Share

02. Suami Manja

“Untung kamu sudah gak pa-pa, Mas. Aku takut banget tadi. Aku takut kehilangan kamu ...”

Erwin tersenyum simpul mengingat ucapan Rieka kepadanya kemarin di rumah sakit. Saat dirinya tersadar dan keadaannya sudah stabil serta di dipindahkan ke ruang rawat inap.

Pengantin baru dan bulan madu adalah saat-saat paling indah dalam hidup siapapun juga. Apalagi jika telah tersedia segala fasilitas mewah sekelas Karma Kandara hotel, beach and resort di Bali. Namun nahas tak dapat dihindari, terjadilah sebuah tragedi di tengah acara honeymoon romantis Rieka dan Edwin.

Edwin yang memiliki alergi parah terhadap buah kelengkeng terpaksa harus dilarikan ke UGD Rumah Sakit karena serangan syok anakfilaktik. Tragedi yang kontan menghancurkan acara bulan madu dan harus berakhir di rumah sakit.

"Ternyata kamu benar-benar mencintai aku ya, Rik?" Edwin merasa bahagia dengan apa saja yang telah dilakukan oleh Rieka untuknya. istrinya itu yang merawat dirinya sendirian di rumah sakit.

Selama dua hari dia dirawat di sana sampai dinyatakan boleh keluar rumah sakit. Kondisi tubuh Edwin yang masih sangat lemah membuat mereka terpaksa membatalkan bulan madu. Untuk kembali pulang guna melanjutkan proses penyembuhan di rumah saja. Bed rest total di Wijaya Manshion sampai benar-benar sehat.

Pagi ini, Edwin terbangun dengan kondisi tubuh yang jauh lebih sehat daripada sebelumnya. Sudah tidak terlalu lemas lagi, Edwin merasa tubuhnya sudah bisa dipakai untuk sedikit melakukan aktivitas normal. Setelah seharian kemarin Edwin menghabiskan waktu hanya dengan berbaring di ranjang. Bed rest total.

Rieka benar-benar melarang Edwin untuk turun dari ranjang jika tidak benar-benar untuk urusan mendesak, seperti keperluan toilet misalnya. Rieka melarang pula Edwin memegang ponsel dan tablet untuk mengurusi pekerjaan.

"Honey? Kamu di mana?" Edwin memanggil kepada sang istri yang tidak bisa dia temukan di kamar mereka.

"Sepertinya kamu sudah bangun duluan dan entah berada dimana sekarang." Perlahan Edwin bangkit dari ranjangnya, berjalan ringan ke walk in closet. Dia mencuci mukanya di wastafel untuk sedikit memberikan kesegaran dan mengembalikan kesadaran yang belum terkumpul.

Setelah itu Edwin mengambil ponsel dan tablet dari meja kerja. Membawanya kembali ke ranjang, serta duduk selonjoran di sana sambil menghidupkan kedua layar pintarnya itu.

Tak lama kemudian Rieka memasuki kamar dengan senampan menu sarapan pagi di kedua tangannya. Rieka keheranan melihat Edwin yang sudah bangun tidur, bahkan lebih jauh suaminya itu sudah duduk-duduk sambil memegang ponsel dan tab-nya.

"Hubby, kamu sudah bangun?" tanya Rieka menghampiri sang suami. Dia merasa tidak senang karena Edwin sudah memegang dan mengamati ponselnya dengan sangat serius.

"Pagi Honey," Edwin menyapa Rieka sambil tetap fokus melihat layar ponselnya.

Banyak sekali pesan dan missed call disana. Memang sejak dirinya dilarikan ke UGD tiga hari lalu sampai hari ini, ponsel itu belum pernah disentuh olehnya sama sekali.

"Mas Edwin, sarapan yuk. Taruh dulu ponselnya." Rieka mengambil ponsel di tangan Edwin. Sebagai gantinya Rieka menyodorkan senampan sarapan ke pangkuan suaminya itu.

"Susah bener si orang satu ini untuk menjauhi ponsel dan tab-nya beberapa saat saja? Untuk melupakan pekerjaan dan fokus dulu ke proses penyembuhan tubuhnya." Rieka membatin dengan sangat kesal dan wajah yang sudah ditekuk-tekuk.

"Oke deh," Edwin pasrah saja menuruti perintah dari sang dokter pribadinya. Bisa panjang perkaranya kalau gak dituruti nanti.

Edwin merasa ucapan Mahes, adik iparnya ada benarnya juga. Bahwa 'semanis-manisnya pacarmu, pasti dia akan berubah menjadi radio rusak kalau sudah jadi istri'. Dan ternyata hal itu benar-benar terjadi kepadanya.

Rieka yang sebelumnya merupakan gadis yang lemah lembut juga berubah menjadi sangat cerewet setelah mereka menikah. Apalagi jika menyangkut masalah kesehatan.

'Mungkin karena profesinya sebagai seorang dokter kali ya?'

"Aku sudah sembuh, Honey. Gak perlu makan bubur lagi. Nasi rawon atau soto kayaknya jauh lebih enak." Edwin sudah bosan dengan menu makanan rutinnya setiap hari, bubur hati ayam plus sayur bayam.

'Eneg banget rasanya, mendingan nasi rawon atau soto ayam yang rasanya lebih enak.'

"Sehat dari mananya? Mukamu itu masih pucat, dan badanmu juga masih kelihatan lemas begitu? Tensi darahmu pasti juga belum naik, masih pusing kan? Ngaku aja jangan bohong!" Rieka balik mengomeli Edwin.

Rieka ingat hasil pemeriksaan yang dia lakukan pada Edwin kemarin malam sebelum tidur. Tensi darahnya masih 80/60 mmHg, jauh dari angka normal. Tidak mungkin sekarang bisa tiba-tiba normal kan? Mustahil mengingat tekanan darah Edwin yang cenderung rendah.

"Iya, Bu dokter galak." Edwin pasrah saja, menurut untuk mulai memakan buburnya pelan-pelan. Karena tidak bernafsu dan eneg.

Rieka memperhatikan saja Edwin yang sedang memakan buburnya dengan seksama. Kok kayaknya gak nafsu begitu sih makannya?

"Gimana mau cepet sembuh kamu, Mas? Kalau makannya susah begini?" gerutu Rieka.

"Hubby, sini deh aku suapin. Biar cepet habis." Rieka mengambil duduk di tepi ranjang dan mengambil mangkuk bubur dari nampan di pangkuan Edwin.

"Ayo Aaaaaa'!" Rieka mulai menyuapi Edwin.

Edwin menurut saja kali ini tanpa memprotes. Takut bangunin si Singa Betina yang lagi tidur kalau dirinya menolak. Bisa keluar galaknya atau ujung-ujungnya ngambek si Rieka nanti.

Bisa rugi dua kali lipat kalau Rieka ngambek, dapet omelan panjang kali lebar dan parahnya bisa gak dapat jatah yang enak-enak dari istrinya itu. Padahal Edwin sudah tiga harian gak naik ranjang lagi gara-gara masuk rumah sakit, ditambah kondisi tubuhnya yang masih lemah selama penyembuhan.

Edwin yang seorang pebisnis ulung menghitung dengan cermat untung dan rugi dari situasi yang sedang dihadapinya, memperkirakan perhitungan kasar didalam kepalanya.

'Si boy udah kangen sama sarangnya, Rik!'

"Ayo abisin." Rieka memaksa Edwin untuk menghabiskan buburnya, setelah lebih dari separuh porsi dihabiskan.

"Aku habisin, tapi nanti kamu kasih reward yah," Edwin sedikit merajuk membuat penawaran.

"Gak usah aneh-aneh, ayo cepetan abisin biar segera sembuh. Biar cepet seger dan bisa beraktivitas normal lagi." Rieka meneruskan kegiatannya menyuapi Edwin.

"Reward-nya apa dulu biar makin semangat?" Edwin menagih kesanggupan Rieka.

"Gak ada! Biarin aja kalau kamu gak mau makan, biar lemes dan gak sembuh-sembuh." Rieka tetap tak tergoyahkan.

"Masa kamu ga kasian sama suamimu yang ganteng ini, El? Masa aku harus tiduran bahkan makan di atas kasur terus-terusan?" Edwin sudah memasang muka memelasnya.

"Iya-iya, nanti aku kasih reward." Rieka akhirnya mendengus pasrah menyanggupi.

Setelah menikah, Rieka baru tahu kalau Edwin bisa semanja itu saat sedang sakit. Seakan memanfaatkan situasi, dasar sultan manja!

Namun jika tidak diturutin juga kasian. Apalagi kalau mengingat keadaannya yang hampir meregang nyawa beberapa hari yang lalu waktu di UGD. Rasanya Rieka jadi ingin menuruti apapun permintaan dari suaminya itu.

"Wah pinter sudah habis," Rieka tersenyum puas, memuji Edwin setelah berhasil menghabiskan semangkuk penuh buburnya.

"Minum obat dulu ya sekarang," Rieka menyodorkan beberapa butir obat dan segelas teh hangat pada Edwin.

"Sekarang waktunya minta hadiah," Edwin menagih janji Rieka setelah meminum obatnya.

"Mas Edwin mau minta apa? Cium?" Rieka berusaha menebak reward apa yang kira-kira akan diminta suami mesumnya itu.

Rieka mengambil dan meraih nampan berisi bekas alat makan Edwin dan meletakkannya di meja sebelah ranjang.

"Kunci dulu pintu kamarnya!" perintah Edwin.

"Haaaah? Kunci pintu? Memangnya mau ngapain? Masih pagi ini." Rieka kebingungan mendengar ucapan Edwin.

'Jangan bilang dia mau minta jatah? Badan aja masih lemes begitu kok mau sok-sokan minta jatah? Memangnya bisa kamu, Mas?'

"Mau minta ditemenin bubuk sama istri tercinta," jawab Edwin sok imut. Tingkah yang bisa membuat bulu kuduk Rieka sedikit meremang demi melihatnya. Pasti ada maunya dia kalau sudah begini.

Cukup lama Rieka terdiam, hanya mengamati wajah Edwin yang memelas, like a puppy.

'Duh, imut banget. Mana tahan untuk menolaknya?'

Akhirnya Rieka menurut untuk mengunci pintu kamar mereka sesuai permintaan Edwin.

"Sini Honey," Edwin menepuk ranjang tepat di sebelahnya. Mengajak Rieka untuk ikut naik dan berbaring tepat di sebelahnya.

Dengan keheranan yang semakin menjadi-jadi, Rieka menurut saja untuk naik ke atas ranjang. Dia mengambil posisi duduk bersandar juga pada sandaran ranjang, tepat di sebelah Edwin.

"Terus kita ngapain?"

"Gak ngapa-ngapain, cuma pingin berduaan sama kamu." Edwin menyandarkan kepalanya di pundak Rieka dengan semakin manja.

"Dasar, ngapain pakai tutup pintu segala kalau cuma begini?" Rieka membelai lembut kepala Edwin yang bersandar di bahunya, mencoba memberinya sedikit kenyamanan ekstra.

"Biar gak diganggu sama Ijah."

"Bi Ijah mah gak bakal gangguin kita." Rieka terkikik ringan mendengar jawaban Edwin.

'Bilang saja pingin mesra-mesraan, gengsi ya untuk mengatakannya?'

"Temenin sampai aku tidur lagi ya," pinta Edwin.

"Iya boleh, paling sebentar lagi juga obatnya bereaksi. Pasti efek samping obatnya bakal bikin Mas Edwin ngantuk banget," Rieka menurut saja kali ini. Masih tak tega rasanya melihat Edwin dengan kondisi tubuhnya yang masih sangat lemah begini.

Edwin merebahkan tubuhnya perlahan, tiduran di ranjang king size empuk mereka. Sudah bersiap pergi menuju ke dream land.

"Sini, Honey." Edwin menyuruh Rieka untuk berbaring di sebelahnya.

Rieka menurut saja berbaring tepat di sebelah Edwin. Keduanya pun berhadapan satu sama lainnya, dengan jarak yang hanya beberapa jengkal saja. Saling melemparkan senyuman indah di bibir dan memandangi wajah ganteng dan cantik di hadapannya masing-masing. Bersyukur di dalam hati karena memiliki pasangan yang terasa begitu sempurna, sosok yang ada di hadapan mereka.

Tak lama kemudian Rieka sudah tak tahan lagi dengan tatapan tajam Edwin padanya. Mana tahan dilihati seperti itu dengan tatapan Edwin yang tajam dan mematikan bagaikan sinar laser lama-lama?

Rieka buru-buru membalikkan tubuhnya untuk membelakangi Edwin dengan malu-malu.

"Lho kok ngadep ke sana?" protes Edwin.

"Nanti kamu gak tidur-tidur kalau ngelihatin aku terus." Rieka mencoba mencari alasan.

Edwin tidak menjawab protes Rieka, malah menggerakkan tubuhnya untuk semakin mendekat ke arah istrinya itu.

Edwin meraih, memeluk dan mendekap tubuh sintal istrinya dari belakang. Dia bahkan mulai menciumi rambut dan kepala Rieka dengan gemas dan sayang. Menikmati sensasi aroma tubuh Rieka yang wangi dan terasa sangat memabukkan bagi Indra penciumanannya.

"Hubby? Ngapain?" Rieka kaget dengan pelukan Edwin yang tiba-tiba pada tubuhnya.

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Fransisko Vitalis
suami beruntung punya istri dokter..bisa sembuhin sakit lahir bathin
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status