Reyvan menatap tehnya dengan wajah kaku. 'Jangan-jangan Amber juga memberinya banyak garam? Nggak mungkin. Amber nggak mungkin ceroboh,' batinnya gusar.Dia mengalihkan pandangan pada istrinya. “Kenapa dengan teh Deandra?”Amber menjawab dengan nada tenang, seolah tidak ada yang aneh. “Oh, aku buatkan yang spesial saja. Teh matcha, tanpa gula. Nggak ada yang aneh.”Reyvan tersenyum kaku. Dalam hati dia ingin tertawa. Lalu, dia menatap Deandra. “Istriku terlalu senang ada tamu spesial. Jadi, dia berusaha menjamu spesial tamunya.”Kalau bukan di rumah itu, kalau bukan di depan Reyvan, Deandra sudah akan menarik rambut Amber lalu melemparkannya ke tempat sampah.Akan tetapi, dia berusaha untuk tenang. “Aku hanya terkejut. Istrimu ini sangat unik dalam menjamu tamunya. Tidak apa-apa. Setelah ini, paling aku cuma opname dua hari. Karena aku memang belum pernah minum teh semacam ini,” Deandra menahan perasaan muak sambil menegakkan duduknya.Amber pura-pura kaget dengan mata melebar. Wajahn
“Jangan omong kosong. Kalau orang lain mendengar, bisa salah paham dengan apa yang kamu katakan itu!” pekik Reyvan, ekor matanya melirik arah sana. Sayangnya bukan sekadar orang lain. Amber benar-benar mendengar dengan telinganya sendiri. Kata-kata itu masuk telinga dan langsung ditransfer ke hatinya. Begitu jelas sampai tubuhnya menegang. Wajahnya kini memerah, menahan kesal.Napas Amber memburu berat. Dada naik-turun cepat, seakan berperang dengan gejolak yang hampir meledak. “Wanita itu … seperti bunga beracun. Indah dilihat, harum aromanya, tapi menyembunyikan racun mematikan di balik kelopak manisnya!”Amber menarik nafas dalam-dalam. Lalu, mengatur raut wajahnya agar bisa menyembunyikan gemuruh di dadanya. Lalu, wanita itu lekas melangkah dengan elegan."Kenapa kalian nggak duduk!" Suara Amber melengking saat muncul membawa nampan. Wajahnya datar, sama sekali tidak menunjukkan kalau dia mendengar sesuatu. Padahal di dalam dadanya, sudah siap menjambak.Reyvan cepat menoleh, mat
“Kami sebenarnya nggak mau main terima saja, Nyonya. Tapi Nona Deandra maksa banget. Udah ditolak, kami juga bilang harus nunggu Nyonya. Eh, malah ditaruh di dapur sendiri. Katanya harus cepat disajikan karena Tuan sangat suka,” ucap salah satu pembantu.Amber menunduk menatap tajam box cake elegan di atas meja dapur. Kotak itu berlapis kertas berwarna hitam doff, dihiasi pita emas satin yang melingkar rapi. Logo restoran mewah tersemat jelas di atasnya.Salah satu pembantu lain bersuara lirih, “Kami mau unboxing saja takut, Nyonya. Apalagi kalau sampai menyajikan. Kalau ada jampe-jampenya, gimana? Atau pelet? Kami cuma hati-hati saja.”Yang lain menimpali cepat, wajahnya tegang. “Pokoknya kami ada di belakang Nyonya. Kalau tamu itu memang punya niat nggak bener, kami siap!”Amber masih menatap tajam box itu, seperti ingin menelanjangi maksud rahasia di balik puding yang tertutup rapat itu. Pelan, sudut bibirnya tertarik samar. Napas berat keluar dari dadanya. “Kalau begitu, puding in
Reyvan dan Amber tiba tepat di depan Deandra."Mau apa kamu datang ke rumahku? Sepertinya kita tidak punya janji temu? Dan kenapa tidak menghubungi asistenku saja? Kamu sudah merusak kebersamaan kami saja!" ketus Reyvan, sambil mengusap lembut tangan istrinya.Amber hanya menahan senyum saja. Suaminya itu pantas mendapat bintang 5, suami idaman.Deandra tersenyum lebar. "Tentu saja menengok teman dekat yang habis kecelakaan. Oh ya, aku bawakan puding dari Blue Restoran. Tadi sudah dibawa pembantu masuk dapur. Aku lihat kamu sangat menyukainya kemarin pas kita makan berdua."Reyvan menggeram dalam hati. Ekor matanya melirik reaksi wajah istrinya, jelas kalau Amber menahan kesal.'Deandra! Aku akan membuat perhitungan kalau sampai Istriku marah! Hish! Aku harus segera mencari relasi bisnis lainnya agar bisa secepatnya menyingkirkan wanita gila ini!' batin Reyvan dengan perasaan tak karuan.Mata Amber masih menegang, tapi diam. Satu tangannya meremas kepalan kuat, berusaha menahan diri a
Amber menatap tajam, napasnya terasa berat di dada. Seperti ada firasat seorang istri yang mendorong emosinya keluar."Aku tidak mengenal tamu itu, lalu kemari mau ketemu siapa?" Matanya beralih pada suaminya, menunggu jawaban yang jelas.Reyvan hanya tersenyum tipis, sambil menelan ludahnya perlahan. Diamnya seperti menyembunyikan sesuatu."Katanya mau bertemu dengan Tuan, Nyonya. Dan katanya lagi, Nona Deandra itu teman dekatnya Tuan," ucap pembantu itu gugup, seolah lidahnya dipaksa bergerak.Amber menekan dua bibirnya rapat-rapat, seperti sedang mencoba menelan emosinya. Sorot matanya berubah curiga."Apa dia cantik?" Nada bicara Amber ketus sedikit meninggi. Tapi, lirikannya yang tajam itu tertuju pada pria di sampingnya.Pembantu itu menatapnya sebentar, lalu buru-buru mengangguk. "Ca-cantik, Nyonya."Mata Reyvan langsung menajam pada pembantu itu. Kepalanya bergerak pelan memberi kode agar pembantu itu cepat keluar.Lalu, pembantu itu pun cepat-cepat membalikkan badan, langkahn
Prama hampir melotot ketika bosnya itu membisikkan sesuatu. Dia ragu, apa benar hasil pemeriksaan kepala atasannya itu baik-baik saja?“Pak, Anda serius? Tapi tadi dokter sudah jelas mengatakan kalau Anda hanya luka luar. Tidak perlu perawatan intensif. Cukup istirahat di rumah.”Reyvan menepuk keras pundak asistennya itu. “Siapa juga yang mau rawat inap? Aku bilang dirawat di rumah. Kamu paham nggak maksudku?”Prama mengerjap, masih bingung. “Ya memang harusnya dirawat di rumah, Pak.”Reyvan menarik napas panjang, sorot matanya tajam. “Dengar baik-baik, pria yang nggak punya pacar. Aku jelaskan secara rinci. Nanti, kalau istriku kembali, kamu buat wajahmu itu sesedih mungkin. Seperti tadi saat kamu memarahiku setelah kecelakaan. Buat seolah-olah aku luka berat. Paham?”Prama hanya diam, menatap bingung. “Paham?!” Suara Reyvan meninggi, nyaris frustasi.Prama akhirnya mengangguk pelan. “Anda ingin cari perhatian Amber, Pak?”Reyvan mencebik, bibirnya terangkat sebelah. “Bisakah hal s