Accueil / Romansa / Menjadi Istri Keponakan sang Mantan / Bab 7 : Masa Lalu yang Tak Pernah Hilang

Share

Bab 7 : Masa Lalu yang Tak Pernah Hilang

Auteur: Vanilla_Nilla
last update Dernière mise à jour: 2025-02-11 13:04:33

Suara dentingan gelas dan alunan musik pelan memenuhi sudut bar yang remang-remang. Cahaya lampu temaram memantulkan kilau keemasan di permukaan minuman dalam gelas-gelas kristal yang berjajar rapi di meja bartender. Di salah satu sudut ruangan, dua wanita duduk berhadapan, dengan ekspresi yang kontras.

Jane menatap Sophia lekat-lekat, matanya menyipit seakan mencoba memahami sesuatu yang sulit dicerna. Ia baru saja mendengar pengakuan mengejutkan dari sahabatnya, dan itu membuatnya nyaris tidak percaya.

“Kau serius? Kau benar-benar menerima perjodohan ini?”

Jane menatap sahabatnya dengan tajam, mencoba membaca ekspresi yang tersembunyi di balik wajah tenangnya. Ketika Sophia pertama kali memberitahunya tentang perjodohan itu, ia hampir tidak bisa mempercayai apa yang didengarnya. Rasa keterkejutan itu masih melekat, berputar dalam pikirannya seperti badai yang tak kunjung reda.

Bagaimana mungkin Sophia setuju untuk menikah dengan pria lain?

Selama ini, Jane tahu betul bahwa hati sahabatnya hanya terpaut pada satu nama—Daniel. Sejak pertama kali mereka bertemu, Sophia seolah hanya memiliki satu pusat gravitasi, dan itu adalah lelaki dengan tatapan tajam dan aura dingin yang selalu berhasil membuatnya kehilangan arah.

Jane ingat bagaimana Sophia dulu bercerita tentang perasaannya. Tentang bagaimana jantungnya berdegup lebih kencang setiap kali Daniel ada di dekatnya. Tentang bagaimana pria itu selalu terlihat begitu jauh, tetapi di saat yang sama, terasa begitu dekat hingga membuatnya sulit bernapas.

Namun, Sophia bukan hanya jatuh cinta—dia benar-benar terikat pada Daniel. Seperti ombak yang selalu kembali ke pantai, tidak peduli seberapa jauh mereka terbawa ke tengah lautan.

Sayangnya, cinta saja tidak pernah cukup.

Jane melihat sendiri bagaimana Daniel memperlakukan Sophia selama ini. Bukan dengan kelembutan atau perhatian yang pantas diterima seseorang yang mencintai, tetapi dengan dinginnya sikap yang sulit diterjemahkan. Kadang, seolah pria itu juga memiliki perasaan yang sama, tetapi di lain waktu, ia justru mendorong Sophia menjauh tanpa alasan yang jelas.

Jane tidak pernah mengerti alasan di balik semua itu, tetapi ia tahu satu hal—Daniel telah menyakiti Sophia lebih dari yang bisa ia bayangkan.

Dan sekarang, setelah semua yang terjadi, setelah semua luka yang pernah ada, Sophia justru memilih menerima perjodohan ini.

Bukan dengan Daniel.

Bukan dengan pria yang selama ini mengisi hatinya.

Tetapi dengan orang lain.

Jane tidak bisa memahami apakah ini keputusan yang lahir dari keinginan Sophia sendiri, ataukah ini hanya caranya untuk melarikan diri dari perasaan yang selama ini tidak pernah mendapatkan tempat yang semestinya.

Di hadapannya, Sophia tetap diam, hanya menatap gelas di tangannya dengan tatapan kosong. Tidak ada ekspresi bahagia, tidak ada kegelisahan yang kentara—hanya kehampaan yang membuat Jane semakin yakin bahwa sahabatnya sedang berbohong.

Bukan pada orang lain.

Tetapi pada dirinya sendiri.

Sophia tidak langsung menjawab. Ia hanya menatap gelas di tangannya, mengamati cairan bening yang berputar pelan saat ia menggoyangkannya. Napasnya terasa berat, tetapi ekspresinya tetap tenang, seolah keputusan ini bukanlah sesuatu yang perlu diperdebatkan.

“Ya, aku menerimanya.”

Jane mengerutkan kening, tidak puas dengan jawaban singkat itu. Ia bersandar di kursinya, menyilangkan tangan di dada. “Lalu bagaimana dengan Daniel? Apa kau sudah benar-benar melupakannya?”

Nama itu—Daniel.

Untuk sesaat, Sophia merasakan sesuatu mencengkram dadanya. Ada perasaan tak terlukiskan yang berusaha ia tekan dalam-dalam, namun tetap menghantui pikirannya. Ia menggigit bibirnya pelan, mencoba menahan gejolak yang muncul di hatinya.

“Tidak ada lagi yang perlu dibahas tentang Daniel.”

“Aku tahu kau mencoba terlihat kuat, tapi … aku juga tahu kau masih mencintainya.”

Sophia tersenyum kecil, tetapi ada kepedihan di balik senyum itu. Ia mengangkat gelasnya, meneguk isinya dalam sekali minum, lalu meletakkannya kembali di meja dengan bunyi pelan.

“Mungkin aku memang masih mencintainya, Jane,” katanya lirih, akhirnya mengakui sesuatu yang selama ini ia coba sembunyikan. “Tapi cinta saja tidak cukup. Aku sudah belajar dari kesalahanku.”

Jane menggeleng pelan, merasa ada sesuatu yang tidak beres. Ia bisa melihat bagaimana mata Sophia berbinar saat menyebut nama Daniel, tetapi di saat yang sama, ada luka yang belum sembuh sepenuhnya.

Dan itu membuatnya bertanya-tanya …

Apakah benar semua ini sudah berakhir?

Sudah beberapa botol minuman yang Sophia habiskan, hingga kini tubuhnya terkulai lemas di meja bar. Kepalanya tertunduk, bersandar pada lengannya yang tergeletak di atas meja. Matanya setengah terbuka, tetapi tatapannya kosong, seolah dunia di sekitarnya sudah tak lagi berarti.

Jane menghela napas panjang, merasa kasihan melihat sahabatnya dalam keadaan seperti ini. Sejak awal, ia sudah mencoba mencegah Sophia agar tidak terlalu banyak minum, tetapi wanita itu tidak mendengarkannya. Jane tahu betul bahwa Sophia bukan peminum berat—bahkan sedikit alkohol saja sudah cukup membuatnya kehilangan kendali.

Dan sekarang, lihatlah dia.

“Sophia, kita pulang, ya?” Jane mencoba membujuknya sekali lagi, menyentuh bahu sahabatnya dengan lembut.

Namun, sebelum Sophia sempat memberikan reaksi, seseorang tiba-tiba mendekat. Jane merasakan kehadiran sosok itu sebelum ia sempat melihatnya. Ada aura yang begitu kuat, begitu dominan, hingga membuat udara di sekitarnya terasa lebih berat.

Saat ia menoleh, jantungnya hampir berhenti.

Daniel.

Lelaki itu berdiri di sana, mengenakan setelan hitam yang rapi, dengan mata gelapnya yang berkilat tajam saat menatap Sophia yang tengah terkulai di meja. Rahangnya mengeras, ekspresinya sulit ditebak, tetapi ada sesuatu dalam tatapan itu—sesuatu yang lebih dalam dari sekadar kemarahan.

Tanpa membuang waktu, Daniel berjalan mendekat dan berkata dengan suara rendah yang tegas. “Kamu pulanglah.”

Jane mengerutkan kening, masih terkejut dengan kemunculan mendadaknya. “Tapi bagaimana dengan Sophia?” tanyanya, ragu untuk meninggalkan sahabatnya dalam keadaan seperti ini.

“Aku yang akan mengurusnya,” jawab Daniel tanpa ragu.

Jane menatapnya lekat, mencoba menilai apakah ia bisa mempercayakan Sophia kepada pria ini. Di satu sisi, ia tahu betapa rumit hubungan mereka. Di sisi lain, ia juga tahu bahwa, seburuk apa pun yang terjadi di antara mereka, Daniel tidak akan pernah membiarkan sesuatu yang buruk terjadi pada Sophia.

Setelah beberapa detik mempertimbangkan, Jane akhirnya mengangguk pelan. “Baiklah, aku pergi dulu. Tapi pastikan dia baik-baik saja.”

Tanpa menjawab, Daniel hanya mengalihkan pandangannya kembali pada Sophia.

Jane melirik sahabatnya sekali lagi sebelum akhirnya melangkah pergi, meninggalkan Sophia dalam tangan pria yang mungkin adalah satu-satunya orang yang bisa membuatnya hancur—dan juga satu-satunya yang bisa menyelamatkannya.

Continuez à lire ce livre gratuitement
Scanner le code pour télécharger l'application

Latest chapter

  • Menjadi Istri Keponakan sang Mantan   Bab 107 : Keputusan William

    Dengan langkah berat, Daniel keluar dari ruang kerja sang ayah. Di tangannya tergenggam erat tiket dan dokumen perjalanan yang baru saja diberikan William. Ia menatap kertas-kertas itu dengan perasaan campur aduk—ada kecewa, ada marah, namun yang paling dominan adalah ketidakpercayaan. Ia tak menyangka. Ia benar-benar tak menyangka bahwa keputusan ayahnya bukanlah kemarahan atau hukuman langsung … melainkan menyuruhnya pergi jauh, ke luar negeri. Kepercayaan, begitu William menyebutnya. Tapi di mata Daniel, ini tak ubahnya pengasingan halus—cara ayahnya menyingkirkannya dari semua kekacauan yang telah terjadi di rumah ini. Langkahnya menuruni anak tangga terasa lebih berat dari biasanya. Setiap derap seolah menggemakan perasaan sesak dalam dadanya. Ia melangkah keluar menuju taman belakang, berharap udara segar bisa menenangkan gejolak yang mengaduk-aduk pikirannya. London … Ia menatap langit yang mulai menguning ditimpa matahari senja. Pergi ke luar negeri di saat seperti ini, d

  • Menjadi Istri Keponakan sang Mantan   Bab 106 : Pengasingan

    "Kenapa kau diam, Sophia?" Tatapan mata William menusuk, berusaha mencari kejujuran di balik wajah cucu menantunya itu. "Apakah … sampai saat ini dia masih ada dalam hatimu?" Suasana kamar menjadi sunyi. Hanya suara detik jam di dinding yang terdengar, menggema pelan seiring detak jantung Sophia yang makin tak menentu. Perlahan, Sophia mengangkat pandangannya. Mata mereka bertemu. Ada kegelisahan di matanya, juga luka yang belum sembuh. "Kakek …" "Jujur saja, Sophia. Kakek tidak akan marah. Aku hanya ingin tahu isi hatimu yang sebenarnya." "Aku hanya ingin membahagiakan orang tuaku, Kakek ..." Sophia menunduk, menatap ujung jemarinya yang saling menggenggam erat di atas pangkuan. William memandang cucu menantunya itu lama. Ada getir yang terasa merambat di dadanya. Ia menarik napas dalam, lalu menyandarkan tubuhnya lebih nyaman pada bantal tebal di belakang punggung. "Membahagiakan orang tuamu …" ulangnya pelan, seolah menimbang-nimbang kalimat itu. "Tapi ... bagaimana dengan

  • Menjadi Istri Keponakan sang Mantan   Bab 105 : Kebijakan William

    Brak! Vas bunga di sudut ruangan pecah berkeping-keping menghantam lantai apartemen Daniel. Laura berdiri dengan napas tersengal, rambutnya berantakan, matanya memerah karena amarah yang menumpuk. "Dia perempuan murahan! Dasar perusak segalanya!" teriaknya sambil menyapu meja kecil di ruang tamu, menjatuhkan bingkai foto dan buku-buku yang berserakan ke lantai. Ia meraih bantal sofa dan melemparkannya ke dinding, tapi amarah dalam dadanya tak juga surut. Ingatan akan pengakuan cinta Daniel di meja makan membuat hatinya terbakar. Cinta itu bukan untuknya, tapi untuk Sophia—wanita yang dulu bahkan bukan siapa-siapa di mata mereka. Laura berjalan mondar-mandir seperti orang kesetanan. Tangannya mengepal, bibirnya bergetar menahan emosi yang nyaris membuatnya gila. "Aku sudah melakukan segalanya demi kamu, Daniel! Aku bahkan bertahan dengan semua penghinaan demi jadi istrimu!" isaknya, namun dengan cepat air matanya berubah jadi tatapan dingin. Ia lalu meraih ponselnya, jari-jariny

  • Menjadi Istri Keponakan sang Mantan   Bab 104 : Penolakan

    "Kenapa buru-buru sekali, Ayah?" Ekspresi Daniel begitu terkejut. Matanya menatap langsung ke arah William, tak percaya dengan apa yang baru saja ia dengar. William mengangkat alisnya sedikit, lalu menghela napas pelan. "Buru-buru? Aku rasa tidak," jawabnya tenang. "Bukankah sudah lama aku mencari tanggal yang pas untuk pernikahan kalian?" Suasana kembali hening sejenak. William melanjutkan, suaranya lirih, tapi ada ketegasan dalam setiap katanya. "Sejak beberapa bulan lalu, aku sudah memikirkan ini. Menyatukan kalian berdua bukan keputusan sesaat, Daniel. Aku mengenal Laura sejak kecil, dan kupikir—setelah semua yang terjadi—sudah saatnya keluarga kita mengikat hubungan ini secara resmi. Lagipula, kita tidak bisa terus menunggu tanpa kepastian, bukan?" Ia menoleh sekilas ke arah Laura yang langsung tersenyum dan menunduk sopan. Di sisi lain, Sophia terlihat berusaha menyembunyikan wajahnya di balik rambut yang jatuh ke pipinya, sementara Daniel menggertakkan rahangnya pelan, mas

  • Menjadi Istri Keponakan sang Mantan   Bab 103 : Dibalik Luka

    "Kau …" Rose menunjuk Daniel dengan mata yang membara. "Apa yang sudah kau lakukan pada anakku?! Apa kau lupa bahwa dia sudah menikah dengan David? Lalu kenapa … kenapa kau masih saja mendekatinya?!" Suaranya menggema di ruangan itu, penuh kemarahan yang bercampur kekecewaan. Napasnya terengah, menahan emosi yang sudah di ambang batas. Namun Daniel tetap berdiri tegak, tak gentar sedikit pun oleh tatapan tajam wanita itu. "Aku tidak pernah lupa," jawab Daniel dengan tenang. "Aku tahu dia istri David … tapi kau juga harus tahu satu hal—pernikahan itu bukan karena cinta. Sophia tak pernah menginginkan pernikahan itu. Dia dijebak dalam permainan yang kalian ciptakan." "Jangan membalikkan fakta!" seru Rose. "Kami hanya ingin yang terbaik untuknya!" "Yang terbaik?" Daniel tersenyum sinis. "Kau pikir memaksa putrimu menikah dengan lelaki yang tidak dia cintai itu yang terbaik? Kau pikir merampas kebahagiaannya demi reputasi keluarga adalah keputusan bijak?" Rose terdiam sejenak, dad

  • Menjadi Istri Keponakan sang Mantan   Bab 102 : Kemarahan Rose

    William duduk di kursi kamarnya, lampu meja menyala redup, menimbulkan bayangan panjang di dinding. Tangannya menggenggam erat amplop yang baru saja ia terima. Amplop itu tampak biasa saja, tapi ia tahu—tidak ada yang benar-benar biasa bila menyangkut keluarganya. Dengan perlahan, ia membuka segel merah tua di ujung amplop. Di dalamnya ada beberapa lembar foto yang langsung membuat napasnya tercekat. Foto pertama, menampilkan Daniel dan Sophia duduk berdampingan di sebuah kafe kecil. Senyum mereka lepas, begitu alami. Lalu foto kedua, saat mereka berpegangan tangan di tepi pantai. Foto ketiga, Daniel sedang memeluk Sophia dari belakang, sambil mencium pelipisnya. Hati William mulai berdegup kencang. Ia membalik beberapa foto lainnya—semuanya menunjukkan kedekatan mereka. Kemudian, ia menemukan selembar surat yang ditulis tangan. Tulisannya rapi, namun terlihat lama. Mungkin surat itu ditulis bertahun-tahun lalu. "Untuk siapa pun yang membacanya, jika kau menemukan surat ini, mung

  • Menjadi Istri Keponakan sang Mantan   Bab 101 : Kekacauan William

    Langkah kaki William terdengar pelan namun berat saat ia keluar dari ruang rumah sakit. Pundaknya sedikit membungkuk, dan tongkat yang biasa ia genggam dengan tenang kini terasa seperti beban tambahan yang tak bisa ia lepaskan. Lewis, ketua pelayan setia yang sejak dulu menemani kehidupan keluarga Williams, menyambutnya dengan sorot mata penuh tanya. "Tuan, bagaimana dengan keadaan Nyonya Sophia?" tanyanya hati-hati, menjaga nada suaranya agar tak terdengar terlalu mendesak. Namun William hanya menggeleng pelan. Tak sepatah kata pun keluar selain bisikan lirih, "Kita kembali saja ke mansion." "Baik, Tuan," jawab Lewis dengan anggukan sopan sebelum ia berjalan cepat ke arah mobil, membuka pintu belakang dan membantu William masuk dengan penuh kehati-hatian. Mobil melaju pelan meninggalkan gedung rumah sakit, membawa keheningan yang begitu pekat di dalam kabin. William menatap kosong ke luar jendela, menyaksikan lampu-lampu kota yang lewat bagai bayangan tak bermakna. Namun pi

  • Menjadi Istri Keponakan sang Mantan   Bab 100 : Kenyataan Pahit

    Kelopak mata Sophia bergerak perlahan, seakan berusaha keluar dari kegelapan yang menyelimutinya. Napasnya masih lemah saat akhirnya matanya terbuka lebar. Pandangannya kabur sesaat sebelum akhirnya menangkap sosok yang duduk di samping ranjangnya. "Daniel ...," gumamnya lemah. Mendengar namanya dipanggil, Daniel yang sejak tadi tenggelam dalam pikirannya langsung tersentak. Dengan cepat, ia menghapus air mata yang sempat jatuh di pipinya. Ia tak ingin Sophia melihatnya dalam keadaan seperti ini. "Kau sudah bangun," suaranya terdengar serak, tapi ia tetap berusaha terdengar tenang. Sophia mengerjapkan matanya, mencoba memahami apa yang terjadi. Namun, ada sesuatu yang aneh. Daniel tampak berbeda. Wajahnya pucat, matanya memerah seolah telah menahan tangis terlalu lama. "Kenapa kamu menangis?" Ini pertama kalinya Sophia melihat Daniel dalam keadaan seperti ini—terlihat begitu hancur, begitu rapuh. Daniel menggeleng pelan. "Tidak apa-apa," jawabnya, meski jelas sekali itu bohong.

  • Menjadi Istri Keponakan sang Mantan   Bab 99 : Kepingan Hati

    "Tidak mungkin ... Ini semua tidak mungkin ...." Mata David menatap kosong ke lantai rumah sakit, sementara pikirannya berputar tak karuan. Ia tidak pernah menginginkan kehamilan Sophia sejak awal. Ia menolak dengan keras, menuduh anak itu bukan miliknya. Tapi seiring waktu, perlahan ia mulai menerimanya—terutama setelah William menjanjikan saham sebagai bagian dari tanggung jawabnya sebagai seorang ayah. Namun sekarang, semuanya sia-sia. David mengepalkan tangannya, rahangnya mengeras. Rencana yang sudah ia susun dengan matang kini berantakan begitu saja. Ia tak tahu harus merasa sedih, kecewa, atau marah. Yang pasti, sesuatu di dalam dirinya terasa kosong. Tatapannya kemudian beralih ke arah pintu ruang perawatan yang masih tertutup rapat. Di balik pintu itu, Sophia masih berjuang dengan kondisinya yang belum stabil. Ia mengembuskan napas panjang, mencoba menenangkan diri. Tapi tetap saja, pikirannya kacau. Apakah ini hukuman untuknya karena sejak awal menolak anak itu? Atau

Découvrez et lisez de bons romans gratuitement
Accédez gratuitement à un grand nombre de bons romans sur GoodNovel. Téléchargez les livres que vous aimez et lisez où et quand vous voulez.
Lisez des livres gratuitement sur l'APP
Scanner le code pour lire sur l'application
DMCA.com Protection Status