“Nggak boleh ya?” tebak Slavia atas kebisuan Rio. “Kamu pasti takut sama Kak Shara, ya sudahlah ... Aku pamit kalau begitu.”Rasa bersalah Rio semakin besar ketika Slavia meraih dan mencium punggung tangannya.“Kamu bisa ceraikan aku sekarang, Kak.”Rio berdiri mematung, dia tidak bisa menahan diri lebih lama lagi. Ditariknya Slavia dalam pelukan erat, mencoba memberikan dukungan sebagai mana yang sering dia lakukan terhadap Shara jika sedang bersedih.Bukankah Slavia juga istrinya?“Cepat Kak, kamu ceraikan aku sekarang dan hiduplah bahagia sama Kak Shara ... Tolong jaga anak kita baik-baik,” pinta Slavia dengan air mata berderai.Rio ikut merasakan pedih ketika tubuh rapuh Slavia bergetar hebat dalam pelukannya.“Tunggu sebentar,” kata Rio sambil melepaskan Slavia, setelah itu dia berbalik pergi meninggalkan istri keduanya.Slavia cepat-cepat menghapus kedua matanya yang banjir air mata, dia harus siap menerima takdir ini. Perjanjian sudah disepakati, dan kini tiba saatnya bagi Slav
“Apa aku harus menceraikan Via di hadapan kamu?”Shara menarik napas.“Nggak begitu, Mas. Aku cuma khawatir kamu belum menceraikan Via, ingat kalau pernikahan kalian seharusnya nggak boleh terjadi ....”“Terus kenapa kamu dulu maksa aku untuk tetap menikahi adik ipar aku sendiri?” potong Rio curiga.Shara mendadak diam dan menghindari tatapan suaminya. “Itu karena aku butuh anak, yang penting kan sekarang kamu sama dia sudah cerai—itu saja.”Rio menghela napas, tapi dia tidak ingin meneruskan pembicaraan tentang Slavia lebih jauh lagi.Seolah mendukung situasi, suara tangis bayi tiba-tiba terdengar.“Nico nangis!” seru Rio sambil menatap Shara.“Ya ampun, baru juga duduk sebentar ...” keluh Shara dengan wajah tertekan. “Capek banget aku ....”Rio mengernyit heran ketika Shara terpaksa berdiri dengan ekspresi ogah-ogahan.“Nic, kamu tidur dong ... ini sudah jam tidur kamu ...” ucap Shara mengantuk sambil menimang-nimang bayi Slavia yang diberi nama Nico. “Mama capek, mau tidur lebih aw
“Nico ...?” Bibir Slavia bergetar lirih saat menyebut nama putranya.“Iya, sudah! Sekarang cepat kamu masuk kamar dan jangan keluar dulu selama kakak kamu ada di sini, ibu mau beres-beres ....”“Aku akan bantu, Bu.”“Nggak usah, Via. Sana masuk kamar!” sahut ibu tidak sabar.Slavia akhirnya menyerah dengan sikap ibunya yang tidak ada bedanya dengan Shara, dia seakan dibuang begitu saja setelah tujuan mereka berhasil didapatkan.Tidak masalah kalau Slavia dituntut untuk segera pergi jauh meninggalkan anaknya, tapi tidak dengan cara seperti ini juga ....Dengan sedih Slavia masuk ke kamarnya dan berbaring sambil memeluk bantalnya erat-erat. Setelah mengetahui nama anak laki-lakinya, mendadak rasa rindu itu membuncah di dalam dada.Dia terus mengurung diri di kamar hingga suara nyaring Shara membuatnya waspada.“Nenek, Nico datang!”“Eh, cucu nenek sudah besar ya? Sini gendong dulu!”Canda tawa mengiringi pertemuan antara ibu dan anak itu. Tinggal Slavia yang meratapi nasibnya harus berpi
Mendengar ucapan Shara, Rio akhirnya tetap meninggalkan Nico dengan pikiran bahwa Shara yang akan menenangkan tangisan anak mereka.“Gendong sebentar ya, Nico jangan rewel terus oke?” Shara mengangkat Nico dan menimang-nimang untuk sementara waktu, sampai Nico anteng dan dia lantas meletakkannya lagi di dalam boks.“Oekkk ....”“Apa lagi sih, Nic? Masa iya kamu minta gendong terus sama mama?” sentak Shara sambil memegang keningnya yang berdenyut. “Mama capek, mana nanti malam kamu pasti kebangun ... Makanya diam!”Suara Shara yang menggelegar sontak membuat tangis Nico menjadi semakin keras, hingga Bik Tata ikut teriris-iris mendengarnya.“Kasihan Nico,” gumam wanita setengah abad itu.Sempat terbersit di pikirannya untuk mengambil alih Nico, tapi ada rasa takut tersendiri mengingat karakter Shara yang gampang meledak-ledak.Sorenya, Rio sedikit heran karena Nico rewel terus dan tidak mau lepas dari gendongannya. Dia melirik Shara yang sedang mengeringkan rambutnya setelah keramas, tam
“Bikinkan minum untuk teman-teman saya ya, Bik!” suruh Shara sembari menggendong Nico dengan hati-hati. “Lima orang.”“Baik, Bu.”Teman-teman Shara bersorak riuh ketika Nico muncul dalam gendongannya.“Ya ampun, lucunya!”“Mirip Rio semua ini!”“Iya, kamu kok nggak ada?”Shara langsung terkesiap ketika mendengar komentar teman-temannya.“Maksudnya apa ya?”Salah seorang teman Shara yang berambut pendek menowel pipi gembul Nico.“Coba deh kamu lihat! Hidungnya, matanya, rambutnya, kulit, dominasi Rio semua—hebat nggak sih?”“Hebat banget, cetakannya bagus! Sempurna, Ra ....”“Iya, semua mirip Rio. Kamu kok nggak ada sih, Ra?”“Apa mungkin ....”Shara langsung menyipitkan matanya dengan curiga ke arah sang teman yang mendadak diam.“Ah, nggak kok! Cuma bercanda, yang jelas anak kamu ini ganteng banget!”“Iya betul, persis ayahnya ....”Sahutan demi sahutan itu berhenti ketika Bik Tata muncul untuk mengantarkan minuman.“Kerabat jauh aku juga ada yang begitu kok, Ra. Anak dia itu ngikut
“Bibik yakin kalau ibu sama Nico tidak turun ke sini?”“Tidak Pak, biasanya ibu kasih Nico ke saya kalau bangun tidur.” Bik Tata menjelaskan.Mendengar itu, Rio jadi khawatir dan langsung kembali lagi ke kamarnya.Dia mendatangi sofa dan terbelalak ketika menyaksikan Shara yang meringkuk tanpa Nico di dekatnya.“Ma, Nico di mana?” tanya Rio sambil membangunkan Shara, yang terperanjat melihat kedatangannya.“Apa sih, Mas?”“Nico mana? Dia tidak sama kamu? Kata Bik Tata, kamu belum keluar dari kamar kan?” tanya Rio beruntun.Shara mengucek matanya sembari menyimpulkan nyawa yang belum sepenuhnya utuh.“Ra, Nico mana?” tanya Rio sekali lagi dengan menyebut nama asli istrinya.“Dia bukannya sama kamu, Mas?”“Aku kira malah sama kamu!” tukas Rio sambil celingukan mencari keberadaan si kecil. “Kalau malam kan Nico suka bangun dan minta minum atau pipis ....”Shara terpaku, seakan masih mencerna seluruh ucapan Rio yang masuk ke pikirannya.“Tadi pagi pas aku kebangun, Nico sudah nggak ada di
“Tapi Shara tidak pernah main tangan kan?” “Aku tidak tahu, Bu. Aku lebih sering dengar dia membentak Nico saja ....” “Shara kan ibu baru, mungkin saja dia kena baby blues?” Rio terdiam, baik dia maupun Shara sama-sama menjadi orang tua baru sejak Nico lahir ke dunia ini. Bisa jadi Shara masih harus beradaptasi dengan status barunya sebagai seorang ibu. “Apa sih, Nic!” Sementara itu di kamar, Shara sedang uring-uringan karena suara rengekan Nico dinilai mengganggu tidur lelapnya. “Mama tuh capek ya, urus kamu seharian! Tengah malam masih harus bangun gara-gara bikinin susu buat kamu! Kali ini saja mama mau tidur sebentar ....” Nico yang masih bayi, tentu saja tidak mengerti apa yang diucapkan sang tante yang kini menjadi ibunya. Dia terus merengek tanpa henti, berusaha menyuarakan apa yang menjadi keinginannya menggunakan bahasa yang tidak Shara mengerti. “Nico! Diam dulu sebentar bisa nggak sih?” Shara akhirnya habis sabar dan membanting botol susu yang sudah kosong. “Mama ca
[Buat apa lagi kamu transfer uang ke rekening aku, Kak?]Mengabaikan pertanyaan Slavia, Rio memilih untuk langsung menelepon istri keduanya itu.Berharap kalau Slavia berkenan menjawab teleponnya.“Mau alasan apa lagi kamu, Kak?” Suara dingin Slavia langsung menyambut begitu hubungan tersambung.“Vi, kita harus bertemu. Aku mau bicara banyak sama kamu,” punya Rio.“Aku nggak mau, Kak. Cukup kamu ucapkan talak itu saja, bebaskan aku ....”“Kamu di mana sekarang, Vi?”“Nggak penting kamu tahu keberadaan aku.”Rio yang emosinya juga sedang naik-turun, mendadak jadi tersinggung karena mendengar ucapan Slavia.“Aku ini masih suami kamu, Vi! Setidaknya jaga nada bicara kamu ....”“Suami nggak bertanggung jawab.”“Tidak bertanggung jawab, kamu bilang? Justru karena aku merasa harus bertanggung jawab sama kamu, makanya aku tidak langsung talak kamu.”“Terus kenapa memangnya?”“Karena dengan kamu masih jadi istri aku, maka aku punya kewajiban untuk menafkahi kamu ....”“Aku bilang nggak perlu,