Share

Menjadi Istri Kedua Kembaran Suamiku
Menjadi Istri Kedua Kembaran Suamiku
Penulis: Damaya

1. Egois

Penulis: Damaya
last update Terakhir Diperbarui: 2024-11-01 17:18:42

Telapak tangan Dyra basah oleh keringat dingin. Jantungnya berdentum kencang di balik tulang rusuk, memekakkan telinganya sendiri. Ia mengira momen penantian ini akan terasa seperti kebebasan, tetapi justru mencekiknya. Segala harapan untuk bisa lepas dari belenggu rumah Pramana kini tergantung pada satu anggukan dari Martin—ayah mertuanya. 

Kecemasan Dyra semakin menjadi-jadi dengan kehadiran Ghavin—kakak iparnya. Pria itu duduk di sisi Martin, menatapnya dengan tatapan tajam yang tak terbaca. Dyra tahu, Martin pasti akan melarangnya membawa Megan pergi.

Hening mencekam. Setiap detik terasa seperti jarum yang menusuk kulit. Sampai akhirnya, suara Martin memecah kesunyian, rendah dan penuh pertimbangan. “Kamu yakin dengan keputusanmu, Nak?”

Bagi Dyra, suara itu adalah pelampung di tengah badai. Dia mengangguk mantap, tidak peduli betapa gemetar tubuhnya saat ini. Wajahnya memancarkan tekad bulat, sebuah janji pada dirinya sendiri bahwa dia akan pergi. Akan memulai hidup baru, jauh dari bayang-bayang rumah mewah Pramana yang kini terasa seperti sangkar.

"Iya, Pa," jawab Dyra, suaranya sedikit bergetar tapi tegas. "Aku sudah memikirkannya matang-matang. Aku hanya ingin menata hati, mencari ketenangan, dan melanjutkan hidup di kampung bersama Megan. Kami butuh awal yang baru."

Dyra belum sempat menarik nafas lega saat suara Ghavin menyentak keheningan, dingin dan menusuk. Dyra terlonjak, matanya langsung tertuju pada pria itu.

“Kau tidak boleh membawa Megan. Jika ingin pergi, pergi saja sendiri!” Suara Ghavin memotong udara seperti pedang, Dyra merasakan dunia di sekelilingnya runtuh.

"Apa maksud Mas mengatakan itu?" Dyra menyela, nafasnya tercekat oleh kemarahan dan keterkejutan. Ini adalah pertama kalinya ia kembali berdialog dengan pria yang selama ini mati-matian ia hindari. 

Namun, demi Megan, semua sakit hati masa lalu harus diabaikan. Dyra mengangkat dagu, menatap Ghavin dengan keberanian yang membara, mengabaikan nyeri di dada. Pria ini sudah terlalu jauh melangkah.

“Megan putriku! Aku yang jauh lebih berhak dari siapapun juga. Termasuk Mas!” tegasnya, setiap kata keluar penuh penekanan.

Ghavin mendengus. "Sejak kepergian Ghava, Megan menjadi tanggung jawabku." Suaranya tak kalah tegas. 

Apapun yang terjadi, ia tidak akan membiarkan Dyra membawa Megan keluar dari rumah orang tuanya.

Sebagai wanita yang pernah mengandung dan melahirkan Megan, Dyra menganggap Ghavin sudah sangat keterlaluan. "Mas sadar dengan apa yang baru saja Mas katakan?" Selain menahan kesal, Dyra juga harus menguatkan hati ketika beradu pandang dengan netra Ghavin yang beku. Ia belum bisa melupakan kesakitannya dulu, tapi karena ingin memperjuangkan putrinya, ia tidak peduli sekalipun mesti melawan Ghavin yang egois.

"Aku ibunya. Aku yang telah mengandung dan berjuang melahirkannya. Sedangkan Mas hanya paman. Seharusnya Mas sadar itu." Dyra benar-benar kesal, dan satu hal yang akan selalu tertanam di benaknya, Ghavin tetap menjadi sosok yang paling menyebalkan dalam hidupnya.

"Pilihan ada padamu," Ghavin melanjutkan, suaranya datar dan tanpa emosi. "Memilih tetap bertahan, atau pergi tanpa Megan." Bagi Dyra, Ghavin tak ubahnya hanya gumpalan daging membungkus tulang, tanpa hati dan perasaan. Pria egois yang sama sekali tidak memahami perjuangan seorang ibu.

"Apa karena Mas belum pernah melihat nikmatnya Mbak Marissa hamil dan sakitnya melahirkan? Untuk itu bisa sangat egois seperti sekarang?" 

Dyra menyerang tepat di titik yang membuat Ghavin seketika terdiam, rahangnya mengeras.

Ghavin lantas berdehem dan membenahi posisi duduknya. Bukan karena tersinggung dengan ucapan Dyra, ia hanya tidak suka Dyra menyebut nama istrinya di tengah perdebatan mereka.

Sempat menyesali ucapannya yang dirasa berlebihan, Dyra menatap bersalah Martin yang kini menundukkan kepala. Tetapi begitu mengingat keegoisan Ghavin yang tak berdasar, ia menganggap justru dirinya-lah yang lebih patut dikasihani.

"Kalau begitu kita menikah saja. Dengan menjadi istri keduaku, kau tidak akan pergi kemanapun, dan tetap bersama putrimu." 

Pernyataan Ghavin tentu saja sangat tidak terduga, melesak masuk ke telinga Dyra seperti ledakan. Dyra bahkan sampai tertegun tidak percaya, menganggap pria itu hanya sedang menguji kesetiaannya. 

"Aku serius, menikahlah denganku. Aku yang akan menjadi pengganti Ghava untuk kalian."

"Benar, Nak. Akan lebih baik jika kalian menikah." Martin ikut bersuara, mengiyakan ucapan Ghavin.

Belum usai keterkejutan Dyra atas ajakan tak terduga Ghavin, kali ini sang mertua ikut mencetuskan pendapat yang sama. Dyra jadi berpikir, tidak hanya Ghavin tapi Martin juga sama egoisnya. Lebih mengutamakan kepentingan mereka tanpa memikirkan kondisi mentalnya yang rapuh.

"Papa..." Dyra hanya mampu menatap tidak percaya Martin yang duduk di kursi roda. Pria itu terlihat menghembuskan nafas pasrah, tapi juga menganggukkan kepala. Itu artinya tidak akan merubah apa yang sudah diucapkan.

"Dengan menjadi istri kedua Ghavin, kamu tetap merasa nyaman di rumah ini. Walaupun sebenarnya baik dulu maupun sekarang, bagi papa tidak ada bedanya. Kamu tetap putri papa, Nak." 

Martin tahu sejak kepergian putra keduanya, Dyra terlihat tidak senyaman dulu. 

Sebenarnya wajar Dyra bersikap demikian, mengingat sekarang mereka hanya tinggal berdua yang tentunya bisa saja menimbulkan fitnah. Meski sebenarnya jauh dari lubuk hati yang terdalam, ia telah menyayangi Dyra selayaknya putri kandung sendiri. Tidak ada perasaan lain yang dimiliki, kasih sayangnya tulus sebagai ayah, walaupun hanya ayah mertua. 

Karena itu untuk membiarkan Dyra pergi bersama cucu satu-satunya, Martin sebenarnya tidak pernah rela.

"Jadi Papa ingin menjadikan aku orang ketiga dalam pernikahan kakak iparku sendiri?" Dyra yang masih sangat terkejut menatap sesak Martin dengan mata yang sudah berkaca-kaca. "Bahkan memikirkan saja aku tidak pernah!" lanjutnya kecewa, suaranya bergetar.

Bulir bening yang baru saja menyebrangi pipi, buru-buru Dyra usap dengan punggung tangan. Menikah lagi bukan hal yang mudah untuk diputuskan, bahkan berpikir saja belum pernah ia lakukan. Apalagi menjadi istri kedua Ghavin—pria yang dulu pernah membuatnya nyaris gila karena sakit hati.

Sekalipun Ghavin lajang saja ia tidak akan mau menikah dengan pria itu, apalagi yang jelas-jelas telah beristri. Bagaimana mungkin ia akan hidup tenang saat orang lain menjudge buruk dirinya? Sedangkan tujuannya kembali ke kampung adalah untuk mencari ketenangan batin.

"Maaf, aku tidak bisa." Setelah bisa menguasai diri, Dyra menolak tegas, kepalanya menggeleng. Akan lebih baik menjanda daripada menjadi orang ketiga dalam pernikahan orang lain. Keputusan logis yang pasti siapapun akan memilihnya.

"Baik. Jika itu keputusanmu. Tapi aku pastikan Megan akan bersamaku." Mendengar penegasan Ghavin, darah Dyra seakan mendidih panas. Pria itu benar-benar keterlaluan.

"Kenapa tidak meminta istrimu segera hamil, dengan begitu kalian punya penerus Pramana tanpa mempersulit hidupku!" 

Jika Ghavin bisa sangat egois, kalimat Dyra tak ubahnya pedang tajam. Menganggap permasalahan sebenarnya hanya karena kekhawatiran mereka akan kehilangan penerus. Maka sebagai ibu, Dyra akan memperjuangkan apa yang menjadi haknya. "Aku memang miskin, tapi bagaimanapun caraku nanti, aku akan berusaha keras memberikan Megan kehidupan yang layak." Dyra beralih menatap mata sendu Martin. "Sampai kapanpun Megan tetap cucu Papa, aku tidak bisa merubah itu." 

Namun, ketika melihat kecemasan di wajah tua Martin, ternyata Dyra tetap tidak tega. Ia sekuat hati berusaha tegar. "Hanya saja sekarang, biarkan aku pergi. Aku tidak bisa terus ada di sini. Rumah ini terlalu banyak menyimpan kenangan Mas Ghava."

Nahasnya, bulir bening kembali terjun bebas. Nyatanya setiap kali mengingat kepergian suaminya yang mendadak, hati Dyra masih berdenyut nyeri. 

"Aku mohon Papa bisa mengerti kondisiku." Sambil terisak Dyra berharap Martin bisa lebih bijak.

Melihat kesedihan Dyra, 

mustahil hati Martin tidak terenyuh. Mata tuanya juga ikut meneteskan bulir bening. Sayangnya, ia tak kalah berkeras hati dari sang putra, merasa keputusan itu sudah paling tepat daripada membiarkan Dyra pergi.

"Menikah dengan Ghavin atau pilih pergi tanpa Megan!" Martin berkata, suaranya tegas, menutup segala negosiasi.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Menjadi Istri Kedua Kembaran Suamiku   103.

    Hari-hari sudah berganti meski masih di bulan yang sama. Tapi tidak ada yang berbeda dari Romi setelah dibebaskan bersyarat. Tentunya setelah Galih memilih jalur damai, dan Ghavin masih memberinya satu kesempatan lagi. Kali ini bukan sebagai mantan teman, melainkan seorang ayah yang ingin berubah demi anaknya. Semua itu Ghavin lakukan lantaran ia sadar, sedekat apapun ia memiliki hubungan baik dengan Arjuna, tetaplah Romi yang dibutuhkan. Meski sudah lebih dua bulan bebas, Romi masih betah mengurung diri di dalam apartemen. Menikmati hari-harinya hanya bersama sang putra. Beruntungnya Fira selalu menyempatkan diri datang setiap pagi untuk memastikan kondisi Arjuna.Romi sekarang hanya ingin menikmati perannya—menjadi ayah yang baik untuk putranya. Ia bahkan tidak ragu menyiapkan semua kebutuhan Arjuna mulai dari membuatkan makanan, memandikan dan membersihkan setelah Arjuna buang hajat. Semua dijalani dengan telaten, dan tentunya penuh kesabaran. Siapa sangka sosok yang dulu penggil

  • Menjadi Istri Kedua Kembaran Suamiku   102

    Kenapa bocah itu memanggilku papa?” kata Romi dengan gigi bergemeratak saat beringsut duduk dengan susah payah. Ia tidak mau di lain waktu terjadi masalah, hanya karena bocah itu memanggilnya dengan sebutan ‘papa’.Namun, alih-alih segera menjelaskan, Fira malah fokus melihat cara duduk Romi yang sudah payah. Seandainya Romi bisa mendengarkan dirinya, mungkin hal tersebut tidak akan terjadi. “Arjun memang putramu.”Duar! Punggung Romi yang baru bersandar ke dinding tersentak seketika. Matanya mendelik tajam—menatap tidak percaya Fira. Walaupun ia bajingan, gemar bermain wanita. Tapi demi apapun ia yakin tidak pernah melakukannya dengan Fira, wanita berkelas yang bahkan menatapnya saja seringkali merasa tidak percaya diri.“Mustahil! Kita bahkan tidak pernah melakukannya.” Kalimat itu meluncur begitu saja ditengah ketidakpercayaan. Tapi sialnya, begitu melihat perubahan wajah Fira, muncul kecemasan di hati. Romi khawatir akan kecurigaan yang tiba-tiba menggerayangi benaknya. “Kataka

  • Menjadi Istri Kedua Kembaran Suamiku   101

    “Rantai dia! Pastikan malam ini di tidak mendapat jatah makan!” Seorang pria berseragam sipil memberi perintah saat akan meninggalkan ruangan sel. Dua pria lain bergegas menuruti perintahnya, bahkan tidak peduli sekalipun Romi sudah setengah sadar. Perintah atasan tetap harus dilaksanakan.“Setidaknya dia ingin menjaga tubuhnya tetap sehat.” Sepenggal kata itu terus terngiang di benak Romi. Tubuhnya tertelungkup di lantai dingin tanpa alas, wajahnya sudah babak belur. Darah mengalir dari sudut bibir. Ia hanya bisa pasrah ketika dua penjaga mengikat tangannya dengan rantai. Matanya terbuka sayu, sebenarnya ia masih cukup bertenaga sekedar melempar kedua pria itu menghantam dinding jeruji, tapi tidak dengan hatinya. Rasanya sangat sakit, senyum itu, sudah sangat lama ia lihat, tapi masih tergambar jelas di ingatan.“Apa perlu kita dudukan dia?” Sepertinya tidak perlu. Biarkan saja.”Romi hanya menatap tajam mereka yang menjulang di depannya—tanpa pergerakan, tapi benaknya cukup mengi

  • Menjadi Istri Kedua Kembaran Suamiku   100.

    Di basement, mereka sempat bertemu Ghava yang ternyata akan pergi bersama Bella. Ghava hanya melambaikan tangan sebelum memasuki mobilnya, sedangkan Bella melempar senyum kecil pada Ghavin. “Kita tidak menggunakan supir, Pak?” Dyra sedikit terkejut saat tahu Ghavin membuka pintu samping kemudi. “Tidak. Kita akan pulang terlambat.” Dyra akhirnya hanya mengangguk patuh. Tidak merasa curiga sedikitpun dengan pertemuan yang sudah Romi rencanakan. Tapi hatinya tetap merasakan ketidaknyamanan, hanya saja ia berusaha mengabaikan itu. Kurang lebih satu jam melajukan banteng besinya di jalan raya yang ramai lancar, mereka telah tiba di restoran hotel xxx. Benar saja, Romi sudah menunggu di sana, dan langsung berdiri menyambut begitu melihat kedatangan Ghavin bersama Dyra. “Duduklah dulu. Mungkin dia sedang dalam perjalanan.” Dyra merasa janggal dengan kata ‘mungkin’ yang Romi ucapan. Tapi mengingat pria itu memiliki hubungan baik dengan atasannya, ia pilih tidak berkomentar, dan segera ik

  • Menjadi Istri Kedua Kembaran Suamiku   99.

    Ghavin membuka pintu kamarnya perlahan, tetapi begitu mendapati ranjang kosong ia berubah panik, dan buru-buru mencari Dyra ke kamar mandi.“Ada apa?” Dyra terkejut bercampur heran, Ghavin tiba-tiba menerobos pintu toilet. Bahkan tidak langsung pergi saat tahu ia sedang duduk di atas kloset. “Maaf. Teruskan saja.” Ghavin langsung menutup pintu.Dyra yang memang sudah selesai dengan urusannya segera menyusul keluar, ternyata Ghavin menunggu dengan duduk di tepi ranjang.“Apa kau sudah merasa lebih baik?” “Aku hanya butuh istirahat.”“Hmm. Tidurlah.” Ghavin akan bangkit, tapi Dyra menahannya.“Kalian gagal menangkapnya?” Tidak menemukan kepuasan di wajah Ghavin seperti telah berhasil melakukan sesuatu yang paling diinginkan, Dyra menebak cemas.“Romi sudah diamankan. Kita berharap saja dia tidak berniat melarikan diri sebelum Surya kembali.” Mendengar itu Dyra menghela nafas lega, tapi detik berikutnya berubah tegang.“Bagaimana dengan Bella dan putranya?” Ghavin bangkit, lalu maju s

  • Menjadi Istri Kedua Kembaran Suamiku   98.

    “Jangan bergerak! Anda kami tangkap!” Tiga pria berseragam sipil sigap masuk dan langsung menyergap Romi. “Kalian pikir bisa menghentikanku dengan cara seperti ini?” Romi tersenyum tipis saat tangannya dibelenggu ke belakang. “Setidaknya aku masih punya nurani dengan membiarkanmu tetap hidup.” Roni terhenyak dengan suara itu. Ghavin muncul. “Aku sempat ingin melakukannya dengan tanganku sendiri, tapi perselingkuhanmu dengan Marissa membuatku tahu segalanya tentang dia. Aku berterima kasih untuk itu.” “Cih! Setelah mendapatkan Jalang itu kau bisa mengatakan ini padaku,” cibir Romi sinis tapi tiba-tiba meringai licik. “Seharusnya kau tahu, dia lebih licik dari Marissa. Bagaimana dia telah merebut Ghava dari Bella, dan merebutmu dari Marissa!” Tidak ada yang ikut bicara, karena tahu permasalah itu hanya Ghavin dan Romi. “Tidak ada yang istriku rebut. Bahkan sekalipun aku dari Bella.” Ghavin sempat melirik Bella singkat sebelum akhirnya lanjut bicara. “Selama ini aku menyayangi Be

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status