Prama hampir melotot ketika bosnya itu membisikkan sesuatu. Dia ragu, apa benar hasil pemeriksaan kepala atasannya itu baik-baik saja?“Pak, Anda serius? Tapi tadi dokter sudah jelas mengatakan kalau Anda hanya luka luar. Tidak perlu perawatan intensif. Cukup istirahat di rumah.”Reyvan menepuk keras pundak asistennya itu. “Siapa juga yang mau rawat inap? Aku bilang dirawat di rumah. Kamu paham nggak maksudku?”Prama mengerjap, masih bingung. “Ya memang harusnya dirawat di rumah, Pak.”Reyvan menarik napas panjang, sorot matanya tajam. “Dengar baik-baik, pria yang nggak punya pacar. Aku jelaskan secara rinci. Nanti, kalau istriku kembali, kamu buat wajahmu itu sesedih mungkin. Seperti tadi saat kamu memarahiku setelah kecelakaan. Buat seolah-olah aku luka berat. Paham?”Prama hanya diam, menatap bingung. “Paham?!” Suara Reyvan meninggi, nyaris frustasi.Prama akhirnya mengangguk pelan. “Anda ingin cari perhatian Amber, Pak?”Reyvan mencebik, bibirnya terangkat sebelah. “Bisakah hal s
"Kamu mau memilikiku? Karena aku wanitamu atau hanya pijakan kursimu saja?"Mata Reyvan menegang. Dia jelas terusik dengan pertanyaan itu. Sorot matanya menatap lekat-lekat manik mata Amber."Lihat mataku, kamu akan paham hatiku."Amber terdiam menatap dalam manik mata Reyvan. Dadanya mendesir saat menatap sorot mata suaminya.Tanpa kompromi lagi, Reyvan menatap lekat istrinya sambil menyapu kening istrinya.Jiwa pongahnya kini benar-benar runtuh. Dia membuka tabir kerasnya dan menautkan hatinya pada wanita yang setiap saat mengusir pikirannya.Perasaan tak selalu melahirkan kata. Ada yang lebih jujur dari seribu kalimat, yaitu sorot mata. Menyelaminya, kita akan tahu jawabannya—apakah ada rindu atau cinta yang diam-diam bergejolak.Jika benar melindungi dan membahagiakan tidak harus memiliki, maka aku memilih untuk menjadi egois. Sebab cintaku bukan sekadar rasa yang bisa kurelakan terbang bebas. Cintaku harus aku miliki.Reyvan melepas jasnya dan melempar ke sembarang arah. Akan te
David berdiri, dadanya membusung. Suaranya meninggi. “Jangan bicara omong kosong, seolah kamu suami teladan yang penuh kasih sayang. Kalau mau pencitraan, jangan berlebihan! Amber bukan wanita bodoh yang bisa kamu permainkan terus!”Reyvan menoleh cepat ke arah Amber. Tatapannya tajam, memang sengaja. “Dia bilang aku lagi main-main. Apa seperti ini?”Seketika itu, tanpa aba-aba, Reyvan sedikit menunduk dan mengecup bibir istrinya. Sangat percaya diri.Amber mematung, matanya membesar, tubuhnya kaku tak bisa merespons. Degup jantungnya kacau.David pun terperangah, mulutnya terbuka hendak bicara. "Kamu-"Namun Reyvan langsung menyambar, “Permisi! Aku mau bawa istriku pergi dari pria sepertimu!”Tanpa basa-basi, Reyvan menarik Amber ke arah pintu.Amber hanya bisa menoleh ke belakang menatap David. “Vid, maaf. Aku pergi dulu.”David berdiri membatu, matanya menyala tajam, emosinya hampir meluap. rahangnya sampai bergetar menahan teriakan.'Tidak selamanya kamu bisa bertingkah seenaknya,
"Ke rumah sakit!" teriak Prama.“Ke restoran. Cepat!” Suara Reyvan langsung menyusul, keras dan tajam menekan.Prama menoleh tak percaya. “Pak, Anda itu terluka. Soal Amber, biar saya suruh orang lain menjemputnya.”Sorot mata kesal Reyvan langsung ditujukan pada Prama. “Lihat baik-baik. Aku baik-baik saja! Aku nggak butuh rumah sakit. Antar ke restoran itu sekarang. Aku harus kasih peringatan keras pada David.”Prama hendak protes, mulutnya sudah terbuka. "Tapi, Pak-"Tapi Reyvan cepat menggeram. “Aku nggak akan mati sekarang, Pram! Kita ke restoran, atau aku turun sekarang juga dan kesana sendiri!”Prama terdiam, lalu menghela napas panjang dengan wajah masam. “Ambil jalur ke restoran!” serunya pada sopir.Asisten itu lalu membuka dasbor, mengeluarkan kotak obat kecil, dan mulai membersihkan luka di tangan Reyvan. Tangannya telaten meski wajahnya tetap cemberut kesal. “Tadi, jantung saya hampir lepas, Pak. Kalau saya wanita, pasti sudah menjerit histeris saat tahu rem mobil Anda bl
TARRRRR! "Akhhh!" kaget Amber, dengan mata lebar. Dadanya mendesir. Jantungnya berdetak tak karuan. Tiba-tiba saja perasannya jadi tak enak, tapi tak tahu kenapa. Pikirannya langsung ingat Reyvan.Gelas di sisi Amber terjatuh begitu saja."Amber, kamu nggak apa-apa?" panik David.Amber terdiam menggeleng. "Nggak apa-apa, Vid." Dia hendak berdiri."Kamu duduk saja. Waiters yang akan membersihkannya."Amber mengangguk kecil. Tapi pikirannya sama sekali tak tenang.---"Pak, awas!!" teriak supir dengan jantung hampir copot. Tangannya gemetar hebat saat memutar roda stirnya.Kepala Reyvan terbentur jendela, lalu lanjut terbentur ke punggung kursi depannya. Tubuhnya hampir tak bisa dia kendalikan. Terus terbentur, terpelanting ke sana sini. "Hish! Hati-hati!" pekik Reyvan."Anda juga jaga diri, Pak!" Beberapa menit kemudian, dari arah belakang muncul dua mobil hitam lain. Itu bantuan dari tim Prama. Mereka langsung mengepung dari sisi kiri dan kanan, memberi aba-aba lewat lampu hazard.
David mengusap wajahnya, menghela panjang. “Amber, bisakah kamu nekat pergi dari sisinya? Aku memang belum punya jabatan tertinggi, tapi sebentar lagi aku juga akan setara dengan Reyvan. Aku bisa melindungimu. Buat apa kamu mempersulit diri untuk bertahan di sisinya?”Amber menggeleng cepat. “Vid, aku nggak pantas untukmu yang sangat baik.”David mencondongkan tubuhnya, tatapannya panas. “Aku nggak akan nyerah, Amber. Aku tidak akan membiarkanmu menderita di sisi Reyvan. Kamu bukan wanita yang pantas dipermainkan olehnya.”Amber menghela napas, suaranya melembut. “Vid, bisakah kamu ceritakan apa yang aku minta tadi? Tolong ceritakan detail, apa adanya.” Langsung mengembalikan topik.David akhirnya mengangguk. “Baiklah. Dia memang pria brengsek. Saat kamu lari, dia mendatangiku, mencarimu di setiap sudut ruanganku sambil mengancamku aneh-aneh. Dia seperti orang kesetanan. Mencarimu pasti karena tidak mau melepasmu, masih ingin membuatmu menderita karena berani jadi pengantin pengganti.