“Dia?” Dyra sampai terkejut, tidak menyangka. Terlebih sosok itu tidak datang sendiri, melainkan bersama pria yang juga masih berstatus suaminya. “Mbak Marissa,” bisiknya. Ia lantas beralih menatap Ghavin. Ia hanya khawatir suaminya yang masih sangat membenci Marissa jadi lepas kendali.“Aku tidak seburuk itu, Sayang. Dengan menganggapnya tidak ada, itu jauh lebih baik.” Ghavin seolah paham apa yang Dyra pikirkan. Mendengar itu keluar dari mulut suaminya, Dyra kembali tersenyum, dan kali ini benar-benar ringan dari hati. Namun, tanpa Dyra maupun Ghavin ketahui, Bella langsung menghadang. “Kenapa kau datang?”“Ini bukan acaramu,” balas Marissa sinis. Gayanya masih saja angkuh, dan penuh percaya diri. “Aku hanya ingin memberi selamat pada putri mantan suamiku, apa itu salah?” Enggan menanggapi ucapan Marissa, Bella beralih pada pria yang bersamanya—Tuan Prabu. “Bawa wanita ini pergi, Tuan. Sebelum dia membuat kekacauan disini.”Tuan Prabu terkekeh pelan. Tangannya melingkar di pingga
Hari ulang tahun Megan akhirnya tiba bersama cahaya yang berbeda. Dalam dua hari dua malam, halaman belakang rumah mereka telah berubah menjadi negeri dongeng. Bukan karena permintaan Megan—si kecil yang bahkan belum pandai merangkai kata, melainkan karena mimpi lama Dyra. Mimpi sederhana seorang gadis kecil yang dulu pernah berharap menikah seperti tuan putri bersama kakak penyelamatnya. Kini, takdir seakan mendukung hari bahagia Megan bertepatan dengan satu tahun usia pernikahan Dyra bersama Ghavin. Semesta sengaja memberi hadiah paling indah.Ghavin tidak ragu. Setelah semua luka yang pernah ditanggung Dyra, ia berjanji tak akan membiarkan istrinya hanya mengenang perih. Hari ini adalah pengingat, bahwa kebahagiaan akhirnya berpihak pada mereka. Bahwa cinta yang berliku tetap tahu jalannya untuk pulang ke pemilik yang sejati.“Sayang…” suara Ghavin memecah keheningan kamar, lembut namun penuh arti. Duduk di tepi ranjang dengan tuksedo putih yang terpasang rapi, ia menatap istrinya
Selesai bicara, Ghavin hanya menatap datar Romi yang berdiri dengan nafas berat, wajahnya tegang. Tapi ada yang berbeda dari pria itu, sorot matanya yang dulu penuh ambisi kini redup, seperti menyimpan luka yang belum kering sepenuhnya. “Cukup sampai di sini omong kosong itu!” Suara Romi pelan tapi penuh ketegasan. “Setelah semua yang terjadi, kau datang dan bicara soal pernikahan seperti sedang menawarkan solusi untuk masalah keuangan.” Ghavin melihat itu, sebelum berpaling setetes bulir bening meluncur. Ia hanya terus menatap Romi dengan tetap duduk tenang, tidak terpancing emosi. “Bukan penawaran. Bukan perintah juga. Ini permintaan.” “Permintaan dari siapa? Dari dirimu yang dulu hampir membunuhku? Dari kakak yang sudah kehilangan adiknya karena rencana bodohku? Atau dari suami Dyra yang terlalu takut Fira akan berpaling padaku?” Nafas Ghavin tertahan sejenak. Suara Romi semakin meninggi, tetapi jelas ada getar samar di dalamnya. Bukan marah sepenuhnya, lebih seperti seseor
Hari-hari sudah berganti meski masih di tahun yang sama. Tapi tidak ada yang berbeda dari Romi setelah dibebaskan bersyarat. Tentunya setelah Galih memilih jalur damai, dan Ghavin masih memberinya satu kesempatan lagi. Kali ini bukan sebagai mantan teman, melainkan seorang ayah yang ingin berubah demi anaknya. Semua itu Ghavin lakukan lantaran ia sadar, sedekat apapun ia memiliki hubungan baik dengan Arjuna, tetaplah Romi yang dibutuhkan. Meski sudah lebih dua bulan bebas, Romi masih betah mengurung diri di dalam apartemen. Menikmati hari-harinya hanya bersama sang putra. Beruntungnya Fira selalu menyempatkan diri datang setiap pagi untuk memastikan kondisi Arjuna. Romi sekarang hanya ingin menikmati perannya—menjadi ayah yang baik untuk putranya. Ia bahkan tidak ragu menyiapkan semua kebutuhan Arjuna mulai dari membuatkan makanan, memandikan dan membersihkan setelah Arjuna buang hajat. Semua dijalani dengan telaten, dan tentunya penuh kesabaran. Siapa sangka sosok yang dulu pe
Kenapa bocah itu memanggilku papa?” kata Romi dengan gigi bergemeratak saat beringsut duduk dengan susah payah. Ia tidak mau di lain waktu terjadi masalah, hanya karena bocah itu memanggilnya dengan sebutan ‘papa’. Namun, alih-alih segera menjelaskan, Fira malah fokus melihat cara duduk Romi yang sudah payah. Seandainya Romi bisa mendengarkan dirinya, mungkin hal tersebut tidak akan terjadi. “Arjuna memang putramu.” Duar! Punggung Romi yang baru bersandar ke dinding tersentak seketika. Matanya mendelik tajam—menatap tidak percaya Fira. Walaupun ia bajingan, gemar bermain wanita. Tapi demi apapun ia yakin tidak pernah melakukannya dengan Fira, wanita berkelas yang bahkan menatapnya saja seringkali merasa tidak percaya diri. “Mustahil! Kita bahkan tidak pernah melakukannya.” Kalimat itu meluncur begitu saja ditengah ketidakpercayaan. Tapi sialnya, begitu melihat perubahan wajah Fira, muncul kecemasan di hati. Romi khawatir akan kecurigaan yang tiba-tiba menggerayangi benak
“Rantai dia! Pastikan malam ini dia tidak mendapat jatah makan!” Seorang pria berseragam sipil memberi perintah saat akan meninggalkan ruangan sel. Dua pria lain bergegas menuruti perintahnya, bahkan tidak peduli sekalipun Romi sudah setengah sadar. Perintah atasan tetap harus dilaksanakan. “Setidaknya dia ingin menjaga tubuhnya tetap sehat.” Sepenggal kata itu terus terngiang di benak Romi. Tubuhnya tertelungkup di lantai dingin tanpa alas, wajahnya sudah babak belur. Darah mengalir dari sudut bibir. Ia hanya bisa pasrah ketika dua penjaga mengikat tangannya dengan rantai. Matanya terbuka sayu, sebenarnya ia masih cukup bertenaga sekedar melempar kedua pria itu menghantam dinding jeruji, tapi tidak dengan hatinya. Rasanya sangat sakit, senyum itu, sudah sangat lama ia lihat, tapi masih tergambar jelas di ingatan. “Apa perlu kita dudukan dia?” Sepertinya tidak perlu. Biarkan saja.” Romi hanya menatap tajam mereka yang menjulang di depannya—tanpa pergerakan, tapi benaknya