dipenuhi ketegangan yang tak terlihat. Sejak keamanan rumah mereka diperketat, setiap suara, setiap gerakan, menjadi sesuatu yang mencurigakan. Begitu juga siang itu—suara keributan di depan rumah membuat Ilona dan Egar saling berpandangan."Siapa itu?" gumam Ilona, menegakkan tubuh dari sandarannya."Apakah Mama?" tanya Egar, meski ragu. "Tapi, Dion dan Roy kan kenal sama Mama. Nggak mungkin mereka sampai teriak-teriak begitu."Ilona menggeleng, menajamkan telinga. "Itu bukan suara Mama. Itu suara laki-laki."Egar berdiri, menyambar kaus yang tergantung di kursi. "Kamu di sini saja, Sayang. Aku akan lihat siapa itu."Ilona hendak membantah, tapi tatapannya langsung redup. Ia terlalu lelah untuk berdebat hari ini. Rumah yang seharusnya menjadi tempat paling nyaman justru terasa seperti penjara, dan kini ditambah dengan kedatangan ta
Pagi baru saja menyapa ketika Ilona menarik gorden jendela ruang keluarga dan menatap ke luar. Cahaya mentari yang hangat menyinari halaman, namun ada yang berbeda. Matanya menyipit ketika melihat empat sosok asing berdiri di halaman rumahnya. Mereka tidak mengenakan seragam resmi, tetapi gestur mereka jelas menunjukkan sikap profesional—berdiri tegak, mata terus bergerak memantau sekitar, tangan menyentuh alat komunikasi di telinga."Loh, itu siapa? Kenapa ada beberapa orang yang tidak dikenal? Ada apa ini?" tanya Ilona heran.Egar, yang baru saja datang dari dapur sambil membawa dua cangkir kopi, berhenti sejenak. Ia menatap keluar melalui pintu kaca besar yang menghadap halaman depan. Wajahnya tenang, tapi ada kelelahan yang tak bisa disembunyikan."Itu tim pengamanan tambahan dari Jojo," jawabnya sambil menyerahkan kopi pada Ilona. "Tapi mereka tidak menginap seperti Dion dan Roy. Mereka seperti satpam, berjaga secara bergantian, sistem shift."Ilona tidak langsung menjawab. Ia m
Bunyi dentuman keras beberapa menit yang lalu masih terngiang di telinga Egar. Suasana dalam mobil terasa hening dan tegang. Yumi yang tadi menangis sudah berhenti nangisnya, dia hanya terkejut, sementara Gana meringkuk di dalam pelukaj Ilona, sesekali merengek kecil. Ilona memeluk keduanya erat, seolah ketakutan itu masih mengejarnya.Mobil kini berhenti di pinggir jalan, tak jauh dari lokasi kejadian. Dion, salah satu pengawal pribadi yang ditugaskan oleh Anita —sedang berbicara serius dengan Roy di luar mobil."Saya akan keluar," ujar Egar akhirnya, merasa perlu ikut mengecek kondisi mobil dan situasi sekitar.Namun Dion segera menoleh dan berkata dengan tenang tapi tegas, “Tidak, biar Roy saja, Tuan. Tetap di dalam. Ini bisa jadi belum aman.”Egar mengernyit, tak biasa dikendalikan begitu, tapi dia tahu Dion dan Roy adalah orang-orang pilihan. Mereka bukan sekadar sopir atau pengawal biasa, mereka adalah bekas anggota pasukan khusus yang kini bekerja penuh untuk menjaga keluarga i
Pagi itu terasa istimewa di rumah kecil milik Egar dan Ilona. Matahari baru saja muncul malu-malu di balik awan tipis, namun Yumi sudah duduk manis di meja makan, mengenakan seragam TK barunya yang berwarna biru muda. Rambutnya yang hitam tebal dikepang dua rapi oleh Ilona, dihiasi pita mungil yang membuatnya tampak seperti boneka hidup.Akhirnya, hari yang dinanti-nantikan itu tiba. Yumi akan mulai masuk sekolah hari ini. "Nanti, Yumi akan banyak teman, kan, Ma?" tanya Yumi sambil menyuapkan sesendok nasi ke mulut mungilnya. Matanya berbinar penuh harap.Dia bangun paling pagi dan langsung mandi. Dia begitu bersemangat untuk memulai pengalaman barunya menjadi seorang siswi."Tentu, Sayang. Banyak sekali teman-teman yang menunggu Yumi," jawab Ilona sambil tersenyum lembut."Hore! Yumi bisa main sama teman!" seru Yumi sambil mengangkat kedua tangannya kegirangan.Egar tertawa kecil melihat tingkah anak gadisnya. "Iya, Nak. Yumi pasti cepat berteman, karena Yumi anak yang baik.""Iya,
Angin sore itu berembus lembut dari jendela mobil yang sengaja dibuka, membawa aroma asin dari laut yang masih membekas di tubuh mereka. Ilona menyandarkan kepalanya pada sandaran jok, memejamkan mata sejenak, menikmati ketenangan setelah seharian bermain bersama keluarga. Tapi jauh di dalam hatinya, ada kegelisahan yang sulit diabaikan.Pikiran dalam kepalanya terasa saling bertabrakan. Begitu banyak hal yang melintas di kepalanya."Tapi, entah mengapa aku merasa akan ada sesuatu yang lebih besar akan terjadi," gumam Ilona, suaranya hampir tertelan angin.Suaranya sangat lirih dan lemah.Egar, yang duduk di sebelahnya meraih tangan Ilona dan menggenggamnya dengan lembut, melirik sekilas ke arah istrinya. Ia merasakan tekanan yang sama, kekhawatiran yang membayangi kebahagiaan singkat mereka hari ini. Dia juga tidak yakin semua akan berakhir di hari ini. Apalagi hingga saat ini keluarga Ilma belum ada yang menemui Ilona. Egar merasa masih ada bayang-bayang yang akan mengancam."Sebe