Share

Positif Hamil

Liora bangun dengan perasaan tidak nyaman. Kepalanya pusing habis mabuk semalam, badannya pun terasa pegal-pegal dan berat, mungkin seharusnya dia lebih keras menolak permintaan tuan Chicco semalam. Kalau begini dia sendiri yang jadi repot dan harus menderita keesokan paginya.

"Aduh...." Liora memijit pelipisnya yang terasa pusing. Dia bangkit menjadi posisi duduk dengan selimut yang menutupi tubuh telanjangnya. Tunggu... Telanjang!!

Lenora membuka selimut dan mendapati tubuhnya yang polos tanpa sehelai pakaian pun. Kemudian ia melihat ke sekitar, pakaiannya berserakan di lantai, berikut dengan sepatu dan tasnya. Sebenarnya... apa yang telah terjadi, semalam?

Tunggu... ayo kita berpikir positif, mungkin saja karena mabuk semalam dia melepas sendiri pakaiannya kemudian segera tidur. Itu mungkin saja terjadi... ya, itu pasti yang terjadi.

Liora turun dari ranjang dan menutupi dirinya dengan selimut kemudian pergi ke kamar mandi. Gadis itu melihat ke cermin melihat rambutnya yang begitu berantakan, tanda merah di mana-mana. Eh... tanda merah?

Linora memegangi lehernya mendekatkan diri pada cermin melihat tanda itu lebih jelas. Mungkin ada nyamuk di hotel ini, sangat di sayangkan, hotel sebesar ini tapi banyak sekali nyamuk. Tanda itu benar-benar ada di mana-mana, di leher, dada, bahkan lengannya pun ada. Sepertinya dia harus mengajukan komplain pada manager hotel ini nantinya.

...

Liora pergi berangkat kerja seperti biasanya. Entah bagaimana kondisi pak Jo, sekarang, nomornya sama sekali tidak bisa di hubungi.

"Pagi sekertaris Lio... syal itu sangat cocok dengan anda." Liora tersenyum dan memegangi syalnya saat dapat pujian itu. Syal kain dengan motif berwarna biru, sebenarnya ia memakai ini untuk menutupi bekas merah di lehernya. Ia tahu itu hanya bekas gigitan nyamuk, tapi ia tidak mau kalau saja rekan kerjanya mungkin akan salah paham dengan tanda merah di lehernya.

"Kenapa dia tidak bisa di telepon! Apa dia masih tidur karena mabuk, semalam!" Liora terus menerus melakukan panggilan suara ke ponsel Jonathan, tapi setelah puluhan panggilan suara pun dia masih tidak mengangkatnya.

Sebenarnya Linora tidak begitu ingat soal semalam. Setelah minum beberapa gelas bir, ingatannya hilang seketika. Ia bahkan lupa apakah ia sudah mengantar bosnya itu pulang atau belum, atau mungkin saja Jonathan juga sama sepertinya, tertidur di salah satu kamar hotel di sana. Atau lebih parahnya... Liora lupa membawa Jonathan dan membiarkannya tertidur di ruang VVIP bersama tuan Chicco. Jika benar begitu, dia pasti akan segera dimarahi.

"Ah, halo...." akhirnya setelah usahanya berkali-kali menelepon, Jonathan mau mengangkatnya juga. Suaranya terdengar serak di seberang, apa mungkin dia baru bangun tidur?

"Ada apa?"

"Saya hanya ingin tanya kondisi bapak, jika memang sangat buruk, saya akan batalkan jadwal hari ini dan membiarkan bapak libur dan istirahat." Jelas Liora. Jonathan sempat diam sejenak, kemudian dia segera menjawab dan menutup telepon.

"Ya, begitu saja!"

Tut...

"Ya... baik...." Liora memendam rasa jengkel saat telepon dimatikan begitu saja. Tenanglah... ini demi gaji dua digit. Liora mengambil nafas dalam kemudian menghembuskannya. Dia masih banyak pekerjaan, sebaiknya dia segera pergi dan menyelesaikan pekerjaannya sekarang.

Di dalam kamarnya, Jonathan meringkuk di sudut kasur setelah mematikan telepon. Pakaiannya berantakan, wajahnya memerah dengan air mata yang membasahi pipi dan baju kemejanya. Dia menangis sembari menenggelamkan kepalanya diantara dua lutut.

...

"Haa... akhirnya pulang kerja!" Liora merenggangkan tangan saat pekerjaannya akhirnya selesai, dia sudah telat pulang sepuluh menit karena memilih menuntaskan pekerjaannya hari ini. Pacarnya pasti sudah menunggu di bawah, dia harus segera turun dan menemuinya.

"Sayang...." Liora berlari menyapa pacarnya yang sedang bersender di sisi mobil kemudian memeluknya. Mereka berdua saling tersenyum dan sedikit berbincang, kemudian masuk ke dalam mobil.

"Kau ingin langsung pulang?" Tanya lelaki itu sembari memasangkan Liora selt bet.

Liora berpikir sejenak, tapi sekarang... orang tuanya pasti sudah memasak dan menunggunya pulang.

"Mm... ibuku sepertinya sudah masak di rumah. Bagaimana kalau kita pergi keluar, setelah makan malam?" Ujar Liora, lelaki itu sempat berpikir sejenak kemudian mengangguk dan tersenyum.

"Baiklah...." ucapnya mengusap usap kepala Liora, kemudian mulai menyalakan mobil dan melajukannya.

Dia adalah Maxime. Manager sebuah sebuah bank besar di kota ini sekaligus pacar Liora saat ini. Liora tersenyum menatap Maxim yang sedang berkendara, dia merasa sangat beruntung bisa mempunyai kekasih seperti Max.

Selain pekerjaannya yang terjamin, dia juga sangat tampan dan perhatian. Bahkan dia juga menghargai keputusan Liora yang meminta untuk menjalin hubungan yang sehat sampai mereka akan menikah nantinya. Bahkan orang tua Liora pun sangat menyukai Max, dia pandai memasak dan sangat menghargai orang tua.

"Ayah... ibu... Lio pulang!" Liora dan Maxime masuk dengan membawa plastik berisi belanjaan dan buah-buahan. Lelaki itu bahkan enggan pergi dengan tangan kosong ke rumah Liora, dia memaksanya untuk mampir ke supermarket dan membeli beberapa keperluan rumah untuk di bawa berkunjung ke rumah calon mertuanya.

"Anak kesayanganku... kau pasti lelah, ya. Sini ayo duduk!" Salim yang melihat putrinya pulang, langsung tersenyum lembut dan menyuruhnya untuk duduk, sementara dia menaruh tas putrinya. dia juga menyambut Maxime yang datang dengan senyum ceria menyapa kedua orang tua Liora dengan sopan.

"Halo paman, halo bibi...." Maxime tersenyum memberikan belanjaan yang di belinya sebagai buah tangan datang berkunjung, ibu Liora datang dan mengambilnya kemudian menaruhnya di dapur.

"Ayo duduk, Max. Kami berdua sudah masak banyak makanan!" Layla ibu Liora juga menyambut hangat Max yang datang. Dia mengambil peralatan makan tambahan, kemudian memberikannya pada Max.

"Terimakasih bibi...."

Ini adalah kehidupan Liora yang sempurna. Keluarga yang harmonis, pacar yang baik, dan juga karir yang sukses. Semua ini mungkin saja hal yang diimpikan semua orang, dan Liora dengan beruntung bisa mendapatkannya.

...

"Selamat pagi pak, anda mau kopi?" Liora berdiri di hadapan Jonathan dan menawarkan kopi seperti biasanya, tapi tingkah lelaki itu pagi ini aneh sekali, dia sama sekali enggan menatapnya dan selalu menghindari pandangan.

"Ya." Jawaban yang sangat simpel, tapi Liora masih tersenyum dan berbalik pergi untuk membuatkannya secangkir kopi.

Jonathan melihat kepergian Liora kemudian dia menghela nafas, dadanya berdegup begitu kencang seperti berhadapan dengan polisi yang ingin menangkapnya.

"Dia tidak ingat, kah?"

Jonathan menyatukan tangannya membentuk kepalan, kemudian menyenderkan dahinya dengan lesu ke tangannya.

Hari-hari berlanjut seperti biasanya, hanya saja setelah acara malam itu sikap Jonathan jadi berubah menjadi canggung dan selalu mempersingkat percakapan Liora dengannya. Gadis itu tidak tahu apa yang terjadi, apa bosnya itu sedang ada masalah? yah... selagi itu tidak berimbas pada pekerjaannya di kantor, itu semua tidak masalah.

"Huekk...." Liora berlari ke kamar mandi untuk muntah di closet. Entah apa yang terjadi padanya belakangan ini, dia terus mual dan sensitif dengan makanan dan pengharum ruangan.

"Sekretaris Lio, anda baik-baik saja?" Seorang wanita pergi menghampiri Liora yang sedang muntah di kamar mandi. Wajahnya terlihat khawatir, dia menawarkan untuk mengantar Liora ke rumah sakit sepulang kerja nanti, tapi Liora menolak.

"Anda benar-benar harus pergi ke rumah sakit. saya takut terjadi sesuatu yang buruk pada anda, sudah beberapa hari ini anda mual-mual dan bahkan sampai pingsan, di kantor.

"Terimakasih atas perhatiannya manager Sinta. Nanti setelah pulang kerja saya akan meminta pacar saya untuk mengantarkan saya ke rumah sakit." Manager Sinta mengangguk setuju, kemudian mereka bersama-sama keluar dari kamar mandi, pergi kembali berkerja ke tempat masing-masing.

Liora menghela nafas sembari duduk di meja kerjanya. Dia tidak tahu apa yang terjadi pada tubuhnya, sudah beberapa hari ini dia jadi tidak fokus kerja karena tubuhnya yang terasa lemas dan pusing. Liora kemudian membuka ponselnya mengirimkan pesan teks pada Maxime untuk mengantarkannya ke rumah sakit sepulang kerja nanti.

[Max, nanti antar aku ke rumah sakit, ya.] (Liora)

[Apa yang terjadi, kau sakit?] (Maxime)

[Ya, tapi mungkin hanya masuk angin.] (Liora)

[Baiklah, aku akan menjemputmu nanti.] (Maxime)

Liora menutup teleponnya kemudian lanjut bekerja, setelah di periksa dokter dan minum obat, dia pasti akan baik-baik saja.

Itu yang dipikirkan Liora sebelum menerima kertas hasil tes kesehatannya.

[Positif hamil.]

Liora bolak balik membaca ulang kertas itu berpikir ada yang salah. Hamil... Bagaimana bisa? Ia bahkan masih perawan, kapan dia... Sejenak dia mulai teringat dengan pagi itu, hari dimana dia menemukan banyak tanda merah dibadannya. tapi siapa?

Liora jatuh terduduk menggenggam kertas itu dengan syok. Padahal kehidupannya sudah sempurna, tapi kenapa semua ini menimpanya... Liora buru-buru bangkit dan menyembunyikan hasil tesnya saat Maxime datang, dia sehabis dari resepsionis membayar administrasi kemudian langsung menghampiri Liora.

"Sayang... bagaimana? apa kau baik-baik saja?" Maxime menghampiri Liora dengan khawatir dan gadis itu buru-buru berakting seolah tidak terjadi apapun.

"Oh, itu... cuma maag aja, kok!" Maxime bernafas lega mendengarnya, kemudian dia merangkul Liora dan mengajaknya untuk pulang. Gadis itu tersenyum dan berjalan bersama Maxime, sementara di belakangnya dia menggenggam hasil tes itu dan diam-diam meremasnya dan memasukkamnya ke dalam tas.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status