“Oke. Kalau begitu Ayah izinkan kamu kuliah, tapi ada satu syarat!” ujar Pak Cahyo kemudian.
Ayana yang tadinya menundukkan kepalanya tiba-tiba menatap sang ayah.
“Syarat? Syarat apa, Yah?” tanya Ayana seraya mengerutkan keningnya.
“Besok Ayah akan kasih tahu syaratnya. Kamu mau kuliah dan jadi guru seperti Ayah ‘kan?” balas Pak Cahyo sok misterius. Ia belum bisa mengatakan syaratnya pada Ayana karena belum berdiskusi dengan Pak Budi.
Ayana menganggukkan kepalanya beberapa kali.
“Kalau begitu kamu akan melakukan apa pun syarat yang Ayah berikan ‘kan?” tanya Pak Cahyo lagi memastikan.
“Iya, Ayah. Apa pun syarat dari Ayah, aku janji akan melakukannya,” ucap Ayana optimis. Ia mengira syarat dari ayahnya adalah harus menjaga diri dengan baik dan tidak boleh bergaul dengan sembarang lelaki. Kalau hanya itu, ia sudah terbiasa sejak dulu.
“Ya sudah kalau begitu, mulai sekarang kamu belajar yang rajin biar bisa lolos tes nanti,” ucap Pak Cahyo menyudahi pembicaraannya dengan Ayana.
“Siap, Yah!” balas Ayana senang.
*
Keesokan harinya
Ayana baru saja masuk ke dalam kelas. Ketiga temannya langsung menatapnya dan menghampiri di mana meja bangku Ayana.
“Gimana, Ay? Udah dapat izin dari Pak Cahyo?” tanya Rara. Pak Cahyo adalah guru mereka saat SMP dulu. Karena itu ketiga sahabat Ayana sangat tahu bagaimana watak Pak Cahyo.
Ayana menganggukkan kepalanya dengan tersenyum.
“Kemarin Ayah bilang aku boleh kuliah, tapi ada satu syaratnya,” ujar Ayana yang membuat beberapa temannya jadi penasaran.
“Apa itu, Ay?” tanya Wulan seraya mengerutkan keningnya.
“Ayah belum bilang, tapi aku sudah bisa menebaknya. Paling-paling juga disuruh jaga diri baik-baik. Jangan bergaul dengan orang asing. Kayak gitu lah. Ayahku kan posesif banget. Takut anaknya yang cantik dan manis ini digoda orang ...,” ucap Ayana sembari memuji dirinya sendiri dengan percaya diri.
“Hweek!” Rara, Wulan, serta Mala berekspresi muntah.
“Memang kamu cantik kok!” Tiba-tiba terdengar suara celetukan dari Mario yang baru saja masuk ke dalam kelas.
Ayana menatap Mario dan tersenyum malu.
“Kamu jadi kuliah di mana, Rio?” tanya Rara.
“Di Malang aja. Biar nggak jauh-jauh kalau pulang,” jawab Mario santai seraya meletakkan tasnya di atas meja.
“Oh .... Yakin nggak ngikut kita ke Jogja?” sahut Mala. Sebenarnya ia ada rasa pada Mario. Namun, ia sadar diri kalau beda kasta dengan Mario. Sampai kapan pun ia tidak akan bisa mengimbangi Mario.
“Nggak. Di Malang juga banyak kok perguruan tinggi yang bagus,” balas Mario dengan tersenyum simpul dan menatap Ayana.
Ayana yang ditatap pun menjadi malu. Ia menundukkan pandangannya lalu menoleh ke arah jendela yang ada di sampingnya. Jantungnya terasa berdenyut tidak biasa.
Siapa pun tidak ada yang bisa menolak pesona Mario Hutama. Dia adalah laki-laki yang tampan, tinggi, dan cerdas. Sejak dulu ia selalu rangking satu di kelas. Orang tuanya sangat kaya raya. Namun, itu semua tidak menjadikannya anak yang sombong. Di sekolah ia juga aktif mengikuti beberapa organisasi dan kegiatan seperti OSIS, PRAMUKA, olahraga basket, dan lain-lain. Semua guru dan murid mengenalnya dengan baik.
“Kamu jadi kuliah ke Jogja, Ay?” tanya Mario.
Ayana menganggukkan kepalanya beberapa kali.
“Iya dong. Kita kan sahabatan sejak SMP. Jadi, sampai kuliah pun kita akan tetap sama-sama. Iya kan, Ay?” sahut Wulan sembari merangkul pundak Ayana.
“Ya sudah. Semoga kalian semua bisa diterima di sana ya. Biar nggak terpisahkan,” pungkas Mario dengan tersenyum.
“Terima kasih, Mario Sayang. Duh ... andai kamu ikut sama kita-kita. Pasti rame,” ujar Wulan. Ia adalah sepupu Mario. Jadi, tidak ada rasa sungkan saat ia menyebut Mario dengan sebutan sayang.
BAB 13Setelah itu pak penghulu pun memanjatkan doa berkah dan selamat. Semua orang yang hadir mengangkat tangan menengadah ke atas di depan dada untuk mengaminkan.Usai acara ijab kabul, semua tamu undangan pun dipersilakan menikmati hidangan yang ada. Sedangkan Kenzo dan Ayana duduk di pelaminan untuk foto bersama.“Mbak, tolong lihat ke kamera! Senyum dikit juga ya!” ujar sang fotografer yang hendak mengambil foto mereka. Sedari tadi Ayana menundukkan kepalanya dan tidak berani menatap siapa pun, apalagi Kenzo.Dengan terpaksa Ayana pun mengangkat kepalanya menatap sang fotografer. Namun, tetap saja bibirnya sulit untuk tersenyum.Berbeda dengan Kenzo yang sangat kooperatif. Sedari tadi ia bersikap tenang dan tersenyum. Ia tersenyum bukan karena bahagia dengan pernikahan ini. Ia hanya tidak mau orang lain melihatnya bersedih. Ia menghargai orang-orang yang membuat acara ini. Ia tahu pernikahan sederhana ini mengeluarkan dana yang tidak sedikit.Ketika Ayana mengangkat pandangannya,
Kenzo hanya bisa tersenyum dan menunduk di pelukan Pak Cahyo. Saat ini ia memakai pakaian pengantin berwarna putih yang senada dengan Ayana. Kalung dari bunga sedap malam melingkar di lehernya dan menjuntai di dadanya.Pak penghulu sudah menunggu sejak sepuluh menit yang lalu. Kenzo pun segera dipersilakan duduk di depan pak penghulu untuk segera memulai acara akad nikah.“Ayo, Ay, keluar!” seru Bu Retno seraya membuka pintu kamar Ayana.Ayana menatap ibunya yang berdiri di ambang pintu kamarnya dengan enggan. Andai ia punya keberanian untuk kabur, mungkin sudah sejak tadi malam ia pergi dari rumah. Namun, ia terlalu takut untuk hidup sendirian di luar sana tanpa punya pengalaman hidup mandiri sebelumnya. Ia juga tidak punya pekerjaan untuk menopang biaya hidupnya sehari-hari.Dengan dada berdebar-debar, Ayana pun bangkit dari duduknya. Ia menatap ketiga sahabatnya yang juga menatapnya saat ini.“Genks ...,” rengek Ayana enggan untuk keluar kamar.“Semangat, Ay!” ujar Rara, Wulan, dan
“Jangan nangis lagi ya, Mbak. Sayang ini make up-nya sudah bagus loh. Kalau luntur nanti jadi jelak gimana? Suaminya kaget nanti. Hihi,” ucap sang MUA dengan lembut agar Ayana tidak menangis lagi dan make up-nya tidak sia-sia.Ayana pun menelan salivanya dengan sedikit kesusahan. Dadanya terasa sangat sesak. Kemudian ia menengadah ke atas agar air mata yang sudah menggenang di pelupuk matanya tidak jatuh. Usai itu ia mengambil tisu lalu menempelkannya di sudut matanya.Setelah merias Ayana, sang MUA pun keluar kamar untuk memberikan Ayana waktu sendiri. Ia tahu sepertinya Ayana melakukan pernikahan ini dengan terpaksa, alias dijodohkan. Ia sudah sering menemui pengantin yang seperti ini saat bekerja. Hanya memberikan waktu sendiri untuk sang pengantin sebelum akad nikah yang bisa ia lakukan agar sang pengantin merasa lebih tenang.Tidak lama kemudian Mala, Rara, dan Wulan datang. Mereka bertiga diizinkan Bu Retno masuk ke dalam kamar Ayana agar bisa menemani dan menenangkan Ayana terl
Kenzo tidak kuat menahan tawa ketika melihat bapaknya yang tiba-tiba murka. Muka Pak Budi kelihatan merah kehitaman karena amarah yang membuncah.Pak Budi menatap Kenzo dengan mata melotot. Hampir saja ia mengalami serangan jantung.“Canda, Pak. Ya ampun ... sampai segitunya pengen punya mantu. Iya … iya …, besok aku nikahi anaknya Pak Cahyo,” ucap Kenzo dengan tersenyum tulus seraya menatap Pak Budi.Pak Budi pun merasa lega sembari memegang dadanya. Ia sempat merasa khawatir kalau seandainya Kenzo tidak mau menikah besok. Mau ditaruh di mana mukanya ini. Tenda sudah berdiri di depan rumah, tiba-tiba pernikahan dibatalkan. Apa tidak jadi gunjingan orang-orang? Bahkan di sekolah tempatnya bekerja pun juga sudah pada tahu kalau besok akan ada acara pernikahan anaknya dengan anak Pak Cahyo.Kenzo terpaksa patuh, meskipun ada rasa enggan di hatinya. Bagaimana pun ia tidak mau menjadi anak durhaka. Kesuksesannya saat ini adalah berkat doa dan dukungan kedua orang tuanya. Sampai kapan pun,
“Ada apa ini? Nggak ada yang meninggal ‘kan?” gumam Kenzo pelan. Ia pun buru-buru turun dari mobilnya dan melihat Pak Budi tengah mengatur letak-letak kursi untuk walimah nanti malam.“Assalamu ’alaikum. Ada apa ini, Pak?” tanya Kenzo. Kemudian ia meraih tangan Pak Budi dan mencium punggung tangan itu.“Wa ’alaikum salam. Akhirnya kamu pulang juga, Ken!” sambut Pak Budi senang. Ia sangat khawatir kalau Kenzo tidak jadi pulang hari ini.“Ayo masuk dulu. Kita ngobrol di dalam!” ajak Pak Budi.Kenzo pun patuh dan mengekor di belakang Pak Budi. Ketika memasuki ruang tamu, bau bunga sedap malam, pandan, dan bunga melati masuk ke indra penciumannya.“Ada apa ini, Pak? Kok kayak ada orang yang mau nikah?” tanya Kenzo ketika melihat berbagai macam seserahan dan mahar berada di dalam kamarnya.Pak Budi sengaja mengajak Kenzo masuk ke dalam kamar Kenzo untuk bicara empat mata.“Iya. Besok kamu nikah, Ken,” jawab Pak Budi pelan.“Apa?! Gimana ceritanya, Pak? Kok bisa tiba-tiba besok nikah? Aku ‘
Sementara itu di sebuah rumah mungil berukuran tipe 50/84, seorang laki-laki tengah berkutat dengan laptopnya. Dia adalah Kenzo Naufal Maulana. Hari-harinya disibukkan dengan membuat materi kuliah dan menilai tugas mahasiswanya.Saat tangannya sedang sibuk mengetik-ngetik pada keyboard laptopnya, tiba-tiba ponselnya berdering pertanda ada telepon masuk. Kenzo pun segera melihat nama penelepon yang ada di layar ponselnya.“Bapak? Tumben telepon,” gumam Kenzo seraya mengerutkan keningnya.Dengan segera ia meraih ponsel itu lalu menempelkan pada telinganya usai menggeser icon hijau.“Assalamu ’alaikum, Pak …,” ucap Kenzo lembut.“Wa’alaikum salam, Ken,” sahut Pak Budi di seberang telepon.“Ada apa, Pak? Tumben telepon? Biasanya ‘kan aku yang telepon Bapak,” tanya Kenzo. Ia khawatir terjadi apa-apa pada salah satu anggota keluarganya.“Besok kamu harus pulang, Ken!” ujar Pak Budi, tepatnya perintah. Untuk satu ini ia tidak mau Kenzo menolak dan harus memastikan betul-betul Kenzo pulang be