Se connecterAlexa tidak pernah membayangkan bahwa bangungan di depannya benar-benar nyata.
Rumah itu, atau lebih tepatnya, istana modern. Menjulang tinggi dibalik gerbang besi hitam yang dijaga oleh enam pria bersetelan hitam. Lampu-lampu yang tersusun rapi menyinari area pekarangan seluas lapangan sepak bola. Pagar tinggi, kamera tersembunyi, sensor gerakan di setiap sudut. Rumah itu tak sekedar mewah, tapi terlihat seperti benteng. Entah untuk siapa, atau melindungi siapa, Alexa tidak yakin. Mobil berhenti. Caspian turun lebih dulu, lalu membuka pintu untuk Alexa. Ia mengulurkan tangannya, mengundang. “Selamat datang di rumahmu.” Suara caspian begitu tenang, namun menyimpan sesuatu yang membuat Alexa merinding mendengarnya. Ini aneh, ia seharusnya merasa takut. Tapi suara itu, entah bagaimana membuat kakinya mau melangkah. Begitu Alexa keluar, semua penjaga menunduk hormat. “Selamat datang, madam.” Alexa membeku. Madam? Sejak kapan? Caspian menoleh seolah bisa membaca pikirannya. “Mereka harus tahu statusmu sejak hari pertama.” “Tapi kita belum menikah.” “Kita akan segera menikah,” jawab Caspian tanpa ragu. “Dan itu cukup untuk saat ini.” Alexa menelan salivanya, bukankah segalanya terasa terlalu cepat? Caspian menggenggam tangan Alexa, membawanya masuk tanpa aba-aba. Alexa terdiam sejenak begitu ia masuk, rumah ini benar-benar mirip seperti istana. Interiornya memadukan hitam, emas dan putih dengan garis-garis tajam modern. Ada lukisan abstrak besar menggantung, karpet bulu putih lembut, dan tangga melingkar dari marmer hitam yang memantulkan cahaya lampu kristal. Rumah itu steril, indah, nyaris terlalu sempurna. Seperti pemiliknya. Caspian memberi isyarat halus pada seseorang, lalu seorang wanita berseragam formal mendekat, membungkuk hormat. “Selamat malam, Madam. Saya Elena, kepala pelayan. Jika madam membutuhkan sesuatu, apa pun, saya akan segera menguruanya.” Alexa hanya mengangguk bingung, ia tak bisa mencerna semua ini. Madam? Dia? Sementara Caspian tersenyum, tampak sangat menikmati keterlejutan Alexa “Ayo, aku tak suka membuat istri masa depanku menunggu.” Wajah Alexa memerah, ia menatap Caspian. “Jangan bicara seolah aku–” “Sudah mejadi milikku?” Caspian memotong, mengangkat sebelah alisnya untuk menggoda Alexa. Gadis itu sontak memalingkan wajahnya, kenapa pria ini bisa mengatakan hal-hal seperti itu tanpa merasa malu sedikitpun? Mereka kemudian berjalan menuju ke ruang makan. Meja panjang dari kayu gelap sudah dipenuhi berbagai hidangan yang tampaknya disiapkan oleh seorang chef profesional. Ada steak wagyu, sup krim lobster, roti artisan, salad segar dan wine mahal. Alexa ternganga, ini terlalu mewah. “Semua ini untuk siapa?” tanyanya, menatap Caspian bingung. “Untukmu.” Alexa hampir tersedak udara yang dia hirup, ia membulatkan matanya. “Ini–aku– kenapa kau menyiapkan makanan sebanyak ini?” Caspian menarik kursi lalu duduk sambil menyilangkan kaki. “Aku tidak tahu seleramu. Jadi aku menyuruh chef untuk menyiapkan semuanya.” “Kau bisa saja bertanya padaku,” ucapnya, menatap Caspian tak percaya. “Aku bisa, tapi aku tak suka menunggu.” balas Caspian, menatap Alexa dengan tatapan yang tak bisa gadis itu artikan. Dia benar-benar kehilangan kata-kata, Caspian terlalu berlebihan dan tampak berbahaya. *** Malam itu, setelah makan malam yang Alexa jalani dengan gugup, Caspian membawa Alexa ke lantai dua. Lorongnya luas, persis seperti lorong istana yang di film-film kerajaan. Dindingnya dihiasi ukiran emas dengan pecahayaan yang hangat. Alexa merasa seperti dia adalah putri kerajaan, atau mungkin ratu. ‘Bukh’ Alexa menabrak punggung Caspian begitu pria itu berhenti tiba-tiba. Di depan, sebuah pintu besar berdiri megah, berwarna hitam matte yang lembut. Alexa membuka pintu itu, yang sontak membuat Alexa terdiam. Sebuah kamar besar, megah dan mewah. Tempat tidur king size dengan canopy hitam, lampu estetis, sofa kulit mahal, rak buku besar, balkon pribadi, dan kamar mandi marmer putih yang terlihat lebih mewah dari hotel bintang lima. Tapi yang paling mengejutkan untuk Alexa adalah segala sesuatu di dalam kamar itu memiliki warna yang lembut. Beige, dusty pink, cream. Warna-warna yang disukai Alexa, ia heran bagaimana Caspian mengetahui warna-warna itu. Alexa berjalan lebih dalam, menyisir setiap sudut ruangan. Matanya menangkap sesuatu di dalam lemari, ia melihat gaun-gaun terpajang, ukurannya sepertinya sesuai dengan tubuhnya. Bukan hanya itu, tas-tas mahal, sepatu mewah, piyama. Semuanya sudah disiapkan, dan ukurannya pas untuk Alexa. Dia menoleh cepat pada Caspian, “Kau sudah menyiapkan semua ini? Untukku?” tanyanya. Caspian menyenderkan bahu pada kusen pintu, “Ya!” “Tapi, kita baru bertemu…” “Lalu apa masalahnya?” Alexa merasa merinding, Caspian bukan orang biasa. “Wahh, ini benar-benar gila…” gumamnya, perasaannya bercampur antara marah, takut, tapi juga kagum. “Gila?” Caspian mendekat, langkahnya perlahan tapi pasti. “Gila itu ketika kamu menolak apa yang sudah ditakdirkan untukmu.” Alexa mundur satu langkah tanpa sadar, nyalinya menciut. “Ke-kenapa kamar ini seperti sudah lama dipersiapkan?” Caspian berhenti tepat satu langkah di depannya, tatapannya tajam menusuk sampai ke dada Alexa. “Kau tidak perlu tahu semua hal sekaligus.” suaranya rendah, lembut, tapi entah kenapa membuat jantung Alexa tak tenang. Alexa menundukkan kepalanya, ia tak tahu apa yang harus ia katakan, atau lakukan. “Ada banyak hal dalam hidupku, yang tak bisa kukatakan.” lanjut Caspian. “Aku tahu,” bisik Alexa. “Tapi satu hal yang harus kau tahu…” Caspian mengangkat dagu Alexa dengan dua jarinya, “Jika kau tinggal disini, kau akan aman. Dan aku tidak pernah main-main dengan apa yang kukatakan.” Alexa menatapnya, dan untuk sesaat Alexa merasa percaya. Ia bisa merasakan ketulusan dan kejujuran aneh dibalik tatapan gelap itu. Namun, ketulusan itu juga diselimuti obsesi yang mengikat. Caspian menurunkan tangannya, lalu menunjuk dua penjaga di depan koridor. “Mulai malam ini, mereka adalah pengawalmu.” Alexa menoleh dengan terkejut, “Pe-pengawal? Pribadi? Caspian, aku ini–” “Perlindunganmu adalah prioritas.” potong Caspian cepat. “Tapi, aku bukan–” “Kau istriku!” Caspian menatapnya tajam, membuat Alexa merasa terjebak. Ia tak tahu harus tertawa atau menangis. “Rumah ini dan semua fasilitas yang ada di dalamnya, termasuk penjaga, staf, semuanya hanya untuk memastikan satu hal.” Alexa menggigit bibir bawahnya, “A-apa?” “Bahwa tidak ada yang bisa merebutmu dariku.” Alexa terdiam, membeku. Ada sesuatu dari cara Caspian mengatakannya, yang membuat seluruh tubuhnya merinding. Perhatian itu, perlindungan itu, dominasi itu. Ia tak merasa dikekang, tapi merasa ini terlalu memabukkan. Ada sesuatu dalam dirinya, yang entah mengapa perlahan bangkit dan merasa hidup kembali dengan cara yang tak pernah ia rasakan sebelumnya. “Caspian…” Alexa berbisik. Pria itu menatap lamat mata Alexa selama beberapa detik, tatapan dalam yang membuat Alexa merasa telanjang meski ia masih memakai baju. “Kau butuh istirahat,” ucap Caspian akhirnya. Alexa mengangguk pelan. Caspian berbalik, hendak menutup pintu, tapi tiba-tiba ponselnya berbunyi. Alexa menghentikan langkahnya, ia tidak bermaksud menguping tapi rasa penasaran itu muncul begitu saja. “Apa? Siapa yang berani menyusup?” nada bicara Caspian berubah drastis, dingin dan mengerikan, sama sekali tak seperti pria yang tadi berbicara padanya. Alexa menahan napas di balik pintu yang belum tertutup sempurna. “Shit! Mereka mendekati wilayahku? Untuk apa?” suara Caspian terdengar merendah, bukan lagi suara manusia biasa. Hening sesaat. “Kalau seseorang berani menyentuh istriku…” suaranya tidak lagi bernada ancaman, tapi janji seorang iblis. “...habisi!” Alexa menutup mulutnya dengan tangan, ia tak percaya dengan apa yang baru saja ia dengar. Ia seharusnya merasa takut, tapi entah kenapa ia justru menyadari satu hal. Caspian bukan sekadar pria kaya, pria berpengaruh, pria dewasa. Ia ada seseorang yang hidup di dunia berbahaya. Dunia yang tak pernah Alexa bayangkan sebelumnya. Dan kini, ia yang menjadi pusat dunia itu. Bersambung...Alexa tidak pernah membayangkan bahwa bangungan di depannya benar-benar nyata. Rumah itu, atau lebih tepatnya, istana modern. Menjulang tinggi dibalik gerbang besi hitam yang dijaga oleh enam pria bersetelan hitam. Lampu-lampu yang tersusun rapi menyinari area pekarangan seluas lapangan sepak bola. Pagar tinggi, kamera tersembunyi, sensor gerakan di setiap sudut. Rumah itu tak sekedar mewah, tapi terlihat seperti benteng. Entah untuk siapa, atau melindungi siapa, Alexa tidak yakin. Mobil berhenti. Caspian turun lebih dulu, lalu membuka pintu untuk Alexa. Ia mengulurkan tangannya, mengundang. “Selamat datang di rumahmu.” Suara caspian begitu tenang, namun menyimpan sesuatu yang membuat Alexa merinding mendengarnya. Ini aneh, ia seharusnya merasa takut. Tapi suara itu, entah bagaimana membuat kakinya mau melangkah. Begitu Alexa keluar, semua penjaga menunduk hormat. “Selamat datang, madam.” Alexa membeku. Madam? Sejak kapan?Caspian menoleh seolah bisa membaca pikirannya. “Mere
Alexa bersiap untuk mandi, setelah urusan kontrak dengan Caspian selesai. Saat ini pria itu tengah sibuk dengan ponselnya, entah sedang apa Alexa tak ingin memikirkannya. Tapi tanpa sadar, ia justru memerhatikan Caspian yang terlihat tampan. Wajahnya tegas, sorot matanya tajam. Hidung yang sempurna dan bibir yang menggoda Alexa untuk menyentuhnya. Gadis itu menggelengkan kepalanya, apa yang baru saja ia pikirkan?“Apa kau memikirkan sesuatu yang liar, hmm?” Alexa terkesiap, ia merasa salah tingkah sendiri. Caspian bangkit dari duduknya, melangkah perlahan dengan tatapan aneh. Langkahnya semakin dekat, membuat Alexa refleks untuk mundur. “K-kau mau apa? Berhenti disana, Caspian!” Tak ada gunanya, Caspian tak menghiraukan ucapan Alexa. Ia tetap berjalan, memaksa Alexa untuk terus mundur hingga akhirnya punggung gadis itu menyentuh dinding. “Bukan aku, tapi kau yang mau.” bisiknya tepat di telinga Alexa, membuat tubuhnya seketika merinding. “A-aku, akh-”Caspian menempelkan bibirny
“Ini… ini rumahmu?” Alexa menatap takjub gedung tinggi di depannya, gaya elegan dan klasik yang bercampur, membuat gedung ini terlihat mahal. Dinding kaca menjulang, lampu emas menerangi pintu masuk dan dua penjaga berdiri tegap seperi patung. Caspian menoleh sebentar pada Alexa, senyumnya terlihat samar. “Tempat tinggalku, yang juga akan menjadi tempat tinggalmu untuk sementara waktu.” ucapnya, ia meraih pinggang Alexa dan menyeretnya lebih dekat. Alexa gemetar, takut. “Aku–aku tidak, aku–” “Ayo, tidak ada yang akan menyakitimu disini.” Caspian menariknya untuk ikut berjalan, kedatangan mereka disambut dengan begitu hormat di penthouse megah milik keluarga Maverick. Saat menasuki lobi, semuanya terasa seperti dunia lain. Lantai marmer hitam berkilau, lampu-lampu kristal jatuh dari langit-langit tinggi, resepsionis membungkuk dalam-dalam begitu melihat Caspian. “Selamat malam, tuan muda Maverick!” Alexa membulatkan matanya, entah kenapa ia merasa tegang. Nama itu, Maverick. Da
Di kediamannya yang megah, keluarga Maverick tengah asik menikmati makan malam keluarga. Sementara di luar hujan mengiringi kesyahduan mereka, pada awalnya. “Caspian, sudah saatnya kau menikah dan memberikanku pewaris. Keluarga kita butuh pewaris untuk meneruskan bisnisku yang besar.” ucap Alfian Maverick, ayahnya tiba-tiba. Caspian menghentikan aktivitas makannya, memandang ayahnya dengan raut yang tak bisa dijelaskan. “Tidak untuk sekarang,” jawab Caspian dingin. “Aku menyuruhmu dan tidak mau menerima penolakan!” tegas Alfian. “Aku tidak ingin menikah hanya karena permainan politik ayah,” “Kalau kau tak memiliki calon, aku yang akan memilihkan wanitanya.” Caspian bangkit seketika, tatapannya berubah tajam. “Jangan ikut campur urusan pribadiku ayah, aku akan menikah hanya ketika aku ingin, bukan untuk memenuhi keinginanmu.” ucapnya, penuh nada keseriusan.Caspian kemudian menjauh dari meja pertemuan, sementara suara ayahnya menggema di belakang. “Aku tidak mau tahu! Kau harus
Rumah keluarga Draxen selalu tampak megah dari luar. Tetapi malam itu, bagi Alexa, rumah itu lebih terasa seperti pengadilan. Lampu-lampu besar di bagian teras sangat menyilaukan, dingin dan angkuh. Alexa memasuki halaman, keadaannya tampak menyedihkan. Rambutnya kusut, riasannya luntur karena hujan dan gaunnya basah yang dinginnya menusuk sampai ke tulang. Tangannya yang gemetar berusaha menekan bel, hingga pintu yang terbuka menampakkan sosok ibu tirinya yang bermulut pedas. Meriam Barvish, hanya butuh satu detik untuk menilai penampilan Alexa sebelum bibir merahnya melengkung sinis. “Ya ampun, Alexa! Kau terlihat seperti gelandangan.” Alexa menelan ludah, perkataan seperti itu sudah biasa di telinganya. “Aku… aku harus bicara dengan ayah. Dimana ayah?” ucapnya, gemetar karena dingin. “Ayahmu?” Meriam mendengkus. “Ayahmu sedang makan malam dengan orang penting. Lagi pula dia tak akan mau melihatmu dengan keadaan seperti ini.” lanjutnya, ia melipat tangan di depan dada. “Aku







