Rizky menyandarkan tubuhnya di kursi, menautkan jemari di atas meja makan. Wajahnya tenang, tapi ada ketegasan khas seorang ayah yang penuh wibawa.“Michael,” ucapnya pelan, “aku senang mendengar niatmu. Tapi melamar Yura bukan hanya soal membawa cincin dan bunga. Lamaran adalah janji besar—janji untuk menjaga, menghormati, dan membahagiakan dia seumur hidupmu.”Michael menatapnya lekat, lalu mengangguk. “Aku mengerti, Paman. Itulah kenapa aku ingin melakukannya dengan sungguh-sungguh. Aku tak ingin setengah hati. Yura… dia bukan hanya seseorang yang kucintai, tapi juga bagian dari hidupku yang tak tergantikan.”Kalimat itu membuat wajah Yura semakin panas. Gadis itu buru-buru menunduk, pura-pura sibuk merapikan sendok yang sebenarnya sudah rapi dari tadi.Kiara menimpali dengan senyum lembut. “Kalau begitu, kamu juga harus tahu, di sini ada tradisi seserahan. Biasanya berisi perlengkapan untuk calon pengantin perempuan, sebagai simbol kesiapan lelaki menanggung hidup pasangannya. Mun
Anisa memandang Noah dengan sedikit tersenyum. Meskipun Noah menolak, baginya tidak apa. Jika Noah hanya di kelas, maka ia juga akan di kelas.“Noah, apa kamu suka kue keju?” Anisa mencoba mengalihkan suasana. Ia tersenyum sambil mengeluarkan kotak kue kecil dari dalam tasnya.“Kue ini aku yang buat, loh,” katanya bangga.Noah sedikit tersenyum, lalu menggeleng pelan. “Maaf, Anisa. Aku tidak terlalu suka makanan manis.”Anisa terdiam, raut wajahnya langsung berubah. “Cicipi satu aja, siapa tahu setelah ini kamu jadi suka. Aku buatnya semalam sampai begadang,” pintanya, seakan tidak ingin menyerah.Noah akhirnya mengambil satu kue, memegangnya sejenak. “Baiklah, aku coba.”Mata Anisa langsung berbinar. Dalam hati, ia berjanji kalau Noah suka, ia akan membuatkan kue setiap hari dengan rasa yang berbeda.“Selamat pagi, Anisa! Wah, kamu bawa biskuit, ya?” suara Leo tiba-tiba terdengar. Ia baru saja masuk, langsung duduk di kursi depan Anisa, dan tanpa basa-basi mengambil satu kue.Anisa t
Kelas mulai ramai. Noah baru saja bangkit dari kursinya, merapikan buku, dan hendak pergi."Noah, kamu mau ke mana?" Tanya Anisa.“Aku ke motor sebentar, ada yang ketinggalan,” katanya singkat sambil berjalan keluar. Entah mengapa Noah merasa tidak nyaman dengan sikap Anisa terhadapnya. Karena itu dia memilih untuk keluar dengan alasan mengambil sesuatu yang tertinggal di motor.Anisa hanya mengangguk pelan. Ia menatap punggung Noah sampai pria itu benar-benar hilang di koridor. Hatinya terasa aneh… entah kenapa, setiap Noah pergi, kelas ini seolah berubah menjadi tempat yang asing.Benar saja.Kelas ini selalu ramai oleh para siswa. Dari kelas-kelas yang lain. Mereka akan datang di saat guru belum datang. Semua Itu demi bisa melihat Noah secara dekat. Begitu Noah tak ada, bisik-bisik kembali terdengar. Semula pelan, lalu makin jelas menusuk telinga.“Eh, lihat deh si robot. Sok-sokan cari perhatian sama Noah.”“Iya, padahal kakinya aja bukan asli. Kok berani sih suka sama orang cow
Anisa sampai di sekolah dengan wajah yang berseri-seri, semangatnya layaknya matahari pagi yang baru terbit.Beberapa pasang mata otomatis menoleh ke arahnya. Ada yang berbisik pelan, ada yang hanya memandang dalam diam. Bukan karena Anisa berbuat sesuatu yang aneh, melainkan karena langkahnya selalu terdengar berbeda.“Trik… trik… trik…”Suara khas dari kaki besinya menggema di lorong, mengiringi tiap langkah tegapnya.Tatapan-tatapan itu sudah lama menjadi bagian hidup Anisa. Ada rasa pedih, tentu. Tapi hari ini ia memilih untuk tersenyum. “Aku mungkin berbeda,” batinnya, “tapi aku bisa melangkah, bisa tertawa, dan tetap bermimpi.”Senyum kecil mengembang di wajahnya, memberi pesan tanpa suara: bahwa dunia boleh menatapnya dengan aneh, tapi ia tidak akan berhenti bahagia.Begitu memasuki kelas, pandangan Anisa langsung tertuju pada kursi di sebelahnya. Kosong.Semangat yang tadi berkobar mendadak meredup. “Hhh… Noah belum datang? Apa dia sakit?” gumamnya dalam hati.Dengan malas, ia
Noah sudah rapi dengan seragam sekolahnya. Pagi ini Noah memakai seragam olahraga, karena mapel olahraga di jam pertama. Sarapan pun sudah hampir selesai, tinggal meneguk sisa susu di gelas. Ia siap berangkat sekolah, sampai tiba-tiba suara suara langkah kaki terdengar semakin mendekat.“Ais?” Noah mengernyit begitu melihat seorang gadis berseragam Pramuka masuk dengan langkah riang.Aishwa tersenyum lebar sambil mengangkat tangannya yang sudah memakai helm. Anehnya, posisi helm itu… terbalik. Hingga membuat gadis itu kesulitan untuk melihat, karena matanya hampir tertutup helm.“Noah Mas, aku ikut ya!” katanya dengan wajah seolah tak ada yang aneh.Noah menatapnya dari atas sampai bawah, keningnya makin berlipat. “Ais… kamu mau ke mana sih?”“Sekolah lah,” jawab Aishwa santai, seolah pertanyaan Noah itu paling bodoh di dunia.“Kalau ke sekolah, kenapa mampirnya ke sini?” Noah masih bingung.Aishwa menepuk-nepuk helmnya. “Mau bonceng sama Mas Noah, lah. Masa aku jalan kaki? Capek, ter
Begitu ciuman itu terlepas, Michael langsung menarik napas dalam-dalam, seolah paru-parunya baru saja kehabisan udara. Yura pun melakukan hal yang sama. Mereka seperti sepasang kekasih yang tengah berebut oksigen, padahal sejatinya hanya mabuk oleh cinta yang meluap-luap.Michael menatap Yura dengan senyum tipis penuh arti, sementara Yura buru-buru menunduk, wajahnya merah padam, meski matanya tetap berkilau tak kalah indah dari bintang-bintang yang bertabur di langit malam.“Sayang…” suara Michael lembut, namun penuh keyakinan. “Emily… dia sekretarisku. Pekerjaannya profesional, tapi dia salah paham dengan ambisinya sendiri. Dia sering mendekatiku dengan cara yang salah, bahkan beberapa kali membuat masalah. Aku sudah tegas sejak awal, bahkan tadi aku blokir nomornya—karena aku tahu, dia bisa terus ganggu hidupku. Dan aku tidak mau itu sampai menyentuhmu.”“Mengganggu?” Yura menunduk, suaranya serak, jemarinya meremas ujung dress. “Maksud Mas… dia sengaja muncul, ganggu hidupmu?”Mic